Rakyat Wajib Konstitusional Penguasa Boleh Seenaknya
YANG menjadi masalah besar di negeri ini ialah rakyat senantiasa wajib konstitusional dalam bertindak, baik itu dalam memprotes sesuatu atau ingin melawan kezaliman. Di pihak lain, para penguasa bertindak sesuka hati, seenaknya saja. Mereka terangan-terangan mengakali rakyat dengan bertopengkan langkah-langkah yang kelihatan konstitusional, tetapi sesungguhkan dikatorial.
Inilah yang telah berlangsung selama bertahun-tahun hingga hari ini. Semakin blak-blakan. Para penguasa tidak segan-segan melakukan segala macam muslihat untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan. Mereka “pintar” sekali. Pintar mencari dukungan politik dari para elit. Dari semua elit: elit politik, elit sosial-budaya, dan terutama dari elit bisnis.
Akal-akalan dalam penetapan ‘presidential threshold’ (PT) 20% adalah salah satu contoh tindakan semena-mena penguasa yang diloloskan sebagai langkah konstitusional. Padahal, semua orang paham bahwa PT digulirkan, dibahas, dan disahkan oleh parlemen melalui tekanan, penyanderaan, iming-iming atau cara-cara kotor lainnya.
Revisi UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah contoh yang faktual tentang “playing with constitutional look like maneuvers” (bermain dengan manuver yang mirip konstitusional). Pemerintah bersama DPR menyetujui revisi (perubahan). Perubahan UU KPK antara lain menetapkan bahwa para pegawai KPK tidak independen lagi. Mereka menjadi bagian dari organ pemerintah. Bukan penegak hukum lagi.
Lain lagi penambahan organ KPK berupa Dewan Pengawas (Dewas). Kehadiran Dewas membuat KPK tidak bisa lagi bebas melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan).
Revisi ini juga menetapkan bahwa KPK boleh menghentikan penyidikan. Mereka bisa mengeluarkan SP3 untuk kasus-kasus lama. Belum lama ini, KPK langsung menggunakan hak SP3 itu. Sjamsul Nursalim dan istrinya yang selama ini menjadi buron, adalah tersangka pertama yang mendapat “berkah” dari revisi UU KPK. Koruptor besar yang menyalahgunakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) semasa krisis moneter 1997-1998 itu, kini dihentikan penyidikan kasusnya. Mereka sekarang bisa bebas lagi masuk ke Indonesia dari luar negeri.
Revisi UU KPK adalah proses yang terlihat berlangsung secara konstitusional, padahal tidak. Semua itu berlangsung dalam kerangka kerjasama busuk antara orang-orang yang ingin terus melakukan kejahatan, menggerogoti uang negara. Revisi tersebut didukung oleh mayoritas anggota DPR. Disambut baik oleh pemerintah. Revisi ini sesungguhnya adalah pengkhianatan terhadap rakyat.
Begitu juga dengan pemberlakuan secara paksa Omnibus Law UU Ciptaker Nomor 11 tahun 2020 oleh pemerintah bersama DPR. Seluruh proses, mulai dari penyerapan aspirasi rakyat, perumusan pasal-pasal, pembahasan hingga penetapan, berlangsung dengan banyak kejanggalan. Tetapi, dengan kekuasaan yang mereka miliki, proses ini bisa kelihatan konstitusional.
Padahal, ada sejumlah tindakan yang melanggar peraturan. Misalnya saja, setelah Presiden Jokowi menandatangani Omnibus Law itu, berbagai perbaikan dilakukan. Ada yang ditambah, ada yang dikurangi. Bahkan ada halaman yang hilang atau disisipkan. Namun, karena kekuasaan lagi-lagi ada di tangan para elit politik yang sangat menentukan, UU Ciptaker itu pun seolah diproduksi secara konstitusional.
Dalam penegakan hukum pun, manuver-manuver mirip konstitusional juga dilakukan. Misalnya, operasi kepolisian dan intelijen yang ditujukan kepada kegiatan terbuka yang dilakukan oleh Habib Rzieq Syihab (HRS) dan FPI (Front Pembela Islam).
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa ada pembunuhan melawan hukum (unlawful killing) terhadap 6 pengawal HRS. Dalam temuan lain, Komnas meminta agar diungkap identias dua mobil yang tidak diakui oleh kepolisian dalam operasi mereka terhadap rombongan HRS pada 7 Desember 2020. Begitu juga keberadaan mobil Land Cruiser yang diduga kuat ikut mengatur operasi yang diyakini ingin menghabisi HRS itu.
Ada pula tindakan penguasa yang patut diduga sebagai upaya untuk menghilangkan barang bukti. Yaitu, penghancuran komplek ‘rest area’ di KM-50 Jalak Tol Jakarta-Cilkampek.
Sekarang ini, pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan operasi terhadap HRS, seolah akan dibuat sebagai tindakan yang konstitusional. Ada usaha penguasa untuk menggiring opini publik bahwa tindakan tim operasi yang melakukan kejahatan pidana itu merupakan langkah untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Sangat menyolok adalah tindakan hukum terhadap HRS dengan tuduhan menimbulkan kerumunan. Bahkan ditambah dengan tuduhan penghasutan untuk berkerumun. HRS sudah membayar denda kerumunan sesuai aturan. Sehingga, banyak orang berpendapat bahwa langkah hukum yang diberlakukan terhadap HRS saat ini bertentangan dengan konstitusi.
Tetapi, ada saja cara para penguasa untuk menjelaskan bahwa yang mereka lakukan itu adalah langkah yang sesuai konstitusi.
Jadi, sekali lagi, yang berlangsung saat ini adalah bahwa rakyat wajib senantiasa konstitusional sedangkan para penguasa bisa seenak mereka saja.