Sisi Gelap di KM 50, Pertanyaan Untuk Kabareksirm?

Jakarta FNN – Senin (28/12). Nyawa 6 (enam) manusia melayang. Nyawa mereka dicabut oleh peluru Polisi di Kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek. Kilometer ini dekat Karawang Barat. Menurut keterangan Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran, alamarhum-almarhum itu pengawal Habib Muhammad Rizieq Sihab. Mereka, kata Kapolda melawan dan membahayakan nyawa petugas.

Tampaknya keterangan itu menjadi titik tolak Polisi terus menyelidiki kasus ini. Tentu saja penyelidikan ini bermaksud membuat terang kasus ini. Tentu tabir-tabir malam yang gelap, hendak dibuat terang, seterangan purnama. Tentu tujuannya, boleh jadi agar hukum tegak.

Oke itu bagus. Tapi anehnya, Edy Mulyadi, wartawan FNN.co.id, yang ditugaskan oleh redaksi menginvestigasi kasus itu, dipanggil dan diperiksa penyelidik Polisi. Edy dianggap tahu sebagian kenyataan kasus ini. Padahal Edy Mulyadi tahu karena mewawancarai narasumber. Wawancara itu dilakukan dalam kapasitas Edy Mulyadi sebagai wartawan FNN.co.id

Sebagai jurnalis senior, Edy Mulyadi yang 29 tahun menjadi wartawan dan redaksi FNN.co.id tahu benar bahwa pengetahuan kami atas suatu peristiwa hukum yang kami dapat sebagai jurnalis, tidak memenuhi syarat dan kualifikasi untuk dijadikan sebagai saksi. Bagaimana bisa jadi saksi? Kami tidak melihat sendiri, tidak mendengar sendiri atau tidak alami sendiri.

Edy Mulyadi kan tahu fakta-fakta itu, karena diceritakan orang kepadanya pada saat memewancarai orang tersebut. Kata orang hukum, sifat pengetahuan Edy itu hanya “de auditu”, dengar dari orang lain. Hukum yang kita pahami bersama tidak menerima “de auditu” untuk jadi bahan kesaksian. Jadi tidak logislah memeriksa Edy Mulyadi yang telah menjadi wartawan sejak tahun 1991 itu.

Namun apapun itu, Edy Mulyadi telah diperiksa oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri. Inila yang menarik. Pemeriksaan itu menggerakan naluri setiap wartawanan untuk menggali sejauh mungkin soal-soal kecil, dengan sisi gelapnya yang terjadi pada peristiwa kilometer 50 ini.

Seandainya benar sejak sore hari di rest area kilometer 50 itu telah ada, apalagi banyak Polisi, itu jelas sangat menarik. Apa yang menarik? Apakah jumlah Polisi sebanyak itu telah menjadi kebiasaan, rutin, di rest area itu? Apakah jumlah itu baru terjadi pada sore hari itu? Apakah jumlah itu bertahan hingga malam terjadinya peristiwa mengenaskan itu?

Oh iya, polisi yang melakukan penyelidikan, yang akhirnya baku tembak dengan para almarhum, sesuai keterangan resmi Polda, sedang melaksanakan tugas penyelidikan. Tentu saja penyelidikan terhadap Habib Muhammad Rizieq Shihab. Apa yang sedang diselidiki? Ini juga menarik sekali.

Siapa di jajaran Polda Metro Jaya, yang menugaskan mereka? Apakah penugasan itu dilakukan secara lisan atau tertulis? Ini harus jelas. Bila perintah itu diberikan secara tertulis, tentu ada surat perintah tugas. Apa diskripsi pemberi perintah dalam surat tugas tersebut? Apa perintah spesifiknya? Intai saja atau tangkap orang-orang itu, atau apa?

Apakah di dalam surat perintah itu, berisi perintah mengambil tindakan yang mematikan kepada para almarhum? Rasanya tidak mungkin. Petugas tahu apa yang harus dilakukan bila mereka diserang, yang sifat serangan itu membahayakan keselamatan, bahkan nyawa mereka.

Kalau saja perintah tugas itu, terlepas dari diberikan secara lisan atau tertulis, apakah berisi perintah sebatas mengintai Habib Muhammad Rizieq Shihab? Apakah (andai terkonfirmasi) rombongan Habib harus dipepet? Mengintai itu kan esensinya yang penting tahu dimana target yang diintai berada? Sedang berada dia ditempat itu? Dengan siapa saja dia di tempat itu dan seterusnya bla bla bla.

Mengetahui keberadaan target, akan memudahkan Polisi, untuk misalnya sewaktu-waktu melakukan penangkapan. Tetapi mengapa andai terkonfirmasi, haruskah Polisi penyelidik memepet kendaraan rombongan Habib? Apakah itu perlu? Semoga tidak ada pepet-memepet. Sekali lagi semoga begitu. Bila tidak begitu, maka ini yang menjadi soal. Sebab mengapa harus dipepet?

Sekali lagi, semoga tidak ada pepet-memepet. Sebab, bila pepet-memepet itu ada, maka sulit untuk tidak menjadikan pepet-memepet itu sebagai sebab terdekat, apa yang Polda Meto sebut tembak-menembak itu. Sementara soal tembak-menembak ini benar-benar mengoda naluri setiap yang mengaku diri wartawan.

Setiap wartawan, tidak boleh percaya begitu saja kepada salah dari dua pihak yang dianggap bersengketa. Itu wajib hukumnya. Begitulah hukum besi dunia jurnalistik. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Jurnalis wajib hukumnya untuk objektif dalam memberitakan satu pristiwa.

