EDITORIAL

Kunci Surga Dipegang Gubernur Kalimantan Timur?

MILITANSI dan totalitas pendukung Jokowi layak untuk diacungi jempol. Ada saja ide untuk menempatkan junjungannya di posisi terbaik dan teratas. Ibarat tangga lagu pilihan pendengar, posisi lagunya harus tetap populer dan berada di puncak tangga dalam beberapa bulan. Demikiam juga dengan Jokowi, para pendukungnya terus berupaya agar dia berada di tangga paling atas. Apalagi belakangan ini, ada hasrat dan keinginan kuat yang tersembunyi agar kurun waktu sekarang tetap berada di puncak tangga lebih lama hingga tiga periode. Bahkan bisa jadi seumur hidup. Makanya segala ikhtiar selalu dilakukan tanpa jeda. Mungkinkah itu terjadi? Apa sih yang tidak mungkin di Republik “Emang Gue Pikirin” ini? Adalah Isran Noor, Gubernur Kalimantan Timur yang pagi-pagi sudah ikhlas menjadi bemper kepada Jokowi. Irsan kumandangkan woro-woro ke seluruh jagat Nusantara bahwa Jokowi adalah manusia paling layak masuk surga tanpa beribadah, karena “berhasil” memindahkan ibu kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. “Mas Jokowi, Bapak Presiden, Bapak itu pasti masuk surga. Tidak usah lagi Bapak itu beramal ibadah,” kata Isran dalam Kuliah Umum terkait potensi dan keberlanjutan Ibu Kota Negara di kampus Universitas Indonesia yang dilakukan secara daring Rabu (07/04/2021). Pernyataan Isran ini sungguh mengagetkan. Kapan Irsan punya hak privilese untuk menentukan seseorang masuk surga atau neraka. Yang lebih mengagetkan lagi, sepertinya Irsan juga memegang kunci surga. Kunci yang kapan saja bisa digembok atau dibuka pintu surga. Ironis dengan kenyataan di lapangan. Perihal kunci surga ini seringkali dilontarkan oleh species pembenci Islam terhadap umat yang mencoba mengamalkan ajaran agama Islam secara konsekuen. Mereka kerap menyebut Kadrun (Kadal Gurun) sebagai pemegang gembok dan penentu kavling surga. Tuduhan yang tak berdasar dan tak bernalar. Kata Rocky Gerung dungu dan dongo. Eh, ternyata yang memegang kunci surga adalah Isran Noor. Entah kapan Isran berdiskusi dengan Tuhan, kok bisa tahu nasib Jokowi? Apakah Isran juga Kadrun? Entahlah. Isran bukanlah satu-satunya orang yang mengagumi Jokowi, sehingga menyentuh langit batas atas. Bukan kali ini saja Jokowi dipuja setinggi Planet Pluto. Sebelumnya pada tahun 2018, Jokowi diibaratkan Khalifah Ustman bin Affan oleh Prof. Dr. Rokhmin Dahuri. Ilmuwan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), University itu terpesona pada kesederhanaan Jokowi. Rokhmin lantas menjulukinya Ustman Bin Affan karena selalu dekat dengan rakyat. Oleh penggemarnya, sifat-sifat Jokowi disamakan dengan sifat khalifah penerus Nabi. Jokowi lembut mirip Abu Bakar Asshiddiq. Kepemimpinannya tegas mirip Umar Bin Khattab. Sosoknya dermawan mirip Ustman Bin Affan. Otaknya cerdik mirip Ali Bin Abi Tholib. Menurut Rokhmin, gaya kepemimpinan Jokowi memberi pengaruh positif. Kata Rokhmin, rakyat sudah jatuh hati pada Jokowi. Jauh sebelum itu Jokowi juga dianggap ratu adil yang bakal paripurna mengatasi segala keruwetan hidup bangsa. Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar dalam buku yang berjudul 'Bang Jokowi dan Bang Ahok Bangun Jakarta Baru' menyatakan kehadiran Jokowi dan Ahok layaknya Satrio Piningit untuk kota Jakarta. Musni Umar menyatakan, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2012 lalu dapat dikatakan telah memunculkan Satrio Piningit. Pemimpin yang berjiwa luhur, membela kebenaran. Peduli kepada masyarakat bawah, serta mengedepankan negara dan bangsanya. Setidaknya ada lima tanda-tanda Jokowi menjadi Satrio Piningit versi Sosiolog Musni Umar. Misalnya, Jokowi mampu mangatasi macet, mengatasi banjir, membangun rumah susun, membikin pasar tradisional, dan menangani masalah sosial. Isu tentang Satrio Piningit ini sering muncul ketika keadaan masyarakat sedang kacau, resah, tertekan, dan krisis kepemimpinan. Masyarakat mengharapkan sekali sosok pemimpin yang ideal, yakni pemimpin yang adil, jujur, merakyat, bersahaja dqan tidak zolim. Gaya, dan praktik memimpinnya pun dilakukan dengan tulus ikhlas, apa adanya, tanpa pencitraan sehingga melahirkan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan. Masyarakat yang mentalnya gersang dan kehidupannya sulit akan girang sekali jika mendengar Satrio Piningit bakal turun gunung, karena mereka berharap kesengsaraannya bakal segera berakhir. Nyatanya puluhan kali ganti rezim puluhan kali pula sosok Satrio Piningit dipasarkan. Namun hasilnya toh sama saja. Tak ada buktinya. Kriteria pemimpin ideal, hanya ada dalam dongeng. Dongeng itu diduga sekarang sedang diperankan oleh Jokowi. Maka alur ceritanya perlu dirawat agar masyarakat kecanduan Satrio Piningit terus-menerus sepanjang masa. Namun aneh, nyatanya, di era Satrio Piningit asli Solo ini, keadaan masyarakat justru semakin waswas, resah, gelisah, dan dalam ketidakpastian. Adu-domba, fitnah, dan pertengkaran selalu terjadi. Masyarakat dibikin penuh prasangka, saling hujat, dan perang dingin. Keadaan makin memburuk saat ekonomi terpuruk, cari makan makin sulit. Pengangguran meningkat, keadilan mati suri, dan utang negara menggunung. Satrio Piningit ternyata tidak memberikan ketentraman, kedamaian, dan keamanan. Tidak punya solusi. Jokowi malah sibuk membuat episode pencitraan demi pencitraan. Tampaknya para pemuja Jokowi salah menafsirkan Satrio Piningit. Jokowi juga mendapatkan pemujaan yang berlebihan. Semakin jauh dari fair dan realistis. Keberhasilannya diangkat setinggi langit, kegagalannya dibenamkan ke dasar lautan. Anehnya, Jokowi pun seperti menikmati posisi ini. Akibatnya banyak hal di luar dugaan Jokowi yang diketahui belakang ini. Tidak mengherankan kalau Jokowi sering bilang',"Saya kaget". Mereka juga kurang tepat menyematkan falsafah Mikul Dhuwur Mendhem Jero pada sosok Jokowi. Konsep Jawa ini sesungguhnya diberikan kepada orang yang sudah meninggal. Untuk mengurangi muatan fitnah, masyarakat Jawa diharap tidak membicarakan kejelekan orang yang sudah meninggal. Masyarakat diperintahkan untuk membicarakan kebaikan yang sudah meninggal. Mikul dhuwur itu artinya mengangkat tinggi-tinggi jejak kebaikannya. Sementara mendhem jero itu artinya mengubur dalam-dalam keburukan orang yang sudah meninggal. Konsep agung ini diaplikasikan dengan salah oleh pengikut Jokowi. Jokowi belum meninggal. Jejak langkahnya masih berproses. Itupun selalu ada pro-kontra dalam kebijakannya. Bahkan lebih banyak kontranya. Jokowi belum saatnya untuk menerima ganjaran surga. Surga atau neraka itu otoritas Tuhan bukan rekomendasi Isran Noor. Kalaupun ada kelebihan Jokowi, itu kreativitas buzzer semata dalam menyulap informasi. Membela membabi-buta, ugal-ugalan. Memlintir fakta. Tidak elok memuja-muja Jokowi setinggi galaksi. Sementara banyak pihak yang menyoal sepak terjangnya. Belum saatnya Jokowi memanen hasil, apalagi menyiapkan surga. Jangan terlampau boros memberikan pujian buat Jokowi. Ingat, aksara Jawa kalau dipangku pasti akan mati. Itu artinya menurut keyakinan orang Jawa, seseorang tidak boleh terlalu tinggi disanjung dan dipuja. Sanjungan yang melampaui batas akan membunuh yang disanjungnya. Coba saja.

