Adanya Dugaan Pesanan Oligarki Terhadap RUU EBT
Jakarta, FNN – Bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) adalah undang-undang yang mendukung energi bersih dan terbarukan, tetapi ada satu masalah dengan dimasukkannya skema power wheeling.
RUU Inisiatif Komisi VII DPR RI tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan tersebut dinilai sudah komprehensif dan bagus oleh Fahmi Radhi (Dosen FEB Universitas Gadjah Mada). Namun, Fahmi menolak power wheeling pada pasal 47A, butir 3b RUU EBT.
Adapun power wheeling adalah mekanisme pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik milik PLN melalui open source.
Sedangkan Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR berpendapat agar menimbang betul berdasarkan kebutuhan karena energi bersih yang tidak dikelola, itu menjadi energi yang mahal.
Dalam acara diskusi publik daring, Rabu (14/12/2022) juga menghadirkan tiga tokoh lain, Mulyanto mengatakan, pemerintah belum serius membahas regulasi EBT. Dan dengan adanya power wheeling itu, Mulyanto menegaskan agar tarif tidak membebankan rakyat.
“Undang-undang ini harus konstitusional, dan UU ini harus memihak rakyat, jangan menghasilkan tarif yang mahal, apalagi melanggengkan impor dengan TKDN (tingkat komponen dalam negeri) yang rendah,” tegas Mulyanto.
Melihat masalah tersebut, Fahmi menduga adanya keterlibatan pihak oligarki tentang power wheeling yang diusulkan oleh pemerintah dan bukannya DPR.
“Jangan-jangan ini usulan dari oligarki yang mencari keuntungan,” ucap Fahmi.
Fahmi menilai mekanisme power wheeling melanggar amanah konstitusi karena liberalisasi dengan kelistrikan dan akan memberikan kerugian besar terhadap negara dan rakyat.
“Padahal konstitusi UUD 45 itu tidak boleh melakukan liberalisasi untuk produk publik yang penting seperti listrik tadi,” tukas Fahmi.
“Dan kedua tidak pro rakyat. Dalam power wheeling liberalisasi tadi, tarif itu ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, kalau sebelumnya oleh pemerintah bersama DPR. Maka dengan masuknya power wheeling itu akan menentukan mekanisme pasar,” jelasnya melanjutkan.
Fahmi menyampaikan bahwa EBT tertunda pengesahannya karena adanya penolakan dari Kementerian Keuangan yang melihat adanya power wheeling yang akan membebani APBN.
“Jadi, ini saya kira sangat bahaya sekali liberalisasi kelistrikan. Ini sudah beberapa kali dicoba, baik melalui undang-undang atau wacana-wacana publik,” pungkasnya.
Penolakan terhadap power wheeling tersebut juga dilontarkan oleh Marwan Batubara, Direktur IRESS. Marwan menjelaskan bahwa liberalisasi kelistrikan sebenarnya sudah terjadi, dan upaya mengurangi atau menghilangkan yang dia sarankan adalah dengan melarang swasta untuk menjual listrik langsung kepada konsumen, melainkan harus melalui PT PLN.
“Kita tidak mau bahwa Indonesia itu akhirnya rakyatnya menjadi objek yang dihisap terus-menerus oleh pengusaha oligarki, oleh asing melalui pelayanan listrik,” ucap Marwan.
Menurut dia penambahan biaya listrik telah terjadi karena besarnya cadangan listrik yang melebihi kebutuhan.
“Cadangan listrik kita di pulau Jawa saja, cadangannya atau namanya reserve jelas Marwan.
Pasokan listrik yang berlebih tersebut disebabkan rencana program 35.000 Megawatt di tahun 2015 yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo yang belum selesai.
“Tapi faktanya, PLN tidak butuh sampai segitu banyak. Sehingga ini menjadi biaya operasi (pengeluaran) bagi PLN dan biaya operasi ini dimasukkan ke dalam perhitungan biaya pokok penyediaan listrik IPP (Independent Power Producers) listrik,” tegas Marwan.
Marwan juga berpesan kepada pemerintah dan DPR agar membuat regulasi yang pro terhadap rakyat.
“Jika anda memperhatikan kepentingan negara dan rakyat, maka hentikanlah penghisapan dan cegahlah Undang-undang EBT ini yang saat ini berpotensi inkonstitusional dan tidak pro rakyat menjadi undang-undang yang sesuai konstitusi dan pro rakyat,” ujarnya.
Di sisi lain, Akhmad Akbar Susamto (Ekonom CORE Indonesia) berpendapat dengan Undang-undang ini jangan sampai mengorbankan PLN.
Akbar juga menyampaikan yang hal belum dibahas dalam RUU EBT adalah bagaimana membuat masyarakat sadar untuk pro energi terbarukan dan ramah lingkungan. (Rac)