EDITORIAL

Ketika Negara Kalah Sama Teroris Ekonomi

BEBERAPA bulan terakhir, kenaikan harga minyak goreng (migor) sungguh di luar akal sehat. Sebab, di negara yang memiliki kebun sawit sekitar 16 juta hektar, kok terjadi kenaikan harga yang diikuti barangnya langka. Pertanyaannya, sejauh mana pengawasan dan antisipasi yang dilakukan pemerintah selama ini? Negara abai melakukan antisipasi, karena begitu mudahnya pengusaha migor menaikkan harga dengan alasan harga buah tandan segar (BTS) sawit naik. Akibatnya, harga minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) pun naik tak terbendung. Pengusaha CPO yang umumnya adalah oligarki tidak peduli dengan permintaan dalam negeri. Karena permintaan internasional meningkat tajam, mereka pun mengguyurnya ke luar negeri. Akibatnya, pasok ke pabrik migor dalam negeri tersendat. Nah, karena terjadi ekspor yang besar pemerintah akhirnya menaikkan volume domestic market obligation (DMO) bahan baku minyak goreng menjadi 30 persen.  Akan tetapi, angka tersebut tidak mampu membendung kenaikan harga migor yang membuat emak-emak meradang. Meradang, karena selain harganya yang sempat Rp 70.000 per dua liter (di daerah tertentu), juga barangnya langka. Antrean panjang guna mendapatkan migor terjadi di kota-kota besar seantero nusantara. Bahkan, antrean migor pun sempat membawa korban meninggal dunia. Pemerintah sempat melakukan upaya subsidi terhadap migor, termasuk kemasan. Pemerintah menggelontorkan dana triliunan rupiah guna menekan harga. Harapannya, supaya harga terjangkau masyarakat dan pasok tidak menghilang. Upaya keras yang dilakukan pemerintah itu tidak membuahkan hasil. Malah yang terjadi migor hilang di pasar, termasuk di pasar modern dan swalayan. Akan tetapi, di balik hilangnya migor itu, ada saja pihak tertentu yang mencoba menimbunnya. Pengusaha migor telah membaca kemampuan keuangan pemerintah. Mereka melakukan tekanan supaya harga migor sesuai selera pasar. Ketika pemerintah menggelontorkan uang mensubsidi harga migor, pengusahanya pun melakukan petak umpat. Mereka sengaja menyembunyikan produknya. Pengusaha migor menekan pemerintah, sehingga akhirnya kalah dan membiarkan harga migor kemasan sesuai selera pengusaha. Pemerintah hanya fokus mengamankan harga migor curah yang ditetapkan Rp 14.000 per liter. Sedangkan harga migor kemasan bervariasi dengan harga rata-rata Rp 48.000 per dua liter atau Rp 24.000 per liter. Akan tetapi, pengusa migor betul-betul lihai dan licin seperti produksinya. Begitu pemerintah fokus pada migor curah, yang kemasan dengan harga Rp 24.000 per liter sangat mudah diperoleh, terutama di pasar swalayan atau modern. Padahal, ketika pemerintah mensubsidi, barangnya langka, membuat kaum ibu teriak di mana-mana. Negara tidak mampu menurunkan harga minyak goreng. Kenapa, karena pengusaha tahu kemampuan kantong pemerintah, yang tidak akan mampu lama memberikan subsidi Dalam kasus migor ini, ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, pengusaha migor yang umumnya dikuasai oligarki, melakukan test case terhadap perekonomian nasional. Mereka melakukan uji-coba, yang kira-kira kalimatnya berbunyi, \"Mempermainkan migor saja bisa kami lakukan dan membuat pemerintah kalang kabut. Bagaimana jika secara serentak kami mainkan juga harga kebutuhan pokok lainnya.\" Kedua, oligarki yang sering juga disebut pengusaha keturunan Cina ternyata mampu menundukkan pemerintah. Mereka seenaknya mengeruk keuntungan di tengah penderitaan rakyat yang secara ekonomi sangat terpuruk akibat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).  Cara-cara yang dilakukan oligarki tersebut merupakan ciri sabotase ekonomi. Bahkan, bisa disebutkan permainan migor oleh pengusaha yang memproduksinya merupakan bentuk terorisme ekonomi. Padahal, selama ini pemerintah selalu mengatakan, \"Negara tidak boleh kalah kepada teroris.\" Tetapi, kok negara kalah pada terorisme ekonomi, dalam hal minyak goreng.  Apakah negara akan terus membiarkan terorisme ekonomi? Apakah negara akan terus membiarkabmn teror ekonomi yang diperkirakan terus dilakukan ologarki? Kita tunggu sikap dan tindakan tegas dari negara terhadap pelaku teroris ekonomi nasional itu. (*)

Vonis Bebas Pembunuh, Tunda Pemilu, dan Dukun Mandalika

Tak terasa kita telah 8 tahun dipimpin oleh penguasa yang memiliki kekuasaan mutlak. Mereka bisa berbuat apa saja sesuai arah telunjuknya. Dari mengkriminalisasi rakyat yang berbeda hingga memenjarakan ulama. Tak ada lagi kamar untuk berdiskusi, tak ada lagi ruang demokrasi. Atas nama pembangunan, semua dibikin satu suara: legislatif, yudikatif di bawah dirijen eksekutif. Jika dulu rakyat masih bisa menuangkan uneg-unegnya di jalanan, kini tak bisa lagi. Saluran yang paling merdeka adalah medsos, itu pun tak luput dari pantauan rezim 24 jam penuh. Mata-mata disebar, penyusup diselundupkan dan buzzer dikerahkan untuk mengintip suara kritis rakyat. Jika ada suara-suara yang tak menghibur rezim, bedil dan penjara berbicara. Pilihan rakyat hanya diam atau kasak kusuk di ruang terbatas. Rakyat betul-betul tertindas dan dilibas. Hari ini lihat saja, siapa yang punya daya mempertanyakan vonis bebas pembunuh 6 Laskar FPI oleh pengadilan. Sementara Habib Rizieq harus dipenjara 4 tahun hanya untuk menebus kalimat \"Saya Sehat\". Siapa yang berani menjelaskan mengapa hukum di era rezim ini begitu jahat. Tak lain, ini semua terjadi karena kekuasaan begitu absolut di tangan satu orang. Praktek tangan besi berikutnya adalah upaya penundaan Pemilu. Pemilu yang sudah dirancang pada Februari 2024 akan diundur pada 2027. Kebohongan disiapkan, hasil survei dipamerkan, baliho-baliho dimuntahkan. Di jalanan, di terminal, di tempat ibadah dan di semua tempat “milik” penguasa. Libido politik rezim ini tampaknya melebihi kemampuannya. Mereka ingin orgasme berulang-ulang menikmati manisnya kekuasaan. Mereka  beli obat kuat, mereka racik jamu keperkasaan, dan mereka persiapkan ranjang-ranjang perselingkuhan. Persetan dengan undang-undang, regulasi dan tata tertib, mereka punya kuasa. Jangan coba-coba halangi mereka, jika tidak, kerangkeng imbalannya. Rakyat hanya bisa diam dalam ketertindasan. Ambisi kekuasaan mutlak lainnya, mereka pertontonkan di Mandalika. Di ajang internasional yang semua mata bisa memandang, mereka unjuk kepongahan. Setelah berhasil mengatur pengadilan, setelah sukses menggoyang masa jabatan,  kini mereka coba mengatur cuaca, memerintah alam, sangat berani melampaui kuasa Tuhan. Aksi perdukunan yang dieksploitasi secara masif dan luas sesungguhya menunjukkan betapa kerdilanya rezim ini. Mereka mengabaikan akal sehat, mengesampingkan logika, dan memuja khayalan. Aksi prasejarah yang tumbuh subur pada masanya, mereka paksa tampilkan secara demonstratif di era serba teknologi, sangat terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan. Mereka gunakan mata kuda untuk menjalankan aksinya. Tak peduli kritikan, bull-yan, cercaan bahkan hinaan dari setiap mata yang memandang. Polah tingkah rezim ini hanya baik di mata para pemujanya.  Berbanding terbalik dengan masyarakat luas yang memandang dengan penuh kesadaran, akal sehat, dan keimanan. Jika dukun pengatur cuaca itu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, mungkin publik masih bisa memaklumi. Tetapi ini dilakukan di tengah lapang, di tengah hajat internasioanl dan disaksikan penonton seluruh dunia. Apalagi, hasilnya Nol Besar. Hujan tetap mengucur deras, bahkan sang dukun sendiri tak mampu melindungi badannya dari guyuran hujan yang sangat lebat,  geluduk menggelegar,  petir menyambar dan genangan air menyebar. Sang dukun basah kuyup, air hujan meleleh di mukanya, rambutnya basah, pakaiannya menempel di setiap lekuk badannya. Namun ia terus melancarkan aksinya: menyetop hujan dengan sebuah mangkuk yang ia pukul-pukul biar keluar bunyi-bunyian. Aksinya gagal, hujan tetap mengguyur. Cercaan bertubi-tubi datang mengarah ke sang dukun yang tetap heroik dalam teatrikalnya. Tontonan yang menghibur sekaligus memalukan. Hujan akhirnya berhenti, tetapi kata BMKG memang saatnya berhenti, karena durasi, bukan karena dukun. Platform pengelolaan negeri ini hampir sama dengan ritual yang disiapkan dukun di Mandalika. Mereka hanya punya ambisi, namun klaimnya bisa berbuat apa saja. Rakyat tentu makin khawatir. Jika ada politisi sudah memberi sinyal tawur dan amuk massa, jika organisasi buruh sudah mewacanakan people power, jika enak-emak sudah dilecehkan urusan dapurnya, Lalu menunggu apa lagi? Jika kaum intelektual, LSM, ormas, dan organisasi keagamaan sudah satu suara, maka tak ada lagi yang bisa menghentikan kekuatan massa disokong kekuatan alam. Mereka boleh saja menganggap enteng, mereka boleh saja berargumen bahwa aksi 212 yang mencapai 7 juta saja bisa dipadamkan, maka kita saksikan apakah kekuatan massa kali ini bertekuk lutut pada penguasa zalim? Dukun Mandalika adalah puncak kepongahan penguasa. Ia cermin yang nyata bagaimana  kebodohan dipertontonkan. Mereka yakin mereka bisa. Yang terjadi petir menyambar di dekat sang dukun.  Yang mahakuasa masih punya rasa iba, petir menyambar bukan mengenai dirinya. Jika sang dukun bisa mengundang hujan dan mengusir  panas, mengapa ia tidak bisa mengusir TKA Cina yang merajalela. Jika dukung bisa mengundang hujan dan panas, mengapa ia tidak bisa menyedot duit 11 triliun di kantong Pak Penguasa. Sudahlah, semua sudah cetho welo welo. Rakyat bosan pencitraan, muntah kemunafikan. Rakyat makin khawatir, ada kekuatan yang menyarankan mundur teratur atau rakyat sendiri yang akan tawur. (EDITORIAL FNN)