Jokowi Jilat Ludah Sendiri

TIDAK ada anggaran. Itu menjadi kenyataan, sehingga program Bantuan Sosial Tunai (BST) berakhir pada April 2021. BST yang nilainya Rp 300.000 per kepala keluarga merupakan program yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 4 April 2021. Total penerimanya mencapai 10 juta kepala keluarga. Jumlah anggaran yang disiapkan selama empat bulan (Januari sampai April) Rp 12 triliun. Tidak ada angin, tiba-tiba Menteri Sosial Tri Rismaharani mengumunkan penghentian BST. Tidak jelas, apakah pengumuman Risma itu sebagai trik agar Kementerian Keuangan iba kepadanya. Tidak hanya trik, tetapi hal itu merupakan manuvernya, sehingga pada akhirnya jika ada masalah, presiden langsung turun tangan. BST merupakan salah satu program yang diluncurkan presiden pada 4 Januari 2021. Lainnya adalah Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Rencana awal, bantuan hanya disiapkan Rp 200.000 per keluarga selama enam bulan (Januari sampai Juni 2021). Dengan berbagai pertimbangan, BST menjadi Rp 300.000 per kepala keluarga, atau sama dengan nilai yang diterima pada 2020. Hanya saja, jangka waktu diperpendek menjadi Januari sampai April 2021. Sangat ironis dan menyedihkan jika BST berakhir karena alasan anggaran tidak ada. Irinos, karena hal yang sangat dibutuhkan rakyat diiadakan, sementara Jokowi masih jor-joran membangun infrastruktur yang anggarannya jauh berlipat-lipat dibandingkan BST. Apalagi, nafsunya meneruskan pembangunan ibu kota negara, di Kalimantan Timur. Dananya, ratusan triliun. Padahal, pemindahan itu tidak begitu mendesak karena Jakarta masih layak sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ironis, karena pemerintahan Jokowi justru terkesan lebih memanjakan pengusaha besar dan orang-orang kaya, terutama konglomerat aseng. Buktinya, lihat saja anggaran yang disiapkan pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2021 yang mencapai Rp 700 triliun. Coba ditelusuri ke mana saja dana itu mengalir. Menyedihkan, karena Dana PEN begitu besar, tetapi sedikit yang ke rakyat. Jika hanya Rp 12 triliun untuk empat bulan pertama, maka selama 2021 ini cukup dianggarkan Rp 36 triliun atau maksimal Rp 40 triliun. Menyedihkan, karena keberpihakan kepada rakyat yang membutuhkan, semakin jauh. Padahal, April 2021 merupakan bulan yang semakin berat, terutama dalam menghadapi Puasa Ramadhan, dan Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriyah yang jatuh pada 13 Mei 2021. Kebutuhan masyarakat tentu meningkat. Seandainya pun masyarakat melakukan penghematan, pengeluaran tetap naik akibat melonjaknya harga sejumlah kebutuhan pokok. Seminggu menjelang puasa, harga berbagai jenis kebutuhan pokok naik. Misalnya, harga telur, harga ayam potong naik, dan harga daging. Harga telur rata-rata Rp 25.000 per kg. Padahal, dua pekan sebelum puasa, harganya masih berkisar Rp 22.000 sampai Rp 23.000 per kg. Harga daging naik dari Rp 120.000 menjadi Rp 130.000 sampai Rp 140.000 per kg. Dalam waktu yang hampir bersamaan, tahun ajaran baru dimulai. Ada anak yang baru mau masuk TK, SD, SMP, SLTA dan SMK. Ada yang naik kelas. Ada yang mau masuk perguruan tinggi. Semua membutuhkan biaya. Okelah, untuk SD dan SMP (Negeri), tidak ada uang pangkal, SPP, dan bahkan buku pelajaran gratis semua. "Gratis, tapi mahal," demikian kalimat yang terekam dari kalangan orang tua murid, terutama yang kurang, apalagi yang tidak mampu. Apalagi, anak yang masuk sekolah swasta, lebih berat lagi. Sebab, orang tua dibebani biaya membeli pakaian seragam, sepatu dan tas. Nilainya cukup mahal. Apalagi, jika dalam satu rumah tangga ada tiga anak yang sama-sama membutuhkan. Untuk DKI Jakarta, tidak masalah karena mereka memiliki Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang bisa ditukar dengan pakaian seragam sekolah. Akan tetapi, daerah lainnya tidak seperti Jakarta. Nah, kembali ke BST. Apakah pemerintah benar-benar sudah tidak memiliki anggaran atau sekedar gertak sambal dari Rismawati? Atau jangan-jangan ini pencitraan lagi. Caranya, di saat genting atau menjelang batas waktu, Joko Widodo akan tampil menyatakan dana BST tetap ada. Biar sesulit apa pun harus ada. Terserah dananya dari mana. Mau utang atau apa pun namanya, harus ada. Akan tetapi, jika Jokowo memaksakan dana BST harus ada di tengah minimnya anggaran, tentu hal tersebut menjadi bahan cemoohan. Sebab, semua orang juga ingat dan tahu tentang ucapannya sewaktu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, ia menegaskan tidak setuju terhadap semua progran bantuan tunai.sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga bahan bakar.minyak (BBM). Ia tidak setuju dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun progran Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Alasannya, tidak.mendidik masyarakat. Sebenarnya, tidak hanya BLT, BLSM, BST yang tidak mendidik masyarakat. Bantuan-bantuan lainnya juga tidak mendidik rakyat. Apalagi, Bantuan Lempar Langsung (BLL) yang sering dipertontonkan Jokowi dari.mobil dinas Presiden, saat berkunjung ke daerah. BLT berubah nama menjadi BST. BST pun menjadi BLL. Ya, Jokowi sering tidak konsisten dengan perkataannya. Jika merujuk pada ucapannya pada Juni 2013, saat masih Gubernur DKI Jakarta, Jokowi telah menjilat ludahnya sendiri. Sebab, ia tidak setuju BLT, tetapi menggantinya menjadi BST.

Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillah Kapolri Waras (Bagian -2)

