EDITORIAL
Demokrasi Terpimpin Gaya Baru
PEMANGGILAN pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) oleh Rektor UI Ari Kuncoro, Minggu kemarin menimbulkan kegaduhan. Penyebabnya, sang mahasiswa memosting poster di media sosial berjudul Jokowi The King of Lip Service disertai foto Presiden Jokowi mengenakan jas dan bermahkota raja. Ari Kuncoro sontak meminta klarifikasi atas pemuatan poster tersebut. Ia memanggil pengurus BEM UI. Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra membenarkan bahwa pemberian gelar kepada Presiden Jokowi sebagai 'the king of lip service' merupakan bentuk kritikan kepada pemerintah. BEM UI menilai banyak pernyataan Presiden Jokowi yang tidak sesuai dengan realita atau pelaksanaannya, seperti soal revisi UU ITE, omnibus law, ketidakadilan hukum, hingga kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Inti dari pemanggilan itu, BEM UI menolak tunduk untuk menghapus poster. Tak lama berselang warganet heboh. Ada yang pro, banyak yang kontra. Yang pro pemanggilan menganggap BEM UI terlalu lebay, bahkan ada yang menuduh BEM UI melecehkan simbol negara. Ade Armando, dosen FISIP UI malah menuduh dan menyerang pribadi Ketua BEM UI masuk lewat jalur nyogok. Tuduhan yang tidak elok, juga tidak berdasar. Ia melecehkan sendiri kampus tempat ia menumpang berkarier dan mengais rezeki. Yang kontra pemanggilan, menganggap kampus tidak bebas lagi berekspresi dalam mengemukakan pendapat. Kampus dikebiri dan telah dikendalikan rezim. Cara-cara Orde Baru mengerdilkan kampus telah diadopsi sedemikian rapi. Ada dua kemungkinan mengapa rektor kepanasan menyikapi meme. Pertama, rektor ditekan rezim. Kedua, rektor punya inisiatif sendiri memanggil mahasiswa. Maklum, sang rektor saat ini juga menjabat sebagai komisaris bank BUMN. Ia harus reaktif terhadap pemberi jabatan. Situasi ini jelas menunjukkan bahwa kampus berada dalam kendali rezim. BEM UI tidak sendirian. Solidaritas BEM seluruh Indonesia bergerak. Mereka memberi dukungan dan mengutuk cara-cara rezim mengerdilkan kampus. Aliansi 44 organisasi mahasiswa menyatakan bahwa pemanggilan oleh birokrat UI mengindikasikan bahwa aktor pemberangusan kebebasan berpendapat tidak hanya datang dari negara, tapi juga datang dari kampus. Sehingga sudah semakin nyata bahwa kebebasan sipil semakin kerdil dan menyerang suara-suara yang menyatakan kebenaran kepada publik. Ketua BEM Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Fikrah Aulia, menyatakan bakal terjadi gelombang yang lebih besar jika kampus dikekang. Pembungkaman terhadap kampus, rektor, dan mahasiswa sesungguhnya menunjukkan praktek demokrasi terpimpin yang nyata. Apalagi fungsi legislatif yang disetel untuk selalu mengamini kebijakan eksekutif, semakin menunjukkan negara ini disetting dengan cara otoriter. Bangsa ini pernah memilih praktik demokrasi terpimpin, dimana presiden berperan sebagai penguasa paling tinggi. Sistem pemerintahan ini mulai diberlakukan pada 5 Juli 1959 dan berkahir 1965, di bawah pemerintahan Presiden Soekarno kala itu. Dengan berlakukan sistem demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno pada masa itu bisa mengubah berbagai peran wakil rakyat yang dianggap tidak sejalan dengan kehendaknya, khususnya di bidang politik. Fungsi partai politik sangat terbatas. Keberadaannya hanya sebatas pelengkap. Mereka wajib mendukung berbagai peraturan Presiden Soekarno secara total. Keterkaitan antara Presiden Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika itu, semakin akrab sehingga paham komunisme berkembang pesat pada masa itu. Pers yang mempunyai peran sebagai penyambung suara rakyat dibatasi oleh pemerintah. Pengekangan terhadap pers tersebut mengakibatkan sebagian besar media menutup diri dan tidak berani menyiarkan berita lantaran adanya ancaman dicekal. Banyak media dibredel. Kebebasan pers yang terkekang, sentralisasi pemerintah pusat, dan peran militer yang sangat besar berdampak pada meningkatnya tindakan yang semena-mena terhadap rakyat. Pelanggaran HAM menjadi hal yang biasa. Sistem demokrasi terpimpin menimbulkan ketidakadilan, salah satunya ialah pemerintahan yang dikontrol sepenuhnya oleh rezim. Peran partai politik semakin tidak jelas dalam pemerintahan sehingga menimbulkan ketidakpastian. Demokrasi terpimpin telah melahirkan dampak yang nyata. Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar sehingga timbul potensi penyalahgunaan. Sistem pemerintahan ini juga memberikan dampak yang sangat besar bagi situasi politik di Indonesia kala itu. Adanya kepemimpinan kaum borjouis dan PKI membuat banyak rakyat melakukan penolakan. Ditambah lagi maraknya korupsi di kalangan birokrat dan militer mengakibatkan pemasukan Indonesia dari ekspor mengalami penurunan drastis. Tidak hanya itu, inflasi yang cukup parah juga terjadi sebagai akibat tidak stabilnya kondisi perekonomian di Indonesia pada masa itu. Kondisi ini memaksa Soekarno harus lengser. Apakah hari ini Indonesia menjalankan demokrasi terpimpin? Teorinya tidak, tetapi faktanya bisa dirasakan sendiri. Publik pasti belum lupa penurunan baliho oleh TNI, pemblokiran media online dan media sosial, pemberlakuan aturan hate speech, pelanggaran HAM berat di km 50 tol Cikampek, bertamunya Partai Komunis Cina ke istana negara, serta mandulnya wakil rakyat di DPR. Publik juga merasakan sendiri utang pemerintah yang menggunung, pendapatan pajak yang anjlok, pertumbuhan ekonomi yang terseok, pengangguran merajalela, dan korupsi yang tumbuh subur. Publik juga pasti hafal siapa saja yang korupsi, siapa yang berkhianat pada rakyat, dan siapa yang bergelimang kemewahan di tengah kesengsaraan. Satu lagi publik pasti paham strategi Kabinet Jokowi yang hanya ada satu visi, tidak ada visi menteri, visi gubernur, dan visi bupati/walikota. Semua visi presiden. Buntut dari semua itu, Jokowi lalu dikultuskan. Ia tidak pernah salah. Pemerintah telah berkali-kali mengeluarkan Perppu sebagai syarat mengatasi kegentingan negara. Tapi rupanya Perppu salah sasaran karena negara tidak genting oleh HTI, FPI dan demo 212, apalagi bohong soal tes swab. Negara genting karena pemerintah tidak amanah dan antikritik. Kebijakannya selalu menimbulkan kegaduhan. Jokowi harus belajar dari Bung Karno yang legowo menyerahkan kepemimpinan nasional lewat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Dengan surat sakti ini Soeharto mampu mengatasi keadaan, membubarkan Orde Lama, mencabut status presiden seumur hidup, mengganti demokrasi terpimpin dengan demokrasi Pancasila. Soeharto mampu membawa kebangkitan bangsa hingga berkuasa 32 tahun. Kelak, ketika rakyat sudah tidak menghendaki Soeharto menjadi presiden, ia pun turun tahta, lengser keprabon. Soeharto menyatakan berhenti dan menyerahkan kepemimpinan nasional kepada wakilnya, BJ Habibie, pada 21 Mei 1998. Kita tunggu, apakah Presiden Joko Widodo memiliki kearifan dan jiwa kenegarawanan seperti dua bapak bangsa tersebut?
Hakim Khadwanto, antara Pengadilan Akhirat dan Pengadilan Rakyat
“Sampai berjumpa di Pengadilan Akhirat!” UCAPAN Habib Rizieq Syihab ketika menyalami Hakim Khadwanto saat ini tengah viral. Khadwanto adalah ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus swab RS UMMI, Bogor di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan terdakwa Habib Rizieq Syihab. Dia menjatuhkan vonis 4 tahun penjara, dari tuntutan Jaksa 6 tahun penjara. Setelah menolak vonis hakim, sekaligus menolak tawaran hakim agar minta pengampunan (grasi) kepada Presiden Jokowi, dan menyatakan banding, Habib Rizieq beranjak dari kursi terdakwa. Dia mendatangi keluarganya di kursi pengunjung, para penasihat hukum, dan kemudian menghampiri meja majelis hakim. Saat itu lah dia menyalami majelis hakim satu persatu. Menurut kesaksian salah seorang penasihat hukum, wajah hakim Khadwanto tampak pucat, mendengar ucapan Habib Rizieq. Vonis 4 tahun penjara bagi Habib Rizieq memang sangat mengejutkan. Bagaimana mungkin majelis hakim menerima mentah-mentah tuntutan Jaksa yang mendakwa Habib Rizieq menyebarkan kabar bohong dan berbuat keonaran. Hakim juga menerima begitu saja argumen Jaksa bahwa yang dimaksud dengan keonaran, termasuk kehebohan di media sosial, khususnya akun-akun youtube. Padahal kalau hakim mau sedikit saja melakukan verifikasi, akan dengan mudah diketahui, akun-akun youtube yang diajukan oleh Jaksa sebagai bukti, adalah akun penyebar hoax yang dikelola para buzzer. Bukan Habib Rizieq yang menyebabkan keonaran. Para buzzer lah yang mencoba menyebar keonaran. Publik setidaknya saat ini menyoroti tiga hal dari putusan majelis hakim yang dipimpin Khadwanto. Pertama, putusannya tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kedua, pernyataannya agar Habib Rizieq Syihab mengajukan pengampunan kepada Presiden Jokowi. Ketiga, konskuensi putusannya yang harus dia pertanggungjawabkan di pengadilan akhirat. Sangat mudah bagi siapapun yang mengamati persidangan, bahwa hakim mengabaikan fakta-fakta yang diajukan terdakwa dan pembela. Majelis hakim juga mengabaikan kesaksian dari para ahli. Dakwaan Jaksa sama sekali tidak memenuhi unsur pidana. Karena itu harusnya ditolak, dan Habib Rizieq dibebaskan. Hakim — khususnya Ketua Majelis Hakim— sangat terkesan dalam menyampaikan putusannya, dalam kondisi tertekan. Pernyataannya menyarankan Habib Rizieq Syihab meminta pengampunan, sangat tidak lazim. Benar, ketentuan grasi diatur dalam pasal 196 KUHAP sebagaimana halnya dengan proses banding. Namun grasi hanya bisa dilakukan manakala terdakwa menyatakan menerima putusan. Status hukumnya sudah berkekuatan hukum tetap (inkrach ). Sangat terkesan Khadwanto merasa tidak “nyaman” menjatuhkan vonis yang sangat berat dan tak masuk akal itu. Karena itu dia merasa perlu segera menyampaikan kepada Habib Rizieq bisa bebas dengan meminta pengampunan. Kendati diatur dalam KUHAP, ucapan Khadwanto itu bisa ditafsirkan memberi semacam signal kepada publik, bahwa kasus ini merupakan masalah personal antara Jokowi dan Habib Rizieq. Penolakan Habib Rizieq, keputusannya langsung banding tanpa pikir-pikir