Arogansi Polisi Bisa Diberitakan, Alhamdulillaah Kapolri Waras (Bagian-1)
SOAL kebebasan Pers dan Hak Asasi Manusia menjadi ganjalan utama 13 Negara Bagian untuk pertama kalinya tidak mau bergabung dengan negara Amerika Serikat pada konvensi Philedevia (konvensi pembentuan Negara Amerika Serikat) tahun 1787. Empat tahun kemudian, padaamandemen pertama UUD Amerika Serikat tahun 1791, setelah soal kebebasan Pers dan HAM masuk dalam konstitusi, barulah 13 Negara Bagian menyatakan mau bergabung dengan Amerika Serikat.
Hasil amandemen pertama UUD Amerika Serikat tahun 1791 itu, berbunyi begini, “Presiden dan Kongres Amerika Serikat dilarang untuk membuat Rancangan Undang-Undang yang membatasi kebebasan Pers. Baru mulai berfikir untuk membatasi kebebasan Pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. Betapa pentingnya kebebasan Pers ini untuk mendirikan negara baru seperti Amerika Serikat.
Sebagai “the four of state democration”, secara moral Pers diberikan tugas oleh rakyat untuk menguliti dan menelanjangi prilaku aneh dari semua penyelanggara negara yang dibayar gajinya dari pajak rakyat. Prilaku penyelenggara negara yang tidak memihak kepada rakyat. Prilaku penyelenggara negara yang tidak untuk menyukseskan cita-cita dan tujuan bernegara. Sebaliknya, malah menyeserakan rakyat.
Polisi GESTAPO Nazi Hitler
Alhamdulillah, Polri mengatakan pencabutan surat telegram Kapolri Nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 terkait larangan media menampilkan “kekerasan aparat” (tanda petik dari kami) lantaran muncul banyak tafsir di masyarakat. Kapolri Pak Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo, akhirnya menyampaikan permintaan maaf atas terbitnya Telegram Rahasia (TR) larangan media. TR itu kemudian menimbulkan multitafsir di masyarakat yang diartikan media dilarang meliput upaya dan tindakan arogansi anggota polisi.
Kapolri dalam keterangan tertulisnya, beredar di Jakarta, Selasa (6/4) malam, mengatakan dicabutnya TR tentang larangan media tersebut sebagai wujud Polri tidak antikritik. Polri bersedia mendengar dan menerima masukan dari masyarakat. "Dan sekali lagi mohon maaf atas terjadinya salah penafsiran yang membuat ketidaknyamanan teman-teman media. Sekali lagi kami selalu butuh koreksi dari teman-teman media dan eksternal untuk perbaikan insititusi Polri agar bisa jadi lebih baik," kata Kapolri.
Bagus, hebat, berkelas dan top markotop. Sebab Kapolrinya waras. Punya akal sehat. Sebab untuk dan dengan alasan apapun, pembatasan pemberitaan pers memberitakan hal-ihwal perilaku Polisi, itu jelas arogan. Polisi yang tak bisa dikiritik itu hanya Polisi Gestapo di zaman Nazi Adolf Hitler dulu.
Polisi Gestapo itu arogannya minta ampun. Arogannya tak ketulungan. Polisi Gestapo Nazi Hitler itu bisa menguping, mengintersep, menyadap seenak udel mereka terhadap siapa saja yang berbicara di luar garis politik Hitler. Seperti itulah kelakuannya Polisi Gestapo.
Polisi itu punya senjata berpeluru tajam. Polisi juga punya senjata hukum. Dua senjata itu membuat mereka menjadi sangat super power. Karena kedua-duanya sama-sama mematikan. Polisi bisa saja menggunakan senjata berpeluru tajam yang mematikan setiap orang hanya dengan alasan-alasan yang direkayasa. Itulah yang terjadi di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek). Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran mengatakan mereka melawan dan membahayakan petugas.
Belum lama ini, Nurhadi yang sudah mempelihatkan diri sebagai wartawan Tempo dianiaya Polisi. Nurhadi dianiaya saat berupaya mencari informasi tentang mantan Direktur Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak, Angin Prayitno Aji. Orang ini diduga terlibat kasus suap pemeriksaan pajak pada Sabtu, 27 Maret 2021 yang lagi disidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nurhadi dianiaya di Gedung Graha Samudera Bumimoro, kompleks Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan TNI Angkatan Laut Surabaya. Meski sudah menunjukkan identitasnya sebagai jurnalis, Nurhadi tetap dipukul, dipiting dan sempat disekap selama beberapa jam di hotel.