Kardus Durian, Alih Fungsi Lahan, Skandal Perempuan Dalam Pusaran Penundaan Pemilu

PENUNDAAN Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih menjadi isu yang tetap menarik dan seksi. Apalagi, hal itu juga menyangkut usaha menunda Pemilihan Presiden (Pilpres), karena sebelumnya  sudah lama digadang-gadang, supaya jabatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi diperpanjang tiga tahun dengan alasan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi tetap menjadi isu seksi yang dilontarkan oleh para penjilat penguasa. Mereka akan tetap mempermainkan isu tersebut, karena selain ingin menutupi kebobrokan pemerintah dalam mengelola pemerintahan,  juga sekaligus menutupi beberapa kasus yang diduga menimpa si penggoreng isu itu. Adalah Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar yang kembali meluncurkan ide penundaan Pemilu. Padahal, sebelumnya, pesta demokrasi tersebut sudah ditetapkan pada 14 Februari 2024. Entah dapat wangsit dari mana, Muhaimin yang juga Wakil Ketua Dewan Perwajilan Rakyat (DPR) RI itu melemparkan isu supaya pesta lima tahunan itu ditunda. Gayung pun bersambut. Dua petinggi partai lainnya turut mendukung ide Muhaimin yang disebut-sebut atau diduga tersandung kasus kardus durian itu. Ketua Umum Partai Golkar, Erlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan mendukung penundaan Pemilu tersebut. Pun dukungan itu juga datang dari pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Menurut menteri segala urusan tersebut, ia memiliki big data yang menyebutkan 110 juta warga Indonesia mendukung penundaan Pemilu. Tidak disebutkan angka 110 juta itu apakah yang sudah dari angka jumlah pemilih Indonesia yang diperkirakan mencapai 206 juta jiwa atau dari total seluruh penduduk Indonesia ya ng mencapai 175 juta jiwa. Jika dari angka total pemilih, maka klaim Luhut itu ;luar biasa. Akan tetapi, jika dari total jumlah penduduk Indonesia, maka big data Luhut itu sangat luar biasa, yang berarti 175 juta penduduk Indonesia ogah Pemilu ditunda Hingga kini big data tersebut tidak jelas sumbernya. Apakah berdasarkan survei abal-abal, berdasarkan karangan Luhut dan bersumber dari bisikan pinokio dan gendoruwo. Akan tetapi, yang pasti dan jelas, usulan penundaan Pemilu 2024 telah membuat jagat politik nasional semakin gaduh. Politik semakin panas. Berbagai tanggapan dan penolakan pun bermunculan, termasuk penolakan dari lembaga survei yang selama ini menjadi kepanjangan tangan penguasa dalam menyampaikan hasil survei yang baik-baik saja,  yang menjadi tertawaan rakyat. Bahkan, penolakan pun datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi partai penyokong utama pemerintahan Jokowi-Ma\'ruf Amin. Selain partai berlambang kepala banteng bermoncong putih itu, Partai Nasdem, Gerindra dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga menolak penundaan Pemilu 2024. Artinya, di koalisi pemerintah ada tiga yang mendukung (PKB, Golkar dan PAN). Sedangkan empat partai (PDIP, Gerindra, Nasdem dan PPP) menolaknya. Tentu, ada partai gurem yang menjadi pendukung Jokowi ikut mendukung ide penundaan Pemilu. Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang berada di luar koalisi pemerintah sejak awal dengan tegas menolak penundaan Pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Mengapa PKB, Golkar dan PAN menginginkan Pemilu 2024 ditunda? Apakah hal itu diucapkan karena ketua umumnya tersandera oleh kasus? Sehingga, jika Pemilu ditunda, setidaknya bisa juga menunda kasusnya tidak diutak-atik penegak hukum? Mari kita cermati kasus yang menimpa  ketua umum tiga partai pendukung penundaan Pemilu 2024 itu. Pertama, Ketua Umum PKB,.Muhaimin Iskandar diduga ikut menikmati \'kardus durian\' yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus tersebut terjadi saat ia menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kabar terakhir menyebutkan, komisi antirasuah akan kembali membuka penyelidikan kasus \'kardus durian\' itu. Seperti diketahui, dalam kasus suap DPID Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2011, Muhaimin disebut-sebut akan menerima jatah uang sebesar Rp1,5 miliar yang dimasukkan dalam \'kardus durian\'. Namun, hal tersebut dibantah Muhaimin. Dalam kasus iti,  sudah ada tiga orang yang dijatuhkan vonis bersalah karena terbukti melakukan praktik korupsi dalam kasus tersebut. Mereka adalah Sesditjen P2KT,  I Nyoman Suisnaya; Kepala Bagian Program Evaluasi dan Pelaporan Dadong Irbarelawan, dan kuasa direksi PT Alam Jaya Papua Dharnawati. Dharnawati mengaku memasukkan uang Rp1,5 miliar ke Kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Uang tersebut dimasukkan ke kardus buah durian. Oleh karena itu, kasus ini  terkenal dengan sebutan \'kardus durian.\' Kedua, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Menteri Koordinator Bidang Perekonomiaj ini relatif ‘bersih’ dari skandal korupsi. Sebab, sebelum menjadi menteri di  kabinet Jokowi (awalnya Menteri Perindustrian), ia lebih banyak berkecimpung di Senayan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Hanya saja, kasus yang mencuat adalah dugaan persekingkuhannya dengan seorang wanita bernama Rifa Handayani. Kasus dugaan perselingkuhan itu mencuat setelah perempuan tersebut buka suara. Namun, dugaan perselingkuhan itu terjadi sebelum Airlangga menjadi menteri. Entah karena kekuasaan dan tekanan, dugaan perselingkuhan yang sempat dilaporkan ke Mabes Polri itu kini seakan-akan tenggelam bagaikan ditelan ombak. Rifa melaporkan kasus pengancaman dan intimidasi yang dialaminya atas kasus perselingkuhan tersebut. Ketiga, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Pernah menjadi Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia diduga terlibat dalam alih fungsi lahan di Provinsi Riau. Namanya sempat disebut dalam konstruksi perkara tersebut. Pada 9 Agustus 2014 Zulkifli Hasan menyerahkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 8 Agustus 2014 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan kepada Gubernur Riau saat itu Annas Maamun. Dalam surat itu, Menteri Kehutanan membuka kesempatan kepada masyarakat yang ingin mengajukan permohonan revisi bila ada kawasan yang belum terakomodir melalui pemerintah daerah. Pada 29 April 2019, KPK mengumumkan tiga tersangka terdiri dari perorangan dan korporasi, yakni PT Palma, Legal Manager PT Duta Palma Group Tahun 2014 Suheri Terta (SRT), dan pemilik PT Darmex Group/PT Duta Palma, Surya Darmadi (SUD). Dalam kasus tersebut, tiga perusahaan diduga mengeluarkan uang Rp 3 miliar guna menyogok pihak-pihak yang terkait dengan alih fungsi lahan tersebut. Uang sogok tersebut dimaksudkan guna memudahkan urusan, baik di Pemerintahan Provinsi Riau maupun di Kementerian Kehutanan.

