Gawat, JPU Dr. Syahganda Diduga Buta Sejarah UU No. 1/1946

AKAL sehat kita terseret jatuh terjerambab ke dalam tumpukan sampah. Apalagi mendengar tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kasus Dr. Syahganda Nainggolan. Tuntutan itu benar-benar menggelikan. Bobot kekonyolannya benar-benar mampu membuat kerbau ikut merendahkan kita. Kerbau, andai bisa berbicara, mungkin akan mengatakan “memang kalian bangsa manusia, bisa berperilaku lebih hina dibanding aku yang tak berakal”.

Coba wahai bangsa manusia, gunakan saja sedikit akal kalian. Buka saja sedikit mata hati kalian lalu bandingkan kasus Syahganda itu dengan kasus Ahok, Wakil Gubernur Jokowi sebelum Jokowi jadi Presiden itu. Dia menistakan agama Islam. Agama yang Allah Subhanahu Wata’ala ridhoi untuk dianut umat manusia. Penistaan itu Ahok melakukan dengan terang-terangan. Namun hebatnya Ahok mampu menyangkal bahwa yang dilakukan bukan hal nista.

Ahok Dituntut 2 Tahun Percobaan

Tuan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kalian jangan pura-pura lupa. Karena jejak kasus penistaan Agama Islam oleh Ahok itu masih segar untuk diingat ummat Islam hingga kini. Ummat Islam harus menyingsingkan lengan baju ketika itu untuk mendatangi Presiden, dan mendesaknya menegakan hukum untuk Ahok.

Itulah yang dilakukan ummat Islam melalui peristiawa 411 dan peristiwa 212. Hanya untuk menegakan hukum kepada Ahok. Semua rakyat negeri ini tau kalau Ahok itu temannya Presiden Jokowi. Untuk itu, 5-7 jutaan ummat Islam harus turun ke jalan mendesak Jokowi melepaskan belengggu diskriminasi hukum untuk ummat Islam, yang berseberangan dengan Presiden.

Berhasil desakan ummat Islam? Hanya sebagian yang berhasil. Sebab dinding diskriminasi begitu kuat. Kokoh sekokoh Gunung Lawu. Diskriminasi itu bekerja melalui tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Ahok hanya dituntut oleh JPU dengan hukuman perjara percobaan selama dua tahun.

Pemerintah, entah apa yang menyebabkan,bersedia mempertontonkan diskriminasi hukum dengan sangat telanjang, setelanjang-telanjangnya usai majelis hakim mengetuk palu vonis. Ahok dihukum penjara dua tahun. Tetapi masya Allah, untuk membawa Ahoik ke penjara saja susahnya minta ampun.

Kita tahu diskriminasi hukum yang diperagakan dengan telanjang oleh pemerintahan Jokowi adalah membawa Ahok ke Rutan Mako Brimob Kelapa Dua. Ahok tidak ditaruh menjalani hukuman penjara selama dua tahun di pejara Cipinang sampai masa tahanannya selesai. Ini diskriminasi, keangkuhan dan kekonyolan hukum pemerintahan Presiden Jokowi.

Berhentikah dengan bersikap diskriminasi itu. Sialkah itu? Tidak juga. Pemerintahan Jokowi seolah-olah memberi pesan kepada bangsa ini bahwa “saya ini Presiden”. Saya yang memegang kendali penuh atas hukum. Terserah saya. Jadi jangan coba-coba main politik kasar dengan saya.

Kalau anda kasar, bisa saja saya penjarakan. Saya tak peduli dengan ini dan itu. Kalau mau kritik silahkan kritik. Tetapi kalau saya tersinggung, anda bisa habis. Jangan macam-macam sama saya. Kira-kira begitulah pesan penting dibalik tuntutan Jaksa terhadap Dr. Syahganda Nainggolan.

Jokowi Tidak Berkeringat

Dr. Syahganda Nainggolan, salah satu pejuang terdepan melawan kekuasaan Orde Baru, yang pernah dijebloskan rezim Soeharto ke penjara ketika masih mahasiswa Intitut Teknologi Bandung (ITB) kini dituntut 6 tahun penjara oleh Jaksa. Waraskah itu? Ya kita hanya bisa mengasihani JPU itu, karena mendapat tugas “harus memastikan Dr. Syahganda Nainggolan dituntut seberat-beratnya”.

Presiden Jokowi silahkan menuntut Dr. Syahganda dengan tuntutan yang seberat-beratnya. Itu dapat dipahami, karena Pak Jokowi tidak berkeringat sebagai pejuang melawan kesewenang-wenangan Orde Baru. Pak Jokowi itu hanya menjadi penikmat kekuasaan Orde Baru yang diperjuangan Dr. Syahganda dan teman-teman aktivis pro demokrasi lainnya, dimulai sejak Malari 1974 sampai Reformasi 1998.

