Bedah Harga, Kenaikan BBM untuk Siapa?
Jakarta, FNN - Kenaikan harga bahan bakar minyak yang mencapai 30 persen jelas berdampak serius terhadap perekonomian rakyat.
Gelombang protes terus terjadi baik demonstrasi di lapangan maupun di ruang-ruang diskusi.
Pada Senin, 19 September 2022 telah diadakan acara diskusi publik yang digelar di Hotel Amaris Tebet, Jakarta Selatan. Acara ini diselenggarakan oleh Gerakan Nasional Pembela Rakyat (GNPR) dalam rangka respon menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Diskusi publik ini mengangkat judul "Bedah Harga dan Dampak Kenaikan BBM" dengan menghadirkan pakar di bidangnya.
Para pembicara pada acara ini adalah Dr. Anthony Budiawan selaku Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Dr. Marwan Batubara selaku Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) dan juga Dr. Mulyanto selaku Anggota DPR RI Fraksi PKS. Selain para pembicara, acara ini juga dihadiri oleh Edy Mulyadi, Ketua FPI Ahmad Shabri Lubis, Ketua GNPR Yusuf Martak, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan juga Aliansi Rakyat Menggugat (ARM).
Anthony Budiawan mengkritisi sikap pemerintah yang tidak transparan dalam menyampaikan hitung-hitungan kenaikan harga BBM ini membuat rakyat tidak dapat mengetahui harga yang pas untuk kenaikan harga BBM yang seharusnya.
"Pemerintah ini hitung-hitungannya bagaimana? Kenapa BBM subsidi Pertalite dinaikkan sampai 30% menjadi Rp10.000 per liter dan solar menjadi Rp6.800 per liter. Apabila dihitung, kenaikan harga BBM yang tinggi ini hanya akan membuat pendapatan pemerintah sebesar Rp31,75 triliun sampai akhir tahun nanti. Dengan perkiraan sisa konsumsi Pertalite sebesar 10 juta KL dan solar sebesar 5 juta KL," ujarnya menyampaikan
Tidak hanya itu, Anthony juga menambahkan bahwa pemerintah menaikkan harga BBM ini tanpa pemikiran panjang yang jadinya hanya memberikan solusi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat. Sedangkan permasalahan BBM yang paling dekat adalah masalah transportasi, distribusi dan produksi.
"Apabila BBM ini dinaikkan maka mobilitas kita akan terbatas, karena mayoritas penduduk Indonesia menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini dikarenakan transportasi publik milik kita saja belum memadai secara penuh, masih jelek. Kalau kita ada pilihan alternatif kendaraan maka tidak apa. Jangan bandingkan dengan Singapura, mereka itu transportasi publiknya sudah menjangkau semua dan pendapatan per kapita mereka $70.000 USD per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang masih kisaran $4.000 USD per tahun. Maka dari itu jangan kaget apabila harga BBM di Singapura mencapai Rp30.000 per liter karena mereka memiliki alternatif dan pemasukkan yang tinggi." tambahnya menegaskan.
Ditambah lagi kebutuhan sosial masyarakat yang tinggi diiringi naiknya harga BBM akan membuat inflasi menjadi lebih tinggi. Terlebih lagi gaji buruh yang relatif kecil dan daya beli masyarakat menengah ke bawah yang semakin anjlok.
"Bagaimana dengan 31,75 triliun jadi naik mereka, APBN mendapatkan uang dari masyarakat Rp31,75 triliun bagaimana bisa membantu APBN yang akan membengkak. Uang ini sangat tidak berarti bagi pemerintah, akan tetapi sangat berarti bagi masyarakat kelompok bawah. Luar biasa, mereka sudah tertimpa dengan inflasi pangan yang lebih dari 11% ditambah lagi dengan kenaikan PPN dari 10% menjadi 11%. Dan ini bertubi-tubi padahal negara mendapatkan kenaikan pendapatan harga komoditas yang begitu luar biasa," ucapnya menambahkan.
Dilanjutkan dengan Dr. Mulyanto yang juga menambahkan pendapatnya tentang kenaikan harga BBM yang tidak sesuai dengan harga minyak dunia sekarang ini.