Tranparansi berkeadilan merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir dan sistem yang terbuka, akuntabel, dan humanis. Kami terbuka untuk diawasi, sehingga pelaksanaan tugas-tugas Kepolisian akan dapat menjamin keamanan dan rasa keadilan masyarakat. Polri tidak boleh menjadi alat kekuasaan, karena sejatinya Polri adalah alat negara. Oleh karena itu, setiap tindakan Polri harus ditujukan untuk mendukung memajukan Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Calon Kapolri Komisaris Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo di Depan Komisi III DPR). PRESISI itu bukan dengan cara mempidanakan orang yang menyerukan atau mengajak orang lain hadir pada peringatan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Sejak kapan perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam itu dinyatakan oleh hukum positif Indonesia sebagai kejahatan? Sejak kapan itu Pak Kapolri? Hukum apa yang mengatur soal itu Pak Kapolri? PRESISI ko seruan kepada orang untuk datang menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad Sallallhu Alaihi Wasallam dinyatakan sebagai “hasutan” Pak Kapolri? Ah, itu konyol sekali. Sebaiknya jangan yang seperti begitulah. Sebab pasti disebut masyarakat sebagai arogansi kekuasaan dari institusi kepolisian. Bukan lagi disebut sebagai arogansi anggota atau oknum polisi semata. Kapolri Yang Berkelas PRESISI, tetapi apakah menyedot dan menyadap data pribadinya Jumhur Hidayat secara diam-diam itu dibenarkan oleh hukum? Pastinya itu tindakan ngaco dan ngawur? Kebijakan itu pakai hukum atau UU dari planet mana ya Pak Kapolri? Kalau tidak salah ingat, kebijakan penyedotan dan penyadapan data pribadinya Jumhur Hidayat tersebut dilakukan saat Pak Sigit masih menjabat sebagai Kapala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Kapan dan pada UU apa polisi diberi wewenang untuk menyedot serta menyadap data pribadi warga negara? Ini pasti bukan pekerjaan polisi yang PRESISI Pak Kapolri. Perbuatan ini pasti arogansi namanya. Dibilang arogansi karena tidak ada UU yang memberi kewenangan kepada polisi untuk menyadap dan menyedot data pribadi dan percakapan pribadi orang. Meskipun tidak menggunakan alat canggih penyadapan dan penyedotan, namun pekerjaan yang arogan dan sewenang-wenang dengan mengabaikan UU seperti ini hanya ada pada eranya Polisi GESTAPO Nazi Hitler dulu. Pasti itu bukan pekerjaan polisi yang PRESISI. Itu memalukan betul Pak Kapolri. Masa hari gini polisi bekerja tanpa panduan UU? Masih ada aparatur negara yang berpikir menyembunyikan tingkah lakunya? Kekerasan aparat ko mau disembunyikan? Arogansi aparat ko mau diumpetin? Waraskah itu? Jelas saja itu tidak waras. Untung saja hari ini kita punya Kapolri yang waras. Sehingga TR yang hendak membatasi kebebasan pers memberitakan prilaku arogansi polisi itu dicabut. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 24 jam TR yang abal-abal tersebut dicabut Kapolri. Terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda memang Kapolri yang hebat, berkelas, top-markotop dan mengagumkan. Pak Kapolri Sigit sangat responsip dan prediktif terhadap keresahan dan kegalauan masyarakat Pers. Itu baru namanya sikap dan kebijakan yang PRESISI. Sekali lagi, terima kasih Pak Kapolri Sigit. Anda telah menunjukan dengan sangat jelas kelas dan kaulitas anda sebagai Kapolri yang PRESISI. Pastinya tidak ada aparat yang bukan hamba-Nya Allah Subhanau Wata’ala. Sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala tidak ada satupun tindakan aparatur yang berada di luar penglihatan rekaman Allah Subhanahu Wata’ala, Robb yang Haq. Secanggih apapun kekerasan dan arogansi itu diumpetin, tetap saja terekam dengan utuh oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Kalian boleh saja lolos di dunia. Tetapi tidak di alam Allah Azza wa Jallah. Allah Subhanahu Wata’ala yang maha tau setiap napas hamba-Nya pasti berada dalam genggaman-Nya. Pak Sigit, saran kami, berhentilah untuk mengurus hal-hal yang tidak menjadi tugas pokok anda sebagai Kapolri. Tidak usahlah anda ikut cawe-cawe, mengambil prakarsa sendiri atau apapun namanya menangani urusan-urusan pemerintahan yang menjadi tugas pokok kementerian tertentu. Anda hanya perlu menggunakan semua energi yang serba terbatas, untuk membangun Kepolisian. Itu sudah cukup. Tata Ulang Polisi Benahi saja kultur Kepolisian. Itu jauh lebih penting daripada anda harus menggunakan energi kesana-kemari menangani hal-hal yang telah menjadi tugas Kementerian lain. Kalau anda mencintai kepolisian, sama dengan cinta kami kepada kepolisian. Anda harus tahu juga, kalau arogansi yang terlembagakan dan menjadi kultur suatu organisasi, kelak akan melahirkan energi antipasti. Energi antipati itu akan bertransformasi menjadi undangan dan kebutuhan politik kepada bangsa ini, melakukan “Tata Ulang Kepolisian”. Sebab kalau terus-terusan arogan, dan dinilai polisi selalu andal sebagai tukang pukul politik Presiden, maka tampilan praktis polisi ditengah bangsa ini kelak akan dibuka oleh masyarakat. Akan dicerna dan dievaluasi semua prilaku polisi dengan deteilnya. Bisa dibayangkan kalau semua data itu menyuguhkan kenyataan bahwa polisi selalu saja begitu, yaitu “menjadi tukang pukul politik Presiden”. Selalu mengandalkan hukum di sepanjang sejarah bangsa ini untuk memukul lawan politik. Setidaknya sejak tahun 1959 lalu, sehingga kebutuhan untuk melakukan “Tata Ulang Kepolisian” bakal sulit terhindarkan. Bila data sejarah perilaku arogansi Polisi hadir secara detail di benak warga negara yang membiayai polisi, maka kenyataan itu bisa menghadirkan “Tata Ulang Kepolisian”. Tata ulang sebagai pilihan paling rasional dan mutlak. Itu yang harus diingat-ingat oleh Pak Kapolri. Belajarlah dari sejarah kelam masa lalu TNI yang “menjedi tukang pukul politik terhebat Presiden”. Jangan ulangi lagi kekeliruan TNI itu. Pak Kapolri tidak bileh lupa dengan celah konstitusi terlalu besar untuk bangsa ini memilih pilihan “Tata Ulang Kepolisian”. Coba lihat dan pelajari lagi UUD 1945. Hubungkan kemungkinan “Tata Ulang Kepolisan” itu dengan pasal 30 ayat (4) UUD 1945. Esensi dari pasal 28I ayat (5) UUD 45 itu sangat sangat dan sangat jelas. Tidak ada penegakan hukum, yang dengan alasan apapun, membatasi hak asasi warga negara atau pribadi orang. Negara hukum mengharuskan pembatasan itu dilakukan, bukan hanya berdasarkan hukum ansich. Tetapi hukum yang selaras dengan panduan etika, moral, kaidah sosial dan politik yang masuk dalam timbangan akal sehat. Bagaimana dengan pasal 30 ayat (4), yang bicara tentang Kepolisian. Pasal ini menyediakan kaidah konstitusional untuk membatasi organisasi Kepolisian. Kadiah “menegakan hukum” itu tidak bersensi “menyelidik dan menyidik” mutlak hanya menjadi fungsi Polisi. Fungsi ini bisa dilakukan oleh organ lain negara di luar Kepolisian. Itu yang mungkin perlu diingat-ingat oleh Pak Kapolri Sigit. Dalam rangka memastikan pelaksanaan fungsi konstitusional Kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi dan mengayomi serta melayani masyarakat, maka diperlukan organ lain sebagai transformasi konstitusional 28I ayat (5) UUD 1945 itu. Organ ini mutlak disifatkan sebagai organ yang independen. Organ di luar polisi. Namu bukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Sekedar saran, Pak Kapolri perlu mengasah kepekaan terhadap lingkungan politik. Kapolri harus pastikan lingkungan politik tidak boleh mengkristal pada kebutuhan untuk “Tata Ulang Kepolisian”. Polisi boleh saja dikenal hebat dan terlatih dalam lobi-lobi politik khusus. Tetapi politik punya cara kerja sendiri yang terkadang aneh-aneh. Sulit untuk diprediksi. Maka belajarlah yang banyak dari kekeliruan saudara tua. Prinsipnya anggota polisi jangan mengorbankan institusi polisi. Misalnya, dengan berusaha berlindung dibalik institusi polisi. Namun sebaliknya, institusi polisi jangan juga sampai digunakan untuk melindungi anggota yang jelas-jelas bersalah dan tidak PRESISI. Sebab kalau keadaan masyarakat menghendaki perubahan, maka dipastikan politisi-politisi akan mengubah haluan. Kalau perubahan itu ada depan mata, maka para politisi akan memilih untuk berlabuh di pelabuhan rakyat. Mereka akan bernyanyi dalam nada dan dan irama yang bersama-sama dengan rakyat. Itu pasti terjadi. Begitu cara politisi mencari jalan dan perahu untuk menyelamatkan diri. Tidak ada jalan yang bisa dipakai untuk dilewati politisi. Ketika itu, semua jalan menjadi buntu dan tertutup. Terimak Pak Kapolri yang sudah bertindak cepat mencabut TR abal-abal itu. Arogansi Polisi akhirnya bisa diberitakan lagi oleh Pers. Jelas sudah kalau Pak Kapolri Sigit menghendaki tampilan polisi yang humanis. Bukan polisi yang arogansi. Bersamaan dengan itu, Pak Kapolri harus pastikan bahwa pencabutan TR abal-abal itu menjadi akhir arogansi Polisi pada semua aspek penegakan hukum negeri ini. Semoga saja. (selesai).

Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillaah Kapolri Waras (Bagian-1)