Soal tembak-menembak yang dikatakan Kapolda Metro Jayaitu, ternyata disanggah oleh Munarman, Sekertaris Umum FPI. Tetapi oke, lupakan saja dulu siapa yang benar, dan siapa yang salah soal tembak-menembak atau menembak tersebut. Lupakan saja dulu itu. Untuk membuat jelas soal ini, wartawan perlu untuk mengajukan beberapa pertanyaan.

Oke, ikut saja logika konfrensi pers Kapolda Metro Jaya. Soalnya adalah siapa persisnya yang mengawali tembakan? Apa yang ditembak? Mobil yang dipakai Polisi? Mobil dinas atau mobil umum yang dipakai Polisi? Pada bagian mana tembakan itu diarahkan? Bagian mana persisnya yang terkena peluru? Berapa peluru? Peluru jenis apa?

Anggap saja tembakan diawali oleh pengawal Habib Muhammad Rizieq Shihab, dan petugas penyelidik yang merespon. Respon itu dilakukan dengan cara menembak mereka, sehingga terjadilah baku tembak. Sekalipun beginilah kenyataan yang tak tergoyahkan. Namun tetap saja ada soal. Apa soalnya? Semuanya 6 (enam) orang pengawal Habib Muhammad Rizieq Shihab itu mati. Itu soal besarnya.

Apakah keenam almarhum itu tertembak secara bersamaan pada saat itu juga? Apakah keenam almarhum itu semuanya mati ditempat itu? Seandainya tidak, maka ini juga jadi soal lagi. Berapa orang yang mati di tempat itu, dan berapa orang mati di tempat lain. Dimana letak tempat lain itu?

Bila semuanya mati di tempat itu, maka soalnya menjadi agak sederhana. Lain lagi, bila mereka semua tidak mati di tempat itu. Apa soalnya? Berapa yang mati di tempat itu, di area kilometer 50, dan di tempat lain? Sementara di tempat lain ini memunculkan soal lain, yang tidak kalah menarik juga.

Apakah kematian di tempat lain, padahal sebenarnya mereka telah tertembak di tempat itu, di kilometer 50 itu. Namun pi baru mati di tempat lain? Bila tidak, maka harus ada penjelasan. Penjelasan itu meliputi dua hal.

Pertama, soal jarak waktu antara mati di kilometer 50 dengan mati tempat lain itu. Kalau ada almarhum mati ditempat lain, maka soalnya jelas. Soalnya adalah adanya jedah waktu antara mati di area kilometer 50 dengan tempat lain itu. Ini yang benar-benar jadi soal. Apa saja soalnya?

Kedua, nah ini jadi sangat teknis. Apa jeda waktu, entah berapa menit atau jam, tidak cukup digunakan komandan pelaksana tugas lapangan untuk melaporkan kepada pemberi perintah tugas itu? Apakah komandan lapangan, berhak mengambil diskresi melakukan tindakan yang berakibat matinya orang?

Lain soalnya bila para almarhum mati pada saat yang sama, dan di tempat yang sama. Tentu tidak dibutuhkan laporan itu. Ini yang harus jelas. Ini menyangkut siapa yang bertanggung jawab, dan sampai dimana tanggung jawabnya. Ini berkaitan dengan rantai perintah, atau rantai komando.

Bereskah itu? Belum juga. Masih ada pertanyaan menyangkut postur fisik almarhum. Bisakah tembak-menembak, dimalam hari pula, tetapi peluru bersarang pada titik-titik (bagian tubuh) yang mematikan? Kalau titik yang tertembak itu, semuanya mematikan, bagaimana menerangkannya?

Menembak kaki, namun kena dada? Bisakah semua tembakan sama sasarannya? Kalau semua sasarannya sama, maka pertanyaannya adalah tembakan-tembakan Polisi itu dimaksudkan untuk melumpuhkan atau mematikan? Soal ini fakta nanti yang bicara.

Semoga tidak ada luka di bagian-bagian lain tubuh almarhum. Semoga saja. Namun bila ada, sekecil apapun luka atau cacat kecil itu, tetap saja menjadi persoalan. Tembak-menembak ko ada luka di bagian lain? Luka itu disebabkan oleh apa? Kena benda tumpul? Bagaimana benda tumpul itu digunakan?

Andai ada luka, lalu luka itu, misalnya berupa tangan atau kaki yang terkelupas di bagian luarnya, maka pertanyaannya adalah sampai bagaimana luka itu terjadi? Almarhum-almarhum itu berduel dengan petugas hingga terguling-guling, yang mengakibatkan tangan mereka terkelupas?

Komnas HAM, kabarnya telah memeriksa mobil yang disita di Polda Metro Jaya. Kabarnya Komnas temukan bercak darah di dalam mobil itu. Bagaimana sebaran darah itu? Darah siapa itu? Darah semua almarhum? Darah dua atau tiga atau empat almarhum? Bila ya, di tempat mana yang lainnya mati?

Ahli persenjataan dapat saja menerangkan efek dari jenis peluru, termasuk jarak tembak kepada para almarhum. Ahli senjata pasti dapat jelaskan daya rusak dari tembakan jarak jauh atau dekat. Soal daya rusak ini, ahli senjata juga pasti dapat menerangkan berdasarkan jenis senjata apa yang digunakan.

Apakah sisi-sisi gelap dapat digali dalam penyelidikan? Kerja keras yang tentu saja berbasis Promoter saat ini berlangsung di Bareskrim Mabes Polri? Apakah Kabareskrim mempertimbangkannya sebagai bagian dari hal yang dicari dalam penyelidikan ini? Tentu saja tak bagus untuk berspekulasi. Tapi suara Kabareskrim, nampaknya pantas untuk ditunggu saat ini.

998

Related Post