EDITORIAL
Negara Tidak Boleh Kalah Dengan Polisi
MASIH teringat dengan jelas aparat keamanan tampil gagah penuh percaya diri di depan kamera mengumumkan kematian 6 laskar FPI di KM 50 jalan tol Jakarta-Cikampek, pada 7 Desember 2020 lalu. Mereka mengakui telah membunuhnya. Aparat keamanan itu adalah Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadhil Imron dan Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurrachman didampingi beberapa staf penjaga keamanan DKI yang solid. Kini, sudah 123 hari sejak pengumuman heroik itu dikumandangkan, toh tak menunjukkan kemajuan yang berarti. Identitas pembunuhnya tak pernah dimunculkan ke publik, saksinya juga gelap, dan cara membunuhnya juga berubah-ubah. Yang terjadi justru Tempat Kejadian Perkara (TKP) diobrak-abrik, wartawan dilarang meliput, dan publik dicekoki berita rekayasa. Diperparah dengan opini buzzer yang menyesatkan. Komnasham yang diharapkan bisa mengungkap kejadian yang sesungguhnya secara adil dan transparan, malah melempem bahkan membebek keterangan polisi sebelumnya. Padahal mereka digaji negara untuk bekerja fair, profesional, dan independen. Belakangan muncul informasi baru. Kata polisi, salah satu terlapor algojo pembunuh 6 laskar FPI berinisial EPZ tewas kecelakaan di Jalan Bukit Jaya, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan. Namun setelah dicek, lokasi itu bohong belaka. Boye, seorang tukang parkir yang sudah 10 tahun mangkal, menyatakan tidak ada Jalan Bukit Jaya, adanya Bakti Jaya. Bantahan juga disampaikan oleh Kapolsek Setu, AKP Dedi Herdiana bahwa dirinya tidak pernah mendapat laporan ada anggota polisi meninggal di wilayah itu. Kejanggalan lain adalah inisial EPZ adalah Elwira Priadi Zendrato yang dalam penelusuran sebelumnya tidak pernah ada nama itu. Tiga anggota Polri yang diduga sebagai eksekutor anggota laskar FPI adalah Brigadir Satu Fikri Ramadhan Tawainella, Brigadir Kepala Faisal Khasbi Alaeya, dan Brigadir Kepala Adi Ismanto. Ajaib, muncul nama baru Elwira Priadi Zendrato meninggal 4 Januari 2021 pukul 23.45 WIB, tetapi baru diumumkan 26 Maret 2021. Keanehan lainnya adalah penetapan 6 laskar FPI yang tewas, sebagai tersangka. Sontak saja keluarga dan masyarakat geram atas penetapan status ini. Tak kuat mendapat kecaman keras dari masyarakat, sehari kemudian status itu digugurkan dengan alasan pelakunya sudah meninggal dunia. Plintat plintut kan? Skenario demi skenario terus disusun dengan cermat dan hati hati. Toh dalam perjalanannya ada saja batu sandungan. Informasinya berubah-ubah. Perubahan terjadi mungkin karena tidak sesuai dengan arahan sutradara atau ada kejanggalan jalan cerita yang muncul belakangan. Ini bisa terjadi lantaran skenario disusun dengan deadline yang ketat. Maka, wajar jika hasilnya kurang sempurna. Tapi sadarlah, sehebat apa pun skenario yang dibuat manusia, jika didasari ketidakjujuran untuk membungkus kejahatan, Insyaa Allah, kelak akan terbuka seterang-terangnya. Tak ada yang tersembunyi di hadapan Allah. Azab menunggu baik di dunia maupun akhirat. Wahai sang pembunuh, apa yang membuat Anda yakin bahwa perbuatan keji itu tak akan terungkap? Sehebat apa Anda memanfaatkan oknum-oknum polisi untuk terus bersandiwara mengikuti arah telunjuk Anda digerakkan? Sekuat apakah keyakinan Anda bahwa perbuatan Anda pasti tidak ada yang bisa mengungkap. Ingat, tidak ada satu pun agama dan keyakinan yang membolehkan membunuh manusia tanpa alasan. Dalam Islam sudah jelas larangan membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran. Dalam QS. al-An'am: 151 disebutkan barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Kristen, dalam Lukas 18:20 dikatakan, ”Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu.” Budha demikian juga. Dalam salah satu sloka ajaran Veda dikatakan bahwa dharma tertinggi adalah ahimsa. Ahimsa berasal dari kata “a” yang artinya tidak dan “himsa” yang artinya membunuh. Sehingga mereka mengatakan bahwa ahimsa artinya tidak membunuh. Hindu mengajarkan kepada umatnya agar tidak melakukan pembunuhan sewenang-wenang kepada mahluk hidup yang lain, karena pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang berakibat dosa atau himsa karma. Binatang saja kalau mau disembelih ada ritualnya, adab, dan doanya. Pembunuhan 6 laskar FPI secara keji kok dikesankan wajar dan boleh. Pembolehan ini tampak jelas pada sikap dan moral pejabat republik ini. Tak ada ucapan duka dari Presiden. Tak ada bela sungkawa dari wapres. Tak ada simpati dari menteri agama, dan tak ada empati dari loyalis buta tuli rezim ini. Membunuh 6 laskar anak muda seakan menabrak barisan bebek yang melintas di jalan. Kaget sesaat lalu kabur dan menghilang. Keterangan polisi yang plintat-plintut dalam membongkar kasus unlawfull killing ini justru semakin memunculkan dugaan publik bahwa sang oknum sedang merekayasa kasus agar pelaku sebenarnya tak terungkap. Polisi bekerja sangat tidak adil. Bandingkan kerja polisi dalam kasus pembunuhan 6 laskar FPI dengan pengungkapan bom bunuh diri di Makassar, 28 Maret 2021. Sungguh bertolak belakang. Dalam kasus ini polisi kerja cerdas, cepat, dan cermat. Kurang dari 24 jam identitas pelaku bom di pagar Gereja Katedral Makassar dibongkar. Langsung ketemu, Lukman namanya. Semua info tentang Lukman diblejeti habis, termasuk surat wasiat dan masa lalunya. Cepat sekali. Ada kesan identitas sudah disiapkan sebelum kejadian, seakan polisi tinggal membacakan saja. Hanya istrinya yang mati bersamaan belum diungkap. Bersamaan dengan pengungkapan identitas oleh polisi, kawanan buzzer berjamaah turut pula membongkar pelaku teror. Ada amunisi baru untuk menyerang Islam. Entah info dari mana, seakan mereka teman sekamar teroris sehingga tahu detail sang peneror. Para pendengung terus menebar dan menyebar fitnah. Tak puas rasanya kalau tidak mengaitkan teroris dengan agama Islam. Padahal MUI sudah mengatakan terorisme ada di semua agama. Gatal rasanya kalau tidak membangun opini teroris beririsan dengan FPI. Pokoknya dengungkan dulu, pembuktian belakangan. Potongan-potongan informasi dijahit menjadi satu narasi yang panjang, seakan-akan logis. Tujuannya jelas, merusak agama Islam Padahal, Australia Security and Intelligence Organisation (ASIO) atau BIN-nya Australia memutuskan tidak lagi menggunakan istilah Teroris Islam dalam menggambarkan kekerasan yang dimotivasi agama atau gerakan politik. Ketua ASIO, Mike Burgess, menganggap “kata-kata” itu penting dan berpengaruh dalam membentuk pandangan setiap orang dalam melihat masalah. Karena itu, menurutnya, penggunaan istilah “Teroris Islam” selama ini telah merusak dan menyesatkan umat Islam. Polisi sebagai Abdi Negara seharusnya bisa menjaga harga diri Republik ini biar tidak cemar. Rusak negara ini kalau polisi seenaknya. Bekerjalah profesional, transparan, dan jujur. Negara tidak boleh kalah dengan polisi. (sws)
Bom Yang Tidak Dianggap
SETELAH sidang eksepsi Habib Rizieq Shihab (HRS), Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjadi bulan-bulanan di media sosial soal perannya dalam kejadian kerumunan bandara Sukarno-Hatta, saat kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) dari pengasingan di Tanah Suci. Pernyataan polisi mengenai satu pelaku penembakan 6 Mujahid anggota laskar FPI yang mati kecelakaan, menuai kecaman dan bullyan yang bertubi-tubi. Utang yang meroket dan rencana impor beras yang membabi-buta, membuat jagad medsos bersatu dan berteriak. Bahkan, kebijakan sosial soal pelarangan mudik yang tak masuk akal, kontan berhasil dipatahkan oleh rakyat. Kemarin seluruh provinsi mencatat penambahan kasus baru Covid. Bahkan KIPI merajalela di mana-mana, dan rakyat diliputi ketakutan. Yang paling mengerikan bagi rezim, suara Takbir sudah berkumandang di banyak pelosok negeri. Bahkan, tak terkecuali para santri tradisional NU di kampung-kampung mengaji sambil berurai air mata menyaksikan ulama dibui, dikerdilkan dan dicaci-maki. Di kampung Muhammadiyah apalagi. Rasa persatuan rakyat yang rasional, mereka yang tak ikut makan dana haram, dan masyarakat yang muak tingkat dewa kepada ocehan gerombolan buzzeRp, sudah kian keras mengkristal. Rasa jijik kepada rezim Jokowi yang korup sudah memenuhi ubun-ubun dan rawan pecah. Rezim pun ketakutan. Saling lempar tanggung jawab antara Polri dan PPATK dalam kasus pembekuan 92 rekening FPI juga mencuat. Terjadi perang terbuka antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Bulog, dalam kasus beras impor. Sampai-sampai presiden dipaksa tampil untuk menenangkan, meski kelihatan tak percaya diri. Tampak jelas bahwa ia pun tak percaya kepada ucapannya sendiri. Eskalasi puncak pun terjadi. Kebocoran informasi tak terelakkan. Indonesia leaks. Data-data pribadi para polisi-penjahat membanjiri jagad medsos. Posisi dan pengungkapan identitas para dalang yang menjadi otak Unlawful Killing kian rawan. Sontak komandan eksekutor lapangan pun disembunyikan. Lalu fakta palsu dirancang dengan tergesa-gesa. Berkejaran dengan mastermind pembocor data kepolisian. Ternyata sandiwara kematian satu pelaku kemarin tak mempan. Perancang berotak abal-abal yang di dalam darahnya mengalir duit haram, kalah pintar dengan rakyat yang pintar dan super kritis. Martabat polisi malah kian hancur. Kepercayaan kepada Jokowi drastis melorot. Apapun pendapat para menteri dicibir dan dimentahkan. Baru terjadi sekali ini di dalam sejarah pemerintahan Indonesia, seluruh anggota kabinet tidak dianggap. Dari sosok presiden, menteri, hingga partai pengusungnya, dianggap bromocorah negara. Perusak dan penghancur tatanan demokrasi yang dibangun rakyat dengan penuh kesabaran, darah, keringat dan air mata. Situasi ekonomi dan sosial negara sudah genting. Perut lapar berpasangan dengan kepala panas. Kepercayaan telah musnah. Kemarahan membludak di mana-mana. Revolusi rawan meledak. Upaya apapun yang dilakukan sudah tak dipercaya oleh rakyat. Kalian ledakkan puluhan bom sekaligus pun, tidak akan meredam suara Takbir. Perhatian rakyat tak akan teralihkan. Perlawanan sedang dalam perjalanan menuju puncaknya..!