Perjuangan kekuasaan otoriter dari tahun 1974-1998 itu, tidak ada jejak keringat Pak Jokowi. Mungkin malah Pak Jokowi sedang menikamati kediktatoran Orde Baru. Misalnya, sedang menjadi karyawan di BUMN, PT Kertas Kraft Aceh. Yang ditempatkan di area Hutan Pinus Merkusi di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Atau lagi menjadi karyawan CV Roda Jati, milik paman Pak Jokowi, Pak Miyono. Mungkin Pak Jokowi lagi asyik-asyiknya menikmati dan membangun usaha mebel sendiri, CV Rakabu.

JPU pasti tak berdaya untuk menuliskan lain dari yang sudah ditulis dalam tuntutan mereka. Coba anda bayangkan, DR. Syahganda didakwa menyebarkan berita bohong, yang menimbulkan keonaran. Tuduhan ini mengacu pada pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946. Tetapi lucu, aneh bin ajaib, kalau perbuatan Dr. Syahganda dinilai memiliki bobot merobohkan kekuasaan.

Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana yang dituduhkan kepada Dr. Syahganda itu, tidak ada satu kata pun yang bicara roboh-merobohkan kekuasaan. Tidak ada itu. Jangan menghayal dan ngigau tuan. Hanya orang ngawur, tolol, bodoh, dengki, picik, culas, sombong, angkuh saja yang mampu bilang ada kata roboh-merobohkan kekuasaan.

Hanya orang-orang yang berpredikat hukum picisan, kerdil, odong-odong, kaleng-kaleng dan beleng-beleng saja yang kebetulan belajar ilmu hukum di pinggir jalan, got dan gorong-gorong yang berbau busuk saja yang bilang pasal 14 dan 15 itu ada kata roboh-merobohkan kekuasaan.

Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 itu isinya begini, “barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun”. Coba jelaskan, mana kata-kata yang bilang roboh-merobohkan kekuasaan wahai tuan-tuan JPU?

Pasal 15 hanya berisi satu ayat. Isinya begini, “barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun”.

Keonaran Itu Harus Nyata

Tuan JPU, coba tolong tuan jelaskan sekali lagi, mana kata-kata roboh-merobohkan kekuasaan dalam pasal ini? Konyol bangat dong tuan, kalau ada kata-kata dalam pasal-pasal itu dinyatakan mengandung maksud roboh-merobohkan kekuasaan. Sesat dan kerdil sekali model pemahaman hukum seperti tuan ini. Kalau boleh tau, kira-kira tuan belajar ilmu hukum di planet mana ya?

Unsur delik dalam pasal-pasal itu, salah satunya adalah “menimbulkan keonaran” di kalangan rakyat. Keonaran itu, kalau tuan benar-benar belajar ilmu hukum pidana, harus nyata-nyata ada. Itu present. Bukan prediksi, mimpi dan hayalan dari tuan JPU. Onar itu harus nyata-nyata membahayakan. Bahasa kerennya itu “present danger” ada dan nyata di kehidupan rakyat. Masa harus diajarin lagi tuan JPU?

Tidak bemaksud menggurui tuan JPU, cuma onar itu harus nyata-nyata merupakan akibat langsung, atau keadaan yang dihasilkan langsung dari berita bohong atau berlebihan. Pasal 14 ayat (1) itu benar-benar bersifat delik materil. Ini bukan delik formil tuan JPU.

Delik materil itu adalah delik yang bertumpu pada akibat. Logikanya begini “kalaupun ada perbuatan, tetapi akibat dari perbuatan itu tidak timbul atau tidak terjadi, maka tidak ada itu pidana”. Begitu cara memahaminya tuan. Ah, masa seperti begitu harus diajarin lagi? Kaya tuan masih menjadi mahasiswa Fakultas Hukum. Jangan-jangan mahasiswa lebih capat faham dari tuan.

Tuan JPU, gaduh itu sudah sifat bawaan, tabiat asli dari demokrasi. Kalau mau demokrasi, anda harus terima kegaduhan sebagai ciri yang melekat di dalamnya. Tetapi mengapa pasal 14 dan 15 itu memuat “keonaran” sebagai hal yang terlarang? Masa yang kaya gitu saja tuan JPU tidak paham? Kasian amat negara ini. Menggaji orang yang kemungkinan saja tak terlalu paham sejarah dan sebab-musabab dari lahirnya sebuah UU, yang melekat di dalamnya karakter dan ciri dasar demokrasi.

