EDITORIAL

Dilarang Menampar Muka Presiden

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) dengan tegas menolak wacana presiden tiga periode. Penolakan ini ia sampaikan beberapa hari setelah wacana ini menyeruak ke publik. Ketika itu Jokowi langsung mengatakan, "Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode, itu ada tiga. Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, padahal saya punya muka. Ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja, sudah saya sampaikan," ucap Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2019). Tampaknya Jokowi ngeri membayangkan proses penurunan presiden yang dialami Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Soekarno dijatuhkan melalui Sidang Istimewa MPRS di tengah wacana Presiden Seumur Hidup. Soeharto dimundurkan oleh gerakan mahasiswa, hanya tiga bulan setelah pernyataan kebulatan tekad yang dikuatkan oleh MPR, dan Gus Dur diturunkan saat belum genap dua tahun memimpin, gara-gara terlibat Buloggate dan Bruneigate. Jokowi sepertinya tidak mau bernasib seperti mereka. Maka dari itu ia tidak mau latah mempertahankan kekuasaan yang memabukkan di tengah eforia yang mewabah. Jokowi pasti sadar bahwa saat ini masih banyak persoalan bangsa yang lain yang perlu sentuhan tangannya. Banyak pekerjan mendesak untuk diselesaikan dengan baik oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, di tengah pandemi covid-19 yang belum juga melandai ini. Tak hanya itu, Jokowi juga mafhum utang menggunung, pengangguran merajalela, korupsi meroket, isu disintegrasi, dan pertumbuhan ekonomi berjalan seperti keong. Ia ingin fokus di sini. Jokowi juga dikenal sebagai presiden yang taat aturan. Persoalan periodesasi jabatan Presiden sudah jelas diatur Berdasar TAP MPR Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang diterbitkan pada 13 November 1998. Ini adalah salah satu amanat Reformasi 1998, sebagai upaya agar tidak mengulangi lagi sejarah kelam era Orde Baru. Jokowi juga fasih bicara landasan hukum. Dalam UUD 1945 juga telah diatur dalam Pasal 7 bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Jadi, jelas secara tersirat dan tersurat, ketentuan yang mengatur tentang periode jabatan Presiden yang dibolehkan menurut konstitusi, adalah maksimal dua periode. Presiden Jokowi dan juga presiden-presiden lainnya, tetap harus tunduk dengan ketentuan UUD 1945 ini, dimana saat dilantik oleh MPR, sudah berjanji sesuai pasal 9 UUD 1945, yang berbunyi : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa akan memegang teguh UUD 1945”. Jadi, jika kita menggunakan nalar rasional, menyimak respons Jokowi perihal jabatan Presiden tiga periode, dengan pilihan kalimat yang relatif keras, sesungguhnya sudah cukup tegas bahwa Jokowi tidak mau melanggar aturan. Wacana presiden tiga periode pertama kali dilontarkan oleh politis Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani akhir 2019, hanya berselang 1 tahun setelah Jokowi dilantik. Wacana itu kemudian direspons oleh partai Nasdem dan kemudian ditangkap oleh Ketua DPR Puan Maharani yang langsung meminta untuk dilakukan kajian. Kini wacana itu kembali digulirkan oleh politisi Partai Gerindra Arief Poyuono. Poyuono mengusulkan UUD 1945 diamendemen agar Jokowi bisa kembali maju sebagai calon presiden pada 2024 untuk periode ketiga. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono juga bisa mencalonkan kembali Selama hampir tiga tahun wacana presiden tiga periode secara sistematis dan masif digulirkan dengan tegas dan jelas. Perdebatan dan pro-kontra sudah digelar. Kajian sudah dianalisa. Dan DPR pun kelak tinggal mengetuk palu. Melihat gelagat tokoh politik dan manuver partai-partai serta loyalitas hidup mati sebagian rakyat, tampaknya presiden tiga periode tak hanya obrolan warung kopi. Apalagi sebagai orang Jawa, Jokowi sama dengan Jawa lainnya, sulit berkata tidak. Mungkin hanya satu yang tegas, yakni menolak membebaskan Habib Rizieq. Dan kelak Jokowi, mirip gadis kampung yang mendapat pinangan seorang pemuda, malu-malu menerima tawaran itu. Bukan tidak mungkin Jokowi pun akan mengeluarkan pernyataan, "Proyek proyek mangkrak akan cepat diatasi kalau presiden tiga periode." Atas nama keberlanjutan pembangunan, keberagaman, dan supremasi sipil, Jokowi harus menerima amanat penderitaan kaum marhaen. Perkara muka tertampar, itu hanya sejarah, kliping koran, atau jejak digital. Jangan terlalu baper dan sentimentil dengan masa lalu.

Moeldoko Ambil Alih Paksa Demokrat, Presiden Happy-Happy

YA benar, Anda tidak salah membaca judul editorial FNN kali ini. Pernyataan itu disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD ketika ditanya oleh Najwa Shihab. Bagaimana reaksi Presiden Joko Widodo ketika mengetahui orang dekatnya Moeldoko mengambil alih secara paksa partai Demokrat. “Presiden kaget. Tapi tidak (uring-uringan). Presiden happy-happy saja,” ujar Mahfud. Kalau Anda terkejut, dan merasa ada yang salah dengan pernyataan itu, maka yang salah adalah Anda. Karena menggunakan standar akal dan nalar sehat. Sebab, standar yang sudah lama hilang dari kehidupan kita berbangsa dan bernegara, sejak Jokowi menjadi Presiden pada tahun 2014. Dalam standar nalar dan akal sehat, sangat tidak patut seorang kepala negara di sebuah negara demokrasi, bersikap happy-happy, mengetahui ada sebuah partai diambil-alih secara paksa. Apalagi, yang mengambil-alih, mengkudeta dan membegal itu anak buahnya sendiri, Kepala Staf Presiden, Moeldoko. Dengan standar yang sama, seorang Menko Polhukam juga harusnya tidak mungkin mengungkap frasa “Presiden happy-happy,” kepada publik. Mahfud MD harusnya tahu, kata itu menunjukkan, betapa sudah hancur leburnya standar moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau toh benar Presiden mengungkap perasaan hatinya dengan frasa itu, adalah kewajiban dari Mahfud MD sebagai Menko Polhukam untuk menyaringnya. Menyampaikannya dengan bahasa yang lebih halus. Lebih diplomatis. Atau bahkan sama sekali tidak perlu diungkap kepada publik. Ucapan itu sama sekali tidak layak muncul dari seorang Presiden. Juga sangat tidak layak disampaikan seorang Menko Polhukam. Akan tetapi, itulah Mahfud MD. Itulah Jokowi. Bagi yang sudah hafal dengan gaya keduanya berkomunikasi, mengurus negara, hal itu sesungguhnya sama sekali tidak mengejutkan. Pengambil-alihan sebuah parpol, akuisisi politik melalui pecah belah, sudah menjadi pola baku bagi pemerintah untuk menundukkan parpol oposisi. Kita bisa menyebut sederet fakta mulai dari perpecahan di tubuh Partai Golkar, PPP, PAN, bahkan sampai partai yang tidak lolos parlemen Partai Berkarya. Hanya modusnya yang berbeda. Relatif lumayan halus. Seolah itu persoalan internal. Masih coba main cantik. Aksi Moeldoko jelas sangat berbeda. Menggunakan terminologi bisnis, ini adalah hostile take over! lebih kasar dibandingkan dengan proses akuisisi. Dia bukan kader Partai Demokrat. Secara resmi dia kader Partai Hanura. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum. Jadi, atas dasar apa dia kemudian bisa terpilih menjadi Ketua Umum melalui sebuah Kongres Luar Biasa (KLB)? Tidak perlu kaget kalau para pengurus Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono menyebutnya secara tidak hormat. KLB Abal-abal. Sementara untuk Moeldoko sebutannya lebih tidak terhormat lagi. “Begal Parpol.” “Pembajak Parpol.” Seorang Kepala Staf Presiden. Jenderal bintang empat. Pernah menjadi Panglima TNI disebut sebagai begal. Presiden pun happy-happy? Kita hanya bisa mengelus dada. Tidak salah kalau Presiden Jokowi kemudian dituduh berada di balik aksi yang sangat kasar dan tidak terhormat itu. Alih-alih mengambil tindakan tegas. Memecat Moeldoko. Presiden malah happy-happy saja. Kerusakan lebih parah seperti apa lagi yang akan terjadi pada negeri ini. Sebagai institusi pers kami ingin menggunakan hak konstitusi kami. Secara kelembagaan FNN dengan tegas menyatakan. “Pak Presiden kami tidak happy dengan kondisi negeri ini.” “Kami tidak happy dengan cara Anda mengelola negara ini.” “Kami tidak happy bahwa ada tanda-tanda yang sangat jelas Anda membahayakan demokrasi dan membawa negara ini ke jurang otoritarianisme.” **

Apakah Baju, Kaos dan Celana FPI Juga Terlarang?

