Kepada Yang Mulia Prof. Dr. M. Syarifuddin, Ketua Mahkamah Agung
Ketika menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada untuk menyelesaikan masalah tersebut. Padahal dalam banyak kejadian, aturan atau formula itu tidak dapat deterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Untuk itu, tetap diperlukan proses kreatif untuk menjejaki kemungkinan lain di luar dari aturan atau formula tersebut. Disini, seni berfikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan untuk mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah tempat yang disebut heurestika, karena berupaya menemukan solusi (Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH.)
HUKUMLAH Habib Rizieq seberat-beratnya sesuai dengan kadar kesalahannya, bila ditemukan bukti-bukti di persidangan bahwa beliau memang bersalah. Sebaliknya, bebaskan Habib Rizieq bila tidak ditemukan bukti di persidangan kalau beliau bersalah. Namun di atas semua, harap Yang Mulia jangan membuat kebijakan, atau apapun namanya yang membatasi masyarakat pers untuk menyaksikan dan meliput fakta-fakta yang mungkin muncul dari persaidangan ini.
Persidangan ini diikuti tekdakwa Habib Rizieq dengan rombongan penasehat hukumnya. Ada juga kawanan Jaksa Penuntut Umum (JPU), serta Yang Mulia Ketua dan dua anggota Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kami tentu saja berprasangka baik (husnudzon) bahwa semua yang terlibat dalam persidangan Habib Rizieq Sihab dan lima pentolan Front Pembela Islam (FPI) ini adalah orang-orang yang taat kepada hukum.
Mereka semua orang-orang yang sedang diuji ketaatannya kepada hukum di republik ini. Sayangnya, mereka bukanlah malaikat yang tidak punya kekurangan,dan kesalahan selama persidangan ini berlansung. Kekurangan itulah yang menjadi tugas dan tanggung jawab setiap insan pers sebagai masyarakat sipil dan kekuatan keempat dari pilar demokrasi (civil society the dan four of state democration) untuk mengkritisi dan mengoreksinya.
Wajah Baru Peradilan
Dunia peradilan Indonesia, kini tampil dengan wajah baru, yang jorok, busuk dan primitif. Sebab pers dibatasi ruang geraknya untuk meliput sidang perkara di pengadilan. Ini telah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada persidangan perkara Habib Rizieq Sihab. Dalam sidang perkara ini, insan Pers tak diberi akses bebas sebagaimana biasa mereka nikmati pada setiap peliputan persidangan selama ini.
Prilaku pengadilan yang aneh, jorok, tolol dan menakutkan kebebasan pers. Andai saja pembatasan akses itu sepenuhnya dibuat majelis hakim, karena independensi mereka menyelenggarakan sidang, tetap saja itu menakutkan. Bahkan sangat jorok andai pembatasan terhadap kebebasan insan pers mendapat informasi itu dilakukan atas perintah, imbauan atau apapun namanya dari Mahkamah Agung.
Pembatasan ini, andai dilakukan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas Surat Edaran atau Instruksi atau apapun itu namanya dari Direktur Jendral Badan Peradilan Umum (Badilum) Mahkamah Agung, jelas jorok, jijik dan busuk. Karena kenyataan ini menjelaskan satu hal, yaitu independensi hakim ternyata dapat dipatahkan, diinjak-injak dan robek-robek oleh induknya Mahkamah Agung, semudah orang gila merobek-robek selembar kertas tisu.
Independensi hakim jadinya tidak lebih dari sekadar topeng rusak dipakai oleh pengembala domba. Ini menyedihkan, jorok, sekaligus menakutkan. Untuk alasan apapun, tindakan ini tidak memiliki nalar hukum di negeri ini secara obyektif. Itu sebabnya sikap ini sangat pantas dikutuk sebagai sikap, yang selain merusak independensi hakim, juga merusak demokrasi dan kebebasan masyarakat sipil.
Tahukah tuan-tuan yang dipanggil dengan “yang mulia” itu ketika independensi melayang, maka keadilan hancur berkeping-keping. Keadilan berubah dan mengambil wujud sebagai penindasan. Hakim dan pengadilan dengan sendirinya menjadi perpanjangan tangan aparatur dan lembaga penindas.
Pejabat-pejabat administrasi di Sekertariat Jendral Mahkamah Agung harus tahu itu. Bukan hanya sekadar tahu bahwa independensi itu diciptakan untuk memahkotai hakim-hakim. Tujuannya sangat mulia, agar hakim dan pengadilan menjadi benteng keadilan rakyat. Bukan alat produksi ketidakadilan dan benteng rezim oligarkis dan konglomerasi busuk, picik, dan tamak.