dulu, dan ucapannya “sampai berjumpa di pengadilan akhirat,” jelas akan menjadi beban batin yang sangat berat bagi Khadwanto dan anggota majelis hakim. Pengadilan akhirat, adalah pengadilan masa depan. Bagi orang yang beriman, sangat meyakini “pengadilan terakhir” itu akan tiba. Kita harus mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita. Bila kita berbuat dzalim di dunia, pembalasannya akan jauh lebih berat di akhirat. Namun sebelum “pengadilan akhirat” itu tiba, Khadwanto saat ini sudah menghadapi pengadilan dunia, yakni pengadilan rakyat. Publik beramai-ramai menghujat dan melaknatnya. Publik mencatatnya sebagai hakim yang tidak adil, dan berbuat dzalim kepada seorang ulama, atas order kekuasaan. Sebagai hakim, dia tidak bisa memegang amanah untuk berbuat adil, tanpa pandang bulu. Tidak bisa memegang sumpahnya yang diucapkan di bawah Al Quran. “Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.”
Besok Vonis HRS: Kita Lihat Independensi Penegakan Keadilan
TAKARAN yang paling krusial untuk melihat wajah demokrasi adalah penegakan keadilan. Jika penegakan keadilan mendekati kesempurnaan, maka semakin sedikitlah bopeng demokrasi. Seberapa beratkah pekerjaan untuk menegakkan keadilan? Sangat berat. Sebab, keadilan yang tegak tidak menghasilkan apa-apa untuk keuntungan pribadi. Orang-orang yang menegakkan keadilan adalah orang-orang yang paham betul bahwa mereka hanya akan mendapatkan apa-apa yang menjadi haknya. Jadi, kalau dibalik, apakah orang-orang yang mendapatkan apa-apa yang bukan menjadi hak mereka adalah orang-orang yang tidak menegakkan keadilan? Pasti! Dan ini generik sifatnya. Berlaku di mana pun. Di ruang sidang, di jalan-jalan, di pasar, di kantor, di kampus. Karena itu, Marcus Tullius Cicero (filsuf Romawi sebelum Masehi) mengatakan, “Fondasi keadilan adalah itikad baik.” The foundation of justice is good faith. Hanya orang-orang yang punya itikad baik (good faith) yang memiliki mentalitas dan nyali keras untuk menegakkan keadilan. Khususnya penegakan keadilan di ruang sidang. Mereka kuat menghadapi apa saja, berupa godaan imbalan, godaan subjektivitas, dan intervensi kekuasaan. Inilah “hama” peradilan. Di antara tiga “hama penegakan keadilan” tersebut, intervensi kekuasaan adalah gangguan yang paling berat. Di zama sebelum Reformasi 1998, hama intervensi itu merajalela. Pasca-reformasi, suasana di ruang sidang pengadilan relatif tenteram. Bebas hama. Akan tetapi, sejak Joko Widodo (Jokowi) memimpin negara ini, suasana penegekan keadilan kembali dilanda hama intervensi dengan varian yang lebih ganas. Kita memang tidak melihat langsung serangan hama itu, tetapi ada bekas-bekas yang ditinggalkannya. Intervensi kekuasaan menggerogoti independensi penegakan keadilan dari hulu sampai hilir. Meskipun ladang penegakan keadilan belum seluruhnya diserbu hama intervensi kekuasaan, tetapi serangan hama itu semakin meluas. Intervensi kekuasaan itu terlihat jelas ketika penegakan keadilan “mengganggu” kepentingan para penguasa level tinggi. Salah satu kasus yang diduga kuat akan dirasuki oleh intervensi kekuasaan adalah penegakan keadilan atas diri Habib Rizieq Syihab (HRS). Besok, Kamis, 24 Juni 2021, independensi penegakan keadilan akan diuji. Sidang terakhir tuduhan berbohong hasil tes swab Rumah Sakit Ummi, Kota Bogor, Jawa Barat. Majelis hakim akan membacakan putusan perkara ini di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dalam putusan perkara sebelumnya, yaitu kasus kerumunan Petamburan, proses penegakan keadilan dirasakan tidak mencerminkan independensi pengadilan. Sebagai contoh, para pakar hukum pidana berpendapat HRS tidak seharusnya diadili karena dia telah membayar denda kerumunan. Tetapi, majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara 8 (delapan) bulan dalam sidang pada 27 Mei 2021. Di hari yang sama, HRS dihukum denda Rp 20 juta untuk kasus kerumunan Megamendung. Jelas terlihat independensi penegakan keadilan untuk kedua perkara ini terkena hama intervensi kekuasaan. Ada yang melakukan okestrasi kerumunan HRS. Padahal, kerumunan yang melanggar protokol kesehatan terjadi di banyak tempat. Diinisiasi oleh para pemegang kekuasaan. Bahkan, Presiden Jokowi membuat kerumunan di Maumere, NTT, akhir Februari 2021. Tetapi, polisi menolak pengaduan masyarakat. Kasus ketiga yang dijalani HRS dengan dakwaan berbohong terkait hasil tes swab di RS Ummi Bogor, dipastikan akan menjadi penakar independensi penegakan keadilan. Aroma politis di kasus ini sangat menyengat. Misalnya, pernah seseorang yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan mencuitkan “kegembiraan” ketika HRS ditahan polisi. “Sampai bertemu 2016,” bunyi cuitan staf khusus Istana Presiden yang berinisial DH. Cuitan ini terkonotasi dengan pilpres 2024. Tafsiran dari cuitan ini adalah bahwa HRS, kalau dihukum 6 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa, tidak akan bisa “mengganggu” misi para capres lawan HRS yang ingin masuk Istana. Banyak yang berpendapat, DH menulis cuitan senang itu