EDITORIAL

Gawat, JPU Dr. Syahganda Diduga Buta Sejarah UU No. 1/1946

AKAL sehat kita terseret jatuh terjerambab ke dalam tumpukan sampah. Apalagi mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kasus Dr. Syahganda Nainggolan. Tuntutan itu benar-benar menggelikan. Bobot kekonyolannya benar-benar mampu membuat kerbau ikut merendahkan kita. Kerbau, andai bisa berbicara, mungkin akan mengatakan “memang kalian bangsa manusia, bisa berperilaku lebih hina dibanding aku yang tak berakal”. Coba wahai bangsa manusia, gunakan saja sedikit akal kalian. Buka saja sedikit mata hati kalian lalu bandingkan kasus Syahganda itu dengan kasus Ahok, Wakil Gubernur Jokowi sebelum Jokowi jadi Presiden itu. Dia menistakan agama Islam. Agama yang Allah Subhanahu Wata’ala ridhoi untuk dianut umat manusia. Penistaan itu Ahok melakukan dengan terang-terangan. Namun hebatnya Ahok mampu menyangkal bahwa yang dilakukan bukan hal nista. Ahok Dituntut 2 Tahun Percobaan Tuan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kalian jangan pura-pura lupa. Karena jejak kasus penistaan Agama Islam oleh Ahok itu masih segar untuk diingat ummat Islam hingga kini. Ummat Islam harus menyingsingkan lengan baju ketika itu untuk mendatangi Presiden, dan mendesaknya menegakan hukum untuk Ahok. Itulah yang dilakukan ummat Islam melalui peristiawa 411 dan peristiwa 212. Hanya untuk menegakan hukum kepada Ahok. Semua rakyat negeri ini tau kalau Ahok itu temannya Presiden Jokowi. Untuk itu, 5-7 jutaan ummat Islam harus turun ke jalan mendesak Jokowi melepaskan belengggu diskriminasi hukum untuk ummat Islam, yang berseberangan dengan Presiden. Berhasil desakan ummat Islam? Hanya sebagian yang berhasil. Sebab dinding diskriminasi begitu kuat. Kokoh sekokoh Gunung Lawu. Diskriminasi itu bekerja melalui tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Ahok hanya dituntut oleh JPU dengan hukuman perjara percobaan selama dua tahun. Pemerintah, entah apa yang menyebabkan,bersedia mempertontonkan diskriminasi hukum dengan sangat telanjang, setelanjang-telanjangnya usai majelis hakim mengetuk palu vonis. Ahok dihukum penjara dua tahun. Tetapi masya Allah, untuk membawa Ahoik ke penjara saja susahnya minta ampun. Kita tahu diskriminasi hukum yang diperagakan dengan telanjang oleh pemerintahan Jokowi adalah membawa Ahok ke Rutan Mako Brimob Kelapa Dua. Ahok tidak ditaruh menjalani hukuman penjara selama dua tahun di pejara Cipinang sampai masa tahanannya selesai. Ini diskriminasi, keangkuhan dan kekonyolan hukum pemerintahan Presiden Jokowi. Berhentikah dengan bersikap diskriminasi itu. Sialkah itu? Tidak juga. Pemerintahan Jokowi seolah-olah memberi pesan kepada bangsa ini bahwa “saya ini Presiden”. Saya yang memegang kendali penuh atas hukum. Terserah saya. Jadi jangan coba-coba main politik kasar dengan saya. Kalau anda kasar, bisa saja saya penjarakan. Saya tak peduli dengan ini dan itu. Kalau mau kritik silahkan kritik. Tetapi kalau saya tersinggung, anda bisa habis. Jangan macam-macam sama saya. Kira-kira begitulah pesan penting dibalik tuntutan Jaksa terhadap Dr. Syahganda Nainggolan. Jokowi Tidak Berkeringat Dr. Syahganda Nainggolan, salah satu pejuang terdepan melawan kekuasaan Orde Baru, yang pernah dijebloskan rezim Soeharto ke penjara ketika masih mahasiswa Intitut Teknologi Bandung (ITB) kini dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa. Waraskah itu? Ya kita hanya bisa mengasihani JPU itu, karena mendapat tugas “harus memastikan Dr. Syahganda Nainggolan dituntut seberat-beratnya”. Presiden Jokowi silahkan menuntut Dr. Syahganda dengan tuntutan yang seberat-beratnya. Itu dapat dipahami, karena Pak Jokowi tidak berkeringat sebagai pejuang melawan kesewenang-wenangan Orde Baru. Pak Jokowi itu hanya menjadi penikmat kekuasaan Orde Baru yang diperjuangan Dr. Syahganda dan teman-teman aktivis pro demokrasi lainnya, dimulai sejak Malari 1974 sampai Reformasi 1998. Perjuangan kekuasaan otoriter dari tahun 1974-1998 itu, tidak ada jejak keringat Pak Jokowi. Mungkin malah Pak Jokowi sedang menikamati kediktatoran Orde Baru. Misalnya, sedang menjadi karyawan di BUMN, PT Kertas Kraft Aceh. Yang ditempatkan di area Hutan Pinus Merkusi di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Atau lagi menjadi karyawan CV Roda Jati, milik paman Pak Jokowi, Pak Miyono. Mungkin Pak Jokowi lagi asyik-asyiknya menikmati dan membangun usaha mebel sendiri, CV Rakabu. JPU pasti tak berdaya untuk menuliskan lain dari yang sudah ditulis dalam tuntutan mereka. Coba anda bayangkan, DR. Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong, yang menimbulkan keonaran. Tuduhan ini mengacu pada pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Tetapi lucu, aneh bin ajaib, kalau perbuatan Dr. Syahganda dinilai memiliki bobot merobohkan kekuasaan. Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana yang dituduhkan kepada Dr. Syahganda itu, tidak ada satu kata pun yang bicara roboh-merobohkan kekuasaan. Tidak ada itu. Jangan menghayal dan ngigau tuan. Hanya orang ngawur, tolol, bodoh, dengki, picik, culas, sombong, angkuh saja yang mampu bilang ada kata roboh-merobohkan kekuasaan. Hanya orang-orang yang berpredikat hukum picisan, kerdil, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng saja yang kebetulan belajar ilmu hukum di pinggir jalan, got dan gorong-gorong yang berbau busuk saja yang bilang pasal 14 dan 15 itu ada kata roboh-merobohkan kekuasaan. Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 itu isinya begini, “barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”. Coba jelaskan, mana kata-kata yang bilang roboh-merobohkan kekuasaan wahai tuan-tuan JPU? Pasal 15 hanya berisi satu ayat. Isinya begini, “barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun”. Keonaran Itu Harus Nyata Tuan JPU, coba tolong tuan jelaskan sekali lagi, mana kata-kata roboh-merobohkan kekuasaan dalam pasal ini? Konyol bangat dong tuan, kalau ada kata-kata dalam pasal-pasal itu dinyatakan mengandung maksud roboh-merobohkan kekuasaan. Sesat dan kerdil sekali model pemahaman hukum seperti tuan ini. Kalau boleh tau, kira-kira tuan belajar ilmu hukum di planet mana ya? Unsur delik dalam pasal-pasal itu, salah satunya adalah “menimbulkan keonaran” di kalangan rakyat. Keonaran itu, kalau tuan benar-benar belajar ilmu hukum pidana, harus nyata-nyata ada. Itu present. Bukan prediksi, mimpi dan hayalan dari tuan JPU. Onar itu harus nyata-nyata membahayakan. Bahasa kerennya itu “present danger” ada dan nyata di kehidupan rakyat. Masa harus diajarin lagi tuan JPU? Tidak bemaksud menggurui tuan JPU, cuma onar itu harus nyata-nyata merupakan akibat langsung, atau keadaan yang dihasilkan langsung dari berita bohong atau berlebihan. Pasal 14 ayat (1) itu benar-benar bersifat delik materil. Ini bukan delik formil tuan JPU. Delik materil itu adalah delik yang bertumpu pada akibat. Logikanya begini “kalaupun ada perbuatan, tetapi akibat dari perbuatan itu tidak timbul atau tidak terjadi, maka tidak ada itu pidana”. Begitu cara memahaminya tuan. Ah, masa seperti begitu harus diajarin lagi? Kaya tuan masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum. Jangan-jangan mahasiswa lebih capat faham dari tuan. Tuan JPU, gaduh itu sudah sifat bawaan, tabiat asli dari demokrasi. Kalau mau demokrasi, anda harus terima kegaduhan sebagai ciri yang melekat di dalamnya. Tetapi mengapa pasal 14 dan 15 itu memuat “keonaran” sebagai hal yang terlarang? Masa yang kaya gitu saja tuan JPU tidak paham? Kasian amat negara ini. Menggaji orang yang kemungkinan saja tak terlalu paham sejarah dan sebab-musabab dari lahirnya sebuah UU, yang melekat di dalamnya karakter dan ciri dasar demokrasi. Apa tuan JPU, dan mungkin juga hakim yang menyidangkan perkara ini tahu asbab al wurudz lahirnya pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu? Mengapa hal alamiah dalam demokrasi, dilarang oleh UU Nomor 1 Taun 1946? Mikir dong tuan-tuan. Pakai otak dikit dong tuan-tuan. Jangan dungu dong tuan-tuan. Belajar dan baca mengapa UU itu dibuat dong tuan-tuan. Jangan asal main bilang onar-onar saja dong tuan-tuan. Wahai banga Indonesia, ingatkah berita bahwa Presiden Jokowi pada tahun 2016 pernah mengatakan ada uang miliki masyarakat yang disimpan di luar negara sebesar “ Rp. 11.000 trilun”? Datanya sudah di kantong saya. Uangnya masyarakat yang mana? Dimana saja uang itu ditaruh? Bagaimana rinciannya? Sudah dibawa kembali ke Indonesia uang Rp. 11.000 triliun itu? Kalau sudah, lalu bagaimana pembukuannya? Mau tanya tuan JPU, ini kualifikasi berita benar, bohong atau berlebihan? Apapun itu, Jokowi tidak bisa dituntut dengan pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Mengapa? Karena tidak menimbulkan kegaduhan apa-apa. Keagaduhan akibat dari perbuatan itu tidak terjadi, sehingga secara pidana tidak bisa dituntut. Kalau menjadi Jaksa, harusnya pahami itu dong. Tan Malaka Yang Berbohong “Merdeka atau mati” itulah suasana bathin rakyat Indonesia pada waktu UU Nomor 1 Tahun 1946 itu dibentuk. Tahu kapan UU itu diundangkan? UU itu diundangkan pada tanggal 26 Februari 1946. Praktis 3 (tiga) hari setelah Kabinet Sjahrir I demisioner atau dua hari sebelum kabinet Sjahrir dua memulai proses pembentukannya. Baca, kenali dan pelajari itu tuan Jaksa. Jangan asal saja. Apa tuan JPU tahu kalau pemerintah Indonesia ketika itu tidak hanya menghadapi keculasan sekutu? Indonesia menghadapi NICA sebagai kepanjangan tangan Pemerintahan Belanda, plus KNIL pasukan bersenjatanya. NICA dan KNIL, dari ke hari, siang-malam memburu siapa saja yang bela kemerdekaan, lalu rakyat dicecekoki NICA dan KNIL dengan berita bohong itu? Apa jadinya kalau begitu? Apa tidak logis pemerintah saat itu membuat larangan yang tercantum dalam pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tersebut? Jangan main bilang terbukti saja dong. Sekutu waktu itu tidak pernah mau menyebut “Jakarta.” NICA dan KNIL hanya mau menyebut “Batavia”. Pakai otak sedikit dong untuk mikir dan belajar tuan. Jangan kelihatan ooon gitu dong. Malu ah tauuuu. Kalau tuan JPU mau sedikit membaca lembaran sejarah kehadiran NICA dan KNIL, maka ditemukan Bung Karno, Bung Hatta, dan Perdana Menteri Bung Sjahrir, diberitakan oleh Tan Malaka ke mana-mana di Jawa bahwa mereka bertiga telah ditawan Sekutu. Perbuatan Tan Malaka ini jelas bohong yang menimbulkan keonaran. Bohong yang seperti inilah yang dimakud oleh pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Bukan menyebarkan hasil analisis tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai hal bohong. Presiden Jokowi boleh saja membenci Dr. Syahganda yang terkenal sebagai aktifis kritis terhadap pemerintahan anda. Namun Presiden tidak boleh membiarkan dirinya ditandai rakyatnya dalam sejarah sebagai orang yang kerdil. Hanya karena rakyat negeri ini menemukan nuansa diskriminasi yang telanjang dalam penegakan hukum terhadap Dr. Syahganda Nainggolan. Hanya kebencian dan kekerdilan yang menjadi justifikasi terbesar untuk mengatakan perbuatan Dr. Syahganda Nainggolan itu salah. Hanya itu saja. Tidak ada yang lain. Secanggih apapun argumen dibalik alasan, tidak cukup untuk mengatakan Dr. Syahganda bersalah. Pak Presiden Jokowi, cukup sudah praktek-praktek diskrminasi hukum di negeri tercinta ini. Pak Presiden sudilah untuk berbesar hati, tampil megambil langkah terhebat menghentikan diskriminasi ini. Sebab di ujungnya, anda bakal dikenang sebagai orang hebat, top markotop dan mengagumkan.