Andaikan benar sikap majelis hakim membatasi pers itu disebabkan Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum, maka tidak ada alasan sedikit untuk Ketua Mahkamah Agung menutup mata terhadap masalah ini. Ketua Mahkamah Agung, yang bergelar profesor doktor ilmu hukum itu tidak bisa membiarkan dunia peradilan dirusak dengan surat edaran, instruksi atau apapun dari pejabat administrasi di lingkungan Kesekjenan Mahkamah Agung. Tidak bisa itu.
Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifudin SH. MH, kalaulah Surat Edaran Dirjen Badan Peradilan Umum benar ada, maka itu sangat membahayakan keadilan dan kebebasan di republik ini. Sebab sebagai the four of state democration, meskipun tanpa digaji oleh negara, insan pers wajib hukumnya untuk mengawasi dan mengkritisi setiap penyelenggara negara yang digaji dari pajak rakyat.
Diskresi konyol dan tolol melalui surat edaran atau instruksi sejenis itu, tidak bisa dibiarkan. Ini benar-benar merusak dunia peradilan dan keadilan Indonesia. Orang-orang administrasi itu, harus diingatkan untuk segera mencabut edaran, andai edaran itu benar-benar telah diterbitkan. Mengapa?
Pertaman, kenapa baru sekarang diterbitkan? Apakah Ketua Mahkamah dapat menemukan argumen logis untuk menghindarkan konteks Edaran itu terkait dengan perkara Habib Rizieq Shihab? Sepintar apapun Ketua Mahkamah Agung yang Profesor Doktor ilmu hukum itu, pasti tidak bisa. Itu karena, momentum terbitnya surat edaran tersebut bersamaan. Setidaknya berada dalam kerangka keriuhan sidang Habib Rizieq Shihab.
Telah menjadi kenyataan umum, semula sidang Habib Rzieq Shihab itu dipaksakan online.Kemudian berubah jadi ofline. Perubahan itu terjadi setelah debat panas antara Habib Rzieq Shihab dengan Jaksa Penuntut Umum, yang diramaikan oleh Majelis Hakim. Seperti itulah esensinya, suka atau tidak.
Kedua, Ketua Mahkamah harus bersikap tegas menindak orang-orang administrasi itu, karena surat edaran itu, andai benar-benar ada, dapat ditafsir secara liar oleh orang banyak bahwa keadilan dalam kasus ini benar-benar sudah dihancur. Hukuman terhadap Habib Rizieq benar-benar telah disiapkan. Sidang ini tidak lebih dari sekadar membangun legitimasi konyol bahwa kasus ini pernah disidangkan.
Hukuman itu, dengan demikian bisa dipesan. Itu artinya persidangan tidak berlangsung menurut prinsip-prinsip hukum. Putusan bisa dipesan atau ditetapkan sebelum sidang, bukan sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam dunia hukum. Ini pengadilan khas rezim totaliter Nazi Jerman Adolf Hitler. Pengadilan diselengarakan sesuai prinsip koordinasi antara pengadilan dengan rezim. Bahaya sekali Yang Mulia.
Sebagai professor dan doktor ilmu hukum, Ketua Mahkamah Agung harus tahu, bahwa kebabasan pers untuk mendapat informasi, tidak pernah dan tidak mungkin dengan alasan apapun, didelikan pada pers itu sendiri. Pers dimahkotai dengan kebebasan mendapat dan menyebarkan informasi. Karena hanya dengan cara itulah keadilan yang menjadi esensi bernegara. Dengan itu pula kemuliaan setiap orang dalam republik dapat diberi jaminan maksimum.
Syarat Berdirinya Amerika
Kebebasan mendapatkan dan menyebarkan informasi yang didapat di tengah masyarakat adalah cara merawat akal sehat dalam kehidupan. Bukan hanya akal sehat dalam bernegara, tetapi juga bermasyarakat. Itu adalah cara orang-orang waras menjaga energi kehidupan di republik ini. Sebab energinya adalah informasi itu memberi setiap orang memiliki kesempatan berpikir dan membangun harapan untuk kehidupannya di masa depan.
Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, karena kebebasan pers itulah yang menjadi esensi penolakan dari ke-13 Negara Bagian untuk ikut bergabung dan meratifikasi UUD Amerika Sertikat, yang dibuat pada Philadelphia Constitutional Convention 1787. Empat tahun kemudian, amandemen pertama UUD Amerika Serikat itu, yang berisi sepuluh pasal, yang di dalamnya termasuk kebebasan pers.