karena dia ingin agar kekuasaan yang menindas kelompok Islam bisa berlanjut mulus lewat pilpres 2024. Dari sini, orang mengartikan ada upaya para penguasa untuk memenjarakan HRS semaksimal mungkin sehingga dia baru akan bebas pada 2026. Setelah proses pilpres selesai. Inilah yang dianggap sebagai skenario politik kasus swab tes RS Ummi. Tuntutan hukumannya sangat fenomenal. Berlebihan sekali. Berbohong hasil tes kesehatan harus dituntut hukuman penjara 6 tahun. Ini membuat publik mempertanyakan mengapa proses hukum kasus pembunuhan 6 pengawal HRS lambat sekali. Para pelaku sudah jelas dan mereka melakukan pembunuhan sadis penuh kebiadaban. Seluruh rakyat pastilah berharap agar keadilan benar-benar ditegakkan. Kita semua wajib aktif mengawal semua proses penegakan keadilan. Di mana pun itu dan sekecil apa pun kasusnya. “Kalau kita tidak merawat keadilan, maka pastilah keadilan tidak akan merawat kita,” kata Francis Bacon –filsuf dan negarawan Inggris abad ke-16. Jangan sampai intervensi kekuasaan atas penegakan keadilan mencederai perasaan rakyat. Sebab, kalau cedera itu sampai akut, maka sangat mungkin mereka akan termakan pendapat bahwa keadilan itu tidak ada. Tidak bisa diharapkan. Tentu sikap putus asa sangat berbahaya. Rakyat bisa tergiring untuk mencari keadilan di luar sistem. Lebih mempriharinkan lagi jika mereka pernah tahu buah pikiran Elimile Autumn –penyanyi dan penulis lagu Amerika kelahiran 1979. “There is no such thing as justice, all the best that we can hope for is revenge.” “Keadilan itu tidak ada, yang terbaik untuk kita harapkan adalah balas dendam,” kata musisi yang mahir memainkan biola itu. Semudah itukah rakyat kehilangan harapan? Kelihatannya tidak, jika para penguasa sadar bahwa perilaku mereka bisa menjerumuskan bangsa ini ke jurang kekacauan. Mari kita simak akhir dari penegakan keadilan besok dan hari-hari selanjutnya.
Menyoal Sustainabilitas APBN yang Sarat Utang
KONDISI fiskal kita dalam dua tahun terakhir semakin memburuk. Ibarat lebih besar pasak dari tiang, kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terancam tidak sustain, diragukan keberlanjutannya. Adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah melakukan audit laporan keuangan pemerintah pusat selama 2020. Dalam laporan tersebut, BPK mengkhawatirkan penambahan utang pemerintah selama tahun lalu. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga utang telah melampaui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara. Sehingga, pemerintah dikhawatirkan tidak mampu untuk membayar utang tersebut berserta bunganya. "Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," ujar Agung Firman dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (22/6). BPK melaporkan, realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp1.647,78 atau mencapai 96,93% dari anggaran. Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp2.595,48 triliun atau mencapai 94,75% dari anggaran. Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp947,70 triliun atau 6,14% dari PDB. Meski demikian, realisasi pembiayaan tahun 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91% dari nilai defisitnya. Sehingga, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sebesar Rp245,59 triliun. Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), pinjaman dalam negeri, dan pembiayaan luar negeri sebesar Rp1.225,9 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit. BPK juga mengungkapkan bahwa utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77%, melampaui rekomendasi IMF sebesar 25% sampai dengan 35%. Sedangkan rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6% hingga 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7% hingga 19%. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369%, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92% hingga 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90% hingga 150%. Adapun hingga akhir Desember 2020, total utang pemerintah sudah mencapai Rp6.074,56 triliun. Posisi utang ini naik cukup tajam dibandingkan dengan akhir tahun 2019 lalu. Dalam satu tahun, utang Indonesia bertambah Rp1.296,56 triliun dari akhir Desember 2019 yang tercatat Rp4.778 triliun. Kalau sudah demikian, apakah APBN kita akan berkelanjutan? Atau harus ngerem mendadak karena sarat dengan beban utang? Ekonom senior Rizal Ramli sering menyindir untuk membayar beban bunga utang, Menkeu Sri Mulyani harus berutang lagi. Dalam istilah ekonomi disebut defisit keseimbangan primer. Artinya, kondisi fiskal benar-benar sangat ketat sehingga manuver anggaran jadi sangat terbatas. APBN sudah disandera oleh utang, utang dan utang. Ini juga yang menjelaskan kualitas sukuk (obligasi syariah) yang dibeli Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Jika demikian kita mempertanyakan amanah dana jamaah di BPKH dan dana yang disetorkan perbankan di LPS benar-benar dalam bahaya. Apakah ini pertanda mimpi Presiden Jokowi untuk memimpin tiga periode menjadi sirna? Semoga sejarah yang bisa membuktikan!!!
