Yesus, Kasihanilah Ferdinand, Please

MELIHAT akrobat Ferdinand Hutahaean sesungguhnya kita layak iba dan kasihan. Ia sosok pekerja keras. Ibarat pepatah kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, jungkir balik entah untuk sesuap nasi atau segudang ambisi. Ia tak kenal waktu, banting tulang siang jadi malam, malam jadi siang. Ia tak tahu lagi mana tulang punggung, mana tulang otak belakang. 

Ferdinand tipikal manusia tangguh. Semua profesi pun pernah ia jajal. Dari pengamat, politisi, hingga pegiat medsos (media sosial).  Ia pernah menjadi pengamat energi. Akan tetapi, analisisnya kadang narsis dan naif. Background atau latar belakang pendidikannya yang tak jelas, sering membuat pernyataannya menjadi bahan tertawaan.

Pada Pilpres 2014, Ferdinand menjadi pendukung radikal Jokowi. Ia bikin atraksi yang fenomenal yakni menggelar aksi bentang 1.161 spanduk dukungan untuk Jokowi di berbagai lokasi di Jakarta. 

Entah karena apa, pada 2018, Ferdinand berbalik arah, ia menarik dukungan itu. Ia kemudian bergabung dengan Partai Demokrat. Bahkan, ia melakukan tindakan kurang elok dengan walkout alias ke luar ruangan saat Presiden Jokowi berpidato. Menurut pengakuannya, ia walkout merupakan wujud ekspresi kekecewaannya karena janji politik  Jokowi tidak ditepati, terutama tiga hal, yaitu menolak utang luar negeri, mempersulit asing, dan masalah subsidi.

Saat menjadi politisi di partainya SBY itu, ia juga tidak pernah bisa menjadi wakil rakyat. Pencalegannya gagal, peroleh suaranya minim. Maklum, pikirannya hanya menjilat dan menjilat petinggi Demokrat.

Berselang dua tahun, ia juga keluar dari Partai Demokrat. Sejak keluar dari Demokrat, Ferdinand terus memposisikan diri sebagai orang yang berseberangan dengan kelompok yang dianggapnya garis keras, kadrun, dan tuduhan kasar lainnya. 

Jauh sebelum itu, Ferdinand pernah "di-Islamkan" oleh Bambang Wiwoho. Bahkan, ia pernah satu barusan dengan oposisi. Namun, belakangan ia kembali lagi ke habitatnya.

Ia kini banyak menekuni media sosial. Bahasa dan provokasinya sudah mirip buzzer istana. Konten dan narasinya menebar kebencian dan memusuhi Islam. Tetapi, sejauh ini  belum ada kabar ia direkrut  menjadi tukang gonggong istana. Pun demikian, ia tidak mudah menyerah. Ia terus memproduksi hal-hal sensitif yang nyerempet SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan). Tujuannya sudah bisa ditebak, menadapat perhatian istana. Namun, harapannya agar cepat dilirik penguasa supaya direkrut menjadi  loyalis buta tuli, selalu gagal.

Sadar tak cepat dilirik penguasa, cuitannya pun ia naikkan tensinya agar vulgar, viral, dan trending. Ia menuduh Tuhan umat Islam, Allah, lemah sehingga perlu dibela. Sementara Tuhan dia perkasa dan tangguh sehingga tidak perlu dibela. Pernyataan di Twitter inilah yang memunculkan  kemarahan umat Islam.

Ia betul-betul sial. Cuitannya kali ini berdampak serius terhadap umat Islam. Tuntutan agar Ferdinand diborgol makin deras. Politisi PDIP Kapitra Ampera menilai cuitan Ferdinand sudah kebablasan dan kategori penistaan agama.

Tidak hanya umat Islam yang mengecam Ferdinand. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menegaskan pernyataan Ferdinand Hutahaean tak mewakili umat Kristen. PGI menyerahkan kasus itu ditangani oleh pihak kepolisian. 

Jika rezim masih pikir-pikir menjerat Ferdinand, bisa jadi kasusnya membesar seperti kasus Ahok. Semuanya sudah jelas. Penghapusan cuitan oleh Ferdinand, akan sia-sia belaka. Justru ini menunjukkan dia takut dan merasa bersalah. Apalagi ada saksi dan bukti berupa screenshot. Keterangan ahli hukum dan ahli analisis bahasa juga semakin menguatkan,  Ferdinand tidak bisa melenggang. Pelaporan Ferdinand oleh Ketua Umum KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), Haris Pertama ke pihak kepolisian, menunjukkan kasus tersebut sulit dimaafkan.

Umat Islam menunggu sikap profesionalitas polisi. Jika polisi tidak proporsional pada kasus ini, maka akan memicu sikap apatis publik terhadap polisi. Ini menambah deretan panjang faktor-faktor pemicu sikap kepercayaan publik menjadi rendah terhadap institusi Polri. Peristiwa 212 bisa terulang kembali.

Jika Ferdinand mengaku khilaf dan meminta maaf, umat Islam pasti memaafkan. Akan tetapi, proses hukum tetap harus berjalan agar menjadi pembelajaran kepada siapa pun soal pentingnya keadaban di ruang sosmed. Sebagai penganut Kristen selain meminta maaf kepada umat Islam,  ia juga pantas memohon doa kepada Tuhannya, Yesus supaya menolongnya sehingga kasus yang menimpanya tidak sampai ke pengadilan. Memohon pertolongan kepada Tuhan masing-masing penganut agama yang diakui di Indonesia adalah sesuatu yang pasti. Yang tidak mohon doa kepada Tuhan hanyalah penganut komunis dan ateis.  

Sikap verbal basisnya adalah ilmu dan wisdom bukan emosi kebencian yang memantik permusuhan sesama anak bangsa. 

Jika boleh ditebak mengapa Ferdinand makin liar, sepertinya ia ingin seperti teman dan sahabatnya yang begitu mudah merengkuh jabatan hanya dengan modal cuitan. Tidak perlu mikir terlalu dalam, asal cuitannya bisa mengusik ketenangan dan memancing kemarahan, maka itu bagian dari kesuksesan. Semakin gaduh dan ricuh, semakin cepat jabatan itu digenggam. 

Di era rezim ini, untuk bisa satu kolam dengan kekuasaan, tidak perlu keahlian khusus. Di era sekarang,  kepakaran dikubur dalam-dalam, yang penting bisa gaduh dan banyak omong, maka jabatan yang diinginkannya segera terwujud.

Ferdinand terus mengejar imajinasi agar bisa sejajar dengan buzzer-buzzer lainnya. Maklum yang lain sudah nyaman dengan jabatannya, rata -rata komisaris BUMN. Sementara ia masih terus berjibaku mencari perhatian. 

Sepertinya, masih ada satu jabatan komisaris untuk dia, yakni komisaris Bank tapi Bank Sampah. Sampah Peradaban. (*)

1648

Related Post