Kemaruk

Apakah sudah eranya atau ada yang salah dari pemimpin kita? Entahlah, yang jelas sehari-hari selama delapan terakhir ini kita disuguhi sifat manusia yang tak pernah puas, selalu ingin terlihat hebat, menang sendiri, dan berambisi untuk mendapatkan lebih banyak. Setelah menang banyak, ingin lebih banyak lagi. Kerja kerja kerja. Kuasa kuasa kuasa. Ajian itu nyatanya hebat dan ampuh. Ia bisa berkuasa nyaris sukses dua periode. Di ujung kekuasaannya kedua, ia sudah siap-siap untuk memuluskan kekuasaan periode ketiganya. Urusan prosedur dan undang-undang, itu bagaimana nanti saja. Yang paling penting saat ini bagaimana membius masyarakat agar di benak mereka ter-install diksi sang “raja” terus berkuasa. Maka segala upaya dilakukan, ubo rampe dipersiapkan, dana digelontorkan, serta “sesajen” dipersembahkan, demi suksesnya sebuah ambisi: imperium.   Ubo rampe-nya apa? Ya segala hal yang dibutuhkan untuk kelengkapan sang tokoh. Ia gerakkan partai, relawan, tokoh agama (dadakan) dan masyarakat luas. Ia bikin komunitas, fans club, dan organisasi massa. Ia perintahkan lembaga survei. Tidak boleh lupa, ia kendalikan buzzer untuk memoles, mendempul, dan membedaki wajah yang sedang sedang saja – cenderung minimalis – menjadi lebih menawan dan berkarakter juga cantik. Karakter polos, sederhana, merakyat, dan ndeso, tidak boleh diabaikan. Karakter inilah yang membuat ia dielu-elukan rakyat di pelosok negeri. Duit, tentu saja semua orang tahu. Jangankan presiden, pemilihan ketua RW saja banyak bandar yang siap menyokong, bahkan dengan sistem ijon. Ini pekerjaan mudah. “Sesajen,” apalagi kalau bukan imajinasi radikalisme, intoleransi, dan anti-NKRI. Barang ghaib ini ampuh sekali untuk mencari dana dan menakut-nakuti rakyat serta efektif menaikkan citra. Supaya tidak kelihatan imajinatif, ia tangkapi ulama dan penceramah agama (Islam). Publik yang coba memberi simpati, ia tuduh dengan isu radikalisasi, intoleransi dan pendirian negara dalam negara. Istilah kadrun merupakan sebutan yang paling pas dan sakti untuk menuangkan kebencian. Mereka sangat puas jika bisa melabeli kadrun kepada siapapun yang mereka benci. Ia tak hanya membunuh karakter, tetapi memutilasi tubuh yang dibencinya dalam banyak potongan. Lalu mereka orgasme berjamaah. Inilah kebencian massal yang diproduksi secara masif, dibiayai negara, dan dijamin oleh rezim agar tidak tersentuh hukum. Maka, mereka pun makin berani dan kurang ajar. Entah berapa juta orang yang sakit hati oleh kelompok ini.       Penjara adalah neraka yang dipersiakan rezim untuk orang-orang berbeda. Mula-mula dituduh radikal, jika tidak terbukti, maka harus dicari tuduhan lain, yang penting harus dikerangkeng. Anti-demokrasi, melanggar HAM? Emang gua pikirin!    Hasil tak akan mengingkari proses. Sejak di Solo lalu di DKI dan kemudian di kancah nasional, polanya sama. Periode demi periode ia tapaki dengan sukses, mulus, dan nyaris nir-kendala. Kini mereka sedang coba-coba memperpanjang kuasa di ujung kekuasaannya. Mula-mula mereka lontarkan wacana tiga periode. Sang “raja” pun menolak, dengan alasan melanggar hukum dan berpotensi mempermalukan dirinya. Lalu senyap, bisa jadi karena wacana ini tak populer atau masyarakat sudah bosan. Wis sak karepmu, Le. Kira-kira begitu sikap yang ada di benak masyarakat. Tiba-tiba muncul wacana perpanjangan masa jabatan dengan menunda Pemilu dari 2024 ke 2027. Para pencari muka “raja” melontarkan alasan yang seakan-akan logis, dari soal pandemi, pekerjaan “raja” yang belum tuntas, hingga dampak perang Ukraina-Rusia. Namun wacana ini pun layu sebelum berkembang. Belum seminggu sejak para penjilat melontarkan penundaan Pemilu, mereka tiba-tiba koor, kompak tutup mulut bersama alias tak mau lagi bicara soal penundaan Pemilu. Belakangan diketahui,  wacana ini tak bakal terwujud karena risikonya terlalu besar. Kata Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, rakyat sudah siap tawur dengan pemerintah, jika Pemilu diundur. Seakan berkejaran dengan waktu, wacana basi tiga periode dibikin anget kembali. Di berbagai daerah ormas dikerahkan, pertemuan diintensifkan, dan perang baliho digalakkan. Di YouTube video-video pendek dipertontonkan. Tidak lupa buzzer difungsikan. Tombol di-ON-kan. Mirip robot, mereka pun langsung beraksi di medsos. Menggonggong. TOA TOA kebencian dikumandangkan, penyesatan dikemas dengan apik agar tampak sebagai kebenaran. Mereka memang ahlinya. Dulu ketika “raja” didesak untuk turun di tengah jalan, para loyalis buta- tuli akan bilang, “Tunggu Pemilu, Kita Harus Konstitusional”. Tetapi konstitusi pun diakali, diperkosa, dan dieksploitasi untuk kepentingan kelompoknya. Ini bukan soal konstitusional atau jalanan. Ini soal ketidakmampuan yang terus ditutup-tutupi. Lihatlah fakta ini, kasus stunting di Indonesia terbanyak dan menempati urutan keempat dunia dan kedua di Asia Tenggara. Jumlah kasus stunting pada tahun 2019 mencapai 27,67 persen. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8 persen di tahun 2013. Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen. Indeks persepsi korupsi Indonesia masih jauh dari rata rata global. Transparency Internasional merilis hasil survei tahun 2021 Indonesia meraih Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) sebesar 38, masih jauh dari skor rata-rata global yaitu 43. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat di tengah pandemi Covid-19. Hingga September 2020, BPS mencatat angka kemiskinan bertambah 2,76 juta jiwa menjadi 27,55 juta jiwa, meningkat 1,13 juta orang terhadap Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang terhadap September 2019. Data Kemenkes menyebut angka kematian ibu dan anak di Indonesia pada Januari sampai September 2021 mencapai angka 3794 orang, meningkat 746 orang dari tahun sebelumnya. Ini yang lebih tragis. Penyusutan lahan baku pertanian di Indonesia mencapai 120 ribu hektare setiap tahunnya. Ini kata Moeldojo, sang Ketua HKTI. Lalu dengan data-data itu, alasan logis apa yang dipakai untuk memaksakan tiga periode, sementara konstitusi kita hanya membatasi dua periode, kalau bukan kemaruk, serakah, rakus, loba, dan tamak?