Kepada Yang Mulia Prof. Dr. M. Syarifuddin, Ketua Mahkamah Agung
Ketika menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal dalam banyak kejadian, aturan atau formula itu tidak dapat deterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Untuk itu, tetap diperlukan proses kreatif untuk menjejaki kemungkinan lain di luar dari aturan atau formula tersebut. Disini, seni berfikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan untuk mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah tempat yang disebut heurestika, karena berupaya menemukan solusi (Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH.) HUKUMLAH Habib Rizieq seberat-beratnya sesuai dengan kadar kesalahannya, bila ditemukan bukti-bukti di persidangan bahwa beliau memang bersalah. Sebaliknya, bebaskan Habib Rizieq bila tidak ditemukan bukti di persidangan kalau beliau bersalah. Namun di atas semua, harap Yang Mulia jangan membuat kebijakan, atau apapun namanya yang membatasi masyarakat pers untuk menyaksikan dan meliput fakta-fakta yang mungkin muncul dari persaidangan ini. Persidangan ini diikuti tekdakwa Habib Rizieq dengan rombongan penasehat hukumnya. Ada juga kawanan Jaksa Penuntut Umum (JPU), serta Yang Mulia Ketua dan dua anggota Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kami tentu saja berprasangka baik (husnudzon) bahwa semua yang terlibat dalam persidangan Habib Rizieq Sihab dan lima pentolan Front Pembela Islam (FPI) ini adalah orang-orang yang taat kepada hukum. Mereka semua orang-orang yang sedang diuji ketaatannya kepada hukum di republik ini. Sayangnya, mereka bukanlah malaikat yang tidak punya kekurangan,dan kesalahan selama persidangan ini berlansung. Kekurangan itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab setiap insan pers sebagai masyarakat sipil dan kekuatan keempat dari pilar demokrasi (civil society the dan four of state democration) untuk mengkritisi dan mengoreksinya. Wajah Baru Peradilan Dunia peradilan Indonesia, kini tampil dengan wajah baru, yang jorok, busuk dan primitif. Sebab pers dibatasi ruang geraknya untuk meliput sidang perkara di pengadilan. Ini telah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada persidangan perkara Habib Rizieq Sihab. Dalam sidang perkara ini, insan Pers tak diberi akses bebas sebagaimana biasa mereka nikmati pada setiap peliputan persidangan selama ini. Prilaku pengadilan yang aneh, jorok, tolol dan menakutkan kebebasan pers. Andai saja pembatasan akses itu sepenuhnya dibuat majelis hakim, karena independensi mereka menyelenggarakan sidang, tetap saja itu menakutkan. Bahkan sangat jorok andai pembatasan terhadap kebebasan insan pers mendapat informasi itu dilakukan atas perintah, imbauan atau apapun namanya dari Mahkamah Agung. Pembatasan ini, andai dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas Surat Edaran atau Instruksi atau apapun itu namanya dari Direktur Jendral Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung, jelas jorok, jijik dan busuk. Karena kenyataan ini menjelaskan satu hal, yaitu independensi hakim ternyata dapat dipatahkan, diinjak-injak dan robek-robek oleh induknya Mahkamah Agung, semudah orang gila merobek-robek selembar kertas tisu. Independensi hakim jadinya tidak lebih dari sekadar topeng rusak dipakai oleh pengembala domba. Ini menyedihkan, jorok, sekaligus menakutkan. Untuk alasan apapun, tindakan ini tidak memiliki nalar hukum di negeri ini secara obyektif. Itu sebabnya sikap ini sangat pantas dikutuk sebagai sikap, yang selain merusak independensi hakim, juga merusak demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil. Tahukah tuan-tuan yang dipanggil dengan “yang mulia” itu ketika independensi melayang, maka keadilan hancur berkeping-keping. Keadilan berubah dan mengambil wujud sebagai penindasan. Hakim dan pengadilan dengan sendirinya menjadi perpanjangan tangan aparatur dan lembaga penindas. Pejabat-pejabat administrasi di Sekertariat Jendral Mahkamah Agung harus tahu itu. Bukan hanya sekadar tahu bahwa independensi itu diciptakan untuk memahkotai hakim-hakim. Tujuannya sangat mulia, agar hakim dan pengadilan menjadi benteng keadilan rakyat. Bukan alat produksi ketidakadilan dan benteng rezim oligarkis dan konglomerasi busuk, picik, dan tamak. Andaikan benar sikap majelis hakim membatasi pers itu disebabkan Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum, maka tidak ada alasan sedikit untuk Ketua Mahkamah Agung menutup mata terhadap masalah ini. Ketua Mahkamah Agung, yang bergelar profesor doktor ilmu hukum itu tidak bisa membiarkan dunia peradilan dirusak dengan surat edaran, instruksi atau apapun dari pejabat administrasi di lingkungan Kesekjenan Mahkamah Agung. Tidak bisa itu. Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifudin SH. MH, kalaulah Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum benar ada, maka itu sangat membahayakan keadilan dan kebebasan di republik ini. Sebab sebagai the four of state democration, meskipun tanpa digaji oleh negara, insan pers wajib hukumnya untuk mengawasi dan mengkritisi setiap penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat. Diskresi konyol dan tolol melalui surat edaran atau instruksi sejenis itu, tidak bisa dibiarkan. Ini benar-benar merusak dunia peradilan dan keadilan Indonesia. Orang-orang administrasi itu, harus diingatkan untuk segera mencabut edaran, andai edaran itu benar-benar telah diterbitkan. Mengapa? Pertaman, kenapa baru sekarang diterbitkan? Apakah Ketua Mahkamah dapat menemukan argumen logis untuk menghindarkan konteks Edaran itu terkait dengan perkara Habib Rizieq Shihab? Sepintar apapun Ketua Mahkamah Agung yang Profesor Doktor ilmu hukum itu, pasti tidak bisa. Itu karena, momentum terbitnya surat edaran tersebut bersamaan. Setidaknya berada dalam kerangka keriuhan sidang Habib Rizieq Shihab. Telah menjadi kenyataan umum, semula sidang Habib Rzieq Shihab itu dipaksakan online.Kemudian berubah jadi ofline. Perubahan itu terjadi setelah debat panas antara Habib Rzieq Shihab dengan Jaksa Penuntut Umum, yang diramaikan oleh Majelis Hakim. Seperti itulah esensinya, suka atau tidak. Kedua, Ketua Mahkamah harus bersikap tegas menindak orang-orang administrasi itu, karena surat edaran itu, andai benar-benar ada, dapat ditafsir secara liar oleh orang banyak bahwa keadilan dalam kasus ini benar-benar sudah dihancur. Hukuman terhadap Habib Rizieq benar-benar telah disiapkan. Sidang ini tidak lebih dari sekadar membangun legitimasi konyol bahwa kasus ini pernah disidangkan. Hukuman itu, dengan demikian bisa dipesan. Itu artinya persidangan tidak berlangsung menurut prinsip-prinsip hukum. Putusan bisa dipesan atau ditetapkan sebelum sidang, bukan sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam dunia hukum. Ini pengadilan khas rezim totaliter Nazi Jerman Adolf Hitler. Pengadilan diselengarakan sesuai prinsip koordinasi antara pengadilan dengan rezim. Bahaya sekali Yang Mulia. Sebagai professor dan doktor ilmu hukum, Ketua Mahkamah Agung harus tahu, bahwa kebabasan pers untuk mendapat informasi, tidak pernah dan tidak mungkin dengan alasan apapun, didelikan pada pers itu sendiri. Pers dimahkotai dengan kebebasan mendapat dan menyebarkan informasi. Karena hanya dengan cara itulah keadilan yang menjadi esensi bernegara. Dengan itu pula kemuliaan setiap orang dalam republik dapat diberi jaminan maksimum. Syarat Berdirinya Amerika Kebebasan mendapatkan dan menyebarkan informasi yang didapat di tengah masyarakat adalah cara merawat akal sehat dalam kehidupan. Bukan hanya akal sehat dalam bernegara, tetapi juga bermasyarakat. Itu adalah cara orang-orang waras menjaga energi kehidupan di republik ini. Sebab energinya adalah informasi itu memberi setiap orang memiliki kesempatan berpikir dan membangun harapan untuk kehidupannya di masa depan. Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, karena kebebasan pers itulah yang menjadi esensi penolakan dari ke-13 Negara Bagian untuk ikut bergabung dan meratifikasi UUD Amerika Sertikat, yang dibuat pada Philadelphia Constitutional Convention 1787. Empat tahun kemudian, amandemen pertama UUD Amerika Serikat itu, yang berisi sepuluh pasal, yang di dalamnya termasuk kebebasan pers. Yang Mulia pasti tahu bahwa masalah kebebasan pers harus dibuat dan dijadikan sebagai imbalan terbesar terhadap 13 Negara Bagian untuk membubuhkan tanda tangan untuk bergabung dan menerima UUD Amerika Serikat tahun 1791. Begini bunyinya, “Kongres dan Presiden Amerika Serikat dilarang membuat rancangan undang-undang yang membatasi kebebasan pers”. Berfikir untuk membuat rancangan UU yang membatasi kebebasan pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. Apalagi sampai membuat rancangan UU-nya, dipastikan dilarang lagi. Karena persoalan kebebasan pers itu menjadi salah satu syarat utama berdirinya negara Amerika Serikat. Yang Mulia Pak Ketua Mahkamah Agung, tahun 1734 terjadi satu kasus menarik dalam soal kebebasan pers ini. John Peterzenger menulis kriitik bahwa warga jajahan tidak mendapatkan pengadilan yang fair. Kritik ini dinilai kotor, menyinggung pemerintahan jajahan (Inggris). John Peterzenger lalu diadili. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Para Juri membebaskannya. Zenger, dalam sidang perkaranya dengan setengah mengatakan bahwa dia punya hak untuk mengeritik. Bahkan kritik yang dianggap cemohan oleh pejabat publik, sepanjang kritik itu benar, sah-sah saja. Inilah salah satu tonggak sejarah tentang kebebasan pers. Tahun 1798 James Thomson Callender, didakwa membuat tulisan “fitnah” karena menyebut Presiden John Adam di tahun 1800 sebagai “penghasut tua bangka yang tangannya berbau busuk darah”. Callender dihukum. Tetapi segera setelah John Adam tersingkir dari kursi presiden, dan digantikan oleh Thomas Jefferson, James Thomson Callender dibebaskan. Tahun 1868 Amerika kembali melakukan amandemen ke-14. Amendemen ini menguatkan hak setiap orang untuk hak hidup. Memiliki kebebasan dan memiliki harta benda. Hak-hak ini tidak boleh dicabut, tanpa melalui due process of law. Itu sebabnya Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam sejumlah kasus menjadikan kebebasan pers mendapatkan dan menyebarkan informasi, termasuk orang berpendapat harus diperluas. Sutherland, Hakim Agung pada Supreme Court Amerika Serikat berpendapat terminologi “liberty” itu sangat luas, dan mencakup beragam kebebasan yang dijamin dalam amandemen ke-14. Amendemen ke-14 dinilai sebagai penegasan due process clause. Bagi Hakim Agung Sutherland , semua pembatasan kebebasan yang dilakukan oleh negara menjadi tidak sah, sekalipun dilakukan dengan menggunakan UU masih berlaku. Sudahlah, hentikan semua pembatasan pada sidang perkara Habib Rizieq Shihab dan lima anggota FPI lainnya. Apalagi kalau, misalnya hukuman untuk dirirnya telah dikordinasikan dan ditetapkan. Justru semakin tidak ada faedahnya menutup-nutupi sidang dari pers. Mau sembunyikan dakwaan Jaksa yang dinilai oleh pengacaranya dan habib Rizieq menyesatkan itu? Kan tidak mungkin. Mau sembunyikan perilaku Jaksa penuntut umum? Bagiamana caranya? Tidak mungkin juga bisa disembunyikan. Jadi pilihan terbaiknya adalah buka akses seluas-luasnya untuk pers meliput. Peradilan ini akan dinilai orang sebagai “dagelan jorok dan tolol”, bahkan pengadilan sebagai alat rezim ini, bila pembatasan terhadap pers masih ditemukan pada sidang-sidang berikutntya. Terakhir Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, lakukan langkah-langkah kecil, namun penting dan strategis. Langkah yang sesuai jiwa dan kebesaran “Heurestika Hukum” yang sangat top, berkelas dan mengagumkan itu. Tujuannya untuk menyelamatkan wajah hukum republik ini yang sudah bopeng dan membuat rakyat apatisme. Kini hanya tinggal lembaga peradilan, yang dengan segala kelebihan dan kekuarangannya di sana-sini, masih diharapkan oleh rakyat. Lembaga peradilan masih dipercaya untuk menabur setitik mozaik keadilan di tengah kegalapan hukum yang sudah terlanjur amburadul dan berantakan ini. Apalagi adanya terobosan dan kebesaran “Heurestika Hukum” dari Yang Mulia.
Sidang Habib Rizieq Ujian Apakah Hukum Masih Tegak
MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur akhirnya menghadirkan Habib Rizieq Shihab (HRS), di persidangan secara langsung (offline). Keputusan Majelis Hakim diambil setelah melalui perdebatan sengit dan berlarut. Diwarnai pemaksaan ke ruang sidang terhadap HRS. Serta aksi walk out oleh pengacara dan HRS. Alotnya mejelis hakim mengambil keputusan. Ngototnya Jaksa Penuntut Umum (JPU), agar persidangan dilaksanakan secara daring (online), sangat mengherankan. Argumen hakim dan jaksa, hal itu sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan menegakkan protokol Covid-19, sejak awal dengan mudah dipatahkan. Kehadiran terdakwa sebagai orang bebas, tanpa tekanan di pengadilan, diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Posisi UU jelas lebih tinggi dibandingkan Perma. Tidak bisa sebuah UU dikesampingkan begitu saja oleh Perma. Apalagi Perma tidak masuk dalam hirarki hukum. Hanya berlaku secara intenal. Mengesampingkan UU atas nama penegakan Perma, adalah perbuatan sesat dan menyesatkan. Dalam Perma pun diatur, sidang secara daring bisa dilaksanakan bila mendapat persetujuan terdakwa. HRS sejak awal menolak. Dia menginginkan persidangan secara offline. Sebagai terdakwa yang sangat dirugikan, HRS ingin hadir di persidangan. Mempertahankan haknya. Berhadapan langsung dengan para jaksa, para saksi. Beradu argumen secara terbuka, tanpa dibatasi kendala teknis. Mulai dari jaringan internet yang tidak stabil, suara dan gambar terputus-putus, serta hal-hal teknis yang tidak berkaitan dengan hukum. Keputusan berhadapan, berkonfrontasi langsung dengan para jaksa dan saksi ini tampaknya dipandang sangat perlu oleh HRS. Dasar hukum sampai dia dibawa ke pengadilan ini sangat aneh. Penuh kejanggalan dan rekayasa. HRS diajukan ke persidangan karena melanggar protokol kesehatan (prokes). Kerumunan massa di Petamburan, dan Mega Mendung. Dia juga didakwa menyembunyikan hasil swab di RS UMI, Bogor. Karena ketiga kasus itu, dia harus menghadapi tiga persidangan sekaligus. Sejak awal keputusan polisi menyidik kasus ini, dan kemudian menahan HRS sangat mengejutkan. Pelanggaran prokes konskuensinya adalah pembayaran denda. Kalau toh ada pelanggaran pidana, hal itu sifatnya pidana ringan. Tak perlu sampai ada penahanan. Untuk kasus di Petamburan, dia sudah membayar denda Rp 50 juta ke Pemprof DKI. Sejauh ini, denda itu adalah yang tertinggi. Kasus ini bahkan berubah menjadi tragedi. Pelanggaran HAM. 6 orang pengawal HRS tewas ditembak polisi yang melakukan penguntitan. Publik sesungguhnya bisa melihat dengan mata telanjang. HRS menjadi target. Diperlakukan secara dzolim. Pengadilannya sesat. Kasus pelanggaran prokes banyak dilakukan oleh orang lain. Sejumlah selebritas, tokoh, pejabat publik, politisi, bahkan sampai Presiden, juga melakukan pelanggaran. Soal ini dipersoalkan HRS dalam pembacaan nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan Jumat (26/3). Dia menyoroti pelanggaran prokes yang dilakukan oleh Rafi Ahmad dan Komut PT Pertamina Ahok. Mereka berdua hadir dalam pesta tanpa prokes. Kasus Rafi sangat ironis. Dia diangkat sebagai duta vaksin. Pelanggaran dilakukan setelah pada pagi harinya divaksin bersama Presiden Jokowi di istana. Tidak ada tindakan apapun yang dikenakan kepada mereka. Boro-boro diseret ke depan hakim. Denda seperak pun tidak. Presiden Jokowi juga melakukan pelanggaran. Membuat kerumunan. Bahkan berinteraksi dengan warga di Maumere, NTT. Kasus terbaru terjadi di Sumenep, Madura. Kasusnya persis sama dengan kerumunan warga di Petamburan. Ketua Banggar DPR RI dari F-PDIP Said Abdullah menggelar pesta pernikahan putranya. Dia menyebar 20 ribu undangan. Diperkirakan tamu yang hadir, 30 ribu orang. Jalan-jalan di seputar rumah Said Abdullah sampai harus ditutup. Tidak ada tindakan apapun terhadap para warga negara istimewa ini. Mereka adalah orang-orang yang kebal dan tak tersentuh hukum. Untouchable. Mereka semua adalah pendukung pemerintah. Soal menyembunyikan hasil swab, sejumlah menteri di kabinet Jokowi juga melakukan. Media meyebutkan, setidaknya ada 8 orang positif Covid. Sejauh ini hanya Empat orang yang mengakui secara terbuka, atau setidaknya ada keterangan dari stafnya. Mereka adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, mantan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edi Prabowo, Menteri Agama Fachrul Razi, serta Menaker Ida Fauziah. Siapa empat orang lainnya? Tak ada yang mengaku. Belakangan terungkap, salah satunya adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Terungkapnya Airlangga, juga secara tidak sengaja dan terkesan sangat konyol. Nama Airlangga muncul dalam daftar peserta donor plasma convalesen. Namanya muncul karena disebut oleh Menko PMK Muhajir Effendi. Dengan menjadi donor plasma convalesen dapat dipastikan Airlangga pernah terjangkit Covid. Tapi dia tidak pernah mengakui, apalagi mengumumkan ke publik. Airlangga adalah Ketua Komite Penanganan Covid. Dia harus menjadi contoh. Panutan. Mengapa empat orang menteri itu, khususnya Airlangga tak dikenakan hukuman? Tidak diseret ke meja hijau, seperti nasib yang dialami oleh HRS. Dengan fakta-fakta tersebut, sudah seharusnya HRS dibebaskan. Kasusnya batal demi hukum. Sidang harusnya tidak perlu dilanjutkan. Bila hakim masih meneruskan proses pengadilan, apalagi kemudian menjatuhkan hukuman kepada HRS, maka sangat jelas hakim sudah berlaku tidak adil. Dihukum ringan pun HRS tidak pantas. Apalagi dihukum berat. Bila itu yang terjadi, hukum digunakan hanya untuk menghukum kelompok/orang yang berseberangan dengan pemerintah. Sementara kepada para pendukung pemerintah, mulut jaksa kelu. Palu hakim kaku. Melalui forum ini kita kembali mengingatkan, hukum yang disalahgunakan. Hanya tajam kepada oposisi. Tumpul kepada pendukung pemerintah. Akan menimbulkan ketidakpuasan publik. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Percieved in justice. Ini sangat berbahaya. Mengutip ceramah yang pernah disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD di Surabaya, hukum adalah sendi negara. Bila hukum tidak ditegakkan, maka negara itu akan runtuh.**
Mereka Pelantang Rezim, Bukan Penegak Hukum