Negeri “Sejuta” Upeti
REZIM ini tidak kehabisan akal untuk mengutip upeti dari rakyatnya. Ada saja yang menjadi obyek incaran pungutan. Mereka tak peduli kondisi ekonomi rakyat yang sedang sekarat. Mereka tutup mata terhadap banyaknya rakyat yang jatuh melarat karena dihajar pandemi. Rakyat jatuh bangun bertahan di tengah ketidakpastian. Segala upaya sudah rakyat lakukan untuk menyambung hidup, nyaris tiada hasil. Perekonomian makin nyungsep dan masa depan suram. Sialnya, tak ada jaminan dari pemerintah untuk sekadar hidup wajar. Ratusan triliun rupiah bansos yang dianggarkan pemerintah untuk sekadar menopang kesulitan, malah dikorupsi para pengambil kebijakan. Menteri yang bertugas mengawasi dana bansos biar tidak ditilep, malah ikut terlibat dalam permufakatan jahat itu. Akibatnya, beras, minyak dan mie instan yang sampai ke mulut ke rakyat hanya basa-basi, sebatas ritual dan simbolik. Seakan-akan tanggung jawab sudah ditunaikan. Mana cukup satu keluarga dijatah beras 10 kg untuk tiga bulan? Tak berlebihan jika disimpulkan rezim hanya memikirkan dirinya sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka buat sendiri. Toh rakyat bisa hidup dengan sendirinya. Hari kemarin rakyat tertampar oleh kebijakan rezim yang antirakyat, hari ini tergampar oleh berbagai pungutan. Yang demikian itu sudah terbiasa bagi rakyat. Rezim tampaknya tak kuat lagi mengatasi defisit anggaran. Ini terjadi lantaran pengelolaan APBN yang ugal-ugalan. Akibatnya rezim ini kehabisan ongkos. Namun, di mata rakyat mereka berupaya untuk tampil baik-baik saja, seakan tidak ada masalah. Padahal segudang masalah membelit leher rezim. Untuk utang luar negeri sudah tak dipercaya, untuk mengelola duit umat, sudah tak ada lagi celah. Dana Haji dan Dana BPJS juga sudah hampir ludes. Salah satu yang gampang adalah mengincar sektor publik untuk dilakukan pungutan. Dari sektor perbankan, rezim memungut biaya administrasi dalam setiap transaksi. Bahkan, rezim berencana menaikkan pungutan itu, namun gagal karena di-bully rakyat. Dari sektor keagamaan, rezim mengincar dana zakat. Bahkan kotak amal mushola pun tak luput dari teropong pungutan. Belum lagi bicara tentang dana haji yang menurut Rizal Ramli hanya tersisa Rp 18 miliar dari total Rp 120 triliun. Dari sektor pendidikan, rezim mengincar Pajak Penambahan Nilai (PPN) pendidikan. Padahal, sesuai perintah undang-undang, negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari sektor kerakyatan, rezim berencana memungut pajak sembako hingga 12 persen. Singkong, beras, jagung, gula, kopi, minyak, sayuran, terasi, terigu, dan bumbu semua akan dipajakin. Ditarik upeti. Betapa sulitnya memahami karakter, akal sehat, dan moral rezim. Bagaimana bisa mafhum, sembako yang seharusnya disubsidi oleh pemerintah, malah akan dipajaki. Undang-undang memerintahkan negara menguasai kekayaan alam dan hajat hidup orang banyak untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Subsidi dihabisi, produksi dipajaki, hasil panen dipalaki. Rezim malah bersekongkol dengan korporasi dan oligarki. Rakyat diabaikan. Rakyat dijadikan obyek pungutan. Mirip sapi perah Memungut upeti terhadap rakyatnya sesungguhnya menunjukkan kegagalan rezim ini memakmurkan rakyat. Rezim yang seharusnya bisa meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja, dan menjamin kehidupan yang layak, justru berubah menjadi monster yang menakutkan bagi rakyatnya sendiri. Rezim makin kalap memungut duit rakyat. Maklum, rezim terlalu boros menghamburkan APBN sehingga butuh pemasukan dana baru. Rezim yang berada di ambang kebangkrutan ini sesungguhnya disebabkan oleh tidak cakapnya mengelola anggaran, banyaknya korupsi, dan pembangunan infrastruktur yang ugal-ugalan. Hal yang paling mudah yakni menaikkan pajak dan pungutan lain. Mengapa rezim memiliki karakter seperti itu? Bisa jadi disebabkan oleh kultur yang terbangun sejak kecil. Sebagian besar orang Jawa pasti pernah mengalami atau melihat anak kecil yang baru bisa bicara mengikuti apa yang diperintahkan oleh orang tuanya. Ini biasanya terjadi di kampung-kampung manakala anak-anak sedang bermain dengan orang tuanya. Anak biasanya ditanya bagaimana cara makan atau menyebutkan nama- nama anggota tubuh. Lalu ada adegan lain yang sudah menjadi kebiasaan, yaitu anak ditanya "Bagaimana kalau 'nyuwun' (meminta) sesuatu. Lalu anak menengadahkan tangannya tanda meminta. Dan orang tuanya dengan bangga memberi apresiasi dengan mengatakan 'pinter'. Ini artinya, sejak kecil anak-anak sudah diajari meminta. Dan orang tuanya bangga. Lalu, menginjak dewasa, bahkan ketika memasuki dunia kerja, ada ungkapan kebiasaan