Ketika Jokowi Djadikan “Berhala”

  PATUNG Jokowi tak hanya ada di Mandalika. Ia telah bertenggger di mana-mana. Patung Jokowi ibarat berhala yang “disembah” para pemujanya. Ide pendirian patung Jokowi sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 2016, dua tahun sebelum periode pertama berakhir. Meski banyak penolakan lantaran patung biasanya dipersembahkan untuk yang sudah wafat, namun Jokowi tetap ho oh saja. Ia menikmati setiap sanjungan dan pujian para sekutunya. Patung pertama berdiri pada pertengahan tahun 2017.  Patung lilin ini terpajang di Museum Madame Tussauds, Hong Kong. Patung ini bisa dipoles sekehendak pemujanya. Awal pertama diresmikan, mengenakan kemeja putih lengan panjang khas Jokowi, belakangan didandani dengan mengenakan kemeja batik. Patung Jokowi kedua berdiri di bukit  Sunu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Patung ini mengenakan busana adat asal Timor Tengah Selatan, dibuat di Bali dan memiliki berat 600 kilogram serta tinggi 3,5 meter dengan fondasi 2,5 meter.   Proses pendirian patung ini sungguh heroik. Diarak oleh ratusan massa ke atas bukit melalui jalanan yang terjal bertepatan dengan Hari Pahlawan, sebagai bentuk apresiasi warga terhadap Presiden Jokowi. Selain itu, patung ini disimbolkan oleh warga sekitar sebagai semangat Jokowi dalam membangun negeri. Patung ketiga adalah Patung “Jokowi Menangis” yang akan dibangun di lokasi bencana di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Gagasan ini muncul dari warga Adonara yang berdomisili di Denpasar, Bali. Patung ini juga dimaksudkan untuk mengenang Jokowi yang peduli dan pernah berkunjung saat bencana Adonara melanda. Proyek ini membutuhkan lahan seluas 5.000 meter persegi. Patung keempat adalah patung Jokowi Naik Sepeda yang banyak ditemui di banyak bandara. Yang paling heboh adalah patung Jokowi Naik Motor Balap di Mandalika. Inilah patung kelima yang dipersembahkan pemujanya untuk mengenang jasa-jasa junjungannya. Adalah seniman patung asal Bali, Nyoman Nuarta yang  membuat patung Presiden Jokowi naik motor bertuliskan RI-1. Patung ini diberi nama Speed yang menggambarkan kinerja pemerintah dalam memajukan pembangunan di Indonesia dengan cepat. \"Patung ini saya beri judul Speed, itu simbol dari Pak Jokowi yang serba cepat. Sekarang beliau ada di Sumatra, besok sudah pindah. Aduh, seperti tidak kenal lelah, luar biasa. Saya tambah semangat membuat patung presiden yang saya kagumi,\" kata Nyoman. Patung Jokowi di Mandalika sempat mendapat penolakan masyarakat setempat. Para tokoh agama yang tergabung dalam Forum Komunikasi dan Silaturahmi Pondok Pesantren (FKSPP) menolak pendirian patung karena bertentangan dengan nilai-nilai agama. Ketua FKSPP TGH Hasan Basry menyebut pendirian patung Jokowi bertentangan dengan julukan Lombok Seribu Masjid, Seribu Tuan Guru dan Masyarakat Agamis. Patung biasanya untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur. Sementara Jokowi masih hidup. Seharusnya konsultasi dulu dengan masyarakat Lombok Tengah agar tidak terjadi perpecahan. Joko Widodo adalah Presiden yang harus dihormati. namun bukan berarti bentuk penghormatannya diwujudkan dalam sebuah patung yang bertentangan dengan nilai agama. Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) TGH Habib Ziadi juga menolak patung tersebut karena  bertentangan dengan agama Islam. Seharusnya Jokowi tidak berkenan dibuatkan patung ketika kondisi negeri sedang dirundung bencana. Lebih baik, Jokowi memikirkan janji-janji kampanye yang belum dituntaskan selama empat tahun menjabat. Ahmad Riza Patria sebelum menjabat Wagub DKI, mengatakan Jokowi tidak berjasa untuk negeri ini sehingga sampai harus dibuatkan patung. “Biasanya patung itu dibangun untuk yang berjasa dan yang sudah meninggal. Dibangun untuk mengenang dan mengapresiasi jasa orang tersebut. Biasanya yang dibangun patung itu, pahlawan. Pak Jokowi jasanya belum ada, harus diuji juga,” kata Riza. Pak SBY 10 tahun memimpin negeri ini tidak minta dibuatkan patung, Bu Mega, Gus Dur juga tidak minta patung. Pak Jokowi juga bukan pahlawan. Masih banyak tokoh di seluruh Indonesia yang jasanya besar, tidak minta dibikinkan patung. Kalaupun Jokowi memang dinilai berjasa untuk Indonesia, dia harusnya menolak dibikinkan patung. Ini menunjukkan kebijaksanaan dari seorang pemimpin. Tokoh besar itu low profile. Itu namanya tokoh beneran. Kalau membiarkan orang bikin patung, bukan orang besar, kebangetan namanya. Patung Jokowi di Hongkong, Sunu, Flores, dan Mandalika menunjukkan Jokowi telah dijadikan “berhala”, untuk dipuja. Di Senayan para petualang politik tak kalah sigap, mereka juga “memberhalakan” Jokowi. Tiga pimpinan partai politik Airlangga Hartarto (Golkar), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Zulkifli Hasan (PAN) telah terang-terangan menunjukkan sikapnya mendukung penundaan Pemilu dari 2024 ke 2027. Ini artinya Jokowi menikmati jabatan gratis selama 3 tahun. Padahal, ketiga pimpinan Parpol tersebut sebelumnya telah menyetujui Pemilu 2024 dilaksankan pada Februari 2024 berikut tahapannya. Tanpa rasa malu mereka mengubah pandangan, hanya demi hasrat pribadi dan kelompoknya. Sebuah pengingkaran demokrasi yang sangat radikal. Begitulah adanya. Oleh sebagian orang, Jokowi telah diberhalakan secara gamblang. Ia dipuja-puja sesukanya. Ia dikultuskan sekehendaknya. Kekurangannya mereka sembunyikan sedalam-dalamnya, sedikit prestasinya mereka angkat setinggi-tingginya. Inilah konsep Mikul Dhuwur Mendhem Jero yang salah kaprah. Jokowi telah diperkosa untuk dijadikan obyek sesembahan, yang bisa memberikan pencerahan dan kesejahteraan. Ia dipoles dengan indah untuk memancarkan seberkas sinar yang diyakini bisa memberikan penerangan di tengah kegelapan. Padahal, semua itu absurd, fatamorgana, dan rekayasa.  