SULIT mendapatkan keadilan pada model sidang seperti di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (19/03/202) lalu. Sidang yang seharusnya aman dan tertib justru menjadi ajang teriakan para penegak hukum kepada satu orang terdakwa bernama Habib Rizieq Syihab (HRS). Sontak, medsos melampiaslan kegeramannya pada proses peradilan yang dianggap sesat. Masyarakat menghardik kelakuan polisi, jaksa, dan hakim yang memamerkan arogansi kepada hanya satu terdakwa saja. Mereka menampakkan diri sebagai wakil rezim semata, bukan menjadi aparat negara yang diberi amanah menjaga marwah peradilan yang adil, fair, dan bermartabat. Mereka para pelantang rezim, bukan penegak hukum. Di luar gedung pengadilan, pengacara HRS dibendung oleh barisan polisi yang rapat dan membisu. Onggokan manusia-manusia kekar berwarna coklat begitu istikomah dalam diam. Bagai patung mereka disetel untuk tidak bicara sepatah kata pun. Mereka membisu dan membatu. Padahal pengacara HRS mempertanyakan alasan apa polisi menghalangi-halangi penasihat hukum yang ingin memantau jalannya persidangan. Mereka adalah pengacara sah yang dilindungi oleh undang-undang. Sementara di ruang Bareskrim Polri tempat di mana HRS dihadirkan secara daring mendapat perlakuan yang tidak senonoh. Ia didorong dan dipaksa untuk duduk di kursi pesakitan oleh petugas berbaju kotak-kotak warna hitam. Ketidaksenonohan itu tampak di channel FNN TV, di mana HRS diperlakukan dengan kasar dan tak beradab. Bersamaan dengan itu, dari gedung PN Jaktim dalam sidang online yang dipaksakan, seorang jaksa perempuan menggunakan pelantang yang keras selalu memotong pernyataan HRS yang ingin menjelaskan dalil hukum alasan penolakan sidang melalui daring. HRS mengatakan,”Saya punya hak untuk hadir di ruang sidang. Saya bukan tidak mau hadir…” Belum sempat melanjutkan pernyataannya, langsung dipotong dengan kasar oleh jaksa wanita itu, "Mohon ijin majelis, karena kita masih sesuai dengan penetapan No. 221 di mana persidangan dilakukan secara online, kami mohon untuk agenda sidang ini tetap dilanjutkan untuk membacakan dakwaan.” Lalu HRS kembali menjelaskan bahwa ia bukan menolak hadir di persidangan. “Saya siap hadiri sidang kapan pun, tapi sidang offline. Saya tidak mau menghadiri sidang online, karena saya dilindungi UU. Ada KUHAP pasal 154 bahwa saya harus dihadirkan di ruang sidang. Kedua kalau alasanya Perma, di dalam Perma ada dua pilihan, bisa offline, bisa online. Dan saya tidak mau online. Lagi pula Perma posisinya ada di bawah UU. Pada sidang yang pertama, semua bisa hadir di ruang sidang dengan protokol kesehatan.” Lagi-lagi jaksa perempuan kembali memotong pembicaran dengan arogan, jumawa, dan ketus mengatakan, "Mohon ijin majelis kami rasa kita tidak perlu mendengarkan keterangan dari terdakwa. Kami mohon sidang tetap dilanjutkan. Sidang yang terhormat ini tanpa mendengarkan omongan dari terdakwa." Jaksa wanita itu tampaknya pikirannya sudah dirasuki virus kebencian. Bagaimana mungkin seorang terdakwa tidak boleh berargumen di ruang sidang? Jaksa itu lupa bahwa saat itu adalah suasana sidang yang terhormat, bukan sidang jalanan, bukan orasi pelaku demonstrasi, bukan mimbar bebas, dan bukan aksi teatrikal. Proses hukum yang diamanatkan untuk menyelesaikan segala persoalan dengan kepala dingin, tak dihargai oleh para penegak hukum itu sendiri. Polisi, jaksa, dan hakim koor manyanyikan lagu yang sama mengobok-obok hati dan perasaan HRS agar emosinya terpancing. Mereka seenaknya melaksanakan sidang, mereka semaunya melecehkan terdakwa. Nyatanya yang emosi bukan HRS, tetapi masyarakat luas yang masih punya nurani, harga diri, dan iman. Mereka melampiaskan kekesalan dan kekecewaannya melalui media sosial. Profil jaksa dan hakim dibedah. Mereka menghardik proses peradilan yang sangat tidak pantas. Jauh dari teladan baik. Proses peradilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para penegak hukum, justru direbahkan begitu rendah. Proses peradilan yang seharusnya menggunakan otak, pikiran, dan argumen yang tepat, malah dihadapi dengan kekuatan fisik yang penuh intrik. Tak ada kearifan, apalagi kebijaksanaan. Yang tampak hanyalah kebencian yang terus membuncah. Siapapun tak kuasa melawan peradilan sesat seperti ini. HRS hanya didakwa bersalah melakukan kerumunan. Ia harus bertanggung jawab atas kerumunan yang terjadi di acara pernikahan di Petamburan, Maulid Nabi di Tebet, dan sholat Jumat di Megamendung. Hal mana, hari ini hampir semua orang melakukan kerumunan serupa. Lihat saja di pasar, di terminal, di mal, di hotel, di balai-balai pertemuan, tempat ibadah, bahkan Presiden sendiri mengundang kerumunan di NTT. Toh mereka tidak disidik dan dibenci oleh polisi, jaksa, dan hakim. Belakangan, pasca-ketiga acara HRS ternyata tidak meninggalkan jejak kasus Covid19 yang berarti. Hanya ada 23 kasus positif, tetapi tidak tahu sampel dari mana. Panitia pernikahan tidak ada yang positif, panitia maulid tidak ada yang demam dan sesak nafas, dan peserta sholat Jumat di Megamendung tidak ada yang mati. Ketiga acara itu dilaksanakan di ruang terbuka yang memungkinkan penularan virus Corona menjadi sulit. Di Petamburan HRS sudah taat membayar denda. Di Megamendung, sholat dilakukan di Pondok Pesantren yang luas. Arealnya mencapai 30 HA, di atas bukit yang sejuk dan terbuka. Pasca sholat Jumat juga tidak ada yang mati. Ada 6 laskar FPI yang sengaja dimatikan oleh polisi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Inilah tumbal yang mahal harganya yang harus dipersembahkan oleh HRS. Meski demikian, 6 nyawa sebagai tumbal itu tampaknya belum bisa memuaskan rezim. Libido kekuasaannya terus ON sampai orgasme dengan cara memburu HRS sampai lumpuh dan tuntas. Tak perlu butuh waktu lama untuk mewujudkan hajat itu. Kurang dari sebulan ritual tumbal 6 nyawa anak muda tak berdosa, Pondok Pesantren Markaz Syariah dibekukan, santrinya dipulangkan, organisasinya dibubarkan, rekening diblokir, keluarga dan orang dekat HRS dipenjara. Sungguh biadab rezim ini. Kini proses pengadilan untuk para terdakwa sedang dimulai dengan cara dipaksakan, karena dalam kasus yang sama, di luar HRS, tidak ada satu pun yang diproses ke pengadilan. Proses penzoliman terhadap HRS dilakukan secara berjilid-jilid. Tak hanya polisi, jaksa, dan hakim, kini Komisi Yudisial (KY) juga ambil peran. Mukti Fajar Nur Dewata, Ketua KY mengatakan akan mengambil beberapa langkah hukum terhadap Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab karena dianggap telah merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Ingat. HRS bukan ISIS, bukan pemberontak bersenjata, bukan penilep APBN, bukan penggerogot subsidi rakyat, bukan koruptor, bukan pemburu rente impor, bukan makelar kasus, bukan begal partai, bukan produsen narkoba, bukan penyeleweng dana desa, bukan penggarong dana bansos, bukan pemicu kemiskinan di Indonesia. Ia cuma melanggar kerumunan di musim pandemi dan atas perbuatan itu ia sudah membayar denda. Ada jutaan manusia melakukan pelanggaran kerumunan, mengapa HRS diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi? Sampai kapan umat akan dijejali tontonan sadis seperti itu. Sampai kapan kita dipaksa menyaksikan cucu Nabi Muhammad dilecehkan dan direndahkan? Para pelantang rezim, teruslah berulah dan beraksi, tetapi ingat, ada deadline. Jangankan cucu Rasulullah yang memohonkan pembalasan dan laknat Allah atas polisi, jaksa, dan hakim yang menzaliminya. Doa orang biasa saja bisa diijabah. Sekadar mengingatkan, dulu ada cerita yang patut dikenang. Ketika Amrozi dan Imam Samudra cs divonis mati pada tahun 2003, mereka tidak terima karena menganggap banyak bukti yang direkayasa. Salah satu dari mereka berujar setelah vonis dibacakan di persidangan, "Sebelum saya dihukum mati maka bapak hakim duluan yang akan mati." Dan benar. Matilah Ketua Majelis Hakim Made Karna Parna pada tahun 2007, jauh lebih awal dari waktu eksekusi mati Amrozi cs. Begitu juga dengan nasib Urip Tri Gunawan, jaksa penuntut Amrozi. Ketika jaksa Urip akan memberikan sepatu baru agar terdakwa dapat tampil wajar saat hadir di persidangan, terdakwa mengatakan, "Saya tidak mau dibelikan sepatu dari hasil korupsi." Apa yang terjadi? Pada tahun 2008, jaksa Urip Tri Gunawan yang sangat populer itu, ditangkap atas kasus korupsi. Dia kedapatan menerima suap dalam kasus BLBI dan diganjar hukum 20 tahun penjara. Ada juga orang sepanjang hidupnya benci terhadap Islam. Ia adalah Musakkir Sarira, Ketua DPRD Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara tewas ditikam istrinya sendiri, pada 2017. Semasa hidup ia sangat aktif membenci umat Islam di media sosial. Yang ini lebih miris lagi. Seorang warga keturunan bernama Kiky Wilisata tewas karena kecelakaan saat mengendarai mobilnya di Jakarta Barat tahun 2017. Semasa hidup, Kiky sering menghina ulama di akun facebooknya. Ia juga mengolok-olok kalimat Takbir dan memplesetkannya menjadi "Take Beer". Dua bulan setelah pelecehan tersebut, ia tewas mengenaskan dalam mobil yang ia kendarai sendiri. Mobilnya jatuh ke Kali Sekretaris, Jakarta Barat yang airnya keruh kecoklatan, mirip warna minuman beralkohol, bir hitam.