Jakarta FNN – Kamis (31/12). Rabu siang kemarin menjadi hari dan siang yang gelap untuk Front Pembela Islam FPI. Pemerintah Joko Widodo mengambil sikap tegas terhadap mereka FPI. Sikap itu dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informasi, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT). Surat Keputusan Bersma (SKB) itu bernomor 220-4780 tahun 2020, Nomor M.HH-14.HH.05.05 tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII/2020, Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI). SKB ini berlaku sejak hari Rabu (30/12). Dalam SKB tersebut, pemerintah meminta masyarakat tak terpengaruh dan terlibat dalam kegiatan penggunaan segala simbol dan atribut FPI. Masyarakat juga diminta melaporkan kegiatan yang mengatasnamakan dan memakai simbol FPI. Jelas semuanya terang dalam SKB tersebut. Begitulah demokrasi dan hukum bekerja di republik Indonesia. Atas nama hukum dan ketertiban, serta dengan satu diskresi kecil bernama SKB, FPI menemui akhir hayatnya secara permanen untuk berkegiatan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Berakhir pula, hak-hak orang FPI menggunakan simbol dan atributnya. Orang-orang FPI mungkin akan melihat larangan penggunaan atribut dan simbol FPI sebagai satu tindakan tata usaha negara. Tindakan yang menimbulkan kerugian material dengan nyata. Mungkin itulah yang membuat mereka FPI seperti mempertimbangkan untuk mengambil langkah gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Andai betul orang-orang FPI bakal membawa SKB tersebut ke PTUN, ini paling hebat. Itu terlihat kalau orang-orang FPI sangat dan lebih mengerti serta memahami hukum positif di negeri ini. Mereka FPI juga masih menaruh kepercayaan yang tinggi kepada lembaga peradilan. PTUN pasti tidak bisa menolak memeriksa gugatan FPI itu. Namun bagaimana akhirnya? Itu soal lain. Kalah atau menang di pengadilan, itu soal lain. Sehebat itu sekalipun, tampaknya tidak akan lebih hebat dari SKB yang datangnya secara tiba-tiba itu. Tidak ada wacana, tidak ada perdebatan di publik sebelumnya. Tetapi tiba-tiba keluarlah SKB tersebut. Itu yang hebat betul dari SKB tersebut. Terlihat canggih. Karena tak terprediksi sebelumnya. Sama sama canggihnya dengan datangnya somasi dari PTPN VIII terhadap Habib Rizieq tentang lahan yang di atasnya dibangun pesantren. Soal lahan pasantren ini juga tak terprediksi. Tak terduga oleh FPI. Pemerintah terlihat selalu canggih. Dapat menemukan cara yang tak terduga dalam menangani FPI dan Habib Rizieq. Cukup cermat pemerintah menggunakan energinya mengenali detail-detail FPI dan Habib Rizieq. Ini juga mungkin menjadi keunggulan pemerintah disatu sisi. Sementara disisi lain menjadi kelemahan terbesar FPI. Sebab orang-orang FPI juga mungkin tak memperkirakan pemerintah sewaktu-waktu menggunakan kewenangannya. Tentu dengan efek kejut yang dapat bekerja seketika. Apakah soal kemampuan memprediksi itu, harus dimiliki oleh orang-orang FPI? Itu urusan mereka. Apakah demokrasi yang begitu diagungkan saat ini? Sehingga menjadi sebab orang-orang FPI tidak memprediksi hal-hal tak terduga dapat dikenakan pemerintah kepada mereka? Entahlah itu. Namun andai saja orang-orang FPI bersandar pada demokrasi, sehingga memiliki kepercayaan bahwa mereka tidak akan tertimpa hal-hal tak terduga. Tampaknya itu keliru untuk negeri ini sekrang. Demokrasi memang andal. Tetapi jangan lupa, demokrasi itu menjadi andal, agung, indah, hebat dan bermartabat, hanya jika berada dan dikelola oleh orang-orang besar. Ya mereka tingkat para negarawan. Misalnya Bung Karno sepanjang tahun 1945 hingga 5 Juli 1959. Kendati menjadi Presiden simbolik sepanjang tahun itu, Bung Karno tidak mengambil tindakan yang aneh-aneh. Belajar Dari Megawati dan SBY George Washington, Presiden pertama Amerika, juga negarawan. Presiden pertama Amerika itu sangat top dan membanggakan di eranya. Bagaimana tidak. Kendati tahu bahwa UUD tidak mengatur pembatasan berapa kali seseorang memangku jabatan Presiden Amerika, namun George Washinton tak mau menjabat untuk ketiga kalinya. Hebat sekali dia. Begitulah kalau negarawan yang memimpin bangsanya. Mereka bukan negarawan kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-beleng. Mereka tak tergoda dengan apa yang ilmuan politik sebut d Idea of Power. Jangan lupa kekuasaan itu sangat menggiurkan. Kekuasaan itu gurih. Kekuasaan punya daya tarik, daya goda untuk digenggam selama-lamanya, dengan cara apa saja. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Habibie, Megawati dan Gus Dur juga memenuhi klasifikasi negarawan hebat itu. SBY misalnya, sepajang pemerintahan yang sepuluh tahun itu, tak melukai orang-orang yang berbeda ekspektasi politik dengan beliau. SBY tidak menggunakan polisi untuk menjebloskan para aktivis yang berseberangan dengannya ke penjara. Kendati berasal dunia tentara, SBY tentu saja sangat tahu tuntutan hakiki demokrasi. SBY mampu mengisi dan menghidupkan tuntutan demokrasi tersebut. Para aktivis kritis era SBY seperti tokoh Malari Hariman Siregar (Gerakan Cabut Mandat), Rizal Ramly (Rumah Perubahan), Adhi Masardi (Gerakan Idonesia Bersih), Adian Nepitupulu (Bendera), Mashinton Pasaribu (Repdem), Haris Rusly Moti (Petisi 28 dan Doekoen Coffe), dan Goerge Adi Tjondro (Buku Gurita Cikeas Seri Satu dan Dua). Bahkan, buku George Adi Tjondro dijawab lagi oleh kubunya SBY dengan membuat buku tandingan. SBY bukan melawan para aktivis dengan penangkapan dan krimilinalisasi. Namun dengan operasi intelijen. Walaupun demikian, nasib buruk menimpa sejumlah aktivis yang berdemo membawa karbau besar dan gemuk di Bundaran Hotel Indondesia bertuliskan “SiBuYa”. Mereka semua yang terlibat aksi demo sapi “SiBuYa” ketika itu kini telah meninggal dunia. Bagitu juga dengan peristiwa Bom Bali, yang sangat menggemparkan dunia tersebut. Menggemparkan dunia, karena tidak kurang dari 200 orang yang mati dalam peristiwa yang membuat semua manusia normal marah itu. Sebagian besar dari korban yang meninggal itu adalah warga negara asing. Namun tidak satupun pelaku Bom Bali yang ditembak mati oleh petugas dalam operasi penangkapan. Peristiwa Bom Bali terjadi di eranya Presiden Megawati. Namun semua tahapan proses hukumnya, sampai dengan perintah eksekusi mati terjadi di eranya SBY berkuasa. Para pelaku Bom Bali yang dieksekusi mati, telah mendapat mandat hukum dari negara melalu perintah resmi lembaga peradilan. Bukan seperti peristiwa tragis yang terjadi pada 6 (enam) anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) yang ditembak mati oleh petugas polisi di kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek. Semua tahapan proses hukum Bom Bali di lewati sampai di ujung. Sampai dengan para pelaku mengajukan Peninjauan Kembali yang ditolak oleh Mehkamah Agung. Bahkan sebelum dieksekusi mati, para pelakuknya masih diberikan kesempatan negara untuk menyampaikan permintaan terakhir kepada para keluarga yang akan ditinggalkan. Permintaan terakhir itu pun sebagian besar dikabulkan oleh negara. Peristiwa Bom Bali ini, penyelenggara negara memperlihatkan kepada dunia kalau Indonesia benar-benar negara hukum (rechtstaat). Bukan negara yang menyalahgunakan kekuasaan (a bus de droit). Namun nagara yang memastikan semua asas dalam due process of law berjalan pada relnya. Densus 88 Polri ketika itu belum terbentuk. Yang ada hanya Satgas Anti Teror Bom (ATB) milik Polda Metro Jaya yang diperbantukan untuk mengusut pelaku Bom Bali. Sebagai negara demokrasi, proses hukum terhadap pelaku peristiwa Bom Bali sangat mengagumkan dan membanggakan. Sebab telah memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia nyata-nyata sebagai negara hukum. Juga hebat dan sangat membanggakan, karena operasinya As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang ketika itu bekerja dengan sangat senyap untuk mengkoordinir semua tahapan proses hukum pelaku Bom Bali. As’ad bekerjasama dengan Jendral Polisi Da’i Bachtiar, Kepolri saat itu. FPI Percaya Demokrasi Berikhtiar hanya dengan mengandalkan demokrasi itu, bukan tak bisa. Tetapi harus pandai, cermat dan cerdas dalam mengenalinya. Mengapa begitu? Sebab demokrasi selalu menyediakan argumen, dengan cara untuk menunjuk keadaan tertentu sebagai justifikasi menggerogoti dirinya sendiri. Itu terjadi di negara-negara yang dikenal sebagai mbahnya negara demokratis. Ketertiban umum atau keamanan nasional (National Security), atau national interest adalah keadaan-keadaan yang digunakan demokrasi untuk membatasi ini dan itu. Ini yang harus dicermati oleh FPI. Dan seperti biasa, pemerintah dengan semua atribut konstitusi yang mereka miliki, selalu menemukan cara menegakan pembatasan-pembatasan itu. Habes Corpus misalnya, pernah ditangguhkan oleh Abraham Linclon pada keadaan tertentu. Apakah keadaan tertentu itu cukup valid menurut akal sehat untuk ditunjuk sebagai justifikasi atau tidak? Namun dalam kenyataannya, pemerintah selalu dapat mempertahankannya. Dalil pembenarannya bisa menyusul. Itu yang dilakukan oleh Abraham Lincoln, Presiden Amerika yang ke-16 itu. Abraham Linclon menerapkannya pada saat beliau menangani perang saudara Utara-Selatan di Amerika. Presiden yang terkenal dengan government from the people, by the people and for the people itu, menangguhkan Harbes Corpus. Itu harga yang dibayar untuk usahanya mempertahankan Union Amerika. Pada masa pemerintahan Woodrow Wilson, Amerika membentuk Espionage Act 1917 dan Sedition Act 1918. Kala itu Amerika sedang terlibat dalam perang dunia pertama. Wilson yang arsitek pemerintahnya adalah Wolter Lipmann, wartawan senior penggagas dan arsitek terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa, yang berubah menjadi Perserikan Bangsa-Bangsa (PBB) sekarang, ketika itu sedang melambungkan faham liberalism untuk dunia internasional. Sisi-sisi inilah mustinya dibaca dan dikenali betul oleh penguasa dan rezim Jokowi. Tampaknya soal ini kami memiliki kemampuan untuk membaca sisi yang sangat elastis tersebut. Sebab salah atau keliru dalam membaca sisi ini, urusan paling rumit bisa datang menjemput tiba-tiba. Mau bagaimana lagi. SKB sudah terbit, dan diumumkan kemarin. Lalu bagaimana dengan baju, Kaos dan Celana yang selama ini dipakai oleh orang-orang FPI? Apakah sekarang menjadi terlarang juga? Sehingga tak bisa untuk dipakai lagi. Namun semoga larangan itu hanya sebatas untuk berkegiatan atas nama FPI saja. Semoga tafsir penegak hukum atas larangan dalam SKB itu di lapangan, tidak melebar hingga meliputi baju, kaos dan celana. Sebab apa jadinya kalau baju, kaos dan celana yang berlogo FPI tersebut dipakai untuk Shalat di Masjid? Apakah akan ikut dilarang juga? Sehingga harus ikut terkena barang yang dirazia? Dalam kondisi pandemi corona yang semakin naik grafik penyebarannya sekarang, semua alokasi keuangan di keluarga masih diutamakan untuk membeli makanan. Untuk bisa makan dan bertahan hidup. Sekitar 70%-80% masyarakat yang punya uang hari ini, belum bisa digunakan membeli baju, kaos, celana dan kebutuhan lainnya Apapun itu SKB pembubaran dan pelarangan FPI ini punya hikmah juga. Hikmahnya adalah tindakan pemerintah bisa tak terduga sama sekali. Sementara tahun 2021, yang tinggal beberapa jam lagi ini, mungkin saja akan menjadi tahun yang penuh dengan kejutan-kejutan. Kita liat saja nanti. Wallaahu Alam Bishawab.