yang juga unik, yaitu jika kita hendak bepergian, entah ke luar kota atau ke luar negeri, menjadi hal yang biasa untuk meminta oleh-oleh. "Jangan lupa oleh-olehnya ya". Begitu ungkapan yang lazim terjadi. Dua contoh di atas merupakan pendidikan karakter yang kurang bagus karena orientasinya menjadi peminta-minta, bukan pemberi. Jika manusia manusia model seperti ini menjadi menteri keuangan, presiden, atau pembuat kebijakan lainnya, sangat mungkin menjadi penarik upeti, pemungut pajak, dan peminta-minta bantuan. Sepintar apa pun ilmu seseorang, jika pendidikan karakternya salah, maka perilakunya juga salah. Sepolos apa pun seseorang, jika pendidikan karakternya menyimpang, maka output-nya juga menyengsarakan. Anehnya, rezim yang seperti itu masih banyak pemujanya, dari pelosok desa sampai ibu kota. Mereka ingin berkuasa tak hanya tiga periode, tapi selamanya.
Kami Hadir Kembali
PEMBACA FNN.co.id yang budiman. Alhamdulillah, sejak Ahad, 20 Juni 2021 kemarin, kami hadir kembali di hadapan Anda. Hampir sepekan kami hilang. Tentu pembaca bertanya-tanya mengapa bisa seperti itu. Anda mungkin memperkirakan karena terjadi kerusakan teknis. Bisa saja dugaan atau perkiraan itu benar. Akan tetapi, yang paling benar, "Kami diblokir." Tidak jelas siapa yang melakukan kejahatan terhadap portal berita yang Anda dukung ini. Tidak jelas juga mengapa harus diblokir. Tidak jelas juga karena berita atau tulisan apa, sehingga FNN.co.id harus dijauhkan dari rakyat, terutama para pembaca setianya. Bukan sekali ini saja kami diblokir oleh orang-orang atau lembaga yang tidak bertanggungjawab. Kami katakan tidak bertanggungjawab, karena mereka sama sekali tidak menggunakan hak jawab dan hak koreksi atas berita atau opini yang kami turunkan. Padahal, hak jawab itu diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang. Hak jawab dan hak koreksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Andaikan hak jawab dan hak koreksi itu dilakukan oleh pihak yang merasa dirugikan, tentu kami wajib memuatnya. Sebab, sebagai portal berita resmi yang berbadan hukum, kami pun harus tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tentu, kami tidak mau "dijewer" oleh Dewan Pers, jika tidak memuat hak jawab atau hak koreksi itu. Sangat disayangkan, di era demokrasi (walau katanya sudah mulai terkikis) dan era kebebasan pers masih saja ada yang bertindak layaknya Departemen Penerangan (Deppen) di masa orde baru, yang bertugas mengeluarkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), mengawasi dan jika perlu membreidel atau menutup surat kabar, majalah, radio dan televisi. Maklum, media online atau daring di masa itu belum ada. Hanya saja Deppen dulu lebih jelas ketimbang "Deppen" sekarang. Deppen di masa orde baru juga masih lebih santun ketimbang sekarang. Sebab, sebelum SIUPP dicabut, biasanya menteri atau direktur jenderalnya terlebih dahulu memberitahukan dengan memanggil pemimpin redaksi/penanggung jawab media yang mau dicabut izinnya itu. Nah, kantor Deppen juga jelas, di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (sekarang menjadi kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sekarang, yang suka mengganggu portal berita itu tidak jelas. Lembaganya juga tidak jelas. Orangnya juga tidak jelas, walau sebenarnya secara kasat mata ada. Dalam kasus pemblokiran FNN.co.id yang terakhir, pemblokiran itu dilakukan atas nama PT Bina Insan Gnibul atau PT Abal-abal atau PT Labi-labi. Dikatakan abal-abal atau labi-labi, karena tidak jelas alamatnya, tidak jelas orangnya, tidak jelas lembaganya. Malah lebih cenderung dikatakan PT Hantu Balau. Parahnya lagi, jangankan peringatan, menggunakan hak jawab atau hak koreksi saja tidak dilakukan. Mengapa tidak menggunakan itu? Sebab, jika hak jawab dan koreksi digunakan, semakin jelaslah perusahaan itu. Dalam kaitan dengan FNN.co.id, kami hadir dengan moto, "Mengawal Tujuan Bernegara." Maknanya sangat luas. Penyelenggara negara yang tidak becus melaksanakan tugasnya, akan kami kritisi habis-habisan. Tentu didukung dengan data, fakta dan angka. Sebab, kami adalah pers yang bertanggungjawab. Kami adalah media resmi yang berdiri berdasarkan badan hukum dan terdaftar di Dewan Pers. Kami bukan media sosial yang seringkali menyebarkan berita bohong atau hoax, fitnah, caci-maki. Walaupun kami berada di barisan "oposisi", pantang bagi kami dan seluruh awaknya menyebarkan berita bohong, palsu, apalagi fitnah. Kami tahu ajaran agama apa pun melarang berbohong. Lebih tegas lagi ajaran agama Islam melarang fitnah. Sebab, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Melalui Forum Rakyat/Editorial ini, kami menggugah kesadaran semua pihak atas pentingnya menggunakan hak jawab dan hak koreksi. Sebab, jika cara-cara main blokir yang dilakukan, tentu tidak sehat di alam demokrasi dan kebebasan pers yang kita perjuangkan dan bangun. Nah, jika masih cara-cara kuno yang dilakukan, karena ingin membela rezim yang berkuasa, ingatkan roda pasti berputar. Rezim bisa setiap waktu (baik secara konstitusional maupun tidak) pasti berganti. Ingat lagu, "Badai pasti berlalu."**