Umat Digiring ke Jalan Buntu
SUKA atau tidak suka, persepsi publik tentang prosekusi (prosecution atau tindakan hukum) terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) adalah kebijakan politik yang sengaja ditempuh oleh para penguasa untuk membungkam umat Islam. Singkatnya, prosekusi terhadap Habib kemudian berubah menjadi persekusi (persecution atau pengejaran alias penggencetan alias penindasan). Mengapa prosekusi terhadap HRS dilihat sebagai persekusi terhadap umat Islam? Tak lain karena HRS belakangan ini dianggap mewakili umat dan merepresentasikan kalangan ulama garis lurus. Kalau ada yang membantah, silakan saja buka catatan tentang kemampuan HRS mengajak umat masuk ke barisan oposisi terhadap kekuasaan. Para penguasa perlu diingatkan bahwa prosekusi terhadap HRS bisa bergulir menjadi pemicu diskonten yang meluas. Sebab, prosekusi yang kini berubah menjadi persekusi itu bermula dari masalah yang lebih banyak berbentuk “cari-cari perkara” ketimbang proses penegakan hukum murni. HRS ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka dan kemudian didudukkan sebagai terdakwa hanya gara-gara kerumunan Covid-19 yang sebenarnya terjadi di mana-mana dan berulang-ulang. Termasuk kerumunan yang dipicu oleh kunjungan Presiden Jokowi ke Maumere, NTT, belum lama berselang. Banyak kerumunan besar lainnya yang berlangsung tanpa prosekusi –apalagi persekusi. Kemudian, penguasa mencarikan kasus lain supaya tuduhan dan dakwaan terhadap HRS bisa berlapis-lapis. Beliau dijadikan tersangka swab test di RS Ummi Bogor. Seterusnya, HRS didakwa melakukan penghasutan. Terkesan pasal-pasal pidana untuk HRS diolah sebanyak mungkin. Dengan tujuan agar pemimpin umat yang didengar oleh puluhan juta orang itu bisa didelegitimasikan. Tidak hanya dicari-carikan pasal pidana untuk beliau. Para penguasa malah membuka kembali sejumlah kasus yang sudah dihentikan, termasuk kasus chat mesum. Pokoknya, karisma dan wibawa HRS harus direduksi. Dengan segala cara. Tak cukup sampai di situ, ormas yang dibina HRS, dibubarkan. Hingga entitas pendidikan agama yang berada di bawah arahan Habib pun ikut dijadikan sasaran. Semua ini bertujuan untuk mengerdilkan HRS dan mengamputasi hubungan antara beliau dengan umat yang merasa sejalan dengan sikap kritis Habib yang selalu berpendirian “benar, katakan benar; salah, katakan salah”. Tindak-tanduk kotor para pemegang kekuasaan terhadap HRS sangat mungkin akan menambah keyakinan bahwa umat garis lurus memang sengaja digencet. Sengaja ditindas. Ini sangat berbahaya. Sebab, anggapan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa itu berbanding terbalik dengan perlakuan ramah dan akomodatif terhadap orang atau kelompok yang jelas-jelas melanggar hukum. Kita sudah lelah menyebutkan contoh-contoh perlakuan diskriminatif itu. Daftarnya terlampau panjang. Yang mengherankan, para penguasa terlihat menikmati anggapan publik bahwa mereka melakukan penindasan. Menjadi ingin bertanya: mengapa mereka begitu percaya diri melakukan semua itu? Apa sebenarnya yang sedang mereka kerjakan? Para penguasa pastilah menolak dikatakan melakukan penindasan. Meskipun itulah yang mereka programkan. Tapi, ada satu hal yang mungkin saja mereka sadari. Atau, bisa jadi juga tidak mereka sadari. Bahwa tindakan mereka memojokkan, membungkam atau menindas itu akan menggiring umat ke jalan buntu. Ini yang perlu dicermati. Sebab, berada di jalan buntu berarti berada dalam situasi “no choice” (tidak ada pilihan). Di jalan buntu, duduk atau berdiri tegak, sama saja. Diam atau bergerak, tidak berbeda. Bahwa Anda akan menghadapi situasi hidup-mati.[]
Dilarang Menampar Muka Presiden
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) dengan tegas menolak wacana presiden tiga periode. Penolakan ini ia sampaikan beberapa hari setelah wacana ini menyeruak ke publik. Ketika itu Jokowi langsung mengatakan, "Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode, itu ada tiga. Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, padahal saya punya muka. Ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja, sudah saya sampaikan," ucap Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2019). Tampaknya Jokowi ngeri membayangkan proses penurunan presiden yang dialami Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Soekarno dijatuhkan melalui Sidang Istimewa MPRS di tengah wacana Presiden Seumur Hidup. Soeharto dimundurkan oleh gerakan mahasiswa, hanya tiga bulan setelah pernyataan kebulatan tekad yang dikuatkan oleh MPR, dan Gus Dur diturunkan saat belum genap dua tahun memimpin, gara-gara terlibat Buloggate dan Bruneigate. Jokowi sepertinya tidak mau bernasib seperti mereka. Maka dari itu ia tidak mau latah mempertahankan kekuasaan yang memabukkan di tengah eforia yang mewabah. Jokowi pasti sadar bahwa saat ini masih banyak persoalan bangsa yang lain yang perlu sentuhan tangannya. Banyak pekerjan mendesak untuk diselesaikan dengan baik oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, di tengah pandemi covid-19 yang belum juga melandai ini. Tak hanya itu, Jokowi juga mafhum utang menggunung, pengangguran merajalela, korupsi meroket, isu disintegrasi, dan pertumbuhan ekonomi berjalan seperti keong. Ia ingin fokus di sini. Jokowi juga dikenal sebagai presiden yang taat aturan. Persoalan periodesasi jabatan Presiden sudah jelas diatur Berdasar TAP MPR Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang diterbitkan pada 13 November 1998. Ini adalah salah satu amanat Reformasi 1998, sebagai upaya agar tidak mengulangi lagi sejarah kelam era Orde Baru. Jokowi juga fasih bicara landasan hukum. Dalam UUD 1945 juga telah diatur dalam Pasal 7 bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Jadi, jelas secara tersirat dan tersurat, ketentuan yang mengatur tentang periode jabatan Presiden yang dibolehkan menurut konstitusi, adalah maksimal dua periode. Presiden Jokowi dan juga presiden-presiden lainnya, tetap harus tunduk dengan ketentuan UUD 1945 ini, dimana saat dilantik oleh MPR, sudah berjanji sesuai pasal 9 UUD 1945, yang berbunyi : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa akan memegang teguh UUD 1945”. Jadi, jika kita menggunakan nalar rasional, menyimak respons Jokowi perihal jabatan Presiden tiga periode, dengan pilihan kalimat yang relatif keras, sesungguhnya sudah cukup tegas bahwa Jokowi tidak mau melanggar aturan. Wacana presiden tiga periode pertama kali dilontarkan oleh politis Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani akhir 2019, hanya berselang 1 tahun setelah Jokowi dilantik. Wacana itu kemudian direspons oleh partai Nasdem dan kemudian ditangkap oleh Ketua DPR Puan Maharani yang langsung meminta untuk dilakukan kajian. Kini wacana itu kembali digulirkan oleh politisi Partai Gerindra Arief Poyuono. Poyuono mengusulkan UUD 1945 diamendemen agar Jokowi bisa kembali maju sebagai calon presiden pada 2024 untuk periode ketiga. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono juga bisa mencalonkan kembali Selama hampir tiga tahun wacana presiden tiga periode secara sistematis dan masif digulirkan dengan tegas dan jelas. Perdebatan dan pro-kontra sudah digelar. Kajian sudah dianalisa. Dan DPR pun kelak tinggal mengetuk palu. Melihat gelagat tokoh politik dan manuver partai-partai serta loyalitas hidup mati sebagian rakyat, tampaknya presiden tiga periode tak hanya obrolan warung kopi. Apalagi sebagai orang Jawa, Jokowi sama dengan Jawa lainnya, sulit berkata tidak. Mungkin hanya satu yang tegas, yakni menolak membebaskan Habib Rizieq. Dan kelak Jokowi, mirip gadis kampung yang mendapat pinangan seorang pemuda, malu-malu menerima tawaran itu. Bukan tidak mungkin Jokowi pun akan mengeluarkan pernyataan, "Proyek proyek mangkrak akan cepat diatasi kalau presiden tiga periode." Atas nama keberlanjutan pembangunan, keberagaman, dan supremasi sipil, Jokowi harus menerima amanat penderitaan kaum marhaen. Perkara muka tertampar, itu hanya sejarah, kliping koran, atau jejak digital. Jangan terlalu baper dan sentimentil dengan masa lalu.