Sisi Gelap di KM 50, Pertanyaan Untuk Kabareksirm?

Jakarta FNN – Senin (28/12). Nyawa 6 (enam) manusia melayang. Nyawa mereka dicabut oleh peluru Polisi di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Kilometer ini dekat Karawang Barat. Menurut keterangan Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, alamarhum-almarhum itu pengawal Habib Muhammad Rizieq Sihab. Mereka, kata Kapolda melawan dan membahayakan nyawa petugas. Tampaknya keterangan itu menjadi titik tolak Polisi terus menyelidiki kasus ini. Tentu saja penyelidikan ini bermaksud membuat terang kasus ini. Tentu tabir-tabir malam yang gelap, hendak dibuat terang, seterangan purnama. Tentu tujuannya, boleh jadi agar hukum tegak. Oke itu bagus. Tapi anehnya, Edy Mulyadi, wartawan FNN.co.id, yang ditugaskan oleh redaksi menginvestigasi kasus itu, dipanggil dan diperiksa penyelidik Polisi. Edy dianggap tahu sebagian kenyataan kasus ini. Padahal Edy Mulyadi tahu karena mewawancarai narasumber. Wawancara itu dilakukan dalam kapasitas Edy Mulyadi sebagai wartawan FNN.co.id Sebagai jurnalis senior, Edy Mulyadi yang 29 tahun menjadi wartawan dan redaksi FNN.co.id tahu benar bahwa pengetahuan kami atas suatu peristiwa hukum yang kami dapat sebagai jurnalis, tidak memenuhi syarat dan kualifikasi untuk dijadikan sebagai saksi. Bagaimana bisa jadi saksi? Kami tidak melihat sendiri, tidak mendengar sendiri atau tidak alami sendiri. Edy Mulyadi kan tahu fakta-fakta itu, karena diceritakan orang kepadanya pada saat memewancarai orang tersebut. Kata orang hukum, sifat pengetahuan Edy itu hanya “de auditu”, dengar dari orang lain. Hukum yang kita pahami bersama tidak menerima “de auditu” untuk jadi bahan kesaksian. Jadi tidak logislah memeriksa Edy Mulyadi yang telah menjadi wartawan sejak tahun 1991 itu. Namun apapun itu, Edy Mulyadi telah diperiksa oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Inila yang menarik. Pemeriksaan itu menggerakan naluri setiap wartawanan untuk menggali sejauh mungkin soal-soal kecil, dengan sisi gelapnya yang terjadi pada peristiwa kilometer 50 ini. Seandainya benar sejak sore hari di rest area kilometer 50 itu telah ada, apalagi banyak Polisi, itu jelas sangat menarik. Apa yang menarik? Apakah jumlah Polisi sebanyak itu telah menjadi kebiasaan, rutin, di rest area itu? Apakah jumlah itu baru terjadi pada sore hari itu? Apakah jumlah itu bertahan hingga malam terjadinya peristiwa mengenaskan itu? Oh iya, polisi yang melakukan penyelidikan, yang akhirnya baku tembak dengan para almarhum, sesuai keterangan resmi Polda, sedang melaksanakan tugas penyelidikan. Tentu saja penyelidikan terhadap Habib Muhammad Rizieq Shihab. Apa yang sedang diselidiki? Ini juga menarik sekali. Siapa di jajaran Polda Metro Jaya, yang menugaskan mereka? Apakah penugasan itu dilakukan secara lisan atau tertulis? Ini harus jelas. Bila perintah itu diberikan secara tertulis, tentu ada surat perintah tugas. Apa diskripsi pemberi perintah dalam surat tugas tersebut? Apa perintah spesifiknya? Intai saja atau tangkap orang-orang itu, atau apa? Apakah di dalam surat perintah itu, berisi perintah mengambil tindakan yang mematikan kepada para almarhum? Rasanya tidak mungkin. Petugas tahu apa yang harus dilakukan bila mereka diserang, yang sifat serangan itu membahayakan keselamatan, bahkan nyawa mereka. Kalau saja perintah tugas itu, terlepas dari diberikan secara lisan atau tertulis, apakah berisi perintah sebatas mengintai Habib Muhammad Rizieq Shihab? Apakah (andai terkonfirmasi) rombongan Habib harus dipepet? Mengintai itu kan esensinya yang penting tahu dimana target yang diintai berada? Sedang berada dia ditempat itu? Dengan siapa saja dia di tempat itu dan seterusnya bla bla bla. Mengetahui keberadaan target, akan memudahkan Polisi, untuk misalnya sewaktu-waktu melakukan penangkapan. Tetapi mengapa andai terkonfirmasi, haruskah Polisi penyelidik memepet kendaraan rombongan Habib? Apakah itu perlu? Semoga tidak ada pepet-memepet. Sekali lagi semoga begitu. Bila tidak begitu, maka ini yang menjadi soal. Sebab mengapa harus dipepet? Sekali lagi, semoga tidak ada pepet-memepet. Sebab, bila pepet-memepet itu ada, maka sulit untuk tidak menjadikan pepet-memepet itu sebagai sebab terdekat, apa yang Polda Meto sebut tembak-menembak itu. Sementara soal tembak-menembak ini benar-benar mengoda naluri setiap yang mengaku diri wartawan. Setiap wartawan, tidak boleh percaya begitu saja kepada salah dari dua pihak yang dianggap bersengketa. Itu wajib hukumnya. Begitulah hukum besi dunia jurnalistik. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jurnalis wajib hukumnya untuk objektif dalam memberitakan satu pristiwa. Soal tembak-menembak yang dikatakan Kapolda Metro Jayaitu, ternyata disanggah oleh Munarman, Sekertaris Umum FPI. Tetapi oke, lupakan saja dulu siapa yang benar, dan siapa yang salah soal tembak-menembak atau menembak tersebut. Lupakan saja dulu itu. Untuk membuat jelas soal ini, wartawan perlu untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Oke, ikut saja logika konfrensi pers Kapolda Metro Jaya. Soalnya adalah siapa persisnya yang mengawali tembakan? Apa yang ditembak? Mobil yang dipakai Polisi? Mobil dinas atau mobil umum yang dipakai Polisi? Pada bagian mana tembakan itu diarahkan? Bagian mana persisnya yang terkena peluru? Berapa peluru? Peluru jenis apa? Anggap saja tembakan diawali oleh pengawal Habib Muhammad Rizieq Shihab, dan petugas penyelidik yang merespon. Respon itu dilakukan dengan cara menembak mereka, sehingga terjadilah baku tembak. Sekalipun beginilah kenyataan yang tak tergoyahkan. Namun tetap saja ada soal. Apa soalnya? Semuanya 6 (enam) orang pengawal Habib Muhammad Rizieq Shihab itu mati. Itu soal besarnya. Apakah keenam almarhum itu tertembak secara bersamaan pada saat itu juga? Apakah keenam almarhum itu semuanya mati ditempat itu? Seandainya tidak, maka ini juga jadi soal lagi. Berapa orang yang mati di tempat itu, dan berapa orang mati di tempat lain. Dimana letak tempat lain itu? Bila semuanya mati di tempat itu, maka soalnya menjadi agak sederhana. Lain lagi, bila mereka semua tidak mati di tempat itu. Apa soalnya? Berapa yang mati di tempat itu, di area kilometer 50, dan di tempat lain? Sementara di tempat lain ini memunculkan soal lain, yang tidak kalah menarik juga. Apakah kematian di tempat lain, padahal sebenarnya mereka telah tertembak di tempat itu, di kilometer 50 itu. Namun pi baru mati di tempat lain? Bila tidak, maka harus ada penjelasan. Penjelasan itu meliputi dua hal. Pertama, soal jarak waktu antara mati di kilometer 50 dengan mati tempat lain itu. Kalau ada almarhum mati ditempat lain, maka soalnya jelas. Soalnya adalah adanya jedah waktu antara mati di area kilometer 50 dengan tempat lain itu. Ini yang benar-benar jadi soal. Apa saja soalnya? Kedua, nah ini jadi sangat teknis. Apa jeda waktu, entah berapa menit atau jam, tidak cukup digunakan komandan pelaksana tugas lapangan untuk melaporkan kepada pemberi perintah tugas itu? Apakah komandan lapangan, berhak mengambil diskresi melakukan tindakan yang berakibat matinya orang? Lain soalnya bila para almarhum mati pada saat yang sama, dan di tempat yang sama. Tentu tidak dibutuhkan laporan itu. Ini yang harus jelas. Ini menyangkut siapa yang bertanggung jawab, dan sampai dimana tanggung jawabnya. Ini berkaitan dengan rantai perintah, atau rantai komando. Bereskah itu? Belum juga. Masih ada pertanyaan menyangkut postur fisik almarhum. Bisakah tembak-menembak, dimalam hari pula, tetapi peluru bersarang pada titik-titik (bagian tubuh) yang mematikan? Kalau titik yang tertembak itu, semuanya mematikan, bagaimana menerangkannya? Menembak kaki, namun kena dada? Bisakah semua tembakan sama sasarannya? Kalau semua sasarannya sama, maka pertanyaannya adalah tembakan-tembakan Polisi itu dimaksudkan untuk melumpuhkan atau mematikan? Soal ini fakta nanti yang bicara. Semoga tidak ada luka di bagian-bagian lain tubuh almarhum. Semoga saja. Namun bila ada, sekecil apapun luka atau cacat kecil itu, tetap saja menjadi persoalan. Tembak-menembak ko ada luka di bagian lain? Luka itu disebabkan oleh apa? Kena benda tumpul? Bagaimana benda tumpul itu digunakan? Andai ada luka, lalu luka itu, misalnya berupa tangan atau kaki yang terkelupas di bagian luarnya, maka pertanyaannya adalah sampai bagaimana luka itu terjadi? Almarhum-almarhum itu berduel dengan petugas hingga terguling-guling, yang mengakibatkan tangan mereka terkelupas? Komnas HAM, kabarnya telah memeriksa mobil yang disita di Polda Metro Jaya. Kabarnya Komnas temukan bercak darah di dalam mobil itu. Bagaimana sebaran darah itu? Darah siapa itu? Darah semua almarhum? Darah dua atau tiga atau empat almarhum? Bila ya, di tempat mana yang lainnya mati? Ahli persenjataan dapat saja menerangkan efek dari jenis peluru, termasuk jarak tembak kepada para almarhum. Ahli senjata pasti dapat jelaskan daya rusak dari tembakan jarak jauh atau dekat. Soal daya rusak ini, ahli senjata juga pasti dapat menerangkan berdasarkan jenis senjata apa yang digunakan. Apakah sisi-sisi gelap dapat digali dalam penyelidikan? Kerja keras yang tentu saja berbasis Promoter saat ini berlangsung di Bareskrim Mabes Polri? Apakah Kabareskrim mempertimbangkannya sebagai bagian dari hal yang dicari dalam penyelidikan ini? Tentu saja tak bagus untuk berspekulasi. Tapi suara Kabareskrim, nampaknya pantas untuk ditunggu saat ini.