Jokowi dan Istana Sumber Kegaduhan

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) merupakan sumber kegaduhan utama di negeri Pancasila ini. Tanpa menunjukkan sebagai negarawan, ketika memperkenalkan anggota kabibetnya pada 23 Oktober 2019, ia dengan jelas dan lugas telah memantik dan menyalakan sumber kegaduhan dari dalam Istana Kepresidenan. Saat itu, ia memperkenalkan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama Republik Indonesia.  \"Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri Agama,\" ucap Jokowi yang membacakan nama menteri sembari duduk di tangga Istana Merdeka, Rabu, 23 Oktober 2019. \"Ini untuk urusan berkaitan radikalisme, ekonomi keumatan dan terutama haji,\" kata Jokowi. Mendapat perintah seperti itu, Fachrul Rozi, mantan Wakil Panglina TNI (Tentara Nasional Indonesia) itu pun langsung tancap gas meng-obok-obok Islam dan menyakiti umat Islam. Semasa menjabat sekitar satu tahun (ia diganti pada 23 Desember 2020), Fachrul yang juga beragama Islam itu memulai pernyataan dengan mengatakan, ia adalah menteri buat semua agama, bukan hanya menteri yang mengurusi satu agama, yaitu Islam. Pernyataannya itu ada benarnya. Akan tetapi, mestinya ia tetap berpihak kepada agama Islam, bukan memusuhinya, apalagi turut menistakannya. Selama menjabat Menag, setidaknya ia membuat empat kegaduhan. Pertama, mengenai pakaian cadar di instansi pemerintah dan ancaman keamanan. Padahal, pakaian termasuk budaya. Menggunakan pakaian yang sesuai dengan budaya di Indonesia merupakan salah satu penghormatan terhadap hak azasi manusia, yaitu kebebasan memeluk agama dan menjalankannya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Anehnya, kok dia tidak mempersoalkan cara pakaian ASN yang seenaknya juga. Misalnya, masih ada yang memperlihatkan dada dan paha (maaf ya, bagi kaum hawa yang berpakaian sopan). Kedua, mengkritik atau bahkan memusuhi penggunaan celana cingkrang di kalangan ASN (Aparstur Sipil Negara) yang tidak sesuai aturan. Padahal, itu juga termasuk budaya dan kebebasan dalam menjalankan keyakinan. Pertanyaannya, kok dia tidak mengkritisi orang yang berpakaian seenaknya?  Ketiga, mengajak supaya berdoa menggunakan Bahasa Indonesia. Keempat, mengajak umat Islam meninggalkan ceramah yang membodohi. Karena alasan tersebut, ia pun lantas mengeluarkan ide agar penceramah, terutama yang menjadi khatib Jumat bersertifikat Kemenag.  Setelah Fachrul Razi muncullah Yaqut Cholil Qoumas. Ucapannya hampir sama, menyakiti hati umat Islam. Keduanya sama-sama ikut mengadu-domba dan memecah-belah umat Islam. Keduanya pernah sama-sama menjadi komandan. Yang satu komandan di militer (Fahcrul Razi) dan yang satu Ketua GP Ansor dan Ketua/Komandan Banser.  Cobalah kita mengikuti media sejak Yaqut dilantik menjadi Menag. Ucapannya lebih banyak grasak-grusuk.  Mestinya, sebagai Menag ia harus lebih pro kepada umat Islam, walaupun ia menteri untuk seluruh agama yang ada di Indonesia. Tidak salah jika ada keberpihakan. Tidak salah juga jika sesekali mengeluarkan pernyataan yang membuat hati umat beragama, terutama umat Islam lebih tenteram dan nyaman. Akan tetapi, bukanlah disebut menteri bagi seluruh agama, jika tidak menonjok umat Islam yang mayoritas di negeri yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini. Bukanlah menteri urusan seluruh agama, jika Yakut tidak membuat negeri yang sudah gaduh, semakin gaduh lagi. Terakhir, keputusannya mengatur toa atau speaker masjid dan musola yang menuai kecaman keras dari organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam, para ulama, habaib, ustaz dan tokoh agama Islam. Bahkan, kecaman juga datang dari pemeluk agama lain. Misalnya, umat Kristen yang tidak merasa terganggu suara azan dari pengeras suara masjid dan musola dekat rumahnya.  Ketika mendapatkan kritik dan hujatan, ia malah membandingkan toa dengan gonggongan anjing. Ia mengumpamakan ketika dirinya tinggal di sebuah kompleks perumahan, yang penghuni depan, belakang, kiri dan kanan memelihara anjing. Nah, ketika seluruh anjing itu mengggonggong, tentu membuat kebisingan. Jadi perlu pengaturan suara. Analogi toa dan anjing menggonggong yang sangat bertolak belakang. Kalau pengaturan suara toa, sangat mungkin dilakukan. Akan tetapi, bagaimana mengatur gonggongan anjing yang berada di lingkungan, seperti yang dia umpamakan itu. Apakah pemilik anjing di depan rumahnya, di belakang rumahnya, di samping kiri dan kanan bisa mengatur gonggongan hewan peliharaannya itu? Entah bagaimana analogi Yaqut itu. Kegaduhan demi kegaduhan terus dipupuk Joko Widodo dan jajarannya di negeri ini. Dia seakan diam seribu bahasa jika ada menterinya membuat gaduh.   Gaduh belakangan juga tidak hanya bersumber dari Lapangan Banteng, Jakarta Pusat (Kantor Kemenag yang lama, selain gedung mentereng di Jalan MH.Thamrin, Jakarta Pusat). Akan tetapi, juga gaduh dari sekitar Stasiun Gambir. Ya, gaduh karena lonjakan harga kacang kedele, yang menjadi sumber bahan baku tahu dan tempe. Karena lonjakan harga yang sangat memberatkan para pengrajin tahu dan tempe, mereka pun melakukan aksi mogok. Alih-alih menenangkan hati para pengrajin. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyebutkan, salah satu biang kerok harga kedelai naik di pasaran adalah karena babi. Cuitannya di Twitter itu pun mendapatkan kecaman pedas baik dari pengamat, rakyat biasa sampai pengrajin tahu dan tempe. Dari dua menteri yang membuat gaduh belakangan ini, adakah yang sudah ditegur atau dipanggil oleh Jokowi? Kita belum mendapatkan informasi akan hal itu. Atau barangkali ada teguran, tetapi wartawan, terutama yang sehari-hari  meliput di Istana Kepresidenan tidak mendapatkan informasinya. Padahal, teguran itu sangat penting dan harus diumumkan ke rakyat. Hal itu penting dilakukan supaya persoalan tidak melebar kemana-mana.  Sebagai contoh, Presiden Soeharto pernah menegur menterinya, Sarwono Kusumaatmadja. Setelah dipanggil Pak Harto, Sarwono kepada wartawan mengatakan, \"Saya diminta mengubah tabiat.\" Nah, jika Jokowi tidak menegur menterinya yang membuat gaduh, berarti apa yang diucapkan bawahannya itu merupakan restu dari dia.  Dapat dipastikan, sumber kegaduhan itu berasal dari Jokowi dan lingkungan Istana Kepresidenan. Apalagi, jika mengingat menteri tidak mempunyai visi dan misi. Yang punya hanya Jokowi sebagai presiden. (*)

Hubungan NU dan PKB Memanas, Cak Imin Didepak, Yenny Wahid Disiapkan Jadi Ketua Umum