Ketika Negara Dikuasai Kaum Pandir

REZIM ini menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan uang hanya untuk membunuh aktivitas Habib Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam. Entah apa yang merasukinya, rezim tampaknya yakin mampu mewujudkannya karena merasa negara ini kaya raya tanpa batas. HRS dan FPI dikesankan sebagai musuh negara yang membahayakan. Padahal ia cuma dipaksa melanggar protokol kesehatan. Ada peristiwa yang luput dari perhatian publik yakni eksepsi HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur Jumat, 19 Maret 2021. Maklum, pembacaan eksepsi itu sengaja tidak disiarkan oleh pengadilan. Satu tindakan yang tidak adil dalam proses pengadilan HRS, sementara dalam sesi sidang yang lain semua disiarkan melalui media massa. Eksepsi itu berjudul "Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman, Tegakkan Keadilan". Ini bukan eksepsi HRS semata, tetapi ini eksepsi seluruh rakyat Indonesia, sebab sebagian isinya adalah menyuarakan perjuangan melawan kezaliman. Tidak hanya soal kerumunan. Di situ HRS juga membongkar adanya operasi intelijen berskala besar yang targetnya adalah menguasai NKRI. Ancaman yang bakal menimpa seluruh rakyat Indonesia, tak hanya HRS. Eksepsi HRS sebagian lainnya berisi soal kerumunan karena memang dakwaan jaksa adalah soal kerumunan. Ada 10 poin pelanggaran kerumunan yang dituduhkan oleh Jaksa dalam sidang pertama dan langsung dimentahkan oleh eksepsi. Contoh paragraf eksepsi yang tidak berisi soal kerumunan dan menyuarakan visi perjuangan melawan kezaliman rezim, terdapat pada alinea ini: "Habib Rizieq Shihab dikriminalisasi dan gerakannya coba dipadamkan dengan berbagai cara agar para antek 'aseng' dan asing tetap nyaman menjajah dan menjarah harta kekayaan NKRI. Oleh karena itu, bagi pribumi Indonesia yang sadar akan hal ini, gerakan 212 telah membangkitkan semangat pribumi untuk memerdekakan kembali negeri ini untuk yang kedua kalinya. Gerakan ini muncul setelah melihat aset-aset strategis NKRI telah jatuh kembali ke tangan para VOC Gaya Baru. VOC yang direpresentasikan oleh kaum oligarki dan konglomet picik, licik, busuk dan tamak yang bekerjasama dengan rezim zalim, dungu, dan pandir di NKRI." (Eksepsi dalam sidang di PN Jaktim, Jakarta Timur, Jumat, 19/3/2021). Bila dilihat dari apa yang diperjuangkan oleh Habib Rizieq Shihab dan kawan-kawan, sebagaimana yang dialami oleh Proklamator Ir Sukarno seperti riwayat yang kami kutipkan di atas, jelas bahwa kriminalisasi Habib Rizieq Shihab dalam perkara a quo tidak lepas dan merupakan bagian dari operasi intelijen berskala besar (OIBB) oleh rezim zalim, dungu, dan pandir. Operasi intelijen berskala besar ini nelewati beberapa tahapan. Pertama, operasi black propaganda terhadap Habib Rizieq Shihab dan FPI. Kedua, operasi kontra narasi terhadap Habib Rizieq Shihab dan FPI. Ketiga, operasi pencegahan kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi. Walau gagal mencegah Habib Rizieq Shihab pulang, tetapi berhasil menghambat dan mengganggu kepulangan sehingga membutuhkan waktu 2,5 tahun baru Habib Rizieq Shihab bisa pulang. Keempat, operasi penggalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama di berbagai provinsi untuk menolak keberadaan Habib Rizieq Shihab dan FPI. Kelima, operasi konyol penurunan baliho di berbagai tempat oleh aparat yang bukan tupoksinya. Keenam, operasi konyol mengerahkan komando operasi khusus hanya sekadar untuk membunyikan sirene di Petamburan. Ketujuh, operasi pembantaian pengawal Habib Rizieq Shihab. Kedelapan, operasi surveillance dan penjejakan terhadap Habib Rizieq Shihab sehari 24 jam, seminggu 7 hari, sebulan 30 hari, setahun 365 hari. Bukti paling nyata bahwa persidangan ini adalah lanjutan dari operasi intelijen berskala besar adalah persidangan tidak dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Persidangan tidak dilakukan pada locus delicti peristiwa yang didakwakan. Pasal-pasal yang didakwakan mengarah pada pasal-pasal dengan ancaman yang bermotif politik seperti penerapan Pasal 10 dan 35 KUHP serta pasal-pasal selundupan lainnya. Persidangan dilakukan melalui sidang elektronik. Padahal tidak ada satu pun UU yang membolehkan. Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya. Penambahan pasal-pasal yang terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman. Pasal-pasal yang bisa digunakan hanya agar Habib Rizieq Shihab bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki. Pandir radikal itu telah menguasai bangsa ini. Mereka tak mampu berpikir jernih. Kebencian dan permusuhan terus digelorakan untuk menutupi kepandirannya. (SWS)