Gerakan 07 Desember/PRI, dan Kekejaman yang Ditutuptutupi

PAGI brutal itu terjadi pada Senin, 07 Desember 2020, pukul 00.30 WIB di seputar KM 50-57 jalan Tol Jakarta-Cikampek, Polisi Republik Indonesia (PRI) telah melakukan pengkhianatan terhadap anak bangsa Indonesia. Enam laskar Front Pembela Islam telah dibunuh secara keji. Pembunuhan ini diakui sendiri oleh polisi, sebagaimana disampaikan oleh Kapolda Metro, Jaya Fadil Imron, Senin siang pukul 14.00 WIB di Mapolda Metro Jaya. Konferensi pers dilakukan dengan gagah, seakan-akan polisi berhasil menumpas teroris. Padahal yang ditumpas hanyalah anak-anak muda yang sedang mengawal Habib Rizieq Shihab yang akan mengisi pengajian subuh di sebuah tempat di Karawang. PRI bisa kita disebut sebagai dalang Gerakan 08 Desember dengan korban rakyat sipil yang belum tentu punya salah. Inilah pengkhianatan yang nyata. Polisi yang slogannya pengayom masyarakat, prakteknya telah melalukan pembunuhan terhadap warganya sendiri. Dengan kejam. Perdebatan soal adanya tembak menembak atau pembunuhan satu arah, kini sedang ditelisik oleh Komnas HAM. Biarkan mereka mengusutnya, jangan ada campur tangan dari penguasa. Mudah-mudahan hasil investigasi Komnas HAM mampu menguak siapa dalang sebenarnya dari peristiwa kelam itu. Yang harus kita catat adalah PRI mengakui telah menembak 6 laskar FPI tersebut dan kelak akan menjadi bagian sejarah hitam masyarakat Indonesia. Jadi, menyoal siapa pelakunya sudah tidak perlu dibahas, karena sudah jelas ada pengakuan. Saat ini polisi bisa saja berkilah, tetapi FPI punya data akurat. Biarkan diadu siapa yang berbohong. Jangan sampai ada intervensi dari kekuatan dan kekuasaan negara sehingga akhirnya peristiwanya menjadi kabur bahkan gelap. Polisi sebagai pelindung rakyat tidak sepantasnya melakukan kebiadaban itu. Siapapun yang membaca berita dan melihat video di media massa maupun media sosial, berkesimpulan polisi terlalu arogan dan jumawa. Narasi yang dikemukakan polisi seakan memberikan kesan, lembaga ini super power yang tidak bisa disentuh. Perkataannya wajib diamini. Tak hanya itu, polisi telah menunjukkan sisi otoritarianisme dalam menghadapi masyarakat yang kritis. Sampai saat ini belum ada pejabat pemerintah maupun lembaga negara yang mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya enam laskar FPI. Tampak sekali tidak ada sedikit pun rasa penyesalan. Padahal polisi mengakuinya telah membunuh mereka. Yang terjadi justru, polisi saat ini sibuk membangun opini publik bahwa apa yang dilakukan polisi sebuah kebenaran. Di samping membangun opini, ada pula upaya upaya untuk menghentikan kasus ini agar tidak terdeteksi siapa otak intelektualnya. Penetapan Habib Rizieq Shihab sebagai tersangka atas kerumunan umat adalah upaya nyata untuk menutupi kasus pembunuhan yang telah viral secara internasional itu. Apalagi dilanjutkan dengan penahanan sang imam, jelas menunjukkan ini upaya menutupi kasus yang satu dengan kasus yang lain. Polisi tidak bekerja sendirian. Para politisi propemerintah pun sibuk membangun opini yang sama. Mereka menuduh anggota dewan atau siapapun yang kritis terhadap kasus pembunuhan ini, dicap sebagai menumpang popularitas, memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Si penuduh tidak sadar bahwa ini masalah kekejaman terhadap kemanusiaan, tidak elok memelintir kasus yang telah melukai dan menyakiti hati masyarakat luas. Polisi jangan sibuk mengkounter pernyataan-pernyataan kritis masyarakat. Hadirkan saja para algojo yang telah membunuh 6 laskar FPI. Hadirkan pula mobil yang ditumpangi para laskar yang ditembak mati. Jangan diumpetin, jangan pula bikin skenario yang berubah-ubah. Membunuh orang tanpa perintah pengadilan oleh polisi adalah kejahatan negara terhadap rakyatnya. Jangan-jangan kesimpangsiuran ini sengaja dipelihara agar tetap gaduh dan absurd. Yang mereka cari sesungguhnya bukan dalang pembunuhan, melainkan mereka sedang mencari pengaruh untuk menduduki jabatan Kapolri, Kasad, Kepala BIN, dan Panglima TNI. Gerakan 08 Desember/PRI ini sungguh kejam melebihi kekejaman PKI. (Editorial)