Yang Mulia pasti tahu bahwa masalah kebebasan pers harus dibuat dan dijadikan sebagai imbalan terbesar terhadap 13 Negara Bagian untuk membubuhkan tanda tangan untuk bergabung dan menerima UUD Amerika Serikat tahun 1791. Begini bunyinya, “Kongres dan Presiden Amerika Serikat dilarang membuat rancangan undang-undang yang membatasi kebebasan pers”.
Berfikir untuk membuat rancangan UU yang membatasi kebebasan pers saja sudah dilarang oleh konstitusi Amerika Serikat. Apalagi sampai membuat rancangan UU-nya, dipastikan dilarang lagi. Karena persoalan kebebasan pers itu menjadi salah satu syarat utama berdirinya negara Amerika Serikat.
Yang Mulia Pak Ketua Mahkamah Agung, tahun 1734 terjadi satu kasus menarik dalam soal kebebasan pers ini. John Peterzenger menulis kriitik bahwa warga jajahan tidak mendapatkan pengadilan yang fair. Kritik ini dinilai kotor, menyinggung pemerintahan jajahan (Inggris). John Peterzenger lalu diadili.
Tetapi apa yang terjadi kemudian? Para Juri membebaskannya. Zenger, dalam sidang perkaranya dengan setengah mengatakan bahwa dia punya hak untuk mengeritik. Bahkan kritik yang dianggap cemohan oleh pejabat publik, sepanjang kritik itu benar, sah-sah saja. Inilah salah satu tonggak sejarah tentang kebebasan pers.
Tahun 1798 James Thomson Callender, didakwa membuat tulisan “fitnah” karena menyebut Presiden John Adam di tahun 1800 sebagai “penghasut tua bangka yang tangannya berbau busuk darah”. Callender dihukum. Tetapi segera setelah John Adam tersingkir dari kursi presiden, dan digantikan oleh Thomas Jefferson, James Thomson Callender dibebaskan.
Tahun 1868 Amerika kembali melakukan amandemen ke-14. Amendemen ini menguatkan hak setiap orang untuk hak hidup. Memiliki kebebasan dan memiliki harta benda. Hak-hak ini tidak boleh dicabut, tanpa melalui due process of law.
Itu sebabnya Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam sejumlah kasus menjadikan kebebasan pers mendapatkan dan menyebarkan informasi, termasuk orang berpendapat harus diperluas. Sutherland, Hakim Agung pada Supreme Court Amerika Serikat berpendapat terminologi “liberty” itu sangat luas, dan mencakup beragam kebebasan yang dijamin dalam amandemen ke-14.
Amendemen ke-14 dinilai sebagai penegasan due process clause. Bagi Hakim Agung Sutherland , semua pembatasan kebebasan yang dilakukan oleh negara menjadi tidak sah, sekalipun dilakukan dengan menggunakan UU masih berlaku.
Sudahlah, hentikan semua pembatasan pada sidang perkara Habib Rizieq Shihab dan lima anggota FPI lainnya. Apalagi kalau, misalnya hukuman untuk dirirnya telah dikordinasikan dan ditetapkan. Justru semakin tidak ada faedahnya menutup-nutupi sidang dari pers. Mau sembunyikan dakwaan Jaksa yang dinilai oleh pengacaranya dan habib Rizieq menyesatkan itu? Kan tidak mungkin.
Mau sembunyikan perilaku Jaksa penuntut umum? Bagiamana caranya? Tidak mungkin juga bisa disembunyikan. Jadi pilihan terbaiknya adalah buka akses seluas-luasnya untuk pers meliput. Peradilan ini akan dinilai orang sebagai “dagelan jorok dan tolol”, bahkan pengadilan sebagai alat rezim ini, bila pembatasan terhadap pers masih ditemukan pada sidang-sidang berikutntya.
Terakhir Yang Mulia Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin SH. MH, lakukan langkah-langkah kecil, namun penting dan strategis. Langkah yang sesuai jiwa dan kebesaran “Heurestika Hukum” yang sangat top, berkelas dan mengagumkan itu. Tujuannya untuk menyelamatkan wajah hukum republik ini yang sudah bopeng dan membuat rakyat apatisme.
Kini hanya tinggal lembaga peradilan, yang dengan segala kelebihan dan kekuarangannya di sana-sini, masih diharapkan oleh rakyat. Lembaga peradilan masih dipercaya untuk menabur setitik mozaik keadilan di tengah kegalapan hukum yang sudah terlanjur amburadul dan berantakan ini. Apalagi adanya terobosan dan kebesaran “Heurestika Hukum” dari Yang Mulia.