Bom Bunuh Diri, Teror, dan Peristiwa Yang Serba Kebetulan

INDONESIA dalam sepekan terakhir diguncang berbagai peristiwa mengejutkan. Ahad (28/3) sebuah aksi bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral, Makassar. Dua orang pelaku bom bunuh diri tewas. 20 orang jemaat gereja terluka. Belakangan diketahui pelaku adalah pasangan suami istri. Setelah ledakan di Makassar, polisi melakukan sejumlah penangkapan di Bekasi dan Jakarta. Polisi mengklaim menemukan 100 bom berdaya ledak tinggi. Uniknya di beberapa lokasi penangkapan, polisi mengaku menemukan poster Habib Rizieq Shihab, pakaian dengan atribut, dan kartu anggota FPI. Polisi juga menyebutkan bahwa dua diantara terduga teroris sempat hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tempat persidangan Habib Rizieq Shihab. Saat kehebohan di Makassar belum reda, tiba-tiba kita dikejutkan dengan peristiwa yang oleh hampir semua media mainstream disebutkan sebagai “Mabes Polri Diserang Teroris.” “Terjadi tembak-tembak menembak, teroris ditembak mati,” begitu media menggambarkan peristiwa yang terjadi Rabu (31/3). Video “aksi teroris” di Mabes Polri segera beredar di dunia maya. Tampaknya video itu berasal dari CCTV di Mabes Polri. Berkat CCTV inilah publik bisa mendapat gambaran sesungguhnya. Dari video tersebut publik jadi bertanya-tanya. Benarkah Mabes Polri diserang teroris? Di dalam video itu yang terlihat seorang wanita seperti berjalan kebingungan. Sesekali dia seperti menunjukkan gerakan orang menembak. Tak lama kemudian kita bisa menyaksikan dia roboh. Dari suara di dalam video kita mengetahui, wanita itu sudah ditembak mati. Reaksi netizen hampir seragam. Mereka mempertanyakan narasi yang coba dibangun oleh media, bahwa Mabes Polri diserang teroris. Terjadi tembak-menembak. Penjelasan dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahwa pelaku adalah teroris lone wolf beridiologi ISIS, tidak dipercaya publik. Apalagi kemudian tersebar sebuah surat yang disebut sebagai wasiat ditulis oleh Zakiah Aini. Begitu nama perempuan nahas yang ditembak mati itu. Perihal surat inilah yang kemudian menimbulkan kehebohan. Netizen menemukan banyak kemiripan dengan “surat wasiat” yang ditulis oleh pelaku bom bunuh diri di Makassar. Bom di Makassar, dan aksi teroris bingung di Mabes Polri ini, secara kebetulan muncul bersamaan dengan persidangan Habib Rizieq. Secara kebetulan pula, pada saat itu Mabes Polri sedang kelimpungan menjelaskan kepada publik soal pelaku penembakan enam laskar FPI. Polisi sebelumnya mengaku akan menuntaskan kasus penembakan itu. Tiga orang polisi dinyatakan menjadi tersangka. Siapa saja mereka? Tidak pernah dijelaskan. Namun melalui akun anonim dan juga pemberitaan media, nama ketiganya beredar. Polisi rendahan dengan pangkat Brigadir. Tidak ada satupun yang berpangkat perwira. Padahal dari investigasi Komnas HAM disebutkan ada sebuah mobil Land Cruiser di lokasi KM-50. Tidak mungkin seorang polisi berpangkat Brigadir mengendarai mobil mewah tersebut. Jelas dia seorang perwira. Paling jelek perwira menengah, atau bahkan perwira tinggi. Tiba-tiba saja Mabes Polri mengumumkan salah satu pelaku penembakan tewas karena kecelakaan. Ihwal pengumuman tewasnya satu pelaku penembakan ini sangat mencurigakan. Namanya sama sekali tidak pernah disebut sebelumnya. Hal lain yang kian mencurigakan, warga, bahkan Kapolsek Setu, Tangerang Selatan yang disebut sebagai lokasi kejadian, mengaku tidak tahu menahu. Agak sulit menghindarkan persepsi, bahwa semua rangkaian kejadian secara kebetulan berhubungan. Banyak yang curiga hal itu merupakan pengalihan isu. Ada juga dugaan, semua rangkaian peristiwa dengan tujuan menjadikan Habib Rizieq sebagai target. Pengamat teroris Sydney Jones misalnya, secara terbuka menyatakan, sangat tampak penguasa ingin menjadikan FPI sebagai teroris. Dalam bahasa Jones, polisi sangat obsesif. Berbagai kejanggalan, keanehan, serta serba kebetulan ini harus dijelaskan kepada publik. Publik sudah telanjur tidak percaya kepada pemerintah dan apapun informasi yang disampaikan polisi. Public distrust semacam ini sangat berbahaya. Perlu kerja keras, dan sikap tulus untuk merebut kembali kepercayaan publik. Itu kalau pemerintah masih menganggap perlu. Lain halnya kalau pemerintah menganggap semua itu tidak penting. Tidak perlu. Toh mereka sekarang yang berkuasa. Rakyat mau apa? end

Negara Tidak Boleh Kalah Dengan Polisi

MASIH teringat dengan jelas aparat keamanan tampil gagah penuh percaya diri di depan kamera mengumumkan kematian 6 laskar FPI di KM 50 jalan tol Jakarta-Cikampek, pada 7 Desember 2020 lalu. Mereka mengakui telah membunuhnya. Aparat keamanan itu adalah Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadhil Imron dan Pangdam Jaya, Mayjen TNI Dudung Abdurrachman didampingi beberapa staf penjaga keamanan DKI yang solid. Kini, sudah 123 hari sejak pengumuman heroik itu dikumandangkan, toh tak menunjukkan kemajuan yang berarti. Identitas pembunuhnya tak pernah dimunculkan ke publik, saksinya juga gelap, dan cara membunuhnya juga berubah-ubah. Yang terjadi justru Tempat Kejadian Perkara (TKP) diobrak-abrik, wartawan dilarang meliput, dan publik dicekoki berita rekayasa. Diperparah dengan opini buzzer yang menyesatkan. Komnasham yang diharapkan bisa mengungkap kejadian yang sesungguhnya secara adil dan transparan, malah melempem bahkan membebek keterangan polisi sebelumnya. Padahal mereka digaji negara untuk bekerja fair, profesional, dan independen. Belakangan muncul informasi baru. Kata polisi, salah satu terlapor algojo pembunuh 6 laskar FPI berinisial EPZ tewas kecelakaan di Jalan Bukit Jaya, Kecamatan Setu, Tangerang Selatan. Namun setelah dicek, lokasi itu bohong belaka. Boye, seorang tukang parkir yang sudah 10 tahun mangkal, menyatakan tidak ada Jalan Bukit Jaya, adanya Bakti Jaya. Bantahan juga disampaikan oleh Kapolsek Setu, AKP Dedi Herdiana bahwa dirinya tidak pernah mendapat laporan ada anggota polisi meninggal di wilayah itu. Kejanggalan lain adalah inisial EPZ adalah Elwira Priadi Zendrato yang dalam penelusuran sebelumnya tidak pernah ada nama itu. Tiga anggota Polri yang diduga sebagai eksekutor anggota laskar FPI adalah Brigadir Satu Fikri Ramadhan Tawainella, Brigadir Kepala Faisal Khasbi Alaeya, dan Brigadir Kepala Adi Ismanto. Ajaib, muncul nama baru Elwira Priadi Zendrato meninggal 4 Januari 2021 pukul 23.45 WIB, tetapi baru diumumkan 26 Maret 2021. Keanehan lainnya adalah penetapan 6 laskar FPI yang tewas, sebagai tersangka. Sontak saja keluarga dan masyarakat geram atas penetapan status ini. Tak kuat mendapat kecaman keras dari masyarakat, sehari kemudian status itu digugurkan dengan alasan pelakunya sudah meninggal dunia. Plintat plintut kan? Skenario demi skenario terus disusun dengan cermat dan hati hati. Toh dalam perjalanannya ada saja batu sandungan. Informasinya berubah-ubah. Perubahan terjadi mungkin karena tidak sesuai dengan arahan sutradara atau ada kejanggalan jalan cerita yang muncul belakangan. Ini bisa terjadi lantaran skenario disusun dengan deadline yang ketat. Maka, wajar jika hasilnya kurang sempurna. Tapi sadarlah, sehebat apa pun skenario yang dibuat manusia, jika didasari ketidakjujuran untuk membungkus kejahatan, Insyaa Allah, kelak akan terbuka seterang-terangnya. Tak ada yang tersembunyi di hadapan Allah. Azab menunggu baik di dunia maupun akhirat. Wahai sang pembunuh, apa yang membuat Anda yakin bahwa perbuatan keji itu tak akan terungkap? Sehebat apa Anda memanfaatkan oknum-oknum polisi untuk terus bersandiwara mengikuti arah telunjuk Anda digerakkan? Sekuat apakah keyakinan Anda bahwa perbuatan Anda pasti tidak ada yang bisa mengungkap. Ingat, tidak ada satu pun agama dan keyakinan yang membolehkan membunuh manusia tanpa alasan. Dalam Islam sudah jelas larangan membunuh nyawa yang diharamkan Allah kecuali dengan kebenaran. Dalam QS. al-An'am: 151 disebutkan barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Kristen, dalam Lukas 18:20 dikatakan, ”Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu.” Budha demikian juga. Dalam salah satu sloka ajaran Veda dikatakan bahwa dharma tertinggi adalah ahimsa. Ahimsa berasal dari kata “a” yang artinya tidak dan “himsa” yang artinya membunuh. Sehingga mereka mengatakan bahwa ahimsa artinya tidak membunuh. Hindu mengajarkan kepada umatnya agar tidak melakukan pembunuhan sewenang-wenang kepada mahluk hidup yang lain, karena pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang berakibat dosa atau himsa karma. Binatang saja kalau mau disembelih ada ritualnya, adab, dan doanya. Pembunuhan 6 laskar FPI secara keji kok dikesankan wajar dan boleh. Pembolehan ini tampak jelas pada sikap dan moral pejabat republik ini. Tak ada ucapan duka dari Presiden. Tak ada bela sungkawa dari wapres. Tak ada simpati dari menteri agama, dan tak ada empati dari loyalis buta tuli rezim ini. Membunuh 6 laskar anak muda seakan menabrak barisan bebek yang melintas di jalan. Kaget sesaat lalu kabur dan menghilang. Keterangan polisi yang plintat-plintut dalam membongkar kasus unlawfull killing ini justru semakin memunculkan dugaan publik bahwa sang oknum sedang merekayasa kasus agar pelaku sebenarnya tak terungkap. Polisi bekerja sangat tidak adil. Bandingkan kerja polisi dalam kasus pembunuhan 6 laskar FPI dengan pengungkapan bom bunuh diri di Makassar, 28 Maret 2021. Sungguh bertolak belakang. Dalam kasus ini polisi kerja cerdas, cepat, dan cermat. Kurang dari 24 jam identitas pelaku bom di pagar Gereja Katedral Makassar dibongkar. Langsung ketemu, Lukman namanya. Semua info tentang Lukman diblejeti habis, termasuk surat wasiat dan masa lalunya. Cepat sekali. Ada kesan identitas sudah disiapkan sebelum kejadian, seakan polisi tinggal membacakan saja. Hanya istrinya yang mati bersamaan belum diungkap. Bersamaan dengan pengungkapan identitas oleh polisi, kawanan buzzer berjamaah turut pula membongkar pelaku teror. Ada amunisi baru untuk menyerang Islam. Entah info dari mana, seakan mereka teman sekamar teroris sehingga tahu detail sang peneror. Para pendengung terus menebar dan menyebar fitnah. Tak puas rasanya kalau tidak mengaitkan teroris dengan agama Islam. Padahal MUI sudah mengatakan terorisme ada di semua agama. Gatal rasanya kalau tidak membangun opini teroris beririsan dengan FPI. Pokoknya dengungkan dulu, pembuktian belakangan. Potongan-potongan informasi dijahit menjadi satu narasi yang panjang, seakan-akan logis. Tujuannya jelas, merusak agama Islam Padahal, Australia Security and Intelligence Organisation (ASIO) atau BIN-nya Australia memutuskan tidak lagi menggunakan istilah Teroris Islam dalam menggambarkan kekerasan yang dimotivasi agama atau gerakan politik. Ketua ASIO, Mike Burgess, menganggap “kata-kata” itu penting dan berpengaruh dalam membentuk pandangan setiap orang dalam melihat masalah. Karena itu, menurutnya, penggunaan istilah “Teroris Islam” selama ini telah merusak dan menyesatkan umat Islam. Polisi sebagai Abdi Negara seharusnya bisa menjaga harga diri Republik ini biar tidak cemar. Rusak negara ini kalau polisi seenaknya. Bekerjalah profesional, transparan, dan jujur. Negara tidak boleh kalah dengan polisi. (sws)