SOAL kebebasan Pers dan Hak Asasi Manusia menjadi ganjalan utama 13 Negara Bagian untuk pertama kalinya tidak mau bergabung dengan negara Amerika Serikat pada konvensi Philedevia (konvensi pembentuan Negara Amerika Serikat) tahun 1787. Empat tahun kemudian, padaamandemen pertama UUD Amerika Serikat tahun 1791, setelah soal kebebasan Pers dan HAM masuk dalam konstitusi, barulah 13 Negara Bagian menyatakan mau bergabung dengan Amerika Serikat. Hasil amandemen pertama UUD Amerika Serikat tahun 1791 itu, berbunyi begini, “Presiden dan Kongres Amerika Serikat dilarang untuk membuat Rancangan Undang-Undang yang membatasi kebebasan Pers. Baru mulai berfikir untuk membatasi kebebasan Pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. Betapa pentingnya kebebasan Pers ini untuk mendirikan negara baru seperti Amerika Serikat. Sebagai “the four of state democration”, secara moral Pers diberikan tugas oleh rakyat untuk menguliti dan menelanjangi prilaku aneh dari semua penyelanggara negara yang dibayar gajinya dari pajak rakyat. Prilaku penyelenggara negara yang tidak memihak kepada rakyat. Prilaku penyelenggara negara yang tidak untuk menyukseskan cita-cita dan tujuan bernegara. Sebaliknya, malah menyeserakan rakyat. Polisi GESTAPO Nazi Hitler Alhamdulillah, Polri mengatakan pencabutan surat telegram Kapolri Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 terkait larangan media menampilkan “kekerasan aparat” (tanda petik dari kami) lantaran muncul banyak tafsir di masyarakat. Kapolri Pak Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo, akhirnya menyampaikan permintaan maaf atas terbitnya Telegram Rahasia (TR) larangan media. TR itu kemudian menimbulkan multitafsir di masyarakat yang diartikan media dilarang meliput upaya dan tindakan arogansi anggota polisi. Kapolri dalam keterangan tertulisnya, beredar di Jakarta, Selasa (6/4) malam, mengatakan dicabutnya TR tentang larangan media tersebut sebagai wujud Polri tidak antikritik. Polri bersedia mendengar dan menerima masukan dari masyarakat. "Dan sekali lagi mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media. Sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan insititusi Polri agar bisa jadi lebih baik," kata Kapolri. Bagus, hebat, berkelas dan top markotop. Sebab Kapolrinya waras. Punya akal sehat. Sebab untuk dan dengan alasan apapun, pembatasan pemberitaan pers memberitakan hal-ihwal perilaku Polisi, itu jelas arogan. Polisi yang tak bisa dikiritik itu hanya Polisi Gestapo di zaman Nazi Adolf Hitler dulu. Polisi Gestapo itu arogannya minta ampun. Arogannya tak ketulungan. Polisi Gestapo Nazi Hitler itu bisa menguping, mengintersep, menyadap seenak udel mereka terhadap siapa saja yang berbicara di luar garis politik Hitler. Seperti itulah kelakuannya Polisi Gestapo. Polisi itu punya senjata berpeluru tajam. Polisi juga punya senjata hukum. Dua senjata itu membuat mereka menjadi sangat super power. Karena kedua-duanya sama-sama mematikan. Polisi bisa saja menggunakan senjata berpeluru tajam yang mematikan setiap orang hanya dengan alasan-alasan yang direkayasa. Itulah yang terjadi di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran mengatakan mereka melawan dan membahayakan petugas. Belum lama ini, Nurhadi yang sudah mempelihatkan diri sebagai wartawan Tempo dianiaya Polisi. Nurhadi dianiaya saat berupaya mencari informasi tentang mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Orang ini diduga terlibat kasus suap pemeriksaan pajak pada Sabtu, 27 Maret 2021 yang lagi disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Nurhadi dianiaya di Gedung Graha Samudera Bumimoro, kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut Surabaya. Meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis, Nurhadi tetap dipukul, dipiting dan sempat disekap selama beberapa jam di hotel. Apakah Pak Kapolri telah mengambil tindakan terhadap ariogansi anak buah yang menganiaya Nurhadi? Apa penanganan kasus ini mau dilambat-lambatkan lagi seperti penanganan kasus pembunuhan laskar FPI di kilometer 50 tol Japek? Kalau memiliki nuansa yang sama dengan kasus kilometer 50 tol Japek, maka sulit untuk menilai bahwa Pak Kapolri punya hasrat menghentikan prilaku arogansi anak buahnya. Kapolri Mengerti UUD 45? Polisi di bawah kepemimpin Pak Kapolri Sigit saat ini, tentu tak mau negara ini diplesetkan menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia (NKRI). Kalaupun mau jadikan Indonesia negara Polisi, maka bukan Polisi yang menentukan arah itu. Pak Kapolri dan jajarannya kan tahu bahwa Polisi itu baru ada setelah negeri ini merdeka. Polisi baru ada setelah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pak Kapolri dan jajarannya pasti tahu bahwa BKR dibentuk tidak untuk “melakukan kekerasan dan arogan” kepada rakyat. BKR itu dibentuk untuk melindungi rakyat dari tindak-tanduk bejat tentara sekutu dan KNIL, tentara Kerajaan Belanda itu. Makanya menjadi tidak logis kalau polisi yang arogan terhadap rakyat. Rakyat itu pemilik bangsa ini. Bukan milik Polisi. Kapolri harus mengerti juga UUD 1945. Rakyat itu bukan musuh polisi. Polisi juga bukan tukang pukul politik dari Presiden. Kapolri harus diberitahu pembatasan pers memberitakan perilaku arogansi polisi dalam menjalankan tugasnya, sama hukumnya dengan membatasi hak warga negara untuk mendapat informasi. Pembatasan hak warga negara hanya sah kalau diatur dengan UU. Begitulah UUD 1945 menggariskannya kepada bangsa ini. Bukan pakai TR kalau membatasi hak warga negara. Terima kasih Pak Kapolri atas pencabutan TR yang abal-abal itu. TR yang sebagian isinya melarang pemberitaan kekerasan dan arogansi aparat polisi. Jangan hanya kejahatan orang saja yang mau diusut. Tetapi giliran kekerasan dan arogansi aparat polisi mau disembunyikan. Ini cara berpikir yang abal-abal, kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-belang. Mendekorasi jalan menuju kursi Kapolri dengan konsep “PRESISI” itu hebat, kerkalas, top markotop dan sangat mengagumkan. Tetapi kekerasan dan arogansi aparat polisi mau disembunyikan, jelas itu konyol. Sebab PRESISI itu bukan profesional yang sembunyikan kekerasan dan arogansi polisi. PRESISI itu bukan pula profesional berprilaku menyadap atau menyedot data pribadi orang, seperti data pribadinya Jumhur Hidayat, yang disedot secara diam-diam. PRESISI itu bukan memperlakukan hukum yang berbeda pada kasus yang sama. Kerumunan yang dihadiri oleh Presiden, dianggap benar. Tetapi giliran orang lain, misalnya Habib Rizieq Shihab, malah dijadikan tersangka dan dipenjarakan. Itu bukan presisi. Ini namanya arogansi. Cara dan pola seperti itu pernah dipakai oleh Polisi GESTAPO Nazi Hiler dulu. PRESISI, tetapi berbulan-bulan baru menemukan tiga tersangka dalam kasus pembunuhan di kilometer 50 tol Japek? Sudah begitu wajah tiga orang tersangka tidak pernah ditampilkan. Ujug-ujug sudah ada tersangka yang meninggal, karena tabrakan tunggal? Beda betul dengan perlakukan terhadap Habib Rizieq Shihab, Dr Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang diperlihatkan kepada publik dengan baju warna oranye dan tangan diborgol. Nyawa anak bangsa, enam anggota Laskar FPI ternyata lebih rendah dari kritik terhadap Presiden. Tersangka pembunuh enam laskar FPI diumpetin. Tetapi mereka yang mengeritik terhadap Presiden dan DPR yang sedang membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja malah ditampilkan secara demonstratif kepada publik. Betul-betul itu prilaku yang arogan. Dimana itu PRESISI diumpetin? (bersambung).

Musim Reshuffle, Menristek Pamit di Kunjungan Daerah Terakhir

KONSEKUENSI disetujuinya usulan Presiden Jokowi terkait penggabungan Kemendikbud dan Kemenristek yang telah disetujui oleh DPR RI, membuat Menristek Bambang Brodjonegoro merasa harus pamit dari kabinet. Ya, asumsinya yang akan dipakai adalah Mendikbud Nadiem Makarim yang akan duduk menjadi menteri hasil penggabungan dua kementerian tersebut. Tak ayal membuat Menristek merasa dirinya sudah tak lagi dibutuhkan, padahal bisa saja Bambang Brodjo yang dijadikan Mendikbud atau setidaknya Wakil Mendikbud. Saat meresmikan Science Techno Park Universitas Hasanuddin (Unhas) di Makassar, Sulawesi Selatan, Bambang mengatakan kegiatannya hari itu merupakan kunjungan kerjanya yang terakhir sebagai Menristek. "Kunjungan daerah pertama saya sebagai Menristek itu adalah ke Unhas. Waktu itu saya membuka joint working group meeting Indonesia-Prancis dalam bidang penelitian didampingi Rektor, dan hari ini mungkin kunjungan saya yang terakhir ke daerah sebagai Menristek," kata Bambang saat meresmikan Science Techno Park Universitas Hasanuddin, Jumat (9/4). Alasannya, sesuai dengan rapat paripurna DPR RI, maka tak ada lagi Kemenristek. Karena sesuai dengan hasil sidang paripurna DPR tadi, Kemenristek akan dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi artinya tak ada lagi Kemenristek dan tak ada lagi kunjungan daerah dari Menristek ke mana pun. Bambang menjabat sebagai Menristek/Kepala BRIN sejak 20 Oktober 2019. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas sejak 27 Juli 2016 sampai 20 Oktober 2019. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan periode 27 Oktober 2014-27 Juli 2016. Dengan demikian, jabatan Bambang telah berganti sebanyak tiga kali selama pemerintahan Jokowi. Penggabungan Kemenristek ke Kemendikbud yang telah disetujui DPR RI disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kemarin. Sesuai hasil rapat konsultasi pengganti rapat Bamus 8 April 2021 yang telah bahas surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian dan menyepakati penggabungan sebagian tugas dan fungsi Kemenristek ke Kemendikbud sehingga menjadi Kemendikbud dan Ristek, pembentukan Kementerian Investasi untuk meningkatkan investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan dilanjutkan dengan pengambilan keputusan. Rupanya, hasil keputusan rapat Bamus pengganti rapat konsultasi terhadap pertimbangan penggabungan dan pembentukan kementerian disetujui Rapat Paripurna. Untuk memperkuat kebijakannya, Presiden Jokowi pun menyambangi kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Seperti biasa, PDIP pun menyambut baik usulan penggabungan Kemendikbud dan Kementistek. Satu lagi usulan yang mencuat adalah disetujuinya keberadaan Menteri Investasi. Selama ini urusan investasi ditangani oleh Badan Kooordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang diketuai oleh Bahlil Lahadalia. Memang agak aneh ada Menko Kemaritiman dan Investasi tapi tidak ada Menteri Investasi, bisa saja Bahlil naik menjadi menterinya. Tapi melihat kinerja investasi yang di bawah target, boleh jadi akan ada figur baru yang akan menduduki jabatan itu. Ada figur seperti Sandiaga Salahudin Uno, ada Gita Wirjawan, ada juga Yuliot Tanjung, ada Mahendra Siregar, Ignasius Jonan, Silmy Karim, hingga Ito Warsito. Pendek kata, musim reshuffle mekar kembali. Ada kekhawatiran, ada harapan. Tapi jangan sampai ini adalah bagian dari pengalihan isu, karena masalah sesungguhnya adalah utang yang menggunung, pengangguran bertambah, korupsi yang merajalela, dan demokrasi yang sedang terhempas. Kalau sudah begini yang diperlukan bukan sekadar reshuffle kabinet, melainkan reshuffle presiden.