Moeldoko Ambil Alih Paksa Demokrat, Presiden Happy-Happy
YA benar, Anda tidak salah membaca judul editorial FNN kali ini. Pernyataan itu disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD ketika ditanya oleh Najwa Shihab. Bagaimana reaksi Presiden Joko Widodo ketika mengetahui orang dekatnya Moeldoko mengambil alih secara paksa partai Demokrat. “Presiden kaget. Tapi tidak (uring-uringan). Presiden happy-happy saja,” ujar Mahfud. Kalau Anda terkejut, dan merasa ada yang salah dengan pernyataan itu, maka yang salah adalah Anda. Karena menggunakan standar akal dan nalar sehat. Sebab, standar yang sudah lama hilang dari kehidupan kita berbangsa dan bernegara, sejak Jokowi menjadi Presiden pada tahun 2014. Dalam standar nalar dan akal sehat, sangat tidak patut seorang kepala negara di sebuah negara demokrasi, bersikap happy-happy, mengetahui ada sebuah partai diambil-alih secara paksa. Apalagi, yang mengambil-alih, mengkudeta dan membegal itu anak buahnya sendiri, Kepala Staf Presiden, Moeldoko. Dengan standar yang sama, seorang Menko Polhukam juga harusnya tidak mungkin mengungkap frasa “Presiden happy-happy,” kepada publik. Mahfud MD harusnya tahu, kata itu menunjukkan, betapa sudah hancur leburnya standar moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau toh benar Presiden mengungkap perasaan hatinya dengan frasa itu, adalah kewajiban dari Mahfud MD sebagai Menko Polhukam untuk menyaringnya. Menyampaikannya dengan bahasa yang lebih halus. Lebih diplomatis. Atau bahkan sama sekali tidak perlu diungkap kepada publik. Ucapan itu sama sekali tidak layak muncul dari seorang Presiden. Juga sangat tidak layak disampaikan seorang Menko Polhukam. Akan tetapi, itulah Mahfud MD. Itulah Jokowi. Bagi yang sudah hafal dengan gaya keduanya berkomunikasi, mengurus negara, hal itu sesungguhnya sama sekali tidak mengejutkan. Pengambil-alihan sebuah parpol, akuisisi politik melalui pecah belah, sudah menjadi pola baku bagi pemerintah untuk menundukkan parpol oposisi. Kita bisa menyebut sederet fakta mulai dari perpecahan di tubuh Partai Golkar, PPP, PAN, bahkan sampai partai yang tidak lolos parlemen Partai Berkarya. Hanya modusnya yang berbeda. Relatif lumayan halus. Seolah itu persoalan internal. Masih coba main cantik. Aksi Moeldoko jelas sangat berbeda. Menggunakan terminologi bisnis, ini adalah hostile take over! lebih kasar dibandingkan dengan proses akuisisi. Dia bukan kader Partai Demokrat. Secara resmi dia kader Partai Hanura. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum. Jadi, atas dasar apa dia kemudian bisa terpilih menjadi Ketua Umum melalui sebuah Kongres Luar Biasa (KLB)? Tidak perlu kaget kalau para pengurus Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono menyebutnya secara tidak hormat. KLB Abal-abal. Sementara untuk Moeldoko sebutannya lebih tidak terhormat lagi. “Begal Parpol.” “Pembajak Parpol.” Seorang Kepala Staf Presiden. Jenderal bintang empat. Pernah menjadi Panglima TNI disebut sebagai begal. Presiden pun happy-happy? Kita hanya bisa mengelus dada. Tidak salah kalau Presiden Jokowi kemudian dituduh berada di balik aksi yang sangat kasar dan tidak terhormat itu. Alih-alih mengambil tindakan tegas. Memecat Moeldoko. Presiden malah happy-happy saja. Kerusakan lebih parah seperti apa lagi yang akan terjadi pada negeri ini. Sebagai institusi pers kami ingin menggunakan hak konstitusi kami. Secara kelembagaan FNN dengan tegas menyatakan. “Pak Presiden kami tidak happy dengan kondisi negeri ini.” “Kami tidak happy dengan cara Anda mengelola negara ini.” “Kami tidak happy bahwa ada tanda-tanda yang sangat jelas Anda membahayakan demokrasi dan membawa negara ini ke jurang otoritarianisme.” **
Apakah Baju, Kaos dan Celana FPI Juga Terlarang?
Jakarta FNN – Kamis (31/12). Rabu siang kemarin menjadi hari dan siang yang gelap untuk Front Pembela Islam FPI. Pemerintah Joko Widodo mengambil sikap tegas terhadap mereka FPI. Sikap itu dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Surat Keputusan Bersma (SKB) itu bernomor 220-4780 tahun 2020, Nomor M.HH-14.HH.05.05 tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/2020, Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). SKB ini berlaku sejak hari Rabu (30/12). Dalam SKB tersebut, pemerintah meminta masyarakat tak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan penggunaan segala simbol dan atribut FPI. Masyarakat juga diminta melaporkan kegiatan yang mengatasnamakan dan memakai simbol FPI. Jelas semuanya terang dalam SKB tersebut. Begitulah demokrasi dan hukum bekerja di republik Indonesia. Atas nama hukum dan ketertiban, serta dengan satu diskresi kecil bernama SKB, FPI menemui akhir hayatnya secara permanen untuk berkegiatan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Berakhir pula, hak-hak orang FPI menggunakan simbol dan atributnya. Orang-orang FPI mungkin akan melihat larangan penggunaan atribut dan simbol FPI sebagai satu tindakan tata usaha negara. Tindakan yang menimbulkan kerugian material dengan nyata. Mungkin itulah yang membuat mereka FPI seperti mempertimbangkan untuk mengambil langkah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Andai betul orang-orang FPI bakal membawa SKB tersebut ke PTUN, ini paling hebat. Itu terlihat kalau orang-orang FPI sangat dan lebih mengerti serta memahami hukum positif di negeri ini. Mereka FPI juga masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada lembaga peradilan. PTUN pasti tidak bisa menolak memeriksa gugatan FPI itu. Namun bagaimana akhirnya? Itu soal lain. Kalah atau menang di pengadilan, itu soal lain. Sehebat itu sekalipun, tampaknya tidak akan lebih hebat dari SKB yang datangnya secara tiba-tiba itu. Tidak ada wacana, tidak ada perdebatan di publik sebelumnya. Tetapi tiba-tiba keluarlah SKB tersebut. Itu yang hebat betul dari SKB tersebut. Terlihat canggih. Karena tak terprediksi sebelumnya. Sama sama canggihnya dengan datangnya somasi dari PTPN VIII terhadap Habib Rizieq tentang lahan yang di atasnya dibangun pesantren. Soal lahan pasantren ini juga tak terprediksi. Tak terduga oleh FPI. Pemerintah terlihat selalu canggih. Dapat menemukan cara yang tak terduga dalam menangani FPI dan Habib Rizieq. Cukup cermat pemerintah menggunakan energinya mengenali detail-detail FPI dan Habib Rizieq. Ini juga mungkin menjadi keunggulan pemerintah disatu sisi. Sementara disisi lain menjadi kelemahan terbesar FPI. Sebab orang-orang FPI juga mungkin tak memperkirakan pemerintah sewaktu-waktu menggunakan kewenangannya. Tentu dengan efek kejut yang dapat bekerja seketika. Apakah soal kemampuan memprediksi itu, harus dimiliki oleh orang-orang FPI? Itu urusan mereka. Apakah demokrasi yang begitu diagungkan saat ini? Sehingga menjadi sebab orang-orang FPI tidak memprediksi hal-hal tak terduga dapat dikenakan pemerintah kepada mereka? Entahlah itu. Namun andai saja orang-orang FPI bersandar pada demokrasi, sehingga memiliki kepercayaan bahwa mereka tidak akan tertimpa hal-hal tak terduga. Tampaknya itu keliru untuk negeri ini sekrang. Demokrasi memang andal. Tetapi jangan lupa, demokrasi itu menjadi andal, agung, indah, hebat dan bermartabat, hanya jika berada dan dikelola oleh orang-orang besar. Ya mereka tingkat para negarawan. Misalnya Bung Karno sepanjang tahun 1945 hingga 5 Juli 1959. Kendati menjadi Presiden simbolik sepanjang tahun itu, Bung Karno tidak mengambil tindakan yang aneh-aneh. Belajar Dari Megawati dan SBY George Washington, Presiden pertama Amerika, juga negarawan. Presiden pertama Amerika itu sangat top dan membanggakan di eranya. Bagaimana tidak. Kendati tahu bahwa UUD tidak mengatur pembatasan berapa kali seseorang memangku jabatan Presiden Amerika, namun George Washinton tak mau menjabat untuk ketiga kalinya. Hebat sekali dia. Begitulah kalau negarawan yang memimpin bangsanya. Mereka bukan negarawan kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Mereka tak tergoda dengan apa yang ilmuan politik sebut d Idea of Power. Jangan lupa kekuasaan itu sangat menggiurkan. Kekuasaan itu gurih. Kekuasaan punya daya tarik, daya goda untuk digenggam selama-lamanya, dengan cara apa saja. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Habibie, Megawati dan Gus Dur juga memenuhi klasifikasi negarawan hebat itu. SBY misalnya, sepajang pemerintahan yang sepuluh tahun itu, tak melukai orang-orang yang berbeda ekspektasi politik dengan beliau. SBY tidak menggunakan polisi untuk menjebloskan para aktivis yang berseberangan dengannya ke penjara. Kendati berasal dunia tentara, SBY tentu saja sangat tahu tuntutan hakiki demokrasi. SBY mampu mengisi dan menghidupkan tuntutan demokrasi tersebut. Para aktivis kritis era SBY seperti tokoh Malari Hariman Siregar (Gerakan Cabut Mandat), Rizal Ramly (Rumah Perubahan), Adhi Masardi (Gerakan Idonesia Bersih), Adian Nepitupulu (Bendera), Mashinton Pasaribu (Repdem), Haris Rusly Moti (Petisi 28 dan Doekoen Coffe), dan Goerge Adi Tjondro (Buku Gurita Cikeas Seri Satu dan Dua). Bahkan, buku George Adi Tjondro dijawab lagi oleh kubunya SBY dengan membuat buku tandingan. SBY bukan melawan para aktivis dengan penangkapan dan krimilinalisasi. Namun dengan operasi intelijen. Walaupun demikian, nasib buruk menimpa sejumlah aktivis yang berdemo membawa karbau besar dan gemuk di Bundaran Hotel Indondesia bertuliskan “SiBuYa”. Mereka semua yang terlibat aksi demo sapi “SiBuYa” ketika itu kini telah meninggal dunia. Bagitu juga dengan peristiwa Bom Bali, yang sangat menggemparkan dunia tersebut. Menggemparkan dunia, karena tidak kurang dari 200 orang yang mati dalam peristiwa yang membuat semua manusia normal marah itu. Sebagian besar dari korban yang meninggal itu adalah warga negara asing. Namun tidak satupun pelaku Bom Bali yang ditembak mati oleh petugas dalam operasi penangkapan. Peristiwa Bom Bali terjadi di eranya Presiden Megawati. Namun semua tahapan proses hukumnya, sampai dengan perintah eksekusi mati terjadi di eranya SBY berkuasa. Para pelaku Bom Bali yang dieksekusi mati, telah mendapat mandat hukum dari negara melalu perintah resmi lembaga peradilan. Bukan seperti peristiwa tragis yang terjadi pada 6 (enam) anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang ditembak mati oleh petugas polisi di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek. Semua tahapan proses hukum Bom Bali di lewati sampai di ujung. Sampai dengan para pelaku mengajukan Peninjauan Kembali yang ditolak oleh Mehkamah Agung. Bahkan sebelum dieksekusi mati, para pelakuknya masih diberikan kesempatan negara untuk menyampaikan permintaan terakhir kepada para keluarga yang akan ditinggalkan. Permintaan terakhir itu pun sebagian besar dikabulkan oleh negara. Peristiwa Bom Bali ini, penyelenggara negara memperlihatkan kepada dunia kalau Indonesia benar-benar negara hukum (rechtstaat). Bukan negara yang menyalahgunakan kekuasaan (a bus de droit). Namun nagara yang memastikan semua asas dalam due process of law berjalan pada relnya. Densus 88 Polri ketika itu belum terbentuk. Yang ada hanya Satgas Anti Teror Bom (ATB) milik Polda Metro Jaya yang diperbantukan untuk mengusut pelaku Bom Bali. Sebagai negara demokrasi, proses hukum terhadap pelaku peristiwa Bom Bali sangat mengagumkan dan membanggakan. Sebab telah memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia nyata-nyata sebagai negara hukum. Juga hebat dan sangat membanggakan, karena operasinya As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang ketika itu bekerja dengan sangat senyap untuk mengkoordinir semua tahapan proses hukum pelaku Bom Bali. As’ad bekerjasama dengan Jendral Polisi Da’i Bachtiar, Kepolri saat itu. FPI Percaya Demokrasi Berikhtiar hanya dengan mengandalkan demokrasi itu, bukan tak bisa. Tetapi harus pandai, cermat dan cerdas dalam mengenalinya. Mengapa begitu? Sebab demokrasi selalu menyediakan argumen, dengan cara untuk menunjuk keadaan tertentu sebagai justifikasi menggerogoti dirinya sendiri. Itu terjadi di negara-negara yang dikenal sebagai mbahnya negara demokratis. Ketertiban umum atau keamanan nasional (National Security), atau national interest adalah keadaan-keadaan yang digunakan demokrasi untuk membatasi ini dan itu. Ini yang harus dicermati oleh FPI. Dan seperti biasa, pemerintah dengan semua atribut konstitusi yang mereka miliki, selalu menemukan cara menegakan pembatasan-pembatasan itu. Habes Corpus misalnya, pernah ditangguhkan oleh Abraham Linclon pada keadaan tertentu. Apakah keadaan tertentu itu cukup valid menurut akal sehat untuk ditunjuk sebagai justifikasi atau tidak? Namun dalam kenyataannya, pemerintah selalu dapat mempertahankannya. Dalil pembenarannya bisa menyusul. Itu yang dilakukan oleh Abraham Lincoln, Presiden Amerika yang ke-16 itu. Abraham Linclon menerapkannya pada saat beliau menangani perang saudara Utara-Selatan di Amerika. Presiden yang terkenal dengan government from the people, by the people and for the people itu, menangguhkan Harbes Corpus. Itu harga yang dibayar untuk usahanya mempertahankan Union Amerika. Pada masa pemerintahan Woodrow Wilson, Amerika membentuk Espionage Act 1917 dan Sedition Act 1918. Kala itu Amerika sedang terlibat dalam perang dunia pertama. Wilson yang arsitek pemerintahnya adalah Wolter Lipmann, wartawan senior penggagas dan arsitek terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, yang berubah menjadi Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB) sekarang, ketika itu sedang melambungkan faham liberalism untuk dunia internasional. Sisi-sisi inilah mustinya dibaca dan dikenali betul oleh penguasa dan rezim Jokowi. Tampaknya soal ini kami memiliki kemampuan untuk membaca sisi yang sangat elastis tersebut. Sebab salah atau keliru dalam membaca sisi ini, urusan paling rumit bisa datang menjemput tiba-tiba. Mau bagaimana lagi. SKB sudah terbit, dan diumumkan kemarin. Lalu bagaimana dengan baju, Kaos dan Celana yang selama ini dipakai oleh orang-orang FPI? Apakah sekarang menjadi terlarang juga? Sehingga tak bisa untuk dipakai lagi. Namun semoga larangan itu hanya sebatas untuk berkegiatan atas nama FPI saja. Semoga tafsir penegak hukum atas larangan dalam SKB itu di lapangan, tidak melebar hingga meliputi baju, kaos dan celana. Sebab apa jadinya kalau baju, kaos dan celana yang berlogo FPI tersebut dipakai untuk Shalat di Masjid? Apakah akan ikut dilarang juga? Sehingga harus ikut terkena barang yang dirazia? Dalam kondisi pandemi corona yang semakin naik grafik penyebarannya sekarang, semua alokasi keuangan di keluarga masih diutamakan untuk membeli makanan. Untuk bisa makan dan bertahan hidup. Sekitar 70%-80% masyarakat yang punya uang hari ini, belum bisa digunakan membeli baju, kaos, celana dan kebutuhan lainnya Apapun itu SKB pembubaran dan pelarangan FPI ini punya hikmah juga. Hikmahnya adalah tindakan pemerintah bisa tak terduga sama sekali. Sementara tahun 2021, yang tinggal beberapa jam lagi ini, mungkin saja akan menjadi tahun yang penuh dengan kejutan-kejutan. Kita liat saja nanti. Wallaahu Alam Bishawab.
Sisi Gelap di KM 50, Pertanyaan Untuk Kabareksirm?