BULAN Januari 2022 yang lalu, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sidoarjo, Bondowoso dan Banyuwangi dipanggil menghadap ke Pengurus Besar (PB) NU, di Jakarta. Pemanggilan itu merupakan teguran keras PBNU di bawah kepemimpinan Yahya Cholil Staquf atas tindakan tiga PCNU yang melakukan politik praktis, mendukung Ketua Umum PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Muhaimin Iskandar menjadi bakal calon presiden 2024.   Apa yang dilakukan PBNU terhadap bawahannya itu terkesan biasa saja. Padahal, sarat dengan seribu isyarat. Biasa, karena PBNU ingin menjaga marwah dan wibawanya sebagai organisasi masyarakat (Ormas) Islam terbesar di Indonesia itu supaya lepas dari politik praktis.  Lepas dalam arti secara lembaga, PBNU dan jaringannya tidak boleh terlibat dalam politik praktis, apalagi dukung-mendukung Capres 2024. Secara pribadi, masing-masing pengurus bebas menyalurkan aspirasi politiknya dan menjatuhkan pilihan politiknya kepada partai mana pun dan kepada siapa pun yang bakal menjadi Capres dan Cawapres 2024.  Ketua Umum PBNU, Yahya Staquf menegaskan, ormas Islam yang dipimpinnya tidak mendukung salah satu parpol atau capres pada Pilpres 2024 mendatang. Ucapannya itu sebagai bentuk penegasan atau pengingat kembali keputusan Muktamar PBNU di Makassar, Maret 2010. Akan tetapi, mengizinkan warga NU bebas memilih partai politik pada Pemilu mendatang. \"Atas nama lembaga PBNU tidak boleh (mendukung parpol atau calon presiden). Tetapi, kalau atas nama pribadi bebas, boleh asal tanggung jawab,\" kata Yahya, di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis, 17 Februari 2022.  Jika diamati, ucapan Yahya itu seakan-akan biasa, menginginkan kembali ke keputusan Makassar. Ucapannya itu seakan mengingatkan semua pihak, terutama kalangan Nahdiyin, supaya organisasi yang didirikan KH. Hasyim As\'ari itu kembali ke khittah-nya. Padahal, dibalik ucapan Yahya itu ada pesan tajam yang ditujukan kepada Muhaimin Iskandar dan PKB-nya supaya tidak menggunakan NU sebagai tempat kampanye. NU jangan dijadikan tempat bernaung politisi PKB. Kalimatnya kira-kira, \"Muhaimin, Anda tidak bisa melakukan manuver politik lewat NU, lewat kiai-kiai NU. Anda jangan coba-coba, saya siap menghadangnya.\" Mengapa seperti itu? Sebab, PKB tidak akan ada apa-apanya tanpa NU dan kiai NU. Sebaliknya, NU tetap jaya dan berkibar, tanpa PKB. Buktinya, PKB kan baru lahir di era reformasi. Pendirinya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketum PBNU yang menjadi Presiden Indonesia keempat bersama beberapa tokoh NU lainnya. NU sudah berdiri sejak 1926, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Kembali ke PKB. Ada dugaan PBNU tidak suka dengan manuver Muhaimin Iskandar. Intinya, ia mau dikunci dari berbagai penjuru, sehingga langkah-langkah politiknya terhambat. Muhaimin terus dijegal dan langkah politiknya akan dibegal. NU dan PKB kini sedang bermain api. Padahal, Yahya juga aktivis PKB, meskipun bukan pengurus. Bermain api dalam arti ada bidikan yang lebih panas yang ingin dilakukan Yahya yang merupakan mantan Juru Bicara Gus Dur itu. Yahya dan gerbongnya siap mengambil-alih lokomotif PKB. Sebuah sumber menyebutkan, manuver Yahya dan gerbongnya tidak lain adalah juga merupakan buntut Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama di Lampung, 22-24 Desember 2021 yang lalu. Ia terpilih menjadi Ketua Umum PBNU periode 2021-2026. Semua tahu, Muhaimin Iskandar adalah pendukung petahana, Said Aqil Siradj (SAS). Waktu itu, Sekretaris Tim Kerja SAS, Amin Nasution mengklaim SAS didukung 420 suara, terdiri dari 21 PWNU dan 399 PCNU. Akan tetapi, nyatanya kalah. Nah, Muhaimin Iskandar dan barisannya yang umumnya kiai NU yang ada di PKB kini dihadapkan pada masa sulit. Sebab, selain dijegal agar pengurus NU tidak menggadang-gadangnya jadi Capres/Cawapres 2024, juga terancam didepak dari posisinya sebagai Ketua Umum PKB. Skenario ke sana sudah mulai dirancang. Tidak lama lagi, Muktamar Luar Biasa (MLB) PKB akan diselenggarakan. MLB dianggap penting, mengingat  dalam menjalankan partai, Muhaimin dianggap semena-mena. Masih ingat, pada April 2021 yang lalu sejumlah kader PKB di daerah juga mendesak supaya MLB digelar. Kini, MLB juga dianggap sebagai upaya menyelamatkan partai supaya suaranya tidak semakin tergerus pada Pemilu 2024. Muhaimin Iskandar, selain dinilai semena-mena, juga oligarkis dan nepotisme. Lalu bagaimana skenario kepemimpinan PKB jika MLB dilakukan? Kabarnya, yang akan menjadi Ketua Umum PKB adalah Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, putri almarhum Gus Dur. Sedangkan yang menjadi Sekjen PKB adalah H Yaqut Cholil Qoumas, yang kini Menteri Agama. Bendahara akan dipegang Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur. Kita menunggu apa yang sebenarnya terjadi antara NU dan PKB. Sebagai nahdiyin, kita berharap agar NU lebih banyak melayani umat, lebih banyak memikirkan ekonomi dan kesejahteraan umat. Urusan partai, supaya benar-benar diserahkan kepada individu atau pribadi masing-masing.  Hingga editorial ini diturunkan belum ada tanggapan dari PKB. Dua petinggi PKB, Jazilul Fawaiz dan Lukman Hakim belum merespon WA dari FNN.co.id. (*)

Yaqut Harus Kukut

AKROBAT Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas makin liar. Narasi yang dibangun selalu membentur-benturkan umat Islam. Kebijakan  yang dihasilkan selalu mengundang keributan. Kalimat yang dilontarkan tak menunjukkan seorang menteri yang bijak, dewasa, dan berisi. Pas dengan pepatah “Tong Kosong, Nyaring Bunyinya.” Paling anyar, Yaqut mengeluarkan statement yang sungguh kasar dan menghina. Ia membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing. Kalimat yang keluar dari mulutnya penuh kesadaran. Bukan keseleo lidah, bukan tidak sengaja. Jadi, jika kelak ia minta maaf, dipastikan itu cuma action dan cari selamat. Simak kalimat di bawah ini yang diambil dari komentar Yaqut di video yang viral. “Yang paling sederhana lagi, tetangga kita, kalau kita hidup di suatu kompleks, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua, misalnya menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita terganggu nggak? Artinya apa, bahwa suara-suara ini, apa pun suara itu, ini harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan. Speaker di mushola dan masjid monggo dipakai, silahkan, tetapi tolong diatur agar tidak ada yang merasa terganggu.” Yaqut tidak hanya kelebihan beban menjabat sebagai Menteri Agama. Ia juga terlihat kewalahan melayani libido pembenci Islam. Akibatnya, semakin terbaca dengan jelas kualitas otak seorang Yaqut. Hampir semua kebijakannya bikin kontroversi dan gaduh. Jejak digitalnya telah menjelaskan semuanya. Menteri Yaqut sepertinya lupa diri, apakah dia sedang berperan menjadi Komandan Banser atau menteri semua agama. Yaqut juga tampaknya sedang mabuk jabatan sehingga terus berakrobat guna menarik perhatian masyarakat. Yang jelas ia tidak paham menduduki jabatan menteri, sehingga ucapan, tindakan, dan kebijakannya tidak selevel dengan jabatan di kementerian. Mungkin ia lebih cocok sebagai kepala regu sebuah ormas, koordinator demo, atau ketua satgas penjagaan tempat ibadah. Ia sama sekali tak mencerminkan sosok pejabat publik. Perangainya pemarah, hawanya selalu bermusuhan, dan ucapannya nyinyir plus provokatif. Anehnya, yang dimusuhi dan diprovokasi adalah agama dan umat Islam. Umat terbesar di negeri ini dan ia ada di dalamnya. Mengapa ia tidak nyaman berada satu barisan dengan umat yang sama. Mengapa ia gerah dengan umat Islam yang bukan NU. Mengapa ia kepanasan dengan perbedaan di dalam Islam itu sendiri?  Padahal, pada momen-momen yang lain mulutnya fasih melafalkan “Perbedaan adalah Rahmat”, ’Keberagaman adalah Anugerah.” Sebuah keberkahan dari Allah yang wajib kita syukuri dan sikapi dengan bijak. Tapi nyatanya, Yaqut sangat radikal memusuhi Islam. Sejak Yaqut menjadi menteri, kegaduhan demi kegaduhan terproduksi dengan masif dan brutal. Munafikkah? Entahlah. Sepertinya tidak ada isu lain yang bisa digarap Yaqut. Entah karena kemampuan terbatas sehingga tidak masuk ke dalam radar pemikirannya atau ia hanya menjalankan perintah atasannya. Maklum, inilah era di mana semua kebijakan harus satu komando, satu warna, dan satu visi. Buku pelajaran agama dibuatkan modulnya,  guru dan dosen agama didikte, dan  khutbah Jumat dibuatkan narasinya. Inilah penampakan nyata dari praktik menjalankan kekuasaan semau gue atau  emang gue pikirin. Banyak sekali pekerjaan yang bisa dilakukan Yaqut, sehingga tidak melulu hanya mengurusi intoleransi. Apakah Yaqut pernah menengok gizi buruk para santri? Apakah Yaqut pernah mengecek sanitasi tidak layak pondok-pondok pesantren? Apakah Yaqut pernah menawarkam inovasi di pondok pesantren, apakah ia pernah berdiskusi bagaimana pondok pesantren bisa menjadi kekuatan umat yang nyata? Apakah ia pernah merasa prihatin atas maraknya narkoba masuk pesantren, guru ngaji memerkosa santri, dan ambruknya rumah ibadah.  Apakah Menag pernah membayangkan bagaimana cara menaikkan kualitas dan kapabilitas guru-guru ngaji, guru honorer, dan majelis taklim. Apakah Yaqut pernah berpikir bagaimana proses keterlibatan anak-anak muda main judi online, pelacuran online dan perdukunan online. Jangan bilang itu tugas polisi ya, Qut? Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mendegradasi umat Islam. Yang ia perjuangkan adalah bagaimana penambahan uang Rp11 Miliar di kantong Yaqut aman dan tak disidik KPK. Sikap aneh Yaqut inilah yang memaksa umat  mem- bully -nya, bahkan mengolok-olok. Belum  pernah dalam sejarah Kementerian Agama Republik Indonesia, menterinya dihujat umatnya yang seagama. Penghujatan tersebut sesungguhnya bentuk kasih sayang. Mereka menyayangkan sikap menteri yang diterima umat terbesar negeri ini. Mereka kasihan, seorang menteri wawasannya hanya seputar intoleransi, radikalisme, dan kebersamaan. Padahal tak perlu diberi khutbah, umat sudah paham apa itu keberagaman dan sejenisnya. Kelompok Yaqut pasti akan bertanya umat yang mana. Tentu saja hanya ada dua: terlibat atau masa bodoh. Mereka yang tidak kritis terhadap ulah menterinya adalah mereka yang satu gerbong dengan menaati atau acuh tak acuh dengan kondisi keagamaan dan keumatan. Di luar itu masih banyak orang peduli, kritis, dan punya harapan ke depan agar bangsa ini lebih baik. Saatnya Yaqut harus kukut. (*)

