Kunci Surga Dipegang Gubernur Kalimantan Timur?
MILITANSI dan totalitas pendukung Jokowi layak untuk diacungi jempol. Ada saja ide untuk menempatkan junjungannya di posisi terbaik dan teratas. Ibarat tangga lagu pilihan pendengar, posisi lagunya harus tetap populer dan berada di puncak tangga dalam beberapa bulan. Demikiam juga dengan Jokowi, para pendukungnya terus berupaya agar dia berada di tangga paling atas.
Apalagi belakangan ini, ada hasrat dan keinginan kuat yang tersembunyi agar kurun waktu sekarang tetap berada di puncak tangga lebih lama hingga tiga periode. Bahkan bisa jadi seumur hidup. Makanya segala ikhtiar selalu dilakukan tanpa jeda. Mungkinkah itu terjadi? Apa sih yang tidak mungkin di Republik “Emang Gue Pikirin” ini?
Adalah Isran Noor, Gubernur Kalimantan Timur yang pagi-pagi sudah ikhlas menjadi bemper kepada Jokowi. Irsan kumandangkan woro-woro ke seluruh jagat Nusantara bahwa Jokowi adalah manusia paling layak masuk surga tanpa beribadah, karena “berhasil” memindahkan ibu kota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
“Mas Jokowi, Bapak Presiden, Bapak itu pasti masuk surga. Tidak usah lagi Bapak itu beramal ibadah,” kata Isran dalam Kuliah Umum terkait potensi dan keberlanjutan Ibu Kota Negara di kampus Universitas Indonesia yang dilakukan secara daring Rabu (07/04/2021). Pernyataan Isran ini sungguh mengagetkan. Kapan Irsan punya hak privilese untuk menentukan seseorang masuk surga atau neraka.
Yang lebih mengagetkan lagi, sepertinya Irsan juga memegang kunci surga. Kunci yang kapan saja bisa digembok atau dibuka pintu surga. Ironis dengan kenyataan di lapangan. Perihal kunci surga ini seringkali dilontarkan oleh species pembenci Islam terhadap umat yang mencoba mengamalkan ajaran agama Islam secara konsekuen.
Mereka kerap menyebut Kadrun (Kadal Gurun) sebagai pemegang gembok dan penentu kavling surga. Tuduhan yang tak berdasar dan tak bernalar. Kata Rocky Gerung dungu dan dongo. Eh, ternyata yang memegang kunci surga adalah Isran Noor. Entah kapan Isran berdiskusi dengan Tuhan, kok bisa tahu nasib Jokowi? Apakah Isran juga Kadrun? Entahlah.
Isran bukanlah satu-satunya orang yang mengagumi Jokowi, sehingga menyentuh langit batas atas. Bukan kali ini saja Jokowi dipuja setinggi Planet Pluto. Sebelumnya pada tahun 2018, Jokowi diibaratkan Khalifah Ustman bin Affan oleh Prof. Dr. Rokhmin Dahuri. Ilmuwan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), University itu terpesona pada kesederhanaan Jokowi. Rokhmin lantas menjulukinya Ustman Bin Affan karena selalu dekat dengan rakyat.
Oleh penggemarnya, sifat-sifat Jokowi disamakan dengan sifat khalifah penerus Nabi. Jokowi lembut mirip Abu Bakar Asshiddiq. Kepemimpinannya tegas mirip Umar Bin Khattab. Sosoknya dermawan mirip Ustman Bin Affan. Otaknya cerdik mirip Ali Bin Abi Tholib. Menurut Rokhmin, gaya kepemimpinan Jokowi memberi pengaruh positif. Kata Rokhmin, rakyat sudah jatuh hati pada Jokowi.
Jauh sebelum itu Jokowi juga dianggap ratu adil yang bakal paripurna mengatasi segala keruwetan hidup bangsa. Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Musni Umar dalam buku yang berjudul 'Bang Jokowi dan Bang Ahok Bangun Jakarta Baru' menyatakan kehadiran Jokowi dan Ahok layaknya Satrio Piningit untuk kota Jakarta.
Musni Umar menyatakan, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta pada 2012 lalu dapat dikatakan telah memunculkan Satrio Piningit. Pemimpin yang berjiwa luhur, membela kebenaran. Peduli kepada masyarakat bawah, serta mengedepankan negara dan bangsanya.