Rakyat Wajib Konstitusional Penguasa Boleh Seenaknya

YANG menjadi masalah besar di negeri ini ialah rakyat senantiasa wajib konstitusional dalam bertindak, baik itu dalam memprotes sesuatu atau ingin melawan kezaliman. Di pihak lain, para penguasa bertindak sesuka hati, seenaknya saja. Mereka terangan-terangan mengakali rakyat dengan bertopengkan langkah-langkah yang kelihatan konstitusional, tetapi sesungguhkan dikatorial. Inilah yang telah berlangsung selama bertahun-tahun hingga hari ini. Semakin blak-blakan. Para penguasa tidak segan-segan melakukan segala macam muslihat untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan. Mereka “pintar” sekali. Pintar mencari dukungan politik dari para elit. Dari semua elit: elit politik, elit sosial-budaya, dan terutama dari elit bisnis. Akal-akalan dalam penetapan ‘presidential threshold’ (PT) 20% adalah salah satu contoh tindakan semena-mena penguasa yang diloloskan sebagai langkah konstitusional. Padahal, semua orang paham bahwa PT digulirkan, dibahas, dan disahkan oleh parlemen melalui tekanan, penyanderaan, iming-iming atau cara-cara kotor lainnya. Revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah contoh yang faktual tentang “playing with constitutional look like maneuvers” (bermain dengan manuver yang mirip konstitusional). Pemerintah bersama DPR menyetujui revisi (perubahan). Perubahan UU KPK antara lain menetapkan bahwa para pegawai KPK tidak independen lagi. Mereka menjadi bagian dari organ pemerintah. Bukan penegak hukum lagi. Lain lagi penambahan organ KPK berupa Dewan Pengawas (Dewas). Kehadiran Dewas membuat KPK tidak bisa lagi bebas melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Revisi ini juga menetapkan bahwa KPK boleh menghentikan penyidikan. Mereka bisa mengeluarkan SP3 untuk kasus-kasus lama. Belum lama ini, KPK langsung menggunakan hak SP3 itu. Sjamsul Nursalim dan istrinya yang selama ini menjadi buron, adalah tersangka pertama yang mendapat “berkah” dari revisi UU KPK. Koruptor besar yang menyalahgunakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) semasa krisis moneter 1997-1998 itu, kini dihentikan penyidikan kasusnya. Mereka sekarang bisa bebas lagi masuk ke Indonesia dari luar negeri. Revisi UU KPK adalah proses yang terlihat berlangsung secara konstitusional, padahal tidak. Semua itu berlangsung dalam kerangka kerjasama busuk antara orang-orang yang ingin terus melakukan kejahatan, menggerogoti uang negara. Revisi tersebut didukung oleh mayoritas anggota DPR. Disambut baik oleh pemerintah. Revisi ini sesungguhnya adalah pengkhianatan terhadap rakyat. Begitu juga dengan pemberlakuan secara paksa Omnibus Law UU Ciptaker Nomor 11 tahun 2020 oleh pemerintah bersama DPR. Seluruh proses, mulai dari penyerapan aspirasi rakyat, perumusan pasal-pasal, pembahasan hingga penetapan, berlangsung dengan banyak kejanggalan. Tetapi, dengan kekuasaan yang mereka miliki, proses ini bisa kelihatan konstitusional. Padahal, ada sejumlah tindakan yang melanggar peraturan. Misalnya saja, setelah Presiden Jokowi menandatangani Omnibus Law itu, berbagai perbaikan dilakukan. Ada yang ditambah, ada yang dikurangi. Bahkan ada halaman yang hilang atau disisipkan. Namun, karena kekuasaan lagi-lagi ada di tangan para elit politik yang sangat menentukan, UU Ciptaker itu pun seolah diproduksi secara konstitusional. Dalam penegakan hukum pun, manuver-manuver mirip konstitusional juga dilakukan. Misalnya, operasi kepolisian dan intelijen yang ditujukan kepada kegiatan terbuka yang dilakukan oleh Habib Rzieq Syihab (HRS) dan FPI (Front Pembela Islam). Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa ada pembunuhan melawan hukum (unlawful killing) terhadap 6 pengawal HRS. Dalam temuan lain, Komnas meminta agar diungkap identias dua mobil yang tidak diakui oleh kepolisian dalam operasi mereka terhadap rombongan HRS pada 7 Desember 2020. Begitu juga keberadaan mobil Land Cruiser yang diduga kuat ikut mengatur operasi yang diyakini ingin menghabisi HRS itu. Ada pula tindakan penguasa yang patut diduga sebagai upaya untuk menghilangkan barang bukti. Yaitu, penghancuran komplek ‘rest area’ di KM-50 Jalak Tol Jakarta-Cilkampek. Sekarang ini, pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan operasi terhadap HRS, seolah akan dibuat sebagai tindakan yang konstitusional. Ada usaha penguasa untuk menggiring opini publik bahwa tindakan tim operasi yang melakukan kejahatan pidana itu merupakan langkah untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Sangat menyolok adalah tindakan hukum terhadap HRS dengan tuduhan menimbulkan kerumunan. Bahkan ditambah dengan tuduhan penghasutan untuk berkerumun. HRS sudah membayar denda kerumunan sesuai aturan. Sehingga, banyak orang berpendapat bahwa langkah hukum yang diberlakukan terhadap HRS saat ini bertentangan dengan konstitusi. Tetapi, ada saja cara para penguasa untuk menjelaskan bahwa yang mereka lakukan itu adalah langkah yang sesuai konstitusi. Jadi, sekali lagi, yang berlangsung saat ini adalah bahwa rakyat wajib senantiasa konstitusional sedangkan para penguasa bisa seenak mereka saja.