Apa tuan JPU, dan mungkin juga hakim yang menyidangkan perkara ini tahu asbab al wurudz lahirnya pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu? Mengapa hal alamiah dalam demokrasi, dilarang oleh UU Nomor 1 Taun 1946? Mikir dong tuan-tuan. Pakai otak dikit dong tuan-tuan. Jangan dungu dong tuan-tuan. Belajar dan baca mengapa UU itu dibuat dong tuan-tuan. Jangan asal main bilang onar-onar saja dong tuan-tuan.

Wahai banga Indonesia, ingatkah berita bahwa Presiden Jokowi pada tahun 2016 pernah mengatakan ada uang miliki masyarakat yang disimpan di luar negara sebesar “ Rp. 11.000 trilun”? Datanya sudah di kantong saya. Uangnya masyarakat yang mana? Dimana saja uang itu ditaruh? Bagaimana rinciannya? Sudah dibawa kembali ke Indonesia uang Rp. 11.000 triliun itu?

Kalau sudah, lalu bagaimana pembukuannya? Mau tanya tuan JPU, ini kualifikasi berita benar, bohong atau berlebihan? Apapun itu, Jokowi tidak bisa dituntut dengan pasal 14 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Mengapa? Karena tidak menimbulkan kegaduhan apa-apa. Keagaduhan akibat dari perbuatan itu tidak terjadi, sehingga secara pidana tidak bisa dituntut. Kalau menjadi Jaksa, harusnya pahami itu dong.

Tan Malaka Yang Berbohong

“Merdeka atau mati” itulah suasana bathin rakyat Indonesia pada waktu UU Nomor 1 Tahun 1946 itu dibentuk. Tahu kapan UU itu diundangkan? UU itu diundangkan pada tanggal 26 Februari 1946. Praktis 3 (tiga) hari setelah Kabinet Sjahrir I demisioner atau dua hari sebelum kabinet Sjahrir dua memulai proses pembentukannya. Baca, kenali dan pelajari itu tuan Jaksa. Jangan asal saja.

Apa tuan JPU tahu kalau pemerintah Indonesia ketika itu tidak hanya menghadapi keculasan sekutu? Indonesia menghadapi NICA sebagai kepanjangan tangan Pemerintahan Belanda, plus KNIL pasukan bersenjatanya. NICA dan KNIL, dari ke hari, siang-malam memburu siapa saja yang bela kemerdekaan, lalu rakyat dicecekoki NICA dan KNIL dengan berita bohong itu?

Apa jadinya kalau begitu? Apa tidak logis pemerintah saat itu membuat larangan yang tercantum dalam pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tersebut? Jangan main bilang terbukti saja dong. Sekutu waktu itu tidak pernah mau menyebut “Jakarta.” NICA dan KNIL hanya mau menyebut “Batavia”. Pakai otak sedikit dong untuk mikir dan belajar tuan. Jangan kelihatan ooon gitu dong. Malu ah tauuuu.

Kalau tuan JPU mau sedikit membaca lembaran sejarah kehadiran NICA dan KNIL, maka ditemukan Bung Karno, Bung Hatta, dan Perdana Menteri Bung Sjahrir, diberitakan oleh Tan Malaka ke mana-mana di Jawa bahwa mereka bertiga telah ditawan Sekutu. Perbuatan Tan Malaka ini jelas bohong yang menimbulkan keonaran. Bohong yang seperti inilah yang dimakud oleh pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu. Bukan menyebarkan hasil analisis tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja sebagai hal bohong.

Presiden Jokowi boleh saja membenci Dr. Syahganda yang terkenal sebagai aktifis kritis terhadap pemerintahan anda. Namun Presiden tidak boleh membiarkan dirinya ditandai rakyatnya dalam sejarah sebagai orang yang kerdil. Hanya karena rakyat negeri ini menemukan nuansa diskriminasi yang telanjang dalam penegakan hukum terhadap Dr. Syahganda Nainggolan.

Hanya kebencian dan kekerdilan yang menjadi justifikasi terbesar untuk mengatakan perbuatan Dr. Syahganda Nainggolan itu salah. Hanya itu saja. Tidak ada yang lain. Secanggih apapun argumen dibalik alasan, tidak cukup untuk mengatakan Dr. Syahganda bersalah.

Pak Presiden Jokowi, cukup sudah praktek-praktek diskrminasi hukum di negeri tercinta ini. Pak Presiden sudilah untuk berbesar hati, tampil megambil langkah terhebat menghentikan diskriminasi ini. Sebab di ujungnya, anda bakal dikenang sebagai orang hebat, top markotop dan mengagumkan.

1321

Related Post