Bom Yang Tidak Dianggap

SETELAH sidang eksepsi Habib Rizieq Shihab (HRS), Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menjadi bulan-bulanan di media sosial soal perannya dalam kejadian kerumunan bandara Sukarno-Hatta, saat kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) dari pengasingan di Tanah Suci. Pernyataan polisi mengenai satu pelaku penembakan 6 Mujahid anggota laskar FPI yang mati kecelakaan, menuai kecaman dan bullyan yang bertubi-tubi. Utang yang meroket dan rencana impor beras yang membabi-buta, membuat jagad medsos bersatu dan berteriak. Bahkan, kebijakan sosial soal pelarangan mudik yang tak masuk akal, kontan berhasil dipatahkan oleh rakyat. Kemarin seluruh provinsi mencatat penambahan kasus baru Covid. Bahkan KIPI merajalela di mana-mana, dan rakyat diliputi ketakutan. Yang paling mengerikan bagi rezim, suara Takbir sudah berkumandang di banyak pelosok negeri. Bahkan, tak terkecuali para santri tradisional NU di kampung-kampung mengaji sambil berurai air mata menyaksikan ulama dibui, dikerdilkan dan dicaci-maki. Di kampung Muhammadiyah apalagi. Rasa persatuan rakyat yang rasional, mereka yang tak ikut makan dana haram, dan masyarakat yang muak tingkat dewa kepada ocehan gerombolan buzzeRp, sudah kian keras mengkristal. Rasa jijik kepada rezim Jokowi yang korup sudah memenuhi ubun-ubun dan rawan pecah. Rezim pun ketakutan. Saling lempar tanggung jawab antara Polri dan PPATK dalam kasus pembekuan 92 rekening FPI juga mencuat. Terjadi perang terbuka antara Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Bulog, dalam kasus beras impor. Sampai-sampai presiden dipaksa tampil untuk menenangkan, meski kelihatan tak percaya diri. Tampak jelas bahwa ia pun tak percaya kepada ucapannya sendiri. Eskalasi puncak pun terjadi. Kebocoran informasi tak terelakkan. Indonesia leaks. Data-data pribadi para polisi-penjahat membanjiri jagad medsos. Posisi dan pengungkapan identitas para dalang yang menjadi otak Unlawful Killing kian rawan. Sontak komandan eksekutor lapangan pun disembunyikan. Lalu fakta palsu dirancang dengan tergesa-gesa. Berkejaran dengan mastermind pembocor data kepolisian. Ternyata sandiwara kematian satu pelaku kemarin tak mempan. Perancang berotak abal-abal yang di dalam darahnya mengalir duit haram, kalah pintar dengan rakyat yang pintar dan super kritis. Martabat polisi malah kian hancur. Kepercayaan kepada Jokowi drastis melorot. Apapun pendapat para menteri dicibir dan dimentahkan. Baru terjadi sekali ini di dalam sejarah pemerintahan Indonesia, seluruh anggota kabinet tidak dianggap. Dari sosok presiden, menteri, hingga partai pengusungnya, dianggap bromocorah negara. Perusak dan penghancur tatanan demokrasi yang dibangun rakyat dengan penuh kesabaran, darah, keringat dan air mata. Situasi ekonomi dan sosial negara sudah genting. Perut lapar berpasangan dengan kepala panas. Kepercayaan telah musnah. Kemarahan membludak di mana-mana. Revolusi rawan meledak. Upaya apapun yang dilakukan sudah tak dipercaya oleh rakyat. Kalian ledakkan puluhan bom sekaligus pun, tidak akan meredam suara Takbir. Perhatian rakyat tak akan teralihkan. Perlawanan sedang dalam perjalanan menuju puncaknya..!

