Ada “Malin Kundang” di Tlatah Pakuan
TIDAK ada satu manusia di belahan dunia mana pun yang diperlakukan sekasar Habib Rizieq Shihab (HRS). Ia terus dikuntit rezim untuk menyerah dan mengalah atas pelanggaran ringan protokol kesehatan Covid-19.
Siapa pun yang menyimak persidangan HRS dalam kasus tes swab di RS Ummi Bogor, membuat dada tiba-tiba tersesak. Sidang pelanggaran prokes yang auranya mirip dengan sidang kasus terorisme itu menghadirkan saksi Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto.
Sidang yang cukup melelahkan itu mendalami keterangan saksi yang berubah-ubah. Saksi yang awalnya mau mencabut laporan kepolisian tiba-tiba batal, lantaran, kata Bima ada perintah dari Kapolda Jawa Barat untuk tetap memproses kasus ecek-ecek tersebut. Oleh karena itu, HRS menyebut Bima Arya pembohong.
HRS tentu saja kecewa terhadap sikap Bima Arya yang tidak konsisten, apalagi sebelumnya hubungan Bima-HRS cukup harmonis. Di persidangan ini terbongkar sisi lain Bima Arya.
Alih-alih mau menjadi saksi memberatkan bagi HRS, yang terjadi justru masa lalu Bima saat mencalonkan diri menjadi wali kota juga terbongkar. Tahun 2013 Bima Arya bukan siapa-siapa. Ia hanya pengamat politik dari lembaga riset Charta Politika.
Atas desakan teman-teman dekatnya ia didapuk untuk coba-coba ikut Pilkada Kota Bogor. Ketika itu tingkat popularitas Bima cuma 8 persen, jauh di bawah angka petahana. Maka strategi disusun, pencitraan dikemas, dan pasukan buzzer dikerahkan. Tema pun dikumandangkan, BIMA (Bageur, Pinter, Idaman, Sadaya).
Atas saran teman-teman Bima yang memang ahli komunikasi, calon wali kota yang tampak polos itu patuh dan mengikuti kemauan konsultan politiknya. Bima disetting seperti Jokowi saat mau jadi presiden. Pada kumpulan ibu-ibu majelis taklim ia memerankan orang yang hormat dan takzim kepada perempuan. Di kalangan pedagang kaki lima ia tampil sebagai rakyat bawah dengan makan bubur ayam di emper toko. Di kalangan seniman ia juga dipaksa lincah ngibing ala Sunda. Memakai sandal jepit adalah salah satu ritual yang Bima tunaikan.
Upaya merebut hati masyarakat Kota Bogor mulai menampakkan hasil. Dua bulan kampanye, survei menunjukkan popularitas dia semakin naik menjadi 15 persen. Akan tetapi, kenaikan ini belum mampu mengalahkan rivalnya yang cukup kuat.
Bima kemudian diarahkan untuk mendekati ulama. Maka adegan berikutnya pun ia lakukan dengan penuh semangat dan total. Ia berkunjung ke ulama- ulama sepuh di Kota Bogor. Tak lupa pakai kopiah hitam dan adegan cium tangan pun diviralkan.
Belakangan diketahui ulama-ulama yang diminta Bima Arya untuk mendukungnya adalah guru Habib Rizieq Shihab. Ini terungkap saat Bima menjadi saki bagi HRS di PN Jakarta Timur, Rabu (14/04/2021).
Habib menyinggung soal restunya kepada Bima Arya saat ingin menjadi Wali Kota Bogor, pada awal 2014. Habib Rizieq mempertegas peran dirinya dalam mendukung Bima Arya menjadi Wali Kota Bogor. Habib Rizieq tahu bahwa Habib Mahdi Assegaf sangat dekat dengan Bima bahkan menjadi pendukung utama Bima. Ketika itu Habib Rizieq sebagai guru, merestuinya.
Selain Habib Mahdi Assegaf, Habib Rizieq juga menyinggung bahwa Bima dekat dengan ulama Muhammad Husni Thamrin. "Itu juga pendukung Anda luar biasa. Habib Tham itu orang tua saya. Kalau Anda dekati Habib Tham, (kemudian) Habib Tham suruh saya temui Anda, jangankan saya lagi sehat, lagi sakit pun saya akan datang ke kantor Anda," kata Habib Rizieq.