Setidaknya ada lima tanda-tanda Jokowi menjadi Satrio Piningit versi Sosiolog Musni Umar. Misalnya, Jokowi mampu mangatasi macet, mengatasi banjir, membangun rumah susun, membikin pasar tradisional, dan menangani masalah sosial.
Isu tentang Satrio Piningit ini sering muncul ketika keadaan masyarakat sedang kacau, resah, tertekan, dan krisis kepemimpinan. Masyarakat mengharapkan sekali sosok pemimpin yang ideal, yakni pemimpin yang adil, jujur, merakyat, bersahaja dqan tidak zolim.
Gaya, dan praktik memimpinnya pun dilakukan dengan tulus ikhlas, apa adanya, tanpa pencitraan sehingga melahirkan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan. Masyarakat yang mentalnya gersang dan kehidupannya sulit akan girang sekali jika mendengar Satrio Piningit bakal turun gunung, karena mereka berharap kesengsaraannya bakal segera berakhir.
Nyatanya puluhan kali ganti rezim puluhan kali pula sosok Satrio Piningit dipasarkan. Namun hasilnya toh sama saja. Tak ada buktinya. Kriteria pemimpin ideal, hanya ada dalam dongeng. Dongeng itu diduga sekarang sedang diperankan oleh Jokowi. Maka alur ceritanya perlu dirawat agar masyarakat kecanduan Satrio Piningit terus-menerus sepanjang masa.
Namun aneh, nyatanya, di era Satrio Piningit asli Solo ini, keadaan masyarakat justru semakin waswas, resah, gelisah, dan dalam ketidakpastian. Adu-domba, fitnah, dan pertengkaran selalu terjadi. Masyarakat dibikin penuh prasangka, saling hujat, dan perang dingin.
Keadaan makin memburuk saat ekonomi terpuruk, cari makan makin sulit. Pengangguran meningkat, keadilan mati suri, dan utang negara menggunung. Satrio Piningit ternyata tidak memberikan ketentraman, kedamaian, dan keamanan. Tidak punya solusi. Jokowi malah sibuk membuat episode pencitraan demi pencitraan.
Tampaknya para pemuja Jokowi salah menafsirkan Satrio Piningit. Jokowi juga mendapatkan pemujaan yang berlebihan. Semakin jauh dari fair dan realistis. Keberhasilannya diangkat setinggi langit, kegagalannya dibenamkan ke dasar lautan. Anehnya, Jokowi pun seperti menikmati posisi ini. Akibatnya banyak hal di luar dugaan Jokowi yang diketahui belakang ini.
Tidak mengherankan kalau Jokowi sering bilang',"Saya kaget". Mereka juga kurang tepat menyematkan falsafah Mikul Dhuwur Mendhem Jero pada sosok Jokowi. Konsep Jawa ini sesungguhnya diberikan kepada orang yang sudah meninggal. Untuk mengurangi muatan fitnah, masyarakat Jawa diharap tidak membicarakan kejelekan orang yang sudah meninggal.
Masyarakat diperintahkan untuk membicarakan kebaikan yang sudah meninggal. Mikul dhuwur itu artinya mengangkat tinggi-tinggi jejak kebaikannya. Sementara mendhem jero itu artinya mengubur dalam-dalam keburukan orang yang sudah meninggal. Konsep agung ini diaplikasikan dengan salah oleh pengikut Jokowi.
Jokowi belum meninggal. Jejak langkahnya masih berproses. Itupun selalu ada pro-kontra dalam kebijakannya. Bahkan lebih banyak kontranya. Jokowi belum saatnya untuk menerima ganjaran surga. Surga atau neraka itu otoritas Tuhan bukan rekomendasi Isran Noor. Kalaupun ada kelebihan Jokowi, itu kreativitas buzzer semata dalam menyulap informasi. Membela membabi-buta, ugal-ugalan. Memlintir fakta.
Tidak elok memuja-muja Jokowi setinggi galaksi. Sementara banyak pihak yang menyoal sepak terjangnya. Belum saatnya Jokowi memanen hasil, apalagi menyiapkan surga. Jangan terlampau boros memberikan pujian buat Jokowi.
Ingat, aksara Jawa kalau dipangku pasti akan mati. Itu artinya menurut keyakinan orang Jawa, seseorang tidak boleh terlalu tinggi disanjung dan dipuja. Sanjungan yang melampaui batas akan membunuh yang disanjungnya. Coba saja.