Tumbal Ambisi, Bandara Kertajati Beralih Fungsi

PLINTAT -plintut tak hanya menyerang makhluk bernyawa. Benda mati pun bisa terpapar pandemi "esuk dhele sore tempe", sebuah perumpamaan Jawa yang mendeskripsikan sikap tak konsisten dan semaunya. Wabah itu kini menimpa Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat. Bandara yang dibangga-banggakan sebagai Airport Kelas Wahid setelah Bandara Soetta itu kini berubah fungsi sebagai tempat penampungan pesawat rusak alias bengkel. Di tempat ini kelak berbagai aktivitas seperti mencopot baut, mengelas besi, menambal ban, dan mengecat body akan menggeliat. Tak ada lagi lalu lalang turis lokal maupun internasional seperti yang diimpikan sebelumnya. Yang ada hanya para pekerja berlumuran oli yang sigap memperbaiki pesawat bekas. Tumpukan besi tua berkarat juga akan tampak di sudut-sudut yang lain Bandara terluas di Indonesia itu. Alih fungsi Bandara yang digadang-gadang sebagai bandara termegah di Asia itu diputuskan menjadi bengkel oleh Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas di Istana Negara Senin (29/03/2021) yang dihadiri Menhub Budi Karya Sumadi dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Pemerintah menyatakan Bandara Kertajati akan menjadi tempat Maintenance, Repair, Overhaul (MRO) alias bengkel pesawat. Presiden meminta agar PTDI dan PT Pindad dipindahkan juga ke kawasan Aero City Kertajati. Selanjutnya kawasan PTDI dan PT Pindad di Bandung bisa diubah menjadi daerah pariwisata. Keputusan ini diambil lantaran sejak diresmikan, lapangan terbang ini cenderung sepi peminat, khususnya untuk penerbangan komersil. Maskapai terakhir yang bertahan beroperasi di Kertajati, adalah Citilink. Secara kumulatif antara Januari-September 2020 jumlah penumpang Bandara Kertajati hanya 42.400 orang atau 26,41 persen dari total penumpang domestik Jawa Barat. Bahkan pada bulan Agustus – September 2020, taka da satu pun peunmang di Bandara Kertajati. Ada sedikit keramaian yang menarik perhatian publik yakni banyaknya calon-calon pengantin baru yang memanfaatkan sepinya bandara. Mereka mengambil foto prewedding di lokasi yang luasnya mencapai 1.800 Ha tersebut. Ibarat bunga, Bandara Kertajati layu sebelum berkembang. Padahal, ide dan gagasannya sudah ditelorkan sejak 15 tahun lalu era Presiden Megawati, dimatangkan era SBY, dan diresmikan pada era Jokowi. Peresmiannya cukup meriah dan heroik. Wajah-wajah penuh optimistis menghiasai tamu undangan yang memenuhi upacara seremonial di pelataran Kertajati. Disambut tradisi water salute, pesawat Kepresidenan yang ditumpangi Presiden Joko Widodo mendarat di Bandara Internasional Jawa Barat Kertajati, Kamis (24/05/2018). Pendaratan perdana pesawat Kepresidenan ini sekaligus menandai beroperasinya Bandara kebanggaan masyarakat Jawa Barat tersebut. Saking girangnya Jokowi datang lebih awal 1 jam, yakni pukul 09.27 yang seharusnya pukul 10.30 WIB. Kedatangan Jokowi disambut dengan meriah sekaligus ditunjukkannya historical landing oleh Maskapai Garuda Indonesia dan Batik Air dengan penumpang VVIP sebagai pertanda operasional Bandara Internasional Kertajati dimulai. Momen itu juga menunjukkan Bandara ini telah mengantongi izin penerbangan internasional. Proses kelahiran Bandara ini cukup menyita waktu. Sejak 15 tahun sebelumnya sudah diwacanakan. Lalu dimulai pembangunan pada 2014 dengan pembangunan runway (landas pacu) sepanjang 2.500 meter x 60 meter dan paralel taxiway sepanjang 2.750 meter x 25 meter yang sudah selesai dibangun pada akhir 2017. Landas pacu kemudian dipanjangkan hingga 3.200 meter x 60 meter agar bisa melayani operasional pesawat sipil terbesar di dunia seperti Airbus A380, Boeing B 747, maupun B 777. Bandara ini memiliki kapasitas 5 juta penumpang per tahun serta bisa dikembangkan menjadi sekitar 29,3 juta penumpang per tahun. Namun semua itu sirna lantaran sepinya penumpang. Selain itu, Bandara Kertajati mempunyai apron seluas 397.890 meter persegi yang dapat menampung 10 parking stand pesawat jet narrow body. Nama Bandara Kertajati sendiri sempat mau diubah menjadi Bandara BJ Habibie, namun batal. Bandara Kertajati adalah korban kebijakan ambisius tanpa memikirkan dampak dan kelanjutannya. Yang terjadi adalah tambal sulam kebijakan untuk menutupi kegagalan pembangunan yang nyata. Alih fungsi Bandara menjadi tempat service pesawat bobrok merupakan bukti minimnya perencanaan proyek infrastruktur pemerintah. Ia menjadi korban ambisius program pencitraan sang presiden. Hasrat untuk meraih predikat Bapak Infrastruktur, tak semulus yang dibayangkan. Dana pembangunan yang mencapai Rp 2,6 triliun bukan jumlah yang sedikit. Uang sebanyak itu jika disalurkan untuk membantu UMKM jelas sangat bermanfaat. Pedagang mangga Indramayu akan terbantu, penjual jeruk nipis Kuningan akan senang, dan perajin Jalakotek Majalengka akan bahagia. Keraguan akan suksesnya Bandara ini sebetulnya pernah disentil oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Saat itu, Jonan sempat menolak untuk melanjutkan pembangunannya. Tapi kemudian dipaksakan oleh Menhub yang baru, Budi Karya Sumadi. Tak hanya Jonan, pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo juga pernah mengingatkan agar pemerintah berpikir ulang tentang pembangunan bandara ini. Kata Agus, Kertajati jauh dari mana-mana, nggak cocok dijadikan bandara. Jarak Bandung-Kertajati sekitar 100 kilometer atau kurang lebih 2 jam perjalanan, mereka lebih memilih ke Bandara Soetta di Cengkareng. Agus menyatakan Bandara Kertajati adalah contoh infrastruktur yang dibangun dengan unsur politis yang lebih kental dibanding unsur studi kelayakannya. Adapun keinginan pemerintah untuk tetap melayani penumpang, kargo, dan jamaah umrah serta haji di samping bengkel, menurut Agus, semua rencana itu tidak ada yang berprospek bagus. “Membuat MRO harus ada lisence pabrikan, memangnya bikin pabrik bajaj. Lalu yang kedua, siapa yang mau modalin jadi MRO? Jadi pabrik (kue) klepon saja mahal saat ini. Lalu pesawat mana yang mau ke MRO di Kertajati? Boeing, Airbus, dan lain-lain pasti menolak secara ekonomis," ujar Agus. (SWS)