Harry Prasetyo, dan Jejak Duo Tahir di Jiwasraya

Skandal Jiwasraya ini bisa menimbulkan krisis yang multi demensi. Bisa krisis kepercayaan terhadap produk-produk asuransi Indonesia. Bisa juga krisis politik dan krisis ekonomi. Padahal Indonesia hari ini sangat membutuhkan kepercayaan publik yang tinggi, baik publik di dalam negeri maupun luar negeri. By M. Rizal Fadillah Jakarta, FNN - Bagaimana mungkin Presiden Jokowi tidak pusing? Skandal yang multi dimensi kini menimpa bangsa Indonesia. Skandal itu ada di sektor keuangan, politik, maupun hukum. Bila salah dalam mengantisipasi dan menanganinya, maka Jokowi bisa jatuh dari kursi. Seriuskah ? Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) kasus yang menimpa PT Asuransi Jiwasraya Rp 13,7 triliun ini terbilang besar dan berat untuk mengatasinya. Menkeu yang orangnya Amerika di Indonesia ini sedang bermain di kubangan Cina, yang pasti sangat faham betul dampak dan pengaruh globalnya. Setelah skandal kasus Jiwasraya terbuka, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang selama menjadi pengawas industry asuransi, keliatan mulai ikut-ikutan mencari solusi. Betapa serius, penting dan genting masalah ini. Padahal kegiatan operasional PT Asuransi Jiwasraya selama ini berada di bawah pengawasan OJK. Kalau sekarang OJK baru mulai mencari solusi penyelesaian menyelesaikan, maka publik patut bertanya, memang selama ini OJK berada ada dimana? Selama ini OJK ngumpet dan sembunyi di bagian mananya Indonedsia? Pengawasan seperti apa saja yang sudah dilakukan oleh OJK terhadap Jiwasraya? Mungkinkah OJK sudah mengetahui masalah sejak lama, namun pura-pura menutup mata? Atau OJK ikut serta dalam permainan yang membangkrutkan PT Asuransi Jiwasraya? Kasus Jiwasraya ini terpaksa menyeret Duta Besar (Dubes) Korea Selatan untuk Indonesia angkat bicara. Dubes Kim Chang Beom minta pihak Jiwasraya untuk membereskan 470 warga Koere Selatan menjadi korban gagal bayar polis Asuransi Jiwasraya. Semoga saja besok-besok tidak ada lagi Dubes negaralain yang angkat bicara, karena warga negaranya tersangkut masalah ini. Persoalan Jiwasraya ini bisa membuat industri asuransi Indonesia kehilangan kepercayaan di mata masyarakat interasional. Publik internasional bisa saja menolak produk-produk asuransi yang berasal dari Indonesia. Apalagi skandal Jiwasraya melibatkan perusahaan asuransi papan atas. Persoalan lain yang membuat kita malu adalah PT Asuransi Jiwasraya berstatus perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pemegang saham mayoritas setiap perusahan BUMN adalah pemerintah Republik Indonesia, melalui Menteri Keuangan. Sedangkan pengelolaan dan pengawasan manejemen perusahaan BUMN dilakukan Kementerian Negara BUMN. Ini Urusan Saya Presiden Jokowi biasanya melepas tanggungjawab kepada para bawahannya. Jokowi biasanya mengatakan "ini bukan urusan saya". “Ini urusannya menteri itu atau menteri ini”. Namun sekarang Jokowi harus menerima konsekuensi skandal PT Asuransi Jiwasraya. Jokowi terpaksa harus mengatakan "ini urusan saya, atau ini menjadi tanggungjawab saya". Masalah PT Asuransi Jiwasraya sekarang sudah semakin rumit, melingkar dan babalieut. Sebab diduga kuat ada keterlibatan lingkaran dalam Istana Negara atau Istana Kepresidenan. Diketahuai ada jejak sidik jari dari Tenaga Ahli Utama Staf Khusus, Kantor Kepala Staf Presiden (KSP) Harry Prasetyo. Harry Prasetyo adalah Mantan Direktur Keuangan PT Asuransui Jiwasraya. Harry menjabat sebagaik Direktur keuangan selama dua periode. Dia adalah aktor utama dari film berjudul “Skandal PT Asuransi Jiwasraya dengan kerugian Rp 13,7 trliun”. Dai juga yang menjadi pelaku kunci atas perampokan duit PT Asurans Jiwasraya tersebut. Uang polis nasabah sebesar Rp 13,7 triliun digoreng Harry melalui saham-saham papan lapis bawah di Bursa Efek Indonesia. Saham yang dulunya ketika digoreng, masih dihargai di atas seribu rupiah setiap saham. Namun kini harga saham-saham tersebut tinggal lebih dari seratus rupiah per saham. Dato Tahir Mayapada Setelah publik ramai membicarakan skandal PT Asuransi Jwasraya, kini muncul tokoh baru yang ikut dibicarakan. Tokoh itu adalah Dato Seri Tahir Mayapada. Anggota Dewan Petimbangan (Wantimpres) ini diduga kuat terkait dengan penggorengan saham-saham lapis bawah yang dibeli PT Asuransi Jiwasraya. Tahir yang mendapat gelar Dato Seri dari Kesultanan di Malaysia ini adalah pemilik kalompok usaha Mayapada Grup. Dia dia duduga menampung saham kakak-beradik Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro yang diberli dari Jiwasraya. Benny adalah pemilik PT Hanson International (MYRX), Sedangkan Teddy pemilik PT Rimo Internasional Lestari (RIMO). Kedua pengusaha kakak-berdik keturunan ini mendapat gelontoran dana investasi puluhan triliun rupiah dari Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Harry Prasetyo. Polanya, PT Asuransi Jiwasraya membeli surat hutang jangka menengah dari PT Hanson Internasional dan PT Rimo Internasional Lestari. Setelah skandal ini terbongkar, belakangan tersiar kabar kalau kakak-beradik Benny Tjokrosaputro dan Teddy Tjokrosaputro dalam tahap pencekalan oleh penyidik dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus). Jika pencekalan tidak segera dilakukan penyidik, dikhawatirkan mereka berdua akan melarikan diri dari proses penyidikan. Mereka berdua bisa setiap saat kabur duluan ke luar negeri sebelum pencekalan dikeluarkan ke penyidik Pidsus Gedung Bundar. Bisa mengikuti jejak kaburnya Harry Prasetyo yang sudah duluan melarikan diri ke luar negeri. Walaupun demikian, ada juga yang menduga Harry Prasetyo sengaja disuruh kabur. Bila kakak-beradik Brnny danb Teddy ikut kabur, maka dipasstikan akan sangat mengganggu kelancaran proses penyidikan di kejaksaan. Mereka di Sekitaran Istana Selian keterlibatan Harry Prasetyo dan Dato Seri Tahir Mayapada, muncul nama baru yang diduga juga punya kaitan dengan skandal PT Asuransi Jiwasraya, yaitu Erick Thohir. Sekarang Arick Tohir sudah menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN). Diduga ada uang Jiwasraya yang dipakai untuk membeli saham perusahaan Erick Thohir, PT Mahaka Media Tbk. Untuk sementara, dugaan keterlibatan Harry Prasetyo, Dato Seri Tahir Mayapada dan Erick Thohir membuat positioning istana semakin terjepit. Istana tampaknya bakal kesulitan menjawab tudingan publik tentang keterlibatan tiga orang penting di sekitaran Jokowi tersebut. Wajar-wajar saja kalau ada dugaan publik bahwa jebolnya dana masyarakat dalam bentuk polis asuransi di PT Asuransi Jiwasraya ada kaitan erat dengan dana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Apalagi posisi Erick Thohir pada Pilpres 2019 adalah Ketua Tim Pemenangan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Untuk menyelesaikan skandal Jiwasraya ini, rencannya pemerintah melalui Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan akan membentuk holding BUMN Asuransi. Namun keraguan atas opsi ini cukup tinggi di publik. Keraguan itu terutama karena tingkat kesehatan BUMN Asuransi sekarang di bawah rata-rata perusahaan asuransi. Yang paling sehat hanya perusahaan asuransi swasta. Jika pemerintah salah menyiapkan treatment terhadap skandal PT Asuransi Jiwasraya, bisa jadi bukan menyesaikan masalah yang sudah ada. Sebaliknya, malah memproduksi masalah. Jadinya, masalah utama tidak selesai, tetapi malah menambah masalah baru. Mengingat ceritra masih panjang, maka Erick Thohir, Sri Mulyani, dan tentu saja Jokowi seperti sedang berputar putar di "tong setan" (wall of death). Jika tidak pandai memicu dan mengendalikan kendaraan dengan baik, maka dipastikan akan jatuh dan tergelicir. Skandal Jiwasraya ini bisa menimbulkan krisis yang multi demensi. Bisa krisis kepercayaan terhadap produk-produk asuransi Indonesia. Bisa juga krisis politik dan krisis ekonomi. Padahal Indonesia hari ini sangat membutuhkan kepercayaan publik yang tinggi, baik publik di dalam negeri maupun luar negeri. Kini memang masih oleng oleng saja. Selamat berjibaku Mr. President. Jabatan Presiden rasanya tidak termasuk yang diasuransikan. Karenanya risiko harus ditanggung sendiri. Presiden harus buktikan bahwa tidak ada korupsi kolusi dan nepotisme dalam skandal PT Asuransi Jiwasraya. Rakyat hanya bisa jengkel sambil menyaksikan duit negara dirampok lagi. Apakah ini negara perampok? Penulis adalah Pemerhati Politik

Reformasi Dan Raibnya Aset Pertamina (Bagaian-1)

Selama orde reformasi berjalan, Pertamina semakin mengecil. Aset-aset Pertamina banyak yang berpindah tangan. Nilai aset Pertamina juga semakin mengecil diantara deretan BUMN di tanah air. Aset Pertamina sekarang hanya separuh dari aset PLN. Tak sampai sepertiga dari aset perbankkan BUMN. Padahal tak ada logikanya semua perusahaan itu bisa mengalahkan kekayaan Pertamina. By Salamuddin Daeng Jakarta, FNN - Hampir dipastikan tidak ada satupun konglomerat sekarang ini yang bukan bagian dari kekuasaan Orde Baru. Dan hampir dipastikan bahwa tidak ada satu konglomerasi di era Orde Baru yang tidak menumpang dan menyusu pada Pertamina. Semua oligarki taipan di tanah air sekarang ini, awalnya adalah mereka yang mempunyai koneksi dengan bisnis pertamina. Ricard Robinson dalam bukunya Indonesia The Rise of Capital (1986) menulis bahwa "Pertamina telah menjadi faktor terbesar bagi perkembangan kapitalis domestik di masa orde baru. Dikarenakan mereka para kapitalis demostik itu sebagai kelompok terbesar bagi kontrak penyediaan barang dan jasa. Hampir semua kontrak-kontrak konstruksi, kebutuhan manufacturing serta jasa-jasa industri, dikusai oleh para kapitalis demostik. Kebangkitan seluruh pebisnis besar di tanah air terhubung dan terkoneksi dengan pekerjaan di pertamina. Mereka mendapatkan alokasi belanja proyek dari pertamina. Sebelum dipreteli oleh reformasi, seluruh dunia tau kalau Pertamina adalah perusahaan yang sangat kaya. Aset pertamina sangat besar. Tidak hanya di Indonesia, namun juga tersebar di negara negara maju. Pertamina pernah memiliki kantor cabang di New York, Tokyo, Hongkong, Singapura dan London. Namun satu persatu hilang entah kemana. Lebih dari 40 tahun Pertamina menjadi penopang keuangan negara dan kehidupan oligarki politik Indonesia. Tidak ada satupun pebisnis dan konglomerasi besar yang lahir di Indonesia tanpa peran Pertamina. Semua mendapatkan order pekerjaan dari Pertamina. Mereka raksasa bisnis tanah air, bahkan yang ada sekarang ini, mengawali bisnis mereka dari tetesan pertamina. Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang besar, sebagian dibangun dengan modal awal dari pertamina. Krakatau Steel, Inalum, Perusahaan Petrocrmical, Industri Pupuk, Bulog, dan lain sebagainya dimodali dari investasi Pertamina. Alat Bubarkan Pertamina Pertamina adalah pionir bisnis dari berbagai macam sektor usaha. Ada usaha properti, perhotelan, perumahan, rumah sakit, pendidikan, penerbangan jasa pengangkutan, dan telekomunikasi. Tidak ada usaha sejenis yang bisa melebihi kampuan Pertamina sampai saat ini. Pertamina menguasai ratusan ribu hektar tanah yang tersebar di seluruh kota kota besar. Pertamina juga menguasai ratusan ribu hektar kawasan hutan. Terlibat dalam pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan dan berbagai sarana infrastruktur lainnya. Sampai sekarang ini boleh dikatakan gurita dan jaringan usaha tersebut masih di bawah kepemilikan Pertamina. Namun telah dikuasai secara illegal oleh kelompok usaha di luar Pertamina. Padahal Pertamina adalah penopang utama pembangunan berencana Orde Baru hingga awal orde reformasi. Namun setelah reformasi berlangsung, tiba tiba saja Pertamina menjadi kere. Melalui UU No 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) Pertamina dipreteli kewenangannya. Migas nasional yang sebelumnya dikuasai Pertamina berpindah ke tangan swasta. Produksi migas dari Pertamina langsung merosot tajam. Aset-aset Pertamina mulai hilang satu persatu. Tak hanya konsesi migas Pertamina yang hilang. Entah mengapa, aset Pertamina yang lain seperti tanah, properti, kapal tengker, anak anak perusahaan di luar negeri, juga hilang satu persatu. Selama orde reformasi ini berjalan, Pertamina semakin mengecil. Aset-aset Pertamina banyak yang berpindah tangan. Nilai aset Pertamina juga semakin mengecil diantara deretan BUMN di tanah air. Asset Pertamina sekarang, hanya separuh dari aset PLN. Tak sampai sepertiga dari aset perbankkan BUMN. Padahal tak ada logikanya semua perusahaan itu bisa mengalahkan kekayaan Pertamina. Sekarang Pemerintah Daerah (Pemda) juga mulai ikut ikutan merampas aset-aset Pertamia. Pemda melakukan itu dengan berbagai cara. Apalagi para taipan dan konglomerat memang pengincar aset Pertamina melalui tangan Pemda setempat. Sebagai contoh kasus, baru-baru di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, yakni Jalan Hauling milik Pertamina terancam berpindah tangan ke swasta. Jalan sepanjang 60 kilometer tersebut diincar oleh berbagai pihak untuk disewakan ke pengusaha tambang batubara. Dengan senjata otonomi daerah, rupanya Pemda dapat mengambil alih aset-aset Pertamina. Rupa-rupanya reformasi dengan berbagai modus dan operandinya, adalah strategi dan alat untuk membubarkan Pertamia. Dengan demikian, maka perlahan-lahan, namun pasti aset aset Pertamina bakal berpindah tangan kepada para birokat, oligarki politik, dan kepada para taipan. Reformasi ternyata hanya dimaksudkan untuk "menghapuskan aset dan kekayaan Pertamina. Selanjutnya mencatatkannya sebagai kekayaan para oligarki taipan". Semua itu telah berlangsung secara sangat halus dan sophisticated. (bersabung) Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Jokowi, Sudahlah!