Ganjar Bablas di Wadas

SIAPA yang tak terpesona menyaksikan cara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bertutur? Bahasanya santun, kalimatnya runtut, dan intonasinya pas. Setiap orang pasti suka menyimak, bahkan sampai akhir pembicaraan. Ganjar telah menemukan cara berkomunikasi yang baik dan membius. Maka ketika April 2021 warga desa Wadas pun terkagum-kagum pasca bertemu dengan Ganjar Pranowo. Apalagi Ganjar berjanji dalam seminggu atau dua minggu siap dialog kembali dengan warga Wadas. Ketika itu aparat yang dikerahkan ke Wadas hanya sekitar 500-an personil. Warga punya harapan besar terhadap janji Ganjar. Warga yakin Ganjar bisa menyelesaikan masalah. Namun Ganjar baru bisa datang kembali ke Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, setelah 10 bulan kemudian. Itu pun setelah Wadas porak poranda digeruduk ribuan polisi dan viral mengguncang dunia. Inilah tragedi paling memilukan sepanjang peradaban Indonesia, sebuah desa kecil yang tak dikenal, bahkan oleh orang Purworejo sendiri, dijadikan obyek perebutan ambisi. Orang desa yang sudah nyaman dengan budaya dan pola hidupnya yang bersahaja harus menyingkir oleh beberapa lembar kertas Surat Keputusan Gubernur Nomor 509/41 Tahun 2018 pada tanggal 7 Juni 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.  Ganjar bukan menyelesaikan masalah tetapi justru bagian dari masalah. Atas nama pembangunan masyarakat pedesaan yang hidup dengan damai, aman, dan tenteram harus minggir untuk masa depan yang tak jelas. Mereka pasrah diinjak sepatu dan disergap senapan kekuasaan. Wadas bakal meranggas. Sejak tragedi Wadas, warga punya penilian sendiri tentang Ganjar. Tak pernah disangka di balik bahasa yang santun, runtut dan halus, ternyata tersimpan pesan menipu. Orang takjub pada artikulasi bahasa Ganjar yang enak didengar dan gerakan bibir yang indah, namun mereka lupa menyimak makna yang tersirat di dalamnya. Ada kekejaman dibalik kehalusan. Hari ini, masyarakat mafhum siapa Ganjar. Kalimatnya bersayap dan penuh pesan tersembunyi. Lihat saja, dalam menghadapi kemarahan warga desa Wadas yang kampungnya dikepung ribuan polisi,  Ganjar selalu menyebut pentingnya Bendungan Bener bagi kelangsungan pertanian. Menolak proyek pembangunan yang merupakan Proyek Strategis Nasional sama saja menolak program pemerintah. Narasi Ganjar selalu membenturkan warga Wadas dengan Proyek Pembangunan Bendungan Bener. Ia ingin menciptakan kesan bahwa warga Wadas menolak Bendungan Bener. Dalam konferensi pers yang digelar di Polres Purworejo, pasca penyerbuan polisi, Ganjar lagi-lagi menyebut bahwa Bendungan Bener adalah Program Strategis Nasional. Penggiringan opini didukung oleh sebuah media dengan menuliskan judul “Ganjar Hormati Warga Yang Tolak Pembangunan Bendungan Wadas”. Padahal yang ditolak warga Wadas adalah penambangan batu andesit di desanya. Warga Wadas sebagaimana pernyataan Kepala Desa Fahri Setyanto setuju dengan adanya Bendungan Bener. Warga Wadas tahu aktivitas penambangan tidak ada hubungannya dengan Bendungan Bener, sebagaimana yang diungkap oleh anggota DPRRI Desmon J. Mahesa yang menyatakan bahwa diduga telah terjadi penyelundupan hukum yang memberi kesan bahwa proyek penambangan termasuk dalam Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener. Akan tetapi oleh Ganjar selalu dikait-kaitkan. Ganjar terus saja memframing bahwa  penolakan penambangan andesit sama saja penolakan bendungan. Narasi Ganjar selalu mengarah pada kesan warga Wadas menolak  Bendungan Bener. Tidak. Warga Wadas setuju pembangunan Bendungan Bener. Warga Wadas menolak desanya dikeruk untuk bendungan yang jaraknya 10 km itu. Sumpah serapah terhadap Ganjar di berbagai tempat dan desa Wadas tak terhitung jumlahnya. “Ganjar Ojo Lamis Stop Tambang, Kami Tetap Menolak Perpanjangan SK IPL, Tolak Pertambangan di Bumi Wadas, Cabut IPL Quary Wadas, Kami Bukan Anarko, Petani Adalah Penolong Negeri, Wadas Melawan, Orang Yang Tidak Pernah Mencangkul Tanah Justru Paling Rakus Menjarah Tanah dan Merampas Hak Orang Lain”. Warga meluapkan kekesalan dan kekecewaan terhadap Ganjar karena menertibkan SK Gubernur perihal penambangan di desa Wadas. Warga heran mengapa hak warga desa untuk hidup nyaman tanpa aktivitas tambang diabaikan. Warga menolak karena mereka sudah lama hidup nyaman, kebutuhan hidup sudah terpenuhi dengan memanfaatkan alam secara turun temurun. Mereka khawatir 7 mata air yang menghidupi 1.400-an warga Wadas bakal lenyap jika desanya ditambang. Mereka juga bakal kehilangan sumber kehidupan dari hewan dan tumbuhan serta alam. Kerusakan lingkungan sudah pasti bakal terjadi. Ini yang ditolak warga. Ganjar memang pintar bersilat lidah. Bibirnya yang tipis, mampu membius perhatian orang. Lugas dan apa adanya. Ia pun tak sungkan mengaku di ruang publik bahwa ia menggemari film porno. Ia juga tak malu pakai kaos dengan sablonan \"Uaasu Kabeh\" (Anjing Semua). Dulu saat nyagub Ganjar gemar blusukan. Di Karanganyar Ganjar mengaku sebagai orang Karanganyar, di Purworejo Ganjar mengaku sebagai orang Purworejo, di Banyumas demikian juga, ia mengaku sebagai orang ngapak. Ganjar pintar mengambil hati orang, tapi Ganjar lupa banyak orang yang menyimak ucapan dan tindakannya. Tak sejalan. Sebelum ini Ganjar juga pandai bersandiwara. Di persidangan kasus korupsi EKTP, Ganjar tampil dengan \"tegas dan ksatria\". Dengan penuh percaya diri dan mayakinkan di ruang sidang, Ganjar bersaksi bahwa ia menolak sogokan duit USD 250 ribu. Pemuja Ganjar sontak guling-guling dan mewek penuh haru, ada seorang pejabat yang begitu teguh imannya, tak tergoda sedikit pun ajakan berkolusi, bahkan dengan imbalan USD 250 ribu. Inilah sosok pemimpin masa depan, jujur, tegas,  dan antikorupsi. Naman sial, di persidangan berikutnya, pengadilan menghadirkan saksi lain bernama Andi Narogong yang menyatakan Ganjar menerima duit EKTP. Bahkan Setya Novanto sendiri yang kini masih  mendekam di LP Sukamiskin bersaksi bahwa Ganjar menerima USD 500 ribu. Dalam kesaksiannya, Andi menyatakan bahwa Ganjar menolak pemberian uang sebesar USD 250 ribu. Penolakannya bukan karena takut korupsi tetapi karena kurang banyak. Ganjar ingin nominalnya sama dengan ketua DPR RI Serta Novanto yang menerima USD 500 ribu. Setelah jumlahnya disamakan dengan sang Ketua, Ganjar pun ho oh saja. Ganjar pandai bermain peran. Ganjar pintar mengolah kata-kata. Tapi Ganjar tak bisa coba-coba membenturkan rakyat Wadas dengan Proyek Strategis Nasional. Ganjar tak bakal bisa berdusta lagi. Ganjar Insya Allah bablas di Wadas. (*)