Singkatnya, atas dukungan ulama dan habiblah, Bima Arya Sugiarto akhirnya menjadi Wali Kota Bogor pada 2014. Namun, ibarat cerita Malin Kundang di Sumatera Barat, ada anak durhaka kepada orang tuanya yang kemudian dikutuk menjadi batu. Ini terjadi Bumi Pakuan, tepatnya di Kota Bogor. Orang yang telah berjasa mendukung menjadi wali kota, malah dijebloskan ke penjara.
Dimasukkannya HRS ke penjara salah satunya karena ada laporan kepolisian yang dibuat oleh sang wali kota dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan covid-19 di wilayah Bogor. Habib mempertanyakan mengapa Bima tak menggunakan cara-cara kekeluargaan ketika menyelesaikan persoalan tes swab di RS Ummi Kota Bogor. Ia menyayangkan Bima yang langsung melaporkan polemik tersebut ke pihak berwajib. Padahal, hubungan HRS – Bima selama ini begitu baik.
Bima tak hanya menyakiti Habib Rizieq Shihab. Teman-teman dekatnya yang dulu all out mendukungnya pun banyak yang kecewa. Belum genap satu tahun memimpin Bogor, ia terlibat korupsi lahan di Pasar Jambu Dua. Empat orang sudah dipenjara, tetapi dia selamat, padahal namanya sudah disebut dalam dakwaan jaksa sebagai orang yang melakukan (pleger).
Kasus lain adalah soal pembangunan Hotel Ammarrossa yang menyalahi tata ruang. Di bawah kepemimpinannya, kemiskinan meningkat, dan kemacetan yang tak pernah terurai. Kota Bogor hanya terkesan indah di seputar Istana Kepresiden dan Kebun Raya. Bima dianggap kacang lupa kulitnya.
Bima memang pernah menyesal atas dijebloskannya HRS dan menantunya, Habib Hanif ke penjara. “Saya sesalkan kenapa bisa menyeret nama Habib Rizieq Shihab dan Habib Hanif. Padahal, yang dilaporkan adalah RS UMMI Bogor,” ujar Bima Arya seperti yang disampaikan oleh Penasihat Hukum HRS, Aziz Yanuar. Tapi, apakah penyesalan itu ada manfaatnya?
HRS hanya minta Bima menggunakan hati nuraninya dalam memimpin kota Bogor. Tes Swab di RS Ummi Bogor adalah kasus hukum dagelan karena ada ribuan orang di belahan republik ini yang tak melakukan tes swab. HRS juga menyesalkan sikap Bima yang tak berdaya mencabut laporan polisi, padahal diperbolehkan secara hukum. Ini membuat HRS sangat terpukul.
Yang lebih menyebalkan lagi, tidak ada jejak penularan Corona pasca HRS dirawat di rumah sakit tersebut. Jadi, kalau dikatakan Bima berkewajiban memutus mata rantai Covid-19, rantai mana yang akan diputus?
Pengadilan ini adalah contoh nyata ketidakadilan. Para penegak hukum seyogyanya menggunakan hati nurani dan moralitas dalam mengadili HRS. Keadilan macam apa yang bakal diraih. Penegakan hukum macam apa yang bakal diperjuangkan. Penghentian penularan Covid-19 macam apa yang hendak disetop.
Ingat, apa yang dituduhkan kepada HRS sesungguhnya dilakukan pula oleh orang lain. Bahkan presiden dan para pejabat tinggi lainnya melakukan hal yang sama. Di mana letak equality before the law?
Lebih menohok lagi ada biduan muda yang sengaja mengadakan acara pernikahan mewah malah dihadiri tiga pejabat negara yakni presiden, menhan dan Ketua MPR. Toh tidak dipenjara.
Oleh karena itu, penegak hukum siuman dan sadarlah. Apakah proses persidangan HRS ini semata-mata untuk menegakkan hukum dan mencari keadilan atau memenuhi target mengurung HRS hingga tahun 2026 sebagaimana Twitter yang diduga milik Diaz Hendropriyono?