Membaca Gestur Kebijakan Fiskal yang Galau
BEBERAPA hari belakangan publik dihebohkan dengan rencana pemungutan pajak yang lebih agresif dan lebih massif di tengah situasi krisis pandemi Covid-19. Agresivitas dan masifnya pungutan pajak yang direncanakan itu benar-benar mengagetkan publik. Lebih kaget lagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati karena publik sudah kadung tahu rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Plus varian pungutan PPN lainnya yang ujung-ujungnya mencekik leher rakyat. “Tapi itu baru rencana,” begitu pembelaan Menkeu. Soal aneka rencana kenaikan PPN akan termuat dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Menurut dia, sampai saat ini rencana RUU KUP itu belum dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR. Sehingga, dari sisi etika politik, Sri Mulyani merasa belum bisa menjelaskan kepada publik sebelum dibahas dengan DPR. "Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan ke DPR melalui Surat Presiden dan oleh karena itu situasinya menjadi agak kikuk karena kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan ke DPR juga," ujar dia. Tapi Sri lupa bahwa ia adalah pejabat publik, segala keputusan, kebijakan ataupun rencana kebijakan memang selaiknya harus melewati uji publik. Dan sequence terkait rencana kenaikan PPN ini sudah benar, yang aneh justru sikap Menkeu yang galau ketika publik mengetahui rencananya lebih awal. Oleh karena rencana detil kenaikan PPN ini begitu dramatis, publik pun lebih awal menolak, karena merekalah yang akan menjadi sasaran kebijakan Menkeu terbaik di Asia tersebut. Apa saja rencana kenaikan PPN yang ada dalam draf RUU KUP tersebut? Pertama, PPN yang awalnya 10% dinaikkan menjadi 12% hingga 15% dan multi tarif PPN. Tentu ini sangat memberatkan wajib pajak (WP) badan maupun pribadi dalam situasi krisis sekarang ini. Kedua, penghapusan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) orang pribadi sebesar Rp54 juta, dalam RUU KUP itu dihilangkan. Sehingga WP yang penghasilannya di bawah Rp54 juta yang semula tidak kena pajak, akan dikenakan pajak. Ketiga, pemerintah berencana menambah layer pendapatan kena pajak dan memperbaiki tarif PPh orang pribadi. Orang dengan penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp50 juta dalam satu tahun maka dibanderol PPh sebesar 5%. Orang dengan PKP di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta dikenakan pajak sebesar 15%. Orang dengan PKP di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta dikenakan tarif PPh sebesar 25%. Dan orang dengan PKP di atas Rp500 juta tarif pajak penghasilan orang pribadi senilai 30%. Target pembuatan layer PPh ini adalah untuk menggenjot penerimaan pajak orang pribadi. Tentu saja hal ini akan memberatkan ekonomi rakyat yang sedang susah. Keempat, pemerintah juga berencana akan mengenakan PPN sekolah dan jasa pendidikan lainnya sebesar 12%. Tentu saja akan berdampak pada kenaikan biaya pendidikan. Kelima, pemerintah berencana mengenakan pajak biaya melahirkan yang direncanakan sebesar 12%. Tentu saja biaya melahirkan akan lebih mahal dan makin tidak terjangkau. Keenam, pemerintah akan mengenakan PPN untuk sembako 12% untuk 11 jenis sembako. Mulai dari beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayuran. Bisa diduga, dampaknya akan menggenjot harga sembako. Ketujuh, pemerintah juga berencana mengenakan pajak atas pulsa, kartu perdana, token dan lainnya. Selain menaikkan tarif PPN dan PPh serta pengenaan pajak baru, menurut Sri, pemerintah juga sebenarnya melakukan pelonggaran-pelonggaran pajak karena situasi ekonomi yang mengalami kontraksi. Adapun relaksasi perpajakan itu meliputi. Pertama, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan SPT tahunan dan pembayaran pajak bagi wajib pajak orang pribadi sampai dengan 30 April 2020. Seperti diketahui, sesuai ketentuan batas akhir sebenarnya jatuh pada 31 Maret 2020. Kedua, wajib pajak orang pribadi yang menjadi peserta amnesti pajak dan memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan--realisasi pengalihan dan investasi harta tambahan atau penempatan harta tambahan--dapat melaporkannya paling lambat 