Yesus, Kasihanilah Ferdinand, Please

MELIHAT akrobat Ferdinand Hutahaean sesungguhnya kita layak iba dan kasihan. Ia sosok pekerja keras. Ibarat pepatah kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, jungkir balik entah untuk sesuap nasi atau segudang ambisi. Ia tak kenal waktu, banting tulang siang jadi malam, malam jadi siang. Ia tak tahu lagi mana tulang punggung, mana tulang otak belakang.  Ferdinand tipikal manusia tangguh. Semua profesi pun pernah ia jajal. Dari pengamat, politisi, hingga pegiat medsos (media sosial).  Ia pernah menjadi pengamat energi. Akan tetapi, analisisnya kadang narsis dan naif. Background atau latar belakang pendidikannya yang tak jelas, sering membuat pernyataannya menjadi bahan tertawaan. Pada Pilpres 2014, Ferdinand menjadi pendukung radikal Jokowi. Ia bikin atraksi yang fenomenal yakni menggelar aksi bentang 1.161 spanduk dukungan untuk Jokowi di berbagai lokasi di Jakarta.  Entah karena apa, pada 2018, Ferdinand berbalik arah, ia menarik dukungan itu. Ia kemudian bergabung dengan Partai Demokrat. Bahkan, ia melakukan tindakan kurang elok dengan walkout alias ke luar ruangan saat Presiden Jokowi berpidato. Menurut pengakuannya, ia walkout merupakan wujud ekspresi kekecewaannya karena janji politik  Jokowi tidak ditepati, terutama tiga hal, yaitu menolak utang luar negeri, mempersulit asing, dan masalah subsidi. Saat menjadi politisi di partainya SBY itu, ia juga tidak pernah bisa menjadi wakil rakyat. Pencalegannya gagal, peroleh suaranya minim. Maklum, pikirannya hanya menjilat dan menjilat petinggi Demokrat. Berselang dua tahun, ia juga keluar dari Partai Demokrat. Sejak keluar dari Demokrat, Ferdinand terus memposisikan diri sebagai orang yang berseberangan dengan kelompok yang dianggapnya garis keras, kadrun, dan tuduhan kasar lainnya.  Jauh sebelum itu, Ferdinand pernah \"di-Islamkan\" oleh Bambang Wiwoho. Bahkan, ia pernah satu barusan dengan oposisi. Namun, belakangan ia kembali lagi ke habitatnya. Ia kini banyak menekuni media sosial. Bahasa dan provokasinya sudah mirip buzzer istana. Konten dan narasinya menebar kebencian dan memusuhi Islam. Tetapi, sejauh ini  belum ada kabar ia direkrut  menjadi tukang gonggong istana. Pun demikian, ia tidak mudah menyerah. Ia terus memproduksi hal-hal sensitif yang nyerempet SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan). Tujuannya sudah bisa ditebak, menadapat perhatian istana. Namun, harapannya agar cepat dilirik penguasa supaya direkrut menjadi  loyalis buta tuli, selalu gagal. Sadar tak cepat dilirik penguasa, cuitannya pun ia naikkan tensinya agar vulgar, viral, dan trending. Ia menuduh Tuhan umat Islam, Allah, lemah sehingga perlu dibela. Sementara Tuhan dia perkasa dan tangguh sehingga tidak perlu dibela. Pernyataan di Twitter inilah yang memunculkan  kemarahan umat Islam. Ia betul-betul sial. Cuitannya kali ini berdampak serius terhadap umat Islam. Tuntutan agar Ferdinand diborgol makin deras. Politisi PDIP Kapitra Ampera menilai cuitan Ferdinand sudah kebablasan dan kategori penistaan agama. Tidak hanya umat Islam yang mengecam Ferdinand. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menegaskan pernyataan Ferdinand Hutahaean tak mewakili umat Kristen. PGI menyerahkan kasus itu ditangani oleh pihak kepolisian.  Jika rezim masih pikir-pikir menjerat Ferdinand, bisa jadi kasusnya membesar seperti kasus Ahok. Semuanya sudah jelas. Penghapusan cuitan oleh Ferdinand, akan sia-sia belaka. Justru ini menunjukkan dia takut dan merasa bersalah. Apalagi ada saksi dan bukti berupa screenshot. Keterangan ahli hukum dan ahli analisis bahasa juga semakin menguatkan,  Ferdinand tidak bisa melenggang. Pelaporan Ferdinand oleh Ketua Umum KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), Haris Pertama ke pihak kepolisian, menunjukkan kasus tersebut sulit dimaafkan. Umat Islam menunggu sikap profesionalitas polisi. Jika polisi tidak proporsional pada kasus ini, maka akan memicu sikap apatis publik terhadap polisi. Ini menambah deretan panjang faktor-faktor pemicu sikap kepercayaan publik menjadi rendah terhadap institusi Polri. Peristiwa 212 bisa terulang kembali. Jika Ferdinand mengaku khilaf dan meminta maaf, umat Islam pasti memaafkan. Akan tetapi, proses hukum tetap harus berjalan agar menjadi pembelajaran kepada siapa pun soal pentingnya keadaban di ruang sosmed. Sebagai penganut Kristen selain meminta maaf kepada umat Islam,  ia juga pantas memohon doa kepada Tuhannya, Yesus supaya menolongnya sehingga kasus yang menimpanya tidak sampai ke pengadilan. Memohon pertolongan kepada Tuhan masing-masing penganut agama yang diakui di Indonesia adalah sesuatu yang pasti. Yang tidak mohon doa kepada Tuhan hanyalah penganut komunis dan ateis.   Sikap verbal basisnya adalah ilmu dan wisdom bukan emosi kebencian yang memantik permusuhan sesama anak bangsa.  Jika boleh ditebak mengapa Ferdinand makin liar, sepertinya ia ingin seperti teman dan sahabatnya yang begitu mudah merengkuh jabatan hanya dengan modal cuitan. Tidak perlu mikir terlalu dalam, asal cuitannya bisa mengusik ketenangan dan memancing kemarahan, maka itu bagian dari kesuksesan. Semakin gaduh dan ricuh, semakin cepat jabatan itu digenggam.  Di era rezim ini, untuk bisa satu kolam dengan kekuasaan, tidak perlu keahlian khusus. Di era sekarang,  kepakaran dikubur dalam-dalam, yang penting bisa gaduh dan banyak omong, maka jabatan yang diinginkannya segera terwujud. Ferdinand terus mengejar imajinasi agar bisa sejajar dengan buzzer-buzzer lainnya. Maklum yang lain sudah nyaman dengan jabatannya, rata -rata komisaris BUMN. Sementara ia masih terus berjibaku mencari perhatian.  Sepertinya, masih ada satu jabatan komisaris untuk dia, yakni komisaris Bank tapi Bank Sampah. Sampah Peradaban. (*)