"Apa benar harga minyak dunia naik setelah kita revisi APBN? Sebelumnya memang pada bulan Juni, asumsi harga minyak APBN 2022 dari $63 menjadi $100 untuk mengantisipasi terus naiknya harga minyak dunia. harga minyak dunia naik, hingga pada puncaknya yakni menyentuh harga $120 per barel. Akan tetapi, mulai menurun pada akhir Juni hingga akhirnya memasuki bulan September di mana harga menyentuh sekitar $90-$100 per barel. Hal ini menyebabkan meningkatnya APBN yang semula Rp152 triliun menjadi Rp502 triliun karena dibutuhkan untuk subsidi BBM ketika dilihat harga minya dunia naik menyentuh $120 per barel. Akan tetapi saat harga minyak dunia sudah turun, lantas mengapa pemerintah masih tetap menaikkan harga BBM Pertalite bersubsidi menjadi Rp10.000 per liter?" ucapnya.
"Kemudian saat memasuki bulan September, banyak dari perusahaan BBM swasta yang menurunkan harga jual mereka per liternya, seperti Shell, Vivo, dan BP-AKR (PT AKR Corporindo). Salah satunya yang juga menjadi pilihan masyarakat ketika BBM Pertalite subsidi naik ke Rp10.000 adalah Vivo. Vivo beberapa waktu lalu masih menjual BBM Revvo 89 dengan RON 89 yang harga sebelumnya Rp8.900 namun sekarang juga diwajibkan untuk ikut naik menjadi Rp10.900 per liter. Kalau tidak ikut menaikkan, bisa dicabut mereka izin perusahaannya," ujarnya menambahkan.
Marwan Batubara selaku pembicara juga menambahkan, bahwa mengapa banyak rakyat yang menolak kenaikan BBM ini dikarenakan harusnya subsidi energi sudah cukup besar dalam APBN, walaupun memang subsidi tersebut tidak tepat sasaran.
"Kita harus pahami harga BBM bisa saja dinaikkan, terutama karena memang subsidi energi sudah cukup besar dalam APBN. Akan tetapi, subsidi tersebut mayoritas tidak tepat sasaran. Selain itu, harga BBM yang bersubsidi pun sudah tidak relevan lagi, tidak sebanding (cukup rendah) dengan harga-harga barang dan jasa lain. Karena banyak pertimbangan, maka dari itu kita harus tolak kenaikan harga BBM ini dengan tegas," ucapnya.
"Banyak faktor pertimbangan untuk menolak kenaikan harga BBM ini. Yang pertama, bertambahnya kesulitan hidup rakyat yang masih terpuruk akibat pandemi. Lalu naiknya harga barang dan jasa, termasuk pangan, bahan pokok, dan transportasi yang memicu naiknya inflasi pada 2022 ini yang mencapai 8%. Kemudian terpangkasnya daya beli masyarakat dan meningkatnya kemiskinan yang naik dari 484.000 jiwa menjadi 505.000 jiwa. Hal ini diperburuk dengan turunnya angka tingkat pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pengangguran, menjadi sekitar 6%,"kata Marwan menambahkan.
Marwan Batubara juga mengatakan bahwa adanya manipulasi oleh pemerintah terhadap subsidi BBM dalam dan APBN ini yang telah melonjak sampai Rp502 triliun. Hal ini dikarenakan adanya dari pemerintah yang mengatakan dana Rp502 triliun dalam APBN itu adalah subsidi energi yang di dalamnya bukan hanya BBM saja. Namun, Marwan menjelaskan bahwa mereka pada awalnya berkata bahwa subsidi tersebut adalah untuk BBM.
"Padahal hal ini sebelumnya dibilang oleh Jokowi (Joko Widodo) pada saat jumpa pers yang disiarkan di YouTube Sekretariat Kepresidenan. Di situ Jokowi berkata 'anggaran subsidi dan komparasi BBM tahun 2022 telah meningkat 3 kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun. Lalu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) juga mengatakan hal yang sama, dalam akun Instagram-nya dia kalau konsumsi Pertalite dan solar subsidi yang melebihi kuota, anggaran subsidi dan kompensasi akan melewati Rp502,4 triliun. Nah sedangkan mereka sekarang berkata bahwa dalam subsidi Rp502 triliun tersebut terkandung subsidi BBM, listrik dan LPG 3kg. Mereke dengan sadar dan sengaja loh (bukan salah ucap) bilang seperti itu. Maka wajaar apabila Menkeu dan Presiden Jokowi sangat wajar dituntut bertanggungjawab dalam melakukan kebohongan publik, juga membesar-besarkan angka subsidi BBM guna menjustifikasi kebijakan dan meraih dukungan publik," ujarnya sembari menunjuk Powerpoint miliknya. (Fik)