30 April 2020. Ketiga, wajib pajak dapat menyampaikan SPT masa PPh pemotongan untuk masa pajak Februari 2020 pada 21 Maret 2020 hingga 30 April 2020 tanpa dikenai sanksi administrasi keterlambatan. Keempat, pengajuan upaya hukum tertentu yang memiliki batas waktu pengajuan antara 15 Maret hingga 30 April 2020 diberikan perpanjangan batas waktu sampai 31 Mei 2020. Latar belakang Pertanyaannya, apa latar belakang sehingga pemerintah membabi buta menaikkan PPN dan PPh dan mengenakan obyek pajak baru tersebut? Tentu karena kondisi penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan hanya bisa dipungut 50% dalam kondisi krisis seperti sekarang ini. Sementara penerimaan pajak juga kurang menggembirakan, termasuk investasi masuk yang jauh dari harapan, pemerintah juga telah mencetak uang besar, tapi kebutuhan APBN masih kurang dan kurang. Sehingga satu-satunya andalan pemerintah adalah mengandalkan utang. Total utang pemerintah sampai April 2021 sudah mencapai Rp6.527,29 triliun. Tapi mengandalkan utang pun sudah tidak mungkin, seperti tersandera, mengingat untuk membayar bunga utang tahun ini saja sebesar Rp373 triliun pemerintah tidak mampu. Pemerintah terpaksa harus berutang lagi hanya untuk membayar bunga utang lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Pendek kata, maju kena, mundur kena. Pemerintah benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Pikirannya galau, sehingga Menkeu berinisiatif menaikkan aneka tarif pajak dan menyasar pajak baru. Hal ini juga didasari beberapa realitas. Shortfall--selisih antara target dengan penerimaan—pajak sejak 2006 hingga hari ini masih terjadi dengan volume yang terus membesar. Paling tidak dalam tiga tahun terakhir shortfall pajak cukup mengenaskan. Tahun 2019 target penerimaan pajak Rp1.500-an triliun tercapai hanya Rp1.300-an triliun, jadi shortfall Rp200 triliun. Pada 2020 target penerimaan pajak diturunkan menjadi Rp1.250-an triliun, yang tercapai hanya Rp1.100-an triliun, atau shortfal Rp150-an triliun. Tahun 2021 sama targetnya tercapai Rp1.100-an juga. Lebih mengenaskan lagi jika menengok tax ratio, total penerimaan pajak dibagi dengan produk domestik bruto (PDB), yang pada tahun 2007 masih di level 12%, tiap tahun terus merosot tajam. Terakhir dikabarkan tax ratio tinggal 7%. Inilah yang melatarbelakangi mengapa pemerintah galau, sehingga Sri Mulyani menempuh segala cara guna menalangi kewalahan APBN menghadapi realitas krisis plus pandemi Covid-19. Celakanya, di tengah rencana pemerintah memeras uang rakyat lewat aneka kebijakan perpajakan di atas, kita masih menyaksikan korupsi semakin merajalela. Mulai dari korupsi Bansos, korupsi Jiwasraya, Bumiputera, PBJS Ketenagakerjaan, Asabri, impor benur, dan aneka korupsi bejat lainnya. Menunjukkan para pelaku korupsi sama sekali tidak memiliki sense of crisis. Pada saat yang sama pemerintah memberlakukan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dibuat 0%. Sebuah ironi. Pajak orang kaya diturunkan, pajak orang miskin dinaikkan. Unsur keadilan pajak sama sekali tidak tercermin di sini. Ironi lainnya, tax amnesty jilid 2 akan diberlakukan setelah tax amnesty jilid 1 dianggap gagal. Ada kecurigaan setelah rame-rame pesta korupsi, kini gilirannya diampuni lewat program pengampunan pajak. Tidak hanya sampai di sini, pajak korporasi diturunkan dari 22% menjadi 20%, korporasi yang sudah terdaftar di BEI mendapat diskon tambahan 3% menjadi 17%. Ironi lain, Presiden Jokowi masih berambisi untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru dengan biaya Rp466 triliun. Padahal kas APBN benar-benar kosong melompong, bahkan sarat dengan utang, benar-benar tidak memiliki kepekaan. Puncak dari ironi itu adalah, rencana Kementerian Pertahanan melakukan belanja militer hingga Rp1.760 triliun dan sebagian besar lewat utang. Inilah puncak ironi yang mencengangkan itu. Ekonom Senior Rizal Ramli menyindir pemerintah tidak memliki empati terhadap rakyat, tidak memiliki nurani, karena di tengah krisis malah sibuk merencanakan aneka kenaikan tarif pajak dan pungutan pajak baru. Ia mengingatkan pemerintah bahwa Revolusi Prancis, Revolusi Amerika dan India diawali dari situasi yang kurang lebih sama dengan Indonesia hari ini. PBNU dan Muhammadiyah juga sudah mengingatkan soal perlunya membatalkan pajak sekolah dan sembako. Politisi oposisi juga tegas menolak rencana kenaikan pajak baru, pimpinan partai koalisi juga meminta rencana Menkeu dibatalkan karena dianggap tidak peka. ‘Ala kulli hal, Indonesia ini bak kapal yang akan karam. Di tengah gelombang yang dahsyat ini, masih ada mau membocorkan biduk bernama Indonesia. