Moeldoko Ambil Alih Paksa Demokrat, Presiden Happy-Happy
YA benar, Anda tidak salah membaca judul editorial FNN kali ini. Pernyataan itu disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD ketika ditanya oleh Najwa Shihab.
Bagaimana reaksi Presiden Joko Widodo ketika mengetahui orang dekatnya Moeldoko mengambil alih secara paksa partai Demokrat.
“Presiden kaget. Tapi tidak (uring-uringan). Presiden happy-happy saja,” ujar Mahfud.
Kalau Anda terkejut, dan merasa ada yang salah dengan pernyataan itu, maka yang salah adalah Anda. Karena menggunakan standar akal dan nalar sehat.
Sebab, standar yang sudah lama hilang dari kehidupan kita berbangsa dan bernegara, sejak Jokowi menjadi Presiden pada tahun 2014. Dalam standar nalar dan akal sehat, sangat tidak patut seorang kepala negara di sebuah negara demokrasi, bersikap happy-happy, mengetahui ada sebuah partai diambil-alih secara paksa. Apalagi, yang mengambil-alih, mengkudeta dan membegal itu anak buahnya sendiri, Kepala Staf Presiden, Moeldoko.
Dengan standar yang sama, seorang Menko Polhukam juga harusnya tidak mungkin mengungkap frasa “Presiden happy-happy,” kepada publik. Mahfud MD harusnya tahu, kata itu menunjukkan, betapa sudah hancur leburnya standar moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau toh benar Presiden mengungkap perasaan hatinya dengan frasa itu, adalah kewajiban dari Mahfud MD sebagai Menko Polhukam untuk menyaringnya. Menyampaikannya dengan bahasa yang lebih halus. Lebih diplomatis. Atau bahkan sama sekali tidak perlu diungkap kepada publik.
Ucapan itu sama sekali tidak layak muncul dari seorang Presiden. Juga sangat tidak layak disampaikan seorang Menko Polhukam.
Akan tetapi, itulah Mahfud MD. Itulah Jokowi. Bagi yang sudah hafal dengan gaya keduanya berkomunikasi, mengurus negara, hal itu sesungguhnya sama sekali tidak mengejutkan.
Pengambil-alihan sebuah parpol, akuisisi politik melalui pecah belah, sudah menjadi pola baku bagi pemerintah untuk menundukkan parpol oposisi. Kita bisa menyebut sederet fakta mulai dari perpecahan di tubuh Partai Golkar, PPP, PAN, bahkan sampai partai yang tidak lolos parlemen Partai Berkarya.
Hanya modusnya yang berbeda. Relatif lumayan halus. Seolah itu persoalan internal. Masih coba main cantik.
Aksi Moeldoko jelas sangat berbeda. Menggunakan terminologi bisnis, ini adalah hostile take over! lebih kasar dibandingkan dengan proses akuisisi.
Dia bukan kader Partai Demokrat. Secara resmi dia kader Partai Hanura. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum.
Jadi, atas dasar apa dia kemudian bisa terpilih menjadi Ketua Umum melalui sebuah Kongres Luar Biasa (KLB)? Tidak perlu kaget kalau para pengurus Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono menyebutnya secara tidak hormat. KLB Abal-abal.
Sementara untuk Moeldoko sebutannya lebih tidak terhormat lagi. “Begal Parpol.” “Pembajak Parpol.”
Seorang Kepala Staf Presiden. Jenderal bintang empat. Pernah menjadi Panglima TNI disebut sebagai begal. Presiden pun happy-happy?
Kita hanya bisa mengelus dada. Tidak salah kalau Presiden Jokowi kemudian dituduh berada di balik aksi yang sangat kasar dan tidak terhormat itu.
Alih-alih mengambil tindakan tegas. Memecat Moeldoko. Presiden malah happy-happy saja.
Kerusakan lebih parah seperti apa lagi yang akan terjadi pada negeri ini.
Sebagai institusi pers kami ingin menggunakan hak konstitusi kami.
Secara kelembagaan FNN dengan tegas menyatakan. “Pak Presiden kami tidak happy dengan kondisi negeri ini.” “Kami tidak happy dengan cara Anda mengelola negara ini.”
“Kami tidak happy bahwa ada tanda-tanda yang sangat jelas Anda membahayakan demokrasi dan membawa negara ini ke jurang otoritarianisme.” **