Kepada Yang Mulia Prof. Dr. M. Syarifuddin, Ketua Mahkamah Agung

Ketika menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal dalam banyak kejadian, aturan atau formula itu tidak dapat deterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Untuk itu, tetap diperlukan proses kreatif untuk menjejaki kemungkinan lain di luar dari aturan atau formula tersebut. Disini, seni berfikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan untuk mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah tempat yang disebut heurestika, karena berupaya menemukan solusi (Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH.) HUKUMLAH Habib Rizieq seberat-beratnya sesuai dengan kadar kesalahannya, bila ditemukan bukti-bukti di persidangan bahwa beliau memang bersalah. Sebaliknya, bebaskan Habib Rizieq bila tidak ditemukan bukti di persidangan kalau beliau bersalah. Namun di atas semua, harap Yang Mulia jangan membuat kebijakan, atau apapun namanya yang membatasi masyarakat pers untuk menyaksikan dan meliput fakta-fakta yang mungkin muncul dari persaidangan ini. Persidangan ini diikuti tekdakwa Habib Rizieq dengan rombongan penasehat hukumnya. Ada juga kawanan Jaksa Penuntut Umum (JPU), serta Yang Mulia Ketua dan dua anggota Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kami tentu saja berprasangka baik (husnudzon) bahwa semua yang terlibat dalam persidangan Habib Rizieq Sihab dan lima pentolan Front Pembela Islam (FPI) ini adalah orang-orang yang taat kepada hukum. Mereka semua orang-orang yang sedang diuji ketaatannya kepada hukum di republik ini. Sayangnya, mereka bukanlah malaikat yang tidak punya kekurangan,dan kesalahan selama persidangan ini berlansung. Kekurangan itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab setiap insan pers sebagai masyarakat sipil dan kekuatan keempat dari pilar demokrasi (civil society the dan four of state democration) untuk mengkritisi dan mengoreksinya. Wajah Baru Peradilan Dunia peradilan Indonesia, kini tampil dengan wajah baru, yang jorok, busuk dan primitif. Sebab pers dibatasi ruang geraknya untuk meliput sidang perkara di pengadilan. Ini telah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada persidangan perkara Habib Rizieq Sihab. Dalam sidang perkara ini, insan Pers tak diberi akses bebas sebagaimana biasa mereka nikmati pada setiap peliputan persidangan selama ini. Prilaku pengadilan yang aneh, jorok, tolol dan menakutkan kebebasan pers. Andai saja pembatasan akses itu sepenuhnya dibuat majelis hakim, karena independensi mereka menyelenggarakan sidang, tetap saja itu menakutkan. Bahkan sangat jorok andai pembatasan terhadap kebebasan insan pers mendapat informasi itu dilakukan atas perintah, imbauan atau apapun namanya dari Mahkamah Agung. Pembatasan ini, andai dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas Surat Edaran atau Instruksi atau apapun itu namanya dari Direktur Jendral Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung, jelas jorok, jijik dan busuk. Karena kenyataan ini menjelaskan satu hal, yaitu independensi hakim ternyata dapat dipatahkan, diinjak-injak dan robek-robek oleh induknya Mahkamah Agung, semudah orang gila merobek-robek selembar kertas tisu. Independensi hakim jadinya tidak lebih dari sekadar topeng rusak dipakai oleh pengembala domba. Ini menyedihkan, jorok, sekaligus menakutkan. Untuk alasan apapun, tindakan ini tidak memiliki nalar hukum di negeri ini secara obyektif. Itu sebabnya sikap ini sangat pantas dikutuk sebagai sikap, yang selain merusak independensi hakim, juga merusak demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil. Tahukah tuan-tuan yang dipanggil dengan “yang mulia” itu ketika independensi melayang, maka keadilan hancur berkeping-keping. Keadilan berubah dan mengambil wujud sebagai penindasan. Hakim dan pengadilan dengan sendirinya menjadi perpanjangan tangan aparatur dan lembaga penindas. Pejabat-pejabat administrasi di Sekertariat Jendral Mahkamah Agung harus tahu itu. Bukan hanya sekadar tahu bahwa independensi itu diciptakan untuk memahkotai hakim-hakim. Tujuannya sangat mulia, agar hakim dan pengadilan menjadi benteng keadilan rakyat. Bukan alat produksi ketidakadilan dan benteng rezim oligarkis dan konglomerasi busuk, picik, dan tamak. Andaikan benar sikap majelis hakim membatasi pers itu disebabkan Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum, maka tidak ada alasan sedikit untuk Ketua Mahkamah Agung menutup mata terhadap masalah ini. Ketua Mahkamah Agung, yang bergelar profesor doktor ilmu hukum itu tidak bisa membiarkan dunia peradilan dirusak dengan surat edaran, instruksi atau apapun dari pejabat administrasi di lingkungan Kesekjenan Mahkamah Agung. Tidak bisa itu. Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifudin SH. MH, kalaulah Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum benar ada, maka itu sangat membahayakan keadilan dan kebebasan di republik ini. Sebab sebagai the four of state democration, meskipun tanpa digaji oleh negara, insan pers wajib hukumnya untuk mengawasi dan mengkritisi setiap penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat. Diskresi konyol dan tolol melalui surat edaran atau instruksi sejenis itu, tidak bisa dibiarkan. Ini benar-benar merusak dunia peradilan dan keadilan Indonesia. Orang-orang administrasi itu, harus diingatkan untuk segera mencabut edaran, andai edaran itu benar-benar telah diterbitkan. Mengapa? Pertaman, kenapa baru sekarang diterbitkan? Apakah Ketua Mahkamah dapat menemukan argumen logis untuk menghindarkan konteks Edaran itu terkait dengan perkara Habib Rizieq Shihab? Sepintar apapun Ketua Mahkamah Agung yang Profesor Doktor ilmu hukum itu, pasti tidak bisa. Itu karena, momentum terbitnya surat edaran tersebut bersamaan. Setidaknya berada dalam kerangka keriuhan sidang Habib Rizieq Shihab. Telah menjadi kenyataan umum, semula sidang Habib Rzieq Shihab itu dipaksakan online.Kemudian berubah jadi ofline. Perubahan itu terjadi setelah debat panas antara Habib Rzieq Shihab dengan Jaksa Penuntut Umum, yang diramaikan oleh Majelis Hakim. Seperti itulah esensinya, suka atau tidak. Kedua, Ketua Mahkamah harus bersikap tegas menindak orang-orang administrasi itu, karena surat edaran itu, andai benar-benar ada, dapat ditafsir secara liar oleh orang banyak bahwa keadilan dalam kasus ini benar-benar sudah dihancur. Hukuman terhadap Habib Rizieq benar-benar telah disiapkan. Sidang ini tidak lebih dari sekadar membangun legitimasi konyol bahwa kasus ini pernah disidangkan. Hukuman itu, dengan demikian bisa dipesan. Itu artinya persidangan tidak berlangsung menurut prinsip-prinsip hukum. Putusan bisa dipesan atau ditetapkan sebelum sidang, bukan sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam dunia hukum. Ini pengadilan khas rezim totaliter Nazi Jerman Adolf Hitler. Pengadilan diselengarakan sesuai prinsip koordinasi antara pengadilan dengan rezim. Bahaya sekali Yang Mulia. Sebagai professor dan doktor ilmu hukum, Ketua Mahkamah Agung harus tahu, bahwa kebabasan pers untuk mendapat informasi, tidak pernah dan tidak mungkin dengan alasan apapun, didelikan pada pers itu sendiri. Pers dimahkotai dengan kebebasan mendapat dan menyebarkan informasi. Karena hanya dengan cara itulah keadilan yang menjadi esensi bernegara. Dengan itu pula kemuliaan setiap orang dalam republik dapat diberi jaminan maksimum. Syarat Berdirinya Amerika Kebebasan mendapatkan dan menyebarkan informasi yang didapat di tengah masyarakat adalah cara merawat akal sehat dalam kehidupan. Bukan hanya akal sehat dalam bernegara, tetapi juga bermasyarakat. Itu adalah cara orang-orang waras menjaga energi kehidupan di republik ini. Sebab energinya adalah informasi itu memberi setiap orang memiliki kesempatan berpikir dan membangun harapan untuk kehidupannya di masa depan. Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, karena kebebasan pers itulah yang menjadi esensi penolakan dari ke-13 Negara Bagian untuk ikut bergabung dan meratifikasi UUD Amerika Sertikat, yang dibuat pada Philadelphia Constitutional Convention 1787. Empat tahun kemudian, amandemen pertama UUD Amerika Serikat itu, yang berisi sepuluh pasal, yang di dalamnya termasuk kebebasan pers. Yang Mulia pasti tahu bahwa masalah kebebasan pers harus dibuat dan dijadikan sebagai imbalan terbesar terhadap 13 Negara Bagian untuk membubuhkan tanda tangan untuk bergabung dan menerima UUD Amerika Serikat tahun 1791. Begini bunyinya, “Kongres dan Presiden Amerika Serikat dilarang membuat rancangan undang-undang yang membatasi kebebasan pers”. Berfikir untuk membuat rancangan UU yang membatasi kebebasan pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. Apalagi sampai membuat rancangan UU-nya, dipastikan dilarang lagi. Karena persoalan kebebasan pers itu menjadi salah satu syarat utama berdirinya negara Amerika Serikat. Yang Mulia Pak Ketua Mahkamah Agung, tahun 1734 terjadi satu kasus menarik dalam soal kebebasan pers ini. John Peterzenger menulis kriitik bahwa warga jajahan tidak mendapatkan pengadilan yang fair. Kritik ini dinilai kotor, menyinggung pemerintahan jajahan (Inggris). John Peterzenger lalu diadili. Tetapi apa yang terjadi kemudian? Para Juri membebaskannya. Zenger, dalam sidang perkaranya dengan setengah mengatakan bahwa dia punya hak untuk mengeritik. Bahkan kritik yang dianggap cemohan oleh pejabat publik, sepanjang kritik itu benar, sah-sah saja. Inilah salah satu tonggak sejarah tentang kebebasan pers. Tahun 1798 James Thomson Callender, didakwa membuat tulisan “fitnah” karena menyebut Presiden John Adam di tahun 1800 sebagai “penghasut tua bangka yang tangannya berbau busuk darah”. Callender dihukum. Tetapi segera setelah John Adam tersingkir dari kursi presiden, dan digantikan oleh Thomas Jefferson, James Thomson Callender dibebaskan. Tahun 1868 Amerika kembali melakukan amandemen ke-14. Amendemen ini menguatkan hak setiap orang untuk hak hidup. Memiliki kebebasan dan memiliki harta benda. Hak-hak ini tidak boleh dicabut, tanpa melalui due process of law. Itu sebabnya Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam sejumlah kasus menjadikan kebebasan pers mendapatkan dan menyebarkan informasi, termasuk orang berpendapat harus diperluas. Sutherland, Hakim Agung pada Supreme Court Amerika Serikat berpendapat terminologi “liberty” itu sangat luas, dan mencakup beragam kebebasan yang dijamin dalam amandemen ke-14. Amendemen ke-14 dinilai sebagai penegasan due process clause. Bagi Hakim Agung Sutherland , semua pembatasan kebebasan yang dilakukan oleh negara menjadi tidak sah, sekalipun dilakukan dengan menggunakan UU masih berlaku. Sudahlah, hentikan semua pembatasan pada sidang perkara Habib Rizieq Shihab dan lima anggota FPI lainnya. Apalagi kalau, misalnya hukuman untuk dirirnya telah dikordinasikan dan ditetapkan. Justru semakin tidak ada faedahnya menutup-nutupi sidang dari pers. Mau sembunyikan dakwaan Jaksa yang dinilai oleh pengacaranya dan habib Rizieq menyesatkan itu? Kan tidak mungkin. Mau sembunyikan perilaku Jaksa penuntut umum? Bagiamana caranya? Tidak mungkin juga bisa disembunyikan. Jadi pilihan terbaiknya adalah buka akses seluas-luasnya untuk pers meliput. Peradilan ini akan dinilai orang sebagai “dagelan jorok dan tolol”, bahkan pengadilan sebagai alat rezim ini, bila pembatasan terhadap pers masih ditemukan pada sidang-sidang berikutntya. Terakhir Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, lakukan langkah-langkah kecil, namun penting dan strategis. Langkah yang sesuai jiwa dan kebesaran “Heurestika Hukum” yang sangat top, berkelas dan mengagumkan itu. Tujuannya untuk menyelamatkan wajah hukum republik ini yang sudah bopeng dan membuat rakyat apatisme. Kini hanya tinggal lembaga peradilan, yang dengan segala kelebihan dan kekuarangannya di sana-sini, masih diharapkan oleh rakyat. Lembaga peradilan masih dipercaya untuk menabur setitik mozaik keadilan di tengah kegalapan hukum yang sudah terlanjur amburadul dan berantakan ini. Apalagi adanya terobosan dan kebesaran “Heurestika Hukum” dari Yang Mulia.