Gawat, JPU Dr. Syahganda Diduga Buta Sejarah UU No. 1/1946

AKAL sehat kita terseret jatuh terjerambab ke dalam tumpukan sampah. Apalagi mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kasus Dr. Syahganda Nainggolan. Tuntutan itu benar-benar menggelikan. Bobot kekonyolannya benar-benar mampu membuat kerbau ikut merendahkan kita. Kerbau, andai bisa berbicara, mungkin akan mengatakan “memang kalian bangsa manusia, bisa berperilaku lebih hina dibanding aku yang tak berakal”. Coba wahai bangsa manusia, gunakan saja sedikit akal kalian. Buka saja sedikit mata hati kalian lalu bandingkan kasus Syahganda itu dengan kasus Ahok, Wakil Gubernur Jokowi sebelum Jokowi jadi Presiden itu. Dia menistakan agama Islam. Agama yang Allah Subhanahu Wata’ala ridhoi untuk dianut umat manusia. Penistaan itu Ahok melakukan dengan terang-terangan. Namun hebatnya Ahok mampu menyangkal bahwa yang dilakukan bukan hal nista. Ahok Dituntut 2 Tahun Percobaan Tuan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kalian jangan pura-pura lupa. Karena jejak kasus penistaan Agama Islam oleh Ahok itu masih segar untuk diingat ummat Islam hingga kini. Ummat Islam harus menyingsingkan lengan baju ketika itu untuk mendatangi Presiden, dan mendesaknya menegakan hukum untuk Ahok. Itulah yang dilakukan ummat Islam melalui peristiawa 411 dan peristiwa 212. Hanya untuk menegakan hukum kepada Ahok. Semua rakyat negeri ini tau kalau Ahok itu temannya Presiden Jokowi. Untuk itu, 5-7 jutaan ummat Islam harus turun ke jalan mendesak Jokowi melepaskan belengggu diskriminasi hukum untuk ummat Islam, yang berseberangan dengan Presiden. Berhasil desakan ummat Islam? Hanya sebagian yang berhasil. Sebab dinding diskriminasi begitu kuat. Kokoh sekokoh Gunung Lawu. Diskriminasi itu bekerja melalui tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Ahok hanya dituntut oleh JPU dengan hukuman perjara percobaan selama dua tahun. Pemerintah, entah apa yang menyebabkan,bersedia mempertontonkan diskriminasi hukum dengan sangat telanjang, setelanjang-telanjangnya usai majelis hakim mengetuk palu vonis. Ahok dihukum penjara dua tahun. Tetapi masya Allah, untuk membawa Ahoik ke penjara saja susahnya minta ampun. Kita tahu diskriminasi hukum yang diperagakan dengan telanjang oleh pemerintahan Jokowi adalah membawa Ahok ke Rutan Mako Brimob Kelapa Dua. Ahok tidak ditaruh menjalani hukuman penjara selama dua tahun di pejara Cipinang sampai masa tahanannya selesai. Ini diskriminasi, keangkuhan dan kekonyolan hukum pemerintahan Presiden Jokowi. Berhentikah dengan bersikap diskriminasi itu. Sialkah itu? Tidak juga. Pemerintahan Jokowi seolah-olah memberi pesan kepada bangsa ini bahwa “saya ini Presiden”. Saya yang memegang kendali penuh atas hukum. Terserah saya. Jadi jangan coba-coba main politik kasar dengan saya. Kalau anda kasar, bisa saja saya penjarakan. Saya tak peduli dengan ini dan itu. Kalau mau kritik silahkan kritik. Tetapi kalau saya tersinggung, anda bisa habis. Jangan macam-macam sama saya. Kira-kira begitulah pesan penting dibalik tuntutan Jaksa terhadap Dr. Syahganda Nainggolan. Jokowi Tidak Berkeringat Dr. Syahganda Nainggolan, salah satu pejuang terdepan melawan kekuasaan Orde Baru, yang pernah dijebloskan rezim Soeharto ke penjara ketika masih mahasiswa Intitut Teknologi Bandung (ITB) kini dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa. Waraskah itu? Ya kita hanya bisa mengasihani JPU itu, karena mendapat tugas “harus memastikan Dr. Syahganda Nainggolan dituntut seberat-beratnya”. Presiden Jokowi silahkan menuntut Dr. Syahganda dengan tuntutan yang seberat-beratnya. Itu dapat dipahami, karena Pak Jokowi tidak berkeringat sebagai pejuang melawan kesewenang-wenangan Orde Baru. Pak Jokowi itu hanya menjadi penikmat kekuasaan Orde Baru yang diperjuangan Dr. Syahganda dan teman-teman aktivis pro demokrasi lainnya, dimulai sejak Malari 1974 sampai Reformasi 1998. Perjuangan kekuasaan otoriter dari tahun 1974-1998 itu, tidak ada jejak keringat Pak Jokowi. Mungkin malah Pak Jokowi sedang menikamati kediktatoran Orde Baru. Misalnya, sedang menjadi karyawan di BUMN, PT Kertas Kraft Aceh. Yang ditempatkan di area Hutan Pinus Merkusi di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Atau lagi menjadi karyawan CV Roda Jati, milik paman Pak Jokowi, Pak Miyono. Mungkin Pak Jokowi lagi asyik-asyiknya menikmati dan membangun usaha mebel sendiri, CV Rakabu. JPU pasti tak berdaya untuk menuliskan lain dari yang sudah ditulis dalam tuntutan mereka. Coba anda bayangkan, DR. Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong, yang menimbulkan keonaran. Tuduhan ini mengacu pada pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Tetapi lucu, aneh bin ajaib, kalau perbuatan Dr. Syahganda dinilai memiliki bobot merobohkan kekuasaan. Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana yang dituduhkan kepada Dr. Syahganda itu, tidak ada satu kata pun yang bicara roboh-merobohkan kekuasaan. Tidak ada itu. Jangan menghayal dan ngigau tuan. Hanya orang ngawur, tolol, bodoh, dengki, picik, culas, sombong, angkuh saja yang mampu bilang ada kata roboh-merobohkan kekuasaan. Hanya orang-orang yang berpredikat hukum picisan, kerdil, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng saja yang kebetulan belajar ilmu hukum di pinggir jalan, got dan gorong-gorong yang berbau busuk saja yang bilang pasal 14 dan 15 itu ada kata roboh-merobohkan kekuasaan. Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 itu isinya begini, “barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”. Coba jelaskan, mana kata-kata yang bilang roboh-merobohkan kekuasaan wahai tuan-tuan JPU? Pasal 15 hanya berisi satu ayat. Isinya begini, “barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun”. Keonaran Itu Harus Nyata Tuan JPU, coba tolong tuan jelaskan sekali lagi, mana kata-kata roboh-merobohkan kekuasaan dalam pasal ini? Konyol bangat dong tuan, kalau ada kata-kata dalam pasal-pasal itu dinyatakan mengandung maksud roboh-merobohkan kekuasaan. Sesat dan kerdil sekali model pemahaman hukum seperti tuan ini. Kalau boleh tau, kira-kira tuan belajar ilmu hukum di planet mana ya? Unsur delik dalam pasal-pasal itu, salah satunya adalah “menimbulkan keonaran” di kalangan rakyat. Keonaran itu, kalau tuan benar-benar belajar ilmu hukum pidana, harus nyata-nyata ada. Itu present. Bukan prediksi, mimpi dan hayalan dari tuan JPU. Onar itu harus nyata-nyata membahayakan. Bahasa kerennya itu “present danger” ada dan nyata di kehidupan rakyat. Masa harus diajarin lagi tuan JPU? Tidak bemaksud menggurui tuan JPU, cuma onar itu harus nyata-nyata merupakan akibat langsung, atau keadaan yang dihasilkan langsung dari berita bohong atau berlebihan. Pasal 14 ayat (1) itu benar-benar bersifat delik materil. Ini bukan delik formil tuan JPU. Delik materil itu adalah delik yang bertumpu pada akibat. Logikanya begini “kalaupun ada perbuatan, tetapi akibat dari perbuatan itu tidak timbul atau tidak terjadi, maka tidak ada itu pidana”. Begitu cara memahaminya tuan. Ah, masa seperti begitu harus diajarin lagi? Kaya tuan masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum. Jangan-jangan mahasiswa lebih capat faham dari tuan. Tuan JPU, gaduh itu sudah sifat bawaan, tabiat asli dari demokrasi. Kalau mau demokrasi, anda harus terima kegaduhan sebagai ciri yang melekat di dalamnya. Tetapi mengapa pasal 14 dan 15 itu memuat “keonaran” sebagai hal yang terlarang? Masa yang kaya gitu saja tuan JPU tidak paham? Kasian amat negara ini. Menggaji orang yang kemungkinan saja tak terlalu paham sejarah dan sebab-musabab dari lahirnya sebuah UU, yang melekat di dalamnya karakter dan ciri dasar demokrasi. Apa tuan JPU, dan mungkin juga hakim yang menyidangkan perkara ini tahu asbab al wurudz lahirnya pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu? Mengapa hal alamiah dalam demokrasi, dilarang oleh UU Nomor 1 Taun 1946? Mikir dong tuan-tuan. Pakai otak dikit dong tuan-tuan. Jangan dungu dong tuan-tuan. Belajar dan baca mengapa UU itu dibuat dong tuan-tuan. Jangan asal main bilang onar-onar saja dong tuan-tuan. Wahai banga Indonesia, ingatkah berita bahwa Presiden Jokowi pada tahun 2016 pernah mengatakan ada uang miliki masyarakat yang disimpan di luar negara sebesar “ Rp. 11.000 trilun”? Datanya sudah di kantong saya. Uangnya masyarakat yang mana? Dimana saja uang itu ditaruh? Bagaimana rinciannya? Sudah dibawa kembali ke Indonesia uang Rp. 11.000 triliun itu? Kalau sudah, lalu bagaimana pembukuannya? Mau tanya tuan JPU, ini kualifikasi berita benar, bohong atau berlebihan? Apapun itu, Jokowi tidak bisa dituntut dengan pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Mengapa? Karena tidak menimbulkan kegaduhan apa-apa. Keagaduhan akibat dari perbuatan itu tidak terjadi, sehingga secara pidana tidak bisa dituntut. Kalau menjadi Jaksa, harusnya pahami itu dong. Tan Malaka Yang Berbohong “Merdeka atau mati” itulah suasana bathin rakyat Indonesia pada waktu UU Nomor 1 Tahun 1946 itu dibentuk. Tahu kapan UU itu diundangkan? UU itu diundangkan pada tanggal 26 Februari 1946. Praktis 3 (tiga) hari setelah Kabinet Sjahrir I demisioner atau dua hari sebelum kabinet Sjahrir dua memulai proses pembentukannya. Baca, kenali dan pelajari itu tuan Jaksa. Jangan asal saja. Apa tuan JPU tahu kalau pemerintah Indonesia ketika itu tidak hanya menghadapi keculasan sekutu? Indonesia menghadapi NICA sebagai kepanjangan tangan Pemerintahan Belanda, plus KNIL pasukan bersenjatanya. NICA dan KNIL, dari ke hari, siang-malam memburu siapa saja yang bela kemerdekaan, lalu rakyat dicecekoki NICA dan KNIL dengan berita bohong itu? Apa jadinya kalau begitu? Apa tidak logis pemerintah saat itu membuat larangan yang tercantum dalam pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tersebut? Jangan main bilang terbukti saja dong. Sekutu waktu itu tidak pernah mau menyebut “Jakarta.” NICA dan KNIL hanya mau menyebut “Batavia”. Pakai otak sedikit dong untuk mikir dan belajar tuan. Jangan kelihatan ooon gitu dong. Malu ah tauuuu. Kalau tuan JPU mau sedikit membaca lembaran sejarah kehadiran NICA dan KNIL, maka ditemukan Bung Karno, Bung Hatta, dan Perdana Menteri Bung Sjahrir, diberitakan oleh Tan Malaka ke mana-mana di Jawa bahwa mereka bertiga telah ditawan Sekutu. Perbuatan Tan Malaka ini jelas bohong yang menimbulkan keonaran. Bohong yang seperti inilah yang dimakud oleh pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Bukan menyebarkan hasil analisis tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai hal bohong. Presiden Jokowi boleh saja membenci Dr. Syahganda yang terkenal sebagai aktifis kritis terhadap pemerintahan anda. Namun Presiden tidak boleh membiarkan dirinya ditandai rakyatnya dalam sejarah sebagai orang yang kerdil. Hanya karena rakyat negeri ini menemukan nuansa diskriminasi yang telanjang dalam penegakan hukum terhadap Dr. Syahganda Nainggolan. Hanya kebencian dan kekerdilan yang menjadi justifikasi terbesar untuk mengatakan perbuatan Dr. Syahganda Nainggolan itu salah. Hanya itu saja. Tidak ada yang lain. Secanggih apapun argumen dibalik alasan, tidak cukup untuk mengatakan Dr. Syahganda bersalah. Pak Presiden Jokowi, cukup sudah praktek-praktek diskrminasi hukum di negeri tercinta ini. Pak Presiden sudilah untuk berbesar hati, tampil megambil langkah terhebat menghentikan diskriminasi ini. Sebab di ujungnya, anda bakal dikenang sebagai orang hebat, top markotop dan mengagumkan.