Apakah Pak Kapolri telah mengambil tindakan terhadap ariogansi anak buah yang menganiaya Nurhadi? Apa penanganan kasus ini mau dilambat-lambatkan lagi seperti penanganan kasus pembunuhan laskar FPI di kilometer 50 tol Japek? Kalau memiliki nuansa yang sama dengan kasus kilometer 50 tol Japek, maka sulit untuk menilai bahwa Pak Kapolri punya hasrat menghentikan prilaku arogansi anak buahnya.
Kapolri Mengerti UUD 45?
Polisi di bawah kepemimpin Pak Kapolri Sigit saat ini, tentu tak mau negara ini diplesetkan menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia (NKRI). Kalaupun mau jadikan Indonesia negara Polisi, maka bukan Polisi yang menentukan arah itu. Pak Kapolri dan jajarannya kan tahu bahwa Polisi itu baru ada setelah negeri ini merdeka. Polisi baru ada setelah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Pak Kapolri dan jajarannya pasti tahu bahwa BKR dibentuk tidak untuk “melakukan kekerasan dan arogan” kepada rakyat. BKR itu dibentuk untuk melindungi rakyat dari tindak-tanduk bejat tentara sekutu dan KNIL, tentara Kerajaan Belanda itu. Makanya menjadi tidak logis kalau polisi yang arogan terhadap rakyat. Rakyat itu pemilik bangsa ini. Bukan milik Polisi.
Kapolri harus mengerti juga UUD 1945. Rakyat itu bukan musuh polisi. Polisi juga bukan tukang pukul politik dari Presiden. Kapolri harus diberitahu pembatasan pers memberitakan perilaku arogansi polisi dalam menjalankan tugasnya, sama hukumnya dengan membatasi hak warga negara untuk mendapat informasi. Pembatasan hak warga negara hanya sah kalau diatur dengan UU. Begitulah UUD 1945 menggariskannya kepada bangsa ini. Bukan pakai TR kalau membatasi hak warga negara.
Terima kasih Pak Kapolri atas pencabutan TR yang abal-abal itu. TR yang sebagian isinya melarang pemberitaan kekerasan dan arogansi aparat polisi. Jangan hanya kejahatan orang saja yang mau diusut. Tetapi giliran kekerasan dan arogansi aparat polisi mau disembunyikan. Ini cara berpikir yang abal-abal, kaleng-kaleng, odong-odong dan beleng-belang.
Mendekorasi jalan menuju kursi Kapolri dengan konsep “PRESISI” itu hebat, kerkalas, top markotop dan sangat mengagumkan. Tetapi kekerasan dan arogansi aparat polisi mau disembunyikan, jelas itu konyol. Sebab PRESISI itu bukan profesional yang sembunyikan kekerasan dan arogansi polisi. PRESISI itu bukan pula profesional berprilaku menyadap atau menyedot data pribadi orang, seperti data pribadinya Jumhur Hidayat, yang disedot secara diam-diam.
PRESISI itu bukan memperlakukan hukum yang berbeda pada kasus yang sama. Kerumunan yang dihadiri oleh Presiden, dianggap benar. Tetapi giliran orang lain, misalnya Habib Rizieq Shihab, malah dijadikan tersangka dan dipenjarakan. Itu bukan presisi. Ini namanya arogansi. Cara dan pola seperti itu pernah dipakai oleh Polisi GESTAPO Nazi Hiler dulu.
PRESISI, tetapi berbulan-bulan baru menemukan tiga tersangka dalam kasus pembunuhan di kilometer 50 tol Japek? Sudah begitu wajah tiga orang tersangka tidak pernah ditampilkan. Ujug-ujug sudah ada tersangka yang meninggal, karena tabrakan tunggal? Beda betul dengan perlakukan terhadap Habib Rizieq Shihab, Dr Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan Anton Permana yang diperlihatkan kepada publik dengan baju warna oranye dan tangan diborgol.
Nyawa anak bangsa, enam anggota Laskar FPI ternyata lebih rendah dari kritik terhadap Presiden. Tersangka pembunuh enam laskar FPI diumpetin. Tetapi mereka yang mengeritik terhadap Presiden dan DPR yang sedang membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja malah ditampilkan secara demonstratif kepada publik. Betul-betul itu prilaku yang arogan. Dimana itu PRESISI diumpetin? (bersambung).