Sidang Habib Rizieq Ujian Apakah Hukum Masih Tegak
MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur akhirnya menghadirkan Habib Rizieq Shihab (HRS), di persidangan secara langsung (offline). Keputusan Majelis Hakim diambil setelah melalui perdebatan sengit dan berlarut. Diwarnai pemaksaan ke ruang sidang terhadap HRS. Serta aksi walk out oleh pengacara dan HRS.
Alotnya mejelis hakim mengambil keputusan. Ngototnya Jaksa Penuntut Umum (JPU), agar persidangan dilaksanakan secara daring (online), sangat mengherankan. Argumen hakim dan jaksa, hal itu sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dan menegakkan protokol Covid-19, sejak awal dengan mudah dipatahkan.
Kehadiran terdakwa sebagai orang bebas, tanpa tekanan di pengadilan, diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Posisi UU jelas lebih tinggi dibandingkan Perma. Tidak bisa sebuah UU dikesampingkan begitu saja oleh Perma. Apalagi Perma tidak masuk dalam hirarki hukum. Hanya berlaku secara intenal.
Mengesampingkan UU atas nama penegakan Perma, adalah perbuatan sesat dan menyesatkan. Dalam Perma pun diatur, sidang secara daring bisa dilaksanakan bila mendapat persetujuan terdakwa. HRS sejak awal menolak. Dia menginginkan persidangan secara offline.
Sebagai terdakwa yang sangat dirugikan, HRS ingin hadir di persidangan. Mempertahankan haknya. Berhadapan langsung dengan para jaksa, para saksi. Beradu argumen secara terbuka, tanpa dibatasi kendala teknis. Mulai dari jaringan internet yang tidak stabil, suara dan gambar terputus-putus, serta hal-hal teknis yang tidak berkaitan dengan hukum.
Keputusan berhadapan, berkonfrontasi langsung dengan para jaksa dan saksi ini tampaknya dipandang sangat perlu oleh HRS. Dasar hukum sampai dia dibawa ke pengadilan ini sangat aneh. Penuh kejanggalan dan rekayasa.
HRS diajukan ke persidangan karena melanggar protokol kesehatan (prokes). Kerumunan massa di Petamburan, dan Mega Mendung. Dia juga didakwa menyembunyikan hasil swab di RS UMI, Bogor. Karena ketiga kasus itu, dia harus menghadapi tiga persidangan sekaligus. Sejak awal keputusan polisi menyidik kasus ini, dan kemudian menahan HRS sangat mengejutkan.
Pelanggaran prokes konskuensinya adalah pembayaran denda. Kalau toh ada pelanggaran pidana, hal itu sifatnya pidana ringan. Tak perlu sampai ada penahanan. Untuk kasus di Petamburan, dia sudah membayar denda Rp 50 juta ke Pemprof DKI. Sejauh ini, denda itu adalah yang tertinggi.
Kasus ini bahkan berubah menjadi tragedi. Pelanggaran HAM. 6 orang pengawal HRS tewas ditembak polisi yang melakukan penguntitan. Publik sesungguhnya bisa melihat dengan mata telanjang. HRS menjadi target. Diperlakukan secara dzolim. Pengadilannya sesat.
Kasus pelanggaran prokes banyak dilakukan oleh orang lain. Sejumlah selebritas, tokoh, pejabat publik, politisi, bahkan sampai Presiden, juga melakukan pelanggaran. Soal ini dipersoalkan HRS dalam pembacaan nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan Jumat (26/3).
Dia menyoroti pelanggaran prokes yang dilakukan oleh Rafi Ahmad dan Komut PT Pertamina Ahok. Mereka berdua hadir dalam pesta tanpa prokes. Kasus Rafi sangat ironis. Dia diangkat sebagai duta vaksin. Pelanggaran dilakukan setelah pada pagi harinya divaksin bersama Presiden Jokowi di istana.
Tidak ada tindakan apapun yang dikenakan kepada mereka. Boro-boro diseret ke depan hakim. Denda seperak pun tidak. Presiden Jokowi juga melakukan pelanggaran. Membuat kerumunan. Bahkan berinteraksi dengan warga di Maumere, NTT.
Kasus terbaru terjadi di Sumenep, Madura. Kasusnya persis sama dengan kerumunan warga di Petamburan. Ketua Banggar DPR RI dari F-PDIP Said Abdullah menggelar pesta pernikahan putranya. Dia menyebar 20 ribu undangan.
Diperkirakan tamu yang hadir, 30 ribu orang. Jalan-jalan di seputar rumah Said Abdullah sampai harus ditutup. Tidak ada tindakan apapun terhadap para warga negara istimewa ini. Mereka adalah orang-orang yang kebal dan tak tersentuh hukum. Untouchable. Mereka semua adalah pendukung pemerintah.
Soal menyembunyikan hasil swab, sejumlah menteri di kabinet Jokowi juga melakukan. Media meyebutkan, setidaknya ada 8 orang positif Covid.
Sejauh ini hanya Empat orang yang mengakui secara terbuka, atau setidaknya ada keterangan dari stafnya. Mereka adalah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, mantan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edi Prabowo, Menteri Agama Fachrul Razi, serta Menaker Ida Fauziah. Siapa empat orang lainnya? Tak ada yang mengaku.
Belakangan terungkap, salah satunya adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Terungkapnya Airlangga, juga secara tidak sengaja dan terkesan sangat konyol. Nama Airlangga muncul dalam daftar peserta donor plasma convalesen. Namanya muncul karena disebut oleh Menko PMK Muhajir Effendi.
Dengan menjadi donor plasma convalesen dapat dipastikan Airlangga pernah terjangkit Covid. Tapi dia tidak pernah mengakui, apalagi mengumumkan ke publik. Airlangga adalah Ketua Komite Penanganan Covid. Dia harus menjadi contoh. Panutan.
Mengapa empat orang menteri itu, khususnya Airlangga tak dikenakan hukuman? Tidak diseret ke meja hijau, seperti nasib yang dialami oleh HRS. Dengan fakta-fakta tersebut, sudah seharusnya HRS dibebaskan. Kasusnya batal demi hukum. Sidang harusnya tidak perlu dilanjutkan.
Bila hakim masih meneruskan proses pengadilan, apalagi kemudian menjatuhkan hukuman kepada HRS, maka sangat jelas hakim sudah berlaku tidak adil. Dihukum ringan pun HRS tidak pantas. Apalagi dihukum berat.
Bila itu yang terjadi, hukum digunakan hanya untuk menghukum kelompok/orang yang berseberangan dengan pemerintah. Sementara kepada para pendukung pemerintah, mulut jaksa kelu. Palu hakim kaku.
Melalui forum ini kita kembali mengingatkan, hukum yang disalahgunakan. Hanya tajam kepada oposisi. Tumpul kepada pendukung pemerintah. Akan menimbulkan ketidakpuasan publik. Mereka merasa diperlakukan tidak adil. Percieved in justice. Ini sangat berbahaya.
Mengutip ceramah yang pernah disampaikan oleh Menko Polhukam Mahfud MD di Surabaya, hukum adalah sendi negara. Bila hukum tidak ditegakkan, maka negara itu akan runtuh.**