Jokowi akan dicatat sebagai Bapak Infrastruktur dan pelopor pejabat yang berani mundur. Oleh Editorial Forum News Network Jakarta, FNN - Seminggu terakhir ini jagat maya diramaikan dengan tuntutan agar Presiden Jokowi lengser. Saran ini lebih baik daripada bertahan tapi ada demonstrasi sepanjang tahun, apalagi jatuh banyak korban jiwa. Mesin pencari dan analisis media Drone Emprit menemukan 756.886 share of voice kalimat "Turunkan Jokowi" yang diserap dari media online dan media sosial. Hari ini, Senin, 30 September 2019, pukul 10.56, mesin google menemukan 54.000.000,00 kalimat “Jokowi Turun”. Sementara, kalimat “Lanjutkan Jokowi” hanya 6.330.000. Ini riset sederhana, tetapi bisa menjadi acuan. Itulah kenyataan di dunia maya. Sekarang kita coba datang ke pasar, terminal, stasiun, bandara, dan kampus; lalu tanyakan kepada mereka apakah lebih banyak pilih “Turunkan Jokowi” atau “Lanjutkan Jokowi”. Di Pasar Leuwiliang, Bogor, 8 dari 9 orang yang ditanya memilih “Turunkan Jokowi”; di Stasiun Kereta Api Purwokerto, Jawa Tengah, 6 dari 7 orang yang ditanya memilih “Turunkan Jokowi”; di Pasar Atas Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat, 5 responden yang ditanya semua menyatakan “Turunkan Jokowi”. Jika ketiga responden ini dibuat pie chart maka akan terbaca dengan jelas bahwa 95 persen rakyat menghendaki Jokowi turun. Riset tersebut sederhana, tetapi akurat karena dilakukan tanpa ada upaya mengutak-atik angka atau pilih-pilih responden. Riset seperti ini biasanya amanah dan layak dipercaya karena tidak ada pihak mana pun yang membiayainya. Apakah fakta ini menjadi satu-satunya alasan untuk melengserkan mantan walikota Solo itu? Tentu saja tidak. Namun, ini setidaknya menjadi indikasi jelas bahwa presiden yang tak pernah memasukkan kemeja putih itu, minim legitimasi, miskin kepercayaan, dan fakir keteladanan. Sentimen negatif ini akan terus meningkat seiring dengan merosotnya kepercayaan publik. Pak Presiden saat ini bisa bertahan hanya dari tiga tiang utama. Pertama, karena serangan buzzer yang menaikkan setinggi-tingginya hasil kerjanya dan menenggelamkan sedalam-dalamnya kekurangannya serta didesain dengan begitu apik sehingga publik tertipu. Kedua, pengekangan media massa untuk menutupi berita-berita miring tentang rezim ini, bahkan berita-berita normal saja sering “dibreidel” jika itu berdampak terhadap popularitas rezim. Ketiga, intimidasi terhadap media sosial dan ancaman pasal ujaran kebencian. Buzzer pemuja rezim bebas ngomong apa saja, termasuk memproduksi hoaks sebanyak-banyaknya. Ketika ada oposisi atau masyarakat yang tak sepaham lalu berkomentar, mereka diciduk dengan pasal ujaran kebencian UU ITE. Algojonya, tentu saja polisi. Sangat tidak adil. Mengapa isu "Turunkan Jokowi" atau “Jokowi Turun” menjadi populer? Sebab sejak tahun pertama menjabat presiden hingga memasuki periode kedua, publik geram terhadap sikap lingkaran ring satu istana yang tak peka menyikapi keadaan. Tampaknya, presiden hanya mendapat masukan yang baik-baika. Padahal, ini bisa menjadi racun, sebagaimana kata pakar hukum tata negara, Refli Harun, bahwa penguasa sering kali gagal karena selama ini hanya mendengar orang-orang yang memuji tanpa mempertimbangkan pihak yang mengkritiknya. "Mengapa penguasa sering gagal memimpin? Karena dia hanya mau mendengar pemujinya ketimbang pengkritiknya. Padahal, pujian bisa jadi racun dan kritik justru obat. Jadi, dengarkanlah lebih banyak kritik ketimbang pujian," kata dia, Sabtu (28/9/2019). Presiden juga dianggap tidak tegas sekaligus tidak jelas. Ia tidak tegas menyelesaikan masalah Papua dan tidak jelas menuntaskan reformasi. Masalah kebakaran hutan Kalimantan hanya salah satu dari puluhan masalah yang tak kunjung selesai. Publik makin geram ketika UU KPK - yang sarat kepentingan politik dan kelompok – telah diberlakukan. Ada RUU KUHP yang bikin geregatan masyarakat. Isinya tak mencerminkan hasil karya praktisi hukum, cenderung norak, dan asal asalan; di samping RUU PKS dan RUU Pertanahan yang juga menimbulkan masalah baru. Aneh, sebuah negara membuat aturan yang hanya menimbulkan kegaduhan. Kekacauan ini membangkitkan masyarakat untuk melakukan protes. Defisit BPJS, utang negara menggunung, daya beli rendah, dan pertumbuhan ekonomi yang lemah adalah pemicunya. Presiden dianggap tidak mampu menunaikan tugasnya dengan baik. Janji muluknya dibalas dengan pencitraan yang tidak penting dan membosankan. Jahatnya, buzzer rezim ini menuduh masyarakat sebagai kaum radikal, intoleran, dan anti-NKRI. Sebuah tuduhan yang sangat biadab. Tuduhan ngawur itu tidak pernah terbukti dan anehnya polisi tidak memprosesnya. Rezim pembenci oposisi ini tidak pernah terkena pasal ujaran kebencian. Jokowi tidak boleh merasa nyaman dalam situasi seperti ini karena mayoritas masyaraat Indonesia gerah dengan ketidakadilan hukum, sosial, dan politik di negeri ini. Masyarakat akan miris jika melihat presiden disoraki saat kunjungan ke daerah seperti masa kempanye kemarin. Jokowi pasti bisa meneladani Pak Harto dan Gus Dur. Demi NKRI mereka rela dan legowo mengundurkan diri. Nama mereka – dan Jokowi kelak - tetap harum. Gus Dur tidak takut kehilangan jabatan. Jabatan itu, kata Gus Dur, sama dengan nyawa - yang harus siap kapan pun dicabut. Jokowi tidak perlu takut bayangan, tidak ada istilah wirang, turunlah dengan elegan. Kelak sejarah akan mencatat dengan baik sebagai pemimpin yang bijaksana, pintar membaca situasi, dan jauh dari kesan ambisius. Mungkin juga akan dibuatkan prasasti sebagai Bapak Infrastruktur dan Pelopor Pejabat Tahu Diri. Ada ikon baru untuk Bapak Jokowi. Ingat, turun hari ini, 21 Oktober 2019 atau 21 Oktober 2024 sama saja. Yang membedakan, kalau turun hari ini, Jokowi benar-benar seorang pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat, responsif terhadap tuntutan rakyat, dan merasakan penderitaan rakyat. Masyarakat memaklumi Jokowi yang galau membayangkan lengser sebagai sesuatu yang menakutkan. Maklum, karena dua kali berkuasa, baik di Solo mapun di DKI, Jokowi turun dengan lembut, dipapah dengan aman, dituntun, ditandu dengan hati-hati, dan diiringi tepuk tangan. Jangan takut fatamorgana turun dari kursi kepresidenan. Anggap saja main prosotan di water boom, awalnya ngeri, tapi setelah dijajal akhirnya asyik juga. Sesuatu yang awalnya sulit, biasanya berakhir dengan mudah. Apalagi para pendukungnya sudah bikin tatto ramai-ramai “NKRI Harga Mati” didukung oleh Macan Asia. Artinya, bakal aman dan tidak akan terjadi apa-apa demi NKRI. Jokowi, sudahlah. Anda bisa membungkam media, menjinakkkan politisi, dan memenjarakan yang berbeda, tapi tidak bisa merampas ponsel rakyat. Terlampau mengerikan jika melihat video dan gambar-gambar di media sosial, tentang ketidakadilan, tentang kejahatan, tentang kebiadaban. Dari Aceh sampai Papua. Dan Anda masih bisa bersepeda ria. Nurani kami menangis. Kami masih mendengar lagu ini, “Kita adalah Satu Indonesia, tidak ada Cebong, tidak ada Kampret,” Nyanyian koor Jokowi dan Prabowo ini masih sering melintas di telinga kita, yang ternyata tak punya makna apa. (Editorial)

FNN.co.id Disuspend Selama 18 Jam Atas Permintaan “Bank Nganu”

Sangatlah disayangkan bila pola-pola pembreidelan kepada media massa nasional seperti di era orde baru dulu dihidupkan lagi dari dalam kubur. Kenyataan ini membuat kami benar shock dan kaget, karena 95% wartawan kami mulai menjadi wartawan pemula antara tahun 1989-1995. Ketika itu kami merasakan sekali dampak pembreidalan dan penyensoran berita. Jakarta, FNN - Para pembaca atau netizen fnn.co.id yang sangat kami hormati. Sepanjang Selasa siang (27/8), mulai pukul 13.58 WIB sampai dengan Rabu pagi kemarin pukul 08.30 WIB, para pembaca dan nitizen Portal Berita Online fnn.co.id tidak dapat membuka dan mengakses berita-berita yang ada di halaman FNN. Penyebab adalah, ternyata kami fnn.co.id disuspend. Sekitar 18 jam lebih, Portal Berita kita disuspend oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Akibatny, fnn.co.id tidak bisa tayang sebagaimana yang diharapkan pembaca dan nitizen. Selama 18 jam lebih pembaca dan nitizan tidak bisa melihat berita-berita yang dimuat di fnn.co.id. Padahal hari itu loading pembaca sedang tinggi-tingginya. Sejak Selasa sore sampai Rabu pagi kemarin, tim IT kami terus mencari tahu sebab-musabab fnn.co.id disuspend. Alhamdulillah pada Rabu (28/8) pagi kami bisa menemukan penyebabnya. Sehingga Alhamdulillah, Portal Berita kesayangan pembaca dan nitizen fnn.co.id bisa live kembali. Hanya saja kami harus minta maaf, karena kehilangan tiga artikel yang sangat penting, dengan jumlah pembaca yang sangat banyak. Ketiga artikel yang dimuat oleh fnn.co.id tersebut, ditulis oleh penulis kami saudara Luqman Ibrahim Soemay. Semuanya berkaitan dengan blackout bank BUMN terbesar negeri ini pada tanggal 20 Juli 2019 lalu. Kami sebut saja bank tersebut dengan nama “Bank Nganu” Kami jelaskan bahwa status di Domain Profile, register status fnn.co.id yang dimulai sejak tanggal 11 November 2018, dan expires akan habis masa berlakunya nanti pada 12 November 2019. Artinya, tidak mungkin Portal Berita fnn.co.id terjadi auto suspend hanya karena loading pembaca yang tinggi tersebut. Berdasarkan penulusuran yang dilakukan tim IT fnn.co.id kepada hosting kami di Singapura, tampaknya ada pihak tidak bertanggungjawab yang mengorder suspensi terhadap Portal Berita fnn.co.id. Pihak tersebut adalah manejemen dari Bank Nganu yang sempat menjadi sorotan website kami, karena kekacauan di internal Bank Nganu sendiri. Setelah kami konfirmasi ke hosting di Singapura, nampaknya suspensi fnn.co.id sangat terkait dengan tiga judul yang menyoroti kekacauan IT Bank Nganu, dengan judul 1. Dijebol Ciber Rp 9 Triliun, Bank Nganu Segera Bangkrut?, 2. Direksi Bank Nganu Tidak Perlu Jemawa lah, 3. Bank Nganu Akan Dituntut Nasabah Atas Kehilangan Dana Rp 800 Triliun. Dari sinilah kami memahami bahwa di zaman digital keterbukaan dan hak publik untuk memperoleh yang bebas dan terbuka tanpa penyensoran masih menghadapi tantangan. Masih ada kekuasaan korporasi yang menghendaki penerapan suspend terhadap media massa. Dulu ketika awal-awal menjadi wartawan di tahun 1990, kami mengenalnya dengan sebutan pemberedelan kepada media massa. Pemberedelan ketika itu hanya dilakukan oleh penguasa yang diwakili oleh Menteri Penerangan. Sekarang di era digital ini, rupanya pemberedelan masih juga berlaku kepada media massa. Hanya namanya saja yang diganti dengan “suspend”, sehingga seperti agak keren. Kalau dulu hanya dilakukan oleh penguasa, sekarang malah lebih maju lagi. Pemberedelan sekarang bisa oleh korporasi atau atas permintaan dari korporasi, seperti yang dilakukan Bank Nganu kepada fnn.co.id dua hari lalu itu. Di era digital ini, media massa dan media sosial sudah menjadi menjadi sumber utama informasi publik. Sangatlah disayangkan bila pola-pola pemberedelan kepada media massa nasional seperti di era orde baru dulu dihidupkan lagi dari dalam kubur. Kenyataan ini membuat kami benar shock dan kaget, karena 95% wartawan kami mulai menjadi wartawan pemula antara tahun 1989-1995. Ketika itu kami merasakan sekali dampak pemberedalan dan penyensoran berita. Rupanya pengelola dan manajemen Bank Nganu masih bermental orde baru. Sehingga Bank Nganu tidak mau menggunakan hak jawab yang diatur dalam ketentuan “Kode Etik Jurnalitik” terhadap setiap berita yang dianggap tidak benar atau merugikan citra bank BUMN terbesar tersebut. Padahal Bank Nganu juga bisa melaporkan kami ke Dewan Pers Indonesia. Yang terjadi kemudian adalah Bank Nganu melaporkan Portal Berita fnn.co.id ke polisi Metro Jaya. Tuduhan kepada kami adalah memuat berita hoax. Anehnya, setelah kami menurunkan berita dengan sumber yang jelas, yaitu Michael Olsson, dengan dokumen yang dimuat dengan cara mencicil sedikit-sedikit, Bank Nganu malah meminta kepada hosting di Singapura untuk mensuspend kami. Mungkin saja manajemen Bank Nganu mengira kami tidak memiliki dokumen pendukung dan sumber berita Michael Olsson, sehingga kami dituduh menyebarkan berita dan informasi hoax. Wah, keterlaluan ini Bank Nganu. Kami sampaikan kepada pembaca dan nitizen kami bahwa, kebetulan sebagian besar atau 50% lebih sumberdaya wartawan fnn.co.id adalah alumni wartawan HARIAN EKONOMI NERACA dan Bisnis Indonesia. Dua surat kabar ekonomi terbesar negeri ini di era awal tahun 1990-an. Sehingga sedikit mengertilah tentang seluk-beluk perbankan, keungan, pasar modal serta ekonomi secara umum. Kami selama juga melakukan kritik yang tajam, dan paling keras kepada Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintahnya. Tujuannya hanya satu, demi untuk perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara kita ke depan. Namun kami tidak pernah sampai disuspend oleh pemerintah. Atas sikap pemerintah ini, kami menyatakan sangat mengapresiasi dan menghargai. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah. "Terima kasih ya Pak Presiden Jokowi" Anehnya, korparasi seperti Bank Nganu malah bersikap sebaliknya media massa nasional. Bank Nganu meperlihatkan sikap lebih berkuasa dari penguasa yang sebenanrya. Kalau bahasa kerennya penguasa dalam penguasa atau negara dalam negara Atas ketidak nyamanan ini, kami manajemen fnn.co.id mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca atau netizen setia kami. Insya Allah, kami akan tetap konsisten dan berdiri paling depan menampilkan produk-produk jurnalistik yang kritis, independen dan selalu berpihak kepada kepentingan rakyat sebagai pijakan utama kami. Untuk itu, kami sangat mengharapkan doa dan dukungan dari pembaca dan nitizen kami yang budiman. Belum cukup setahun fnn.co.id hadir kepada pembaca dan nitizen kami. Kami juga sadar sesadar-sadarnya bahwa masih banyak kekurangan kami disana-sini dalam tampilan kami. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran sekeras apapun, dan dalam bentuk apapun setiap saat dari pembaca dan nitizen kami untuk perbaikan fnn.co.id ke depan. Terima kasih yang tak terhingga. Salam hormat dari kamiManejemen fnn.co.id PT Forum Adil Mandiri

Bolehkah Presiden Mengusulkan Kenaikan Pangkat dan Jabatan Polisi dan Tentara?

Jakarta, FNN - Siang tadi Presiden Jokowi menandatangani Surat Keputusan (skep) Kenaikan Pangkat 37 perwira Polri dan TNI. Menariknya, penandatanganan tersebut dilakukan dihadapan para perwira yang bersangkutan. Setelah itu Jokowi bersilaturahmi dengan mereka, disusul foto-foto bersama di depan istana. Rencananya, upacara kenaikan pangkat ke-37 perwira tersebut akan dilaksanakan pada Jumat (30/08/2019) oleh pimpinan masing-masing instansi. Mereka terdiri dari perwira tinggi yang mendapat penambahan bintang dan perwira menengah (kolonel TNI dan Kombes Polisi) yang akan mendapat bintang satu. Salah satu "rising star" kali ini adalah Irjen Polisi Dharma Pongrekun (Akpol 88), Wakil Kepala Badan Sandi dan Siber Negara, yang mendapat promosi kenaikan pangkat menjadi Komisaris Jenderal Polisi. Satu lagi, seorang anggota Korps Wanita Angkatan Laut (Kowal), Laksamana Pertama TNI drg. Andriani , Sp.Ort., F.I.C.D., sekarang menjabat Staf Ahli Panglima TNI. Ini sepertinya model baru dalam proses promosi kepangkatan perwira tinggi TNI dan Polri. Sebab, biasanya perwira yang mendapat kenaikan pangkat menerima skep tanpa bertemu presiden. Tahun lalu, pernah Presiden Jokowi bersilaturahmi dengan 79 pati TNI-Polri yang baru saja mendapat promosi kepangkatan. Tapi proses kali ini berbeda, Jokowi justru menemui calon penerima skep sebelum kasih tandatangan. Model terakhir ini seharusnya dijadikan tradisi dalam proses kenaikan pangkat perwira tinggi. Sesuai peraturan kepangkatan di lingkungan TNI dan Polri, kenaikan pangkat bagi perwira tinggi serta kenaikan pangkat kolonel atau kombes menjadi perwira tinggi, memang ditetapkan oleh Presiden berdasarkan usulan Panglima TNI dan Kapolri melalui sekretaris militer. Karena administrasinya seperti itu, memang lebih elok Presiden berkenalan lebih dulu dengan perwira yang akan menerima skep. Justru terlihat lucu kalau presiden tidak kenal dan tidak tahu muka orang yang menerima skep. Tentu kita tidak mau dong presiden membeli "kucing dalam karung". Justru dengan pola baru ini presiden bisa kenal langsung dengan perwira yang bersangkutan sebelum dinaikan pangkatnya. Bagi yang menerima promosi, sudah tentu ini silaturahmi begini memotivasi dia lebih bertanggungjawab dalam pengabdianya kepada negara. Bahkan dalam posisinya sebagai Kepala Pemerintahan dan Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, presiden semestinya berhak menganulir usulan dari Kapolri dan Panglima Tertinggi. Sebaliknya, Presiden juga berhak memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI mengusulkan menaikan pangkat seseorang yang dinilai berprestasi. Bagaimana cara menilainya dan apa parameternya, toh presiden punya banyak mata dan telinga. Presiden bisa minta second opinion dari wantimpres, bisa minta pendapat Menhan, dan siapa saja yang dianggap kredibel. Apakah hal seperti itu melanggar ketentuan kenaikan pangkat selama ini? Kalau berdasarkan prosedur yang berlaku selama ini, selintas memang melanggar. Karena menurut aturan internal TNI dan Polri usulan kenaikan pangkat untuk perwira tinggi harus dirapatkan dulu di internal Polri dan TNI, sebelum diteruskan ke ke presiden. Intinya harus dari bawah ke atas. Tapi karena sifatnya hanya "pengusulan", presiden sudah tentu bisa menolak. Sebaliknya Presiden bisa memberi umpan balik ke Kapolri dan Panglima TNI agar mengusulkan nama seseorang perwira yang dianggap perlu dinaikan pangkatnya. Dasar hukumnya memang belum ada, tapi bisa menggunakan penafsiran dari ketentuan yang lebih tinggi (UU Polri dan UU TNI) yang menegaskan kenaikan pangkat pati dan dari pamen ke pati ditetapkan oleh presiden Prosedur seperti ini memang tidak perlu diundangkan karena bakal menimbulkan kontroversi yang tidak perlu. Tapi bisa saja djadikan semacam konvensi (aturan tidak tertulis), bahwa Presiden berhak menganulir dan mengusulkan kenaikan pangkat perwira tinggi berdasarkan kewenangan-kewenangan tertinggi yang melekat padanya. Kalau presiden tidak boleh menganulir atau mengusulkan kenaikan pangkat seseorang, sama artinya kita membiarkan presiden cuma jadi tukang tandan tangan dan stempel dari bawahannya. Lah, Kepala Negara kita siapa sih? (Tony Hasyim)