Sidang Habib Rizieq Ujian Apakah Hukum Masih Tegak

MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur akhirnya menghadirkan Habib Rizieq Shihab (HRS), di persidangan secara langsung (offline). Keputusan Majelis Hakim diambil setelah melalui perdebatan sengit dan berlarut. Diwarnai pemaksaan ke ruang sidang terhadap HRS. Serta aksi walk out oleh pengacara dan HRS. Alotnya mejelis hakim mengambil keputusan. Ngototnya Jaksa Penuntut Umum (JPU), agar persidangan dilaksanakan secara daring (online), sangat mengherankan. Argumen hakim dan jaksa, hal itu sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan menegakkan protokol Covid-19, sejak awal dengan mudah dipatahkan. Kehadiran terdakwa sebagai orang bebas, tanpa tekanan di pengadilan, diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Posisi UU jelas lebih tinggi dibandingkan Perma. Tidak bisa sebuah UU dikesampingkan begitu saja oleh Perma. Apalagi Perma tidak masuk dalam hirarki hukum. Hanya berlaku secara intenal. Mengesampingkan UU atas nama penegakan Perma, adalah perbuatan sesat dan menyesatkan. Dalam Perma pun diatur, sidang secara daring bisa dilaksanakan bila mendapat persetujuan terdakwa. HRS sejak awal menolak. Dia menginginkan persidangan secara offline. Sebagai terdakwa yang sangat dirugikan, HRS ingin hadir di persidangan. Mempertahankan haknya. Berhadapan langsung dengan para jaksa, para saksi. Beradu argumen secara terbuka, tanpa dibatasi kendala teknis. Mulai dari jaringan internet yang tidak stabil, suara dan gambar terputus-putus, serta hal-hal teknis yang tidak berkaitan dengan hukum. Keputusan berhadapan, berkonfrontasi langsung dengan para jaksa dan saksi ini tampaknya dipandang sangat perlu oleh HRS. Dasar hukum sampai dia dibawa ke pengadilan ini sangat aneh. Penuh kejanggalan dan rekayasa. HRS diajukan ke persidangan karena melanggar protokol kesehatan (prokes). Kerumunan massa di Petamburan, dan Mega Mendung. Dia juga didakwa menyembunyikan hasil swab di RS UMI, Bogor. Karena ketiga kasus itu, dia harus menghadapi tiga persidangan sekaligus. Sejak awal keputusan polisi menyidik kasus ini, dan kemudian menahan HRS sangat mengejutkan. Pelanggaran prokes konskuensinya adalah pembayaran denda. Kalau toh ada pelanggaran pidana, hal itu sifatnya pidana ringan. Tak perlu sampai ada penahanan. Untuk kasus di Petamburan, dia sudah membayar denda Rp 50 juta ke Pemprof DKI. Sejauh ini, denda itu adalah yang tertinggi. Kasus ini bahkan berubah menjadi tragedi. Pelanggaran HAM. 6 orang pengawal HRS tewas ditembak polisi yang melakukan penguntitan. Publik sesungguhnya bisa melihat dengan mata telanjang. HRS menjadi target. Diperlakukan secara dzolim. Pengadilannya sesat. Kasus pelanggaran prokes banyak dilakukan oleh orang lain. Sejumlah selebritas, tokoh, pejabat publik, politisi, bahkan sampai Presiden, juga melakukan pelanggaran. Soal ini dipersoalkan HRS dalam pembacaan nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan Jumat (26/3). Dia menyoroti pelanggaran prokes yang dilakukan oleh Rafi Ahmad dan Komut PT Pertamina Ahok. Mereka berdua hadir dalam pesta tanpa prokes. Kasus Rafi sangat ironis. Dia diangkat sebagai duta vaksin. Pelanggaran dilakukan setelah pada pagi harinya divaksin bersama Presiden Jokowi di istana. Tidak ada tindakan apapun yang dikenakan kepada mereka. Boro-boro diseret ke depan hakim. Denda seperak pun tidak. Presiden Jokowi juga melakukan pelanggaran. Membuat kerumunan. Bahkan berinteraksi dengan warga di Maumere, NTT. Kasus terbaru terjadi di Sumenep, Madura. Kasusnya persis sama dengan kerumunan warga di Petamburan. Ketua Banggar DPR RI dari F-PDIP Said Abdullah menggelar pesta pernikahan putranya. Dia menyebar 20 ribu undangan. Diperkirakan tamu yang hadir, 30 ribu orang. Jalan-jalan di seputar rumah Said Abdullah sampai harus ditutup. Tidak ada tindakan apapun terhadap para warga negara istimewa ini. Mereka adalah orang-orang yang kebal dan tak tersentuh hukum. Untouchable. Mereka semua adalah pendukung pemerintah. Soal menyembunyikan hasil swab, sejumlah menteri di kabinet Jokowi juga melakukan. Media meyebutkan, setidaknya ada 8 orang positif Covid. Sejauh ini hanya Empat orang yang mengakui secara terbuka, atau setidaknya ada keterangan dari stafnya. Mereka adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, mantan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edi Prabowo, Menteri Agama Fachrul Razi, serta Menaker Ida Fauziah. Siapa empat orang lainnya? Tak ada yang mengaku. Belakangan terungkap, salah satunya adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Terungkapnya Airlangga, juga secara tidak sengaja dan terkesan sangat konyol. Nama Airlangga muncul dalam daftar peserta donor plasma convalesen. Namanya muncul karena disebut oleh Menko PMK Muhajir Effendi. Dengan menjadi donor plasma convalesen dapat dipastikan Airlangga pernah terjangkit Covid. Tapi dia tidak pernah mengakui, apalagi mengumumkan ke publik. Airlangga adalah Ketua Komite Penanganan Covid. Dia harus menjadi contoh. Panutan. Mengapa empat orang menteri itu, khususnya Airlangga tak dikenakan hukuman? Tidak diseret ke meja hijau, seperti nasib yang dialami oleh HRS. Dengan fakta-fakta tersebut, sudah seharusnya HRS dibebaskan. Kasusnya batal demi hukum. Sidang harusnya tidak perlu dilanjutkan. Bila hakim masih meneruskan proses pengadilan, apalagi kemudian menjatuhkan hukuman kepada HRS, maka sangat jelas hakim sudah berlaku tidak adil. Dihukum ringan pun HRS tidak pantas. Apalagi dihukum berat. Bila itu yang terjadi, hukum digunakan hanya untuk menghukum kelompok/orang yang berseberangan dengan pemerintah. Sementara kepada para pendukung pemerintah, mulut jaksa kelu. Palu hakim kaku. Melalui forum ini kita kembali mengingatkan, hukum yang disalahgunakan. Hanya tajam kepada oposisi. Tumpul kepada pendukung pemerintah. Akan menimbulkan ketidakpuasan publik. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Percieved in justice. Ini sangat berbahaya. Mengutip ceramah yang pernah disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD di Surabaya, hukum adalah sendi negara. Bila hukum tidak ditegakkan, maka negara itu akan runtuh.**