Ketika Negara Dikuasai Kaum Pandir

REZIM ini menghabiskan waktu, pikiran, tenaga, dan uang hanya untuk membunuh aktivitas Habib Rizieq Shihab dan Front Pembela Islam. Entah apa yang merasukinya, rezim tampaknya yakin mampu mewujudkannya karena merasa negara ini kaya raya tanpa batas. HRS dan FPI dikesankan sebagai musuh negara yang membahayakan. Padahal ia cuma dipaksa melanggar protokol kesehatan. Ada peristiwa yang luput dari perhatian publik yakni eksepsi HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur Jumat, 19 Maret 2021. Maklum, pembacaan eksepsi itu sengaja tidak disiarkan oleh pengadilan. Satu tindakan yang tidak adil dalam proses pengadilan HRS, sementara dalam sesi sidang yang lain semua disiarkan melalui media massa. Eksepsi itu berjudul "Mengetuk Pintu Langit, Menolak Kezaliman, Tegakkan Keadilan". Ini bukan eksepsi HRS semata, tetapi ini eksepsi seluruh rakyat Indonesia, sebab sebagian isinya adalah menyuarakan perjuangan melawan kezaliman. Tidak hanya soal kerumunan. Di situ HRS juga membongkar adanya operasi intelijen berskala besar yang targetnya adalah menguasai NKRI. Ancaman yang bakal menimpa seluruh rakyat Indonesia, tak hanya HRS. Eksepsi HRS sebagian lainnya berisi soal kerumunan karena memang dakwaan jaksa adalah soal kerumunan. Ada 10 poin pelanggaran kerumunan yang dituduhkan oleh Jaksa dalam sidang pertama dan langsung dimentahkan oleh eksepsi. Contoh paragraf eksepsi yang tidak berisi soal kerumunan dan menyuarakan visi perjuangan melawan kezaliman rezim, terdapat pada alinea ini: "Habib Rizieq Shihab dikriminalisasi dan gerakannya coba dipadamkan dengan berbagai cara agar para antek 'aseng' dan asing tetap nyaman menjajah dan menjarah harta kekayaan NKRI. Oleh karena itu, bagi pribumi Indonesia yang sadar akan hal ini, gerakan 212 telah membangkitkan semangat pribumi untuk memerdekakan kembali negeri ini untuk yang kedua kalinya. Gerakan ini muncul setelah melihat aset-aset strategis NKRI telah jatuh kembali ke tangan para VOC Gaya Baru. VOC yang direpresentasikan oleh kaum oligarki dan konglomet picik, licik, busuk dan tamak yang bekerjasama dengan rezim zalim, dungu, dan pandir di NKRI." (Eksepsi dalam sidang di PN Jaktim, Jakarta Timur, Jumat, 19/3/2021). Bila dilihat dari apa yang diperjuangkan oleh Habib Rizieq Shihab dan kawan-kawan, sebagaimana yang dialami oleh Proklamator Ir Sukarno seperti riwayat yang kami kutipkan di atas, jelas bahwa kriminalisasi Habib Rizieq Shihab dalam perkara a quo tidak lepas dan merupakan bagian dari operasi intelijen berskala besar (OIBB) oleh rezim zalim, dungu, dan pandir. Operasi intelijen berskala besar ini nelewati beberapa tahapan. Pertama, operasi black propaganda terhadap Habib Rizieq Shihab dan FPI. Kedua, operasi kontra narasi terhadap Habib Rizieq Shihab dan FPI. Ketiga, operasi pencegahan kepulangan Habib Rizieq Shihab dari Arab Saudi. Walau gagal mencegah Habib Rizieq Shihab pulang, tetapi berhasil menghambat dan mengganggu kepulangan sehingga membutuhkan waktu 2,5 tahun baru Habib Rizieq Shihab bisa pulang. Keempat, operasi penggalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama di berbagai provinsi untuk menolak keberadaan Habib Rizieq Shihab dan FPI. Kelima, operasi konyol penurunan baliho di berbagai tempat oleh aparat yang bukan tupoksinya. Keenam, operasi konyol mengerahkan komando operasi khusus hanya sekadar untuk membunyikan sirene di Petamburan. Ketujuh, operasi pembantaian pengawal Habib Rizieq Shihab. Kedelapan, operasi surveillance dan penjejakan terhadap Habib Rizieq Shihab sehari 24 jam, seminggu 7 hari, sebulan 30 hari, setahun 365 hari. Bukti paling nyata bahwa persidangan ini adalah lanjutan dari operasi intelijen berskala besar adalah persidangan tidak dilakukan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Persidangan tidak dilakukan pada locus delicti peristiwa yang didakwakan. Pasal-pasal yang didakwakan mengarah pada pasal-pasal dengan ancaman yang bermotif politik seperti penerapan Pasal 10 dan 35 KUHP serta pasal-pasal selundupan lainnya. Persidangan dilakukan melalui sidang elektronik. Padahal tidak ada satu pun UU yang membolehkan. Penerapan pasal yang tidak pada tempatnya. Penambahan pasal-pasal yang terus terjadi untuk memperberat ancaman hukuman. Pasal-pasal yang bisa digunakan hanya agar Habib Rizieq Shihab bisa ditahan selama mungkin karena ada agenda politik yang menghendaki. Pandir radikal itu telah menguasai bangsa ini. Mereka tak mampu berpikir jernih. Kebencian dan permusuhan terus digelorakan untuk menutupi kepandirannya. (SWS)

Bom Bunuh Diri, Teror, dan Peristiwa Yang Serba Kebetulan

INDONESIA dalam sepekan terakhir diguncang berbagai peristiwa mengejutkan. Ahad (28/3) sebuah aksi bom bunuh diri terjadi di Gereja Katedral, Makassar. Dua orang pelaku bom bunuh diri tewas. 20 orang jemaat gereja terluka. Belakangan diketahui pelaku adalah pasangan suami istri. Setelah ledakan di Makassar, polisi melakukan sejumlah penangkapan di Bekasi dan Jakarta. Polisi mengklaim menemukan 100 bom berdaya ledak tinggi. Uniknya di beberapa lokasi penangkapan, polisi mengaku menemukan poster Habib Rizieq Shihab, pakaian dengan atribut, dan kartu anggota FPI. Polisi juga menyebutkan bahwa dua diantara terduga teroris sempat hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tempat persidangan Habib Rizieq Shihab. Saat kehebohan di Makassar belum reda, tiba-tiba kita dikejutkan dengan peristiwa yang oleh hampir semua media mainstream disebutkan sebagai “Mabes Polri Diserang Teroris.” “Terjadi tembak-tembak menembak, teroris ditembak mati,” begitu media menggambarkan peristiwa yang terjadi Rabu (31/3). Video “aksi teroris” di Mabes Polri segera beredar di dunia maya. Tampaknya video itu berasal dari CCTV di Mabes Polri. Berkat CCTV inilah publik bisa mendapat gambaran sesungguhnya. Dari video tersebut publik jadi bertanya-tanya. Benarkah Mabes Polri diserang teroris? Di dalam video itu yang terlihat seorang wanita seperti berjalan kebingungan. Sesekali dia seperti menunjukkan gerakan orang menembak. Tak lama kemudian kita bisa menyaksikan dia roboh. Dari suara di dalam video kita mengetahui, wanita itu sudah ditembak mati. Reaksi netizen hampir seragam. Mereka mempertanyakan narasi yang coba dibangun oleh media, bahwa Mabes Polri diserang teroris. Terjadi tembak-menembak. Penjelasan dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahwa pelaku adalah teroris lone wolf beridiologi ISIS, tidak dipercaya publik. Apalagi kemudian tersebar sebuah surat yang disebut sebagai wasiat ditulis oleh Zakiah Aini. Begitu nama perempuan nahas yang ditembak mati itu. Perihal surat inilah yang kemudian menimbulkan kehebohan. Netizen menemukan banyak kemiripan dengan “surat wasiat” yang ditulis oleh pelaku bom bunuh diri di Makassar. Bom di Makassar, dan aksi teroris bingung di Mabes Polri ini, secara kebetulan muncul bersamaan dengan persidangan Habib Rizieq. Secara kebetulan pula, pada saat itu Mabes Polri sedang kelimpungan menjelaskan kepada publik soal pelaku penembakan enam laskar FPI. Polisi sebelumnya mengaku akan menuntaskan kasus penembakan itu. Tiga orang polisi dinyatakan menjadi tersangka. Siapa saja mereka? Tidak pernah dijelaskan. Namun melalui akun anonim dan juga pemberitaan media, nama ketiganya beredar. Polisi rendahan dengan pangkat Brigadir. Tidak ada satupun yang berpangkat perwira. Padahal dari investigasi Komnas HAM disebutkan ada sebuah mobil Land Cruiser di lokasi KM-50. Tidak mungkin seorang polisi berpangkat Brigadir mengendarai mobil mewah tersebut. Jelas dia seorang perwira. Paling jelek perwira menengah, atau bahkan perwira tinggi. Tiba-tiba saja Mabes Polri mengumumkan salah satu pelaku penembakan tewas karena kecelakaan. Ihwal pengumuman tewasnya satu pelaku penembakan ini sangat mencurigakan. Namanya sama sekali tidak pernah disebut sebelumnya. Hal lain yang kian mencurigakan, warga, bahkan Kapolsek Setu, Tangerang Selatan yang disebut sebagai lokasi kejadian, mengaku tidak tahu menahu. Agak sulit menghindarkan persepsi, bahwa semua rangkaian kejadian secara kebetulan berhubungan. Banyak yang curiga hal itu merupakan pengalihan isu. Ada juga dugaan, semua rangkaian peristiwa dengan tujuan menjadikan Habib Rizieq sebagai target. Pengamat teroris Sydney Jones misalnya, secara terbuka menyatakan, sangat tampak penguasa ingin menjadikan FPI sebagai teroris. Dalam bahasa Jones, polisi sangat obsesif. Berbagai kejanggalan, keanehan, serta serba kebetulan ini harus dijelaskan kepada publik. Publik sudah telanjur tidak percaya kepada pemerintah dan apapun informasi yang disampaikan polisi. Public distrust semacam ini sangat berbahaya. Perlu kerja keras, dan sikap tulus untuk merebut kembali kepercayaan publik. Itu kalau pemerintah masih menganggap perlu. Lain halnya kalau pemerintah menganggap semua itu tidak penting. Tidak perlu. Toh mereka sekarang yang berkuasa. Rakyat mau apa? end