Jakarta FNN – Senin (28/12). Nyawa 6 (enam) manusia melayang. Nyawa mereka dicabut oleh peluru Polisi di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Kilometer ini dekat Karawang Barat. Menurut keterangan Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, alamarhum-almarhum itu pengawal Habib Muhammad Rizieq Sihab. Mereka, kata Kapolda melawan dan membahayakan nyawa petugas. Tampaknya keterangan itu menjadi titik tolak Polisi terus menyelidiki kasus ini. Tentu saja penyelidikan ini bermaksud membuat terang kasus ini. Tentu tabir-tabir malam yang gelap, hendak dibuat terang, seterangan purnama. Tentu tujuannya, boleh jadi agar hukum tegak. Oke itu bagus. Tapi anehnya, Edy Mulyadi, wartawan FNN.co.id, yang ditugaskan oleh redaksi menginvestigasi kasus itu, dipanggil dan diperiksa penyelidik Polisi. Edy dianggap tahu sebagian kenyataan kasus ini. Padahal Edy Mulyadi tahu karena mewawancarai narasumber. Wawancara itu dilakukan dalam kapasitas Edy Mulyadi sebagai wartawan FNN.co.id Sebagai jurnalis senior, Edy Mulyadi yang 29 tahun menjadi wartawan dan redaksi FNN.co.id tahu benar bahwa pengetahuan kami atas suatu peristiwa hukum yang kami dapat sebagai jurnalis, tidak memenuhi syarat dan kualifikasi untuk dijadikan sebagai saksi. Bagaimana bisa jadi saksi? Kami tidak melihat sendiri, tidak mendengar sendiri atau tidak alami sendiri. Edy Mulyadi kan tahu fakta-fakta itu, karena diceritakan orang kepadanya pada saat memewancarai orang tersebut. Kata orang hukum, sifat pengetahuan Edy itu hanya “de auditu”, dengar dari orang lain. Hukum yang kita pahami bersama tidak menerima “de auditu” untuk jadi bahan kesaksian. Jadi tidak logislah memeriksa Edy Mulyadi yang telah menjadi wartawan sejak tahun 1991 itu. Namun apapun itu, Edy Mulyadi telah diperiksa oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Inila yang menarik. Pemeriksaan itu menggerakan naluri setiap wartawanan untuk menggali sejauh mungkin soal-soal kecil, dengan sisi gelapnya yang terjadi pada peristiwa kilometer 50 ini. Seandainya benar sejak sore hari di rest area kilometer 50 itu telah ada, apalagi banyak Polisi, itu jelas sangat menarik. Apa yang menarik? Apakah jumlah Polisi sebanyak itu telah menjadi kebiasaan, rutin, di rest area itu? Apakah jumlah itu baru terjadi pada sore hari itu? Apakah jumlah itu bertahan hingga malam terjadinya peristiwa mengenaskan itu? Oh iya, polisi yang melakukan penyelidikan, yang akhirnya baku tembak dengan para almarhum, sesuai keterangan resmi Polda, sedang melaksanakan tugas penyelidikan. Tentu saja penyelidikan terhadap Habib Muhammad Rizieq Shihab. Apa yang sedang diselidiki? Ini juga menarik sekali. Siapa di jajaran Polda Metro Jaya, yang menugaskan mereka? Apakah penugasan itu dilakukan secara lisan atau tertulis? Ini harus jelas. Bila perintah itu diberikan secara tertulis, tentu ada surat perintah tugas. Apa diskripsi pemberi perintah dalam surat tugas tersebut? Apa perintah spesifiknya? Intai saja atau tangkap orang-orang itu, atau apa? Apakah di dalam surat perintah itu, berisi perintah mengambil tindakan yang mematikan kepada para almarhum? Rasanya tidak mungkin. Petugas tahu apa yang harus dilakukan bila mereka diserang, yang sifat serangan itu membahayakan keselamatan, bahkan nyawa mereka. Kalau saja perintah tugas itu, terlepas dari diberikan secara lisan atau tertulis, apakah berisi perintah sebatas mengintai Habib Muhammad Rizieq Shihab? Apakah (andai terkonfirmasi) rombongan Habib harus dipepet? Mengintai itu kan esensinya yang penting tahu dimana target yang diintai berada? Sedang berada dia ditempat itu? Dengan siapa saja dia di tempat itu dan seterusnya bla bla bla. Mengetahui keberadaan target, akan memudahkan Polisi, untuk misalnya sewaktu-waktu melakukan penangkapan. Tetapi mengapa andai terkonfirmasi, haruskah Polisi penyelidik memepet kendaraan rombongan Habib? Apakah itu perlu? Semoga tidak ada pepet-memepet. Sekali lagi semoga begitu. Bila tidak begitu, maka ini yang menjadi soal. Sebab mengapa harus dipepet? Sekali lagi, semoga tidak ada pepet-memepet. Sebab, bila pepet-memepet itu ada, maka sulit untuk tidak menjadikan pepet-memepet itu sebagai sebab terdekat, apa yang Polda Meto sebut tembak-menembak itu. Sementara soal tembak-menembak ini benar-benar mengoda naluri setiap yang mengaku diri wartawan. Setiap wartawan, tidak boleh percaya begitu saja kepada salah dari dua pihak yang dianggap bersengketa. Itu wajib hukumnya. Begitulah hukum besi dunia jurnalistik. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jurnalis wajib hukumnya untuk objektif dalam memberitakan satu pristiwa. Soal tembak-menembak yang dikatakan Kapolda Metro Jayaitu, ternyata disanggah oleh Munarman, Sekertaris Umum FPI. Tetapi oke, lupakan saja dulu siapa yang benar, dan siapa yang salah soal tembak-menembak atau menembak tersebut. Lupakan saja dulu itu. Untuk membuat jelas soal ini, wartawan perlu untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Oke, ikut saja logika konfrensi pers Kapolda Metro Jaya. Soalnya adalah siapa persisnya yang mengawali tembakan? Apa yang ditembak? Mobil yang dipakai Polisi? Mobil dinas atau mobil umum yang dipakai Polisi? Pada bagian mana tembakan itu diarahkan? Bagian mana persisnya yang terkena peluru? Berapa peluru? Peluru jenis apa? Anggap saja tembakan diawali oleh pengawal Habib Muhammad Rizieq Shihab, dan petugas penyelidik yang merespon. Respon itu dilakukan dengan cara menembak mereka, sehingga terjadilah baku tembak. Sekalipun beginilah kenyataan yang tak tergoyahkan. Namun tetap saja ada soal. Apa soalnya? Semuanya 6 (enam) orang pengawal Habib Muhammad Rizieq Shihab itu mati. Itu soal besarnya. Apakah keenam almarhum itu tertembak secara bersamaan pada saat itu juga? Apakah keenam almarhum itu semuanya mati ditempat itu? Seandainya tidak, maka ini juga jadi soal lagi. Berapa orang yang mati di tempat itu, dan berapa orang mati di tempat lain. Dimana letak tempat lain itu? Bila semuanya mati di tempat itu, maka soalnya menjadi agak sederhana. Lain lagi, bila mereka semua tidak mati di tempat itu. Apa soalnya? Berapa yang mati di tempat itu, di area kilometer 50, dan di tempat lain? Sementara di tempat lain ini memunculkan soal lain, yang tidak kalah menarik juga. Apakah kematian di tempat lain, padahal sebenarnya mereka telah tertembak di tempat itu, di kilometer 50 itu. Namun pi baru mati di tempat lain? Bila tidak, maka harus ada penjelasan. Penjelasan itu meliputi dua hal. Pertama, soal jarak waktu antara mati di kilometer 50 dengan mati tempat lain itu. Kalau ada almarhum mati ditempat lain, maka soalnya jelas. Soalnya adalah adanya jedah waktu antara mati di area kilometer 50 dengan tempat lain itu. Ini yang benar-benar jadi soal. Apa saja soalnya? Kedua, nah ini jadi sangat teknis. Apa jeda waktu, entah berapa menit atau jam, tidak cukup digunakan komandan pelaksana tugas lapangan untuk melaporkan kepada pemberi perintah tugas itu? Apakah komandan lapangan, berhak mengambil diskresi melakukan tindakan yang berakibat matinya orang? Lain soalnya bila para almarhum mati pada saat yang sama, dan di tempat yang sama. Tentu tidak dibutuhkan laporan itu. Ini yang harus jelas. Ini menyangkut siapa yang bertanggung jawab, dan sampai dimana tanggung jawabnya. Ini berkaitan dengan rantai perintah, atau rantai komando. Bereskah itu? Belum juga. Masih ada pertanyaan menyangkut postur fisik almarhum. Bisakah tembak-menembak, dimalam hari pula, tetapi peluru bersarang pada titik-titik (bagian tubuh) yang mematikan? Kalau titik yang tertembak itu, semuanya mematikan, bagaimana menerangkannya? Menembak kaki, namun kena dada? Bisakah semua tembakan sama sasarannya? Kalau semua sasarannya sama, maka pertanyaannya adalah tembakan-tembakan Polisi itu dimaksudkan untuk melumpuhkan atau mematikan? Soal ini fakta nanti yang bicara. Semoga tidak ada luka di bagian-bagian lain tubuh almarhum. Semoga saja. Namun bila ada, sekecil apapun luka atau cacat kecil itu, tetap saja menjadi persoalan. Tembak-menembak ko ada luka di bagian lain? Luka itu disebabkan oleh apa? Kena benda tumpul? Bagaimana benda tumpul itu digunakan? Andai ada luka, lalu luka itu, misalnya berupa tangan atau kaki yang terkelupas di bagian luarnya, maka pertanyaannya adalah sampai bagaimana luka itu terjadi? Almarhum-almarhum itu berduel dengan petugas hingga terguling-guling, yang mengakibatkan tangan mereka terkelupas? Komnas HAM, kabarnya telah memeriksa mobil yang disita di Polda Metro Jaya. Kabarnya Komnas temukan bercak darah di dalam mobil itu. Bagaimana sebaran darah itu? Darah siapa itu? Darah semua almarhum? Darah dua atau tiga atau empat almarhum? Bila ya, di tempat mana yang lainnya mati? Ahli persenjataan dapat saja menerangkan efek dari jenis peluru, termasuk jarak tembak kepada para almarhum. Ahli senjata pasti dapat jelaskan daya rusak dari tembakan jarak jauh atau dekat. Soal daya rusak ini, ahli senjata juga pasti dapat menerangkan berdasarkan jenis senjata apa yang digunakan. Apakah sisi-sisi gelap dapat digali dalam penyelidikan? Kerja keras yang tentu saja berbasis Promoter saat ini berlangsung di Bareskrim Mabes Polri? Apakah Kabareskrim mempertimbangkannya sebagai bagian dari hal yang dicari dalam penyelidikan ini? Tentu saja tak bagus untuk berspekulasi. Tapi suara Kabareskrim, nampaknya pantas untuk ditunggu saat ini.