Mereka Pelantang Rezim, Bukan Penegak Hukum

SULIT mendapatkan keadilan pada model sidang seperti di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (19/03/202) lalu. Sidang yang seharusnya aman dan tertib justru menjadi ajang teriakan para penegak hukum kepada satu orang terdakwa bernama Habib Rizieq Syihab (HRS). Sontak, medsos melampiaslan kegeramannya pada proses peradilan yang dianggap sesat. Masyarakat menghardik kelakuan polisi, jaksa, dan hakim yang memamerkan arogansi kepada hanya satu terdakwa saja. Mereka menampakkan diri sebagai wakil rezim semata, bukan menjadi aparat negara yang diberi amanah menjaga marwah peradilan yang adil, fair, dan bermartabat. Mereka para pelantang rezim, bukan penegak hukum. Di luar gedung pengadilan, pengacara HRS dibendung oleh barisan polisi yang rapat dan membisu. Onggokan manusia-manusia kekar berwarna coklat begitu istikomah dalam diam. Bagai patung mereka disetel untuk tidak bicara sepatah kata pun. Mereka membisu dan membatu. Padahal pengacara HRS mempertanyakan alasan apa polisi menghalangi-halangi penasihat hukum yang ingin memantau jalannya persidangan. Mereka adalah pengacara sah yang dilindungi oleh undang-undang. Sementara di ruang Bareskrim Polri tempat di mana HRS dihadirkan secara daring mendapat perlakuan yang tidak senonoh. Ia didorong dan dipaksa untuk duduk di kursi pesakitan oleh petugas berbaju kotak-kotak warna hitam. Ketidaksenonohan itu tampak di channel FNN TV, di mana HRS diperlakukan dengan kasar dan tak beradab. Bersamaan dengan itu, dari gedung PN Jaktim dalam sidang online yang dipaksakan, seorang jaksa perempuan menggunakan pelantang yang keras selalu memotong pernyataan HRS yang ingin menjelaskan dalil hukum alasan penolakan sidang melalui daring. HRS mengatakan,”Saya punya hak untuk hadir di ruang sidang. Saya bukan tidak mau hadir…” Belum sempat melanjutkan pernyataannya, langsung dipotong dengan kasar oleh jaksa wanita itu, "Mohon ijin majelis, karena kita masih sesuai dengan penetapan No. 221 di mana persidangan dilakukan secara online, kami mohon untuk agenda sidang ini tetap dilanjutkan untuk membacakan dakwaan.” Lalu HRS kembali menjelaskan bahwa ia bukan menolak hadir di persidangan. “Saya siap hadiri sidang kapan pun, tapi sidang offline. Saya tidak mau menghadiri sidang online, karena saya dilindungi UU. Ada KUHAP pasal 154 bahwa saya harus dihadirkan di ruang sidang. Kedua kalau alasanya Perma, di dalam Perma ada dua pilihan, bisa offline, bisa online. Dan saya tidak mau online. Lagi pula Perma posisinya ada di bawah UU. Pada sidang yang pertama, semua bisa hadir di ruang sidang dengan protokol kesehatan.” Lagi-lagi jaksa perempuan kembali memotong pembicaran dengan arogan, jumawa, dan ketus mengatakan, "Mohon ijin majelis kami rasa kita tidak perlu mendengarkan keterangan dari terdakwa. Kami mohon sidang tetap dilanjutkan. Sidang yang terhormat ini tanpa mendengarkan omongan dari terdakwa." Jaksa wanita itu tampaknya pikirannya sudah dirasuki virus kebencian. Bagaimana mungkin seorang terdakwa tidak boleh berargumen di ruang sidang? Jaksa itu lupa bahwa saat itu adalah suasana sidang yang terhormat, bukan sidang jalanan, bukan orasi pelaku demonstrasi, bukan mimbar bebas, dan bukan aksi teatrikal. Proses hukum yang diamanatkan untuk menyelesaikan segala persoalan dengan kepala dingin, tak dihargai oleh para penegak hukum itu sendiri. Polisi, jaksa, dan hakim koor manyanyikan lagu yang sama mengobok-obok hati dan perasaan HRS agar emosinya terpancing. Mereka seenaknya melaksanakan sidang, mereka semaunya melecehkan terdakwa. Nyatanya yang emosi bukan HRS, tetapi masyarakat luas yang masih punya nurani, harga diri, dan iman. Mereka melampiaskan kekesalan dan kekecewaannya melalui media sosial. Profil jaksa dan hakim dibedah. Mereka menghardik proses peradilan yang sangat tidak pantas. Jauh dari teladan baik. Proses peradilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para penegak hukum, justru direbahkan begitu rendah. Proses peradilan yang seharusnya menggunakan otak, pikiran, dan argumen yang tepat, malah dihadapi dengan kekuatan fisik yang penuh intrik. Tak ada kearifan, apalagi kebijaksanaan. Yang tampak hanyalah kebencian yang terus membuncah. Siapapun tak kuasa melawan peradilan sesat seperti ini. HRS hanya didakwa bersalah melakukan kerumunan. Ia harus bertanggung jawab atas kerumunan yang terjadi di acara pernikahan di Petamburan, Maulid Nabi di Tebet, dan sholat Jumat di Megamendung. Hal mana, hari ini hampir semua orang melakukan kerumunan serupa. Lihat saja di pasar, di terminal, di mal, di hotel, di balai-balai pertemuan, tempat ibadah, bahkan Presiden sendiri mengundang kerumunan di NTT. Toh mereka tidak disidik dan dibenci oleh polisi, jaksa, dan hakim. Belakangan, pasca-ketiga acara HRS ternyata tidak meninggalkan jejak kasus Covid19 yang berarti. Hanya ada 23 kasus positif, tetapi tidak tahu sampel dari mana. Panitia pernikahan tidak ada yang positif, panitia maulid tidak ada yang demam dan sesak nafas, dan peserta sholat Jumat di Megamendung tidak ada yang mati. Ketiga acara itu dilaksanakan di ruang terbuka yang memungkinkan penularan virus Corona menjadi sulit. Di Petamburan HRS sudah taat membayar denda. Di Megamendung, sholat dilakukan di Pondok Pesantren yang luas. Arealnya mencapai 30 HA, di atas bukit yang sejuk dan terbuka. Pasca sholat Jumat juga tidak ada yang mati. Ada 6 laskar FPI yang sengaja dimatikan oleh polisi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Inilah tumbal yang mahal harganya yang harus dipersembahkan oleh HRS. Meski demikian, 6 nyawa sebagai tumbal itu tampaknya belum bisa memuaskan rezim. Libido kekuasaannya terus ON sampai orgasme dengan cara memburu HRS sampai lumpuh dan tuntas. Tak perlu butuh waktu lama untuk mewujudkan hajat itu. Kurang dari sebulan ritual tumbal 6 nyawa anak muda tak berdosa, Pondok Pesantren Markaz Syariah dibekukan, santrinya dipulangkan, organisasinya dibubarkan, rekening diblokir, keluarga dan orang dekat HRS dipenjara. Sungguh biadab rezim ini. Kini proses pengadilan untuk para terdakwa sedang dimulai dengan cara dipaksakan, karena dalam kasus yang sama, di luar HRS, tidak ada satu pun yang diproses ke pengadilan. Proses penzoliman terhadap HRS dilakukan secara berjilid-jilid. Tak hanya polisi, jaksa, dan hakim, kini Komisi Yudisial (KY) juga ambil peran. Mukti Fajar Nur Dewata, Ketua KY mengatakan akan mengambil beberapa langkah hukum terhadap Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab karena dianggap telah merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Ingat. HRS bukan ISIS, bukan pemberontak bersenjata, bukan penilep APBN, bukan penggerogot subsidi rakyat, bukan koruptor, bukan pemburu rente impor, bukan makelar kasus, bukan begal partai, bukan produsen narkoba, bukan penyeleweng dana desa, bukan penggarong dana bansos, bukan pemicu kemiskinan di Indonesia. Ia cuma melanggar kerumunan di musim pandemi dan atas perbuatan itu ia sudah membayar denda. Ada jutaan manusia melakukan pelanggaran kerumunan, mengapa HRS diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi? Sampai kapan umat akan dijejali tontonan sadis seperti itu. Sampai kapan kita dipaksa menyaksikan cucu Nabi Muhammad dilecehkan dan direndahkan? Para pelantang rezim, teruslah berulah dan beraksi, tetapi ingat, ada deadline. Jangankan cucu Rasulullah yang memohonkan pembalasan dan laknat Allah atas polisi, jaksa, dan hakim yang menzaliminya. Doa orang biasa saja bisa diijabah. Sekadar mengingatkan, dulu ada cerita yang patut dikenang. Ketika Amrozi dan Imam Samudra cs divonis mati pada tahun 2003, mereka tidak terima karena menganggap banyak bukti yang direkayasa. Salah satu dari mereka berujar setelah vonis dibacakan di persidangan, "Sebelum saya dihukum mati maka bapak hakim duluan yang akan mati." Dan benar. Matilah Ketua Majelis Hakim Made Karna Parna pada tahun 2007, jauh lebih awal dari waktu eksekusi mati Amrozi cs. Begitu juga dengan nasib Urip Tri Gunawan, jaksa penuntut Amrozi. Ketika jaksa Urip akan memberikan sepatu baru agar terdakwa dapat tampil wajar saat hadir di persidangan, terdakwa mengatakan, "Saya tidak mau dibelikan sepatu dari hasil korupsi." Apa yang terjadi? Pada tahun 2008, jaksa Urip Tri Gunawan yang sangat populer itu, ditangkap atas kasus korupsi. Dia kedapatan menerima suap dalam kasus BLBI dan diganjar hukum 20 tahun penjara. Ada juga orang sepanjang hidupnya benci terhadap Islam. Ia adalah Musakkir Sarira, Ketua DPRD Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara tewas ditikam istrinya sendiri, pada 2017. Semasa hidup ia sangat aktif membenci umat Islam di media sosial. Yang ini lebih miris lagi. Seorang warga keturunan bernama Kiky Wilisata tewas karena kecelakaan saat mengendarai mobilnya di Jakarta Barat tahun 2017. Semasa hidup, Kiky sering menghina ulama di akun facebooknya. Ia juga mengolok-olok kalimat Takbir dan memplesetkannya menjadi "Take Beer". Dua bulan setelah pelecehan tersebut, ia tewas mengenaskan dalam mobil yang ia kendarai sendiri. Mobilnya jatuh ke Kali Sekretaris, Jakarta Barat yang airnya keruh kecoklatan, mirip warna minuman beralkohol, bir hitam.

Umat Digiring ke Jalan Buntu

SUKA atau tidak suka, persepsi publik tentang prosekusi (prosecution atau tindakan hukum) terhadap Habib Rizieq Syihab (HRS) adalah kebijakan politik yang sengaja ditempuh oleh para penguasa untuk membungkam umat Islam. Singkatnya, prosekusi terhadap Habib kemudian berubah menjadi persekusi (persecution atau pengejaran alias penggencetan alias penindasan). Mengapa prosekusi terhadap HRS dilihat sebagai persekusi terhadap umat Islam? Tak lain karena HRS belakangan ini dianggap mewakili umat dan merepresentasikan kalangan ulama garis lurus. Kalau ada yang membantah, silakan saja buka catatan tentang kemampuan HRS mengajak umat masuk ke barisan oposisi terhadap kekuasaan. Para penguasa perlu diingatkan bahwa prosekusi terhadap HRS bisa bergulir menjadi pemicu diskonten yang meluas. Sebab, prosekusi yang kini berubah menjadi persekusi itu bermula dari masalah yang lebih banyak berbentuk “cari-cari perkara” ketimbang proses penegakan hukum murni. HRS ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka dan kemudian didudukkan sebagai terdakwa hanya gara-gara kerumunan Covid-19 yang sebenarnya terjadi di mana-mana dan berulang-ulang. Termasuk kerumunan yang dipicu oleh kunjungan Presiden Jokowi ke Maumere, NTT, belum lama berselang. Banyak kerumunan besar lainnya yang berlangsung tanpa prosekusi –apalagi persekusi. Kemudian, penguasa mencarikan kasus lain supaya tuduhan dan dakwaan terhadap HRS bisa berlapis-lapis. Beliau dijadikan tersangka swab test di RS Ummi Bogor. Seterusnya, HRS didakwa melakukan penghasutan. Terkesan pasal-pasal pidana untuk HRS diolah sebanyak mungkin. Dengan tujuan agar pemimpin umat yang didengar oleh puluhan juta orang itu bisa didelegitimasikan. Tidak hanya dicari-carikan pasal pidana untuk beliau. Para penguasa malah membuka kembali sejumlah kasus yang sudah dihentikan, termasuk kasus chat mesum. Pokoknya, karisma dan wibawa HRS harus direduksi. Dengan segala cara. Tak cukup sampai di situ, ormas yang dibina HRS, dibubarkan. Hingga entitas pendidikan agama yang berada di bawah arahan Habib pun ikut dijadikan sasaran. Semua ini bertujuan untuk mengerdilkan HRS dan mengamputasi hubungan antara beliau dengan umat yang merasa sejalan dengan sikap kritis Habib yang selalu berpendirian “benar, katakan benar; salah, katakan salah”. Tindak-tanduk kotor para pemegang kekuasaan terhadap HRS sangat mungkin akan menambah keyakinan bahwa umat garis lurus memang sengaja digencet. Sengaja ditindas. Ini sangat berbahaya. Sebab, anggapan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa itu berbanding terbalik dengan perlakuan ramah dan akomodatif terhadap orang atau kelompok yang jelas-jelas melanggar hukum. Kita sudah lelah menyebutkan contoh-contoh perlakuan diskriminatif itu. Daftarnya terlampau panjang. Yang mengherankan, para penguasa terlihat menikmati anggapan publik bahwa mereka melakukan penindasan. Menjadi ingin bertanya: mengapa mereka begitu percaya diri melakukan semua itu? Apa sebenarnya yang sedang mereka kerjakan? Para penguasa pastilah menolak dikatakan melakukan penindasan. Meskipun itulah yang mereka programkan. Tapi, ada satu hal yang mungkin saja mereka sadari. Atau, bisa jadi juga tidak mereka sadari. Bahwa tindakan mereka memojokkan, membungkam atau menindas itu akan menggiring umat ke jalan buntu. Ini yang perlu dicermati. Sebab, berada di jalan buntu berarti berada dalam situasi “no choice” (tidak ada pilihan). Di jalan buntu, duduk atau berdiri tegak, sama saja. Diam atau bergerak, tidak berbeda. Bahwa Anda akan menghadapi situasi hidup-mati.[]

Dilarang Menampar Muka Presiden

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) dengan tegas menolak wacana presiden tiga periode. Penolakan ini ia sampaikan beberapa hari setelah wacana ini menyeruak ke publik. Ketika itu Jokowi langsung mengatakan, "Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode, itu ada tiga. Ingin menampar muka saya, ingin cari muka, padahal saya punya muka. Ketiga ingin menjerumuskan. Itu saja, sudah saya sampaikan," ucap Jokowi kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (2/12/2019). Tampaknya Jokowi ngeri membayangkan proses penurunan presiden yang dialami Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur. Soekarno dijatuhkan melalui Sidang Istimewa MPRS di tengah wacana Presiden Seumur Hidup. Soeharto dimundurkan oleh gerakan mahasiswa, hanya tiga bulan setelah pernyataan kebulatan tekad yang dikuatkan oleh MPR, dan Gus Dur diturunkan saat belum genap dua tahun memimpin, gara-gara terlibat Buloggate dan Bruneigate. Jokowi sepertinya tidak mau bernasib seperti mereka. Maka dari itu ia tidak mau latah mempertahankan kekuasaan yang memabukkan di tengah eforia yang mewabah. Jokowi pasti sadar bahwa saat ini masih banyak persoalan bangsa yang lain yang perlu sentuhan tangannya. Banyak pekerjan mendesak untuk diselesaikan dengan baik oleh eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, di tengah pandemi covid-19 yang belum juga melandai ini. Tak hanya itu, Jokowi juga mafhum utang menggunung, pengangguran merajalela, korupsi meroket, isu disintegrasi, dan pertumbuhan ekonomi berjalan seperti keong. Ia ingin fokus di sini. Jokowi juga dikenal sebagai presiden yang taat aturan. Persoalan periodesasi jabatan Presiden sudah jelas diatur Berdasar TAP MPR Nomor XIII/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang diterbitkan pada 13 November 1998. Ini adalah salah satu amanat Reformasi 1998, sebagai upaya agar tidak mengulangi lagi sejarah kelam era Orde Baru. Jokowi juga fasih bicara landasan hukum. Dalam UUD 1945 juga telah diatur dalam Pasal 7 bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Jadi, jelas secara tersirat dan tersurat, ketentuan yang mengatur tentang periode jabatan Presiden yang dibolehkan menurut konstitusi, adalah maksimal dua periode. Presiden Jokowi dan juga presiden-presiden lainnya, tetap harus tunduk dengan ketentuan UUD 1945 ini, dimana saat dilantik oleh MPR, sudah berjanji sesuai pasal 9 UUD 1945, yang berbunyi : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa akan memegang teguh UUD 1945”. Jadi, jika kita menggunakan nalar rasional, menyimak respons Jokowi perihal jabatan Presiden tiga periode, dengan pilihan kalimat yang relatif keras, sesungguhnya sudah cukup tegas bahwa Jokowi tidak mau melanggar aturan. Wacana presiden tiga periode pertama kali dilontarkan oleh politis Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani akhir 2019, hanya berselang 1 tahun setelah Jokowi dilantik. Wacana itu kemudian direspons oleh partai Nasdem dan kemudian ditangkap oleh Ketua DPR Puan Maharani yang langsung meminta untuk dilakukan kajian. Kini wacana itu kembali digulirkan oleh politisi Partai Gerindra Arief Poyuono. Poyuono mengusulkan UUD 1945 diamendemen agar Jokowi bisa kembali maju sebagai calon presiden pada 2024 untuk periode ketiga. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono juga bisa mencalonkan kembali Selama hampir tiga tahun wacana presiden tiga periode secara sistematis dan masif digulirkan dengan tegas dan jelas. Perdebatan dan pro-kontra sudah digelar. Kajian sudah dianalisa. Dan DPR pun kelak tinggal mengetuk palu. Melihat gelagat tokoh politik dan manuver partai-partai serta loyalitas hidup mati sebagian rakyat, tampaknya presiden tiga periode tak hanya obrolan warung kopi. Apalagi sebagai orang Jawa, Jokowi sama dengan Jawa lainnya, sulit berkata tidak. Mungkin hanya satu yang tegas, yakni menolak membebaskan Habib Rizieq. Dan kelak Jokowi, mirip gadis kampung yang mendapat pinangan seorang pemuda, malu-malu menerima tawaran itu. Bukan tidak mungkin Jokowi pun akan mengeluarkan pernyataan, "Proyek proyek mangkrak akan cepat diatasi kalau presiden tiga periode." Atas nama keberlanjutan pembangunan, keberagaman, dan supremasi sipil, Jokowi harus menerima amanat penderitaan kaum marhaen. Perkara muka tertampar, itu hanya sejarah, kliping koran, atau jejak digital. Jangan terlalu baper dan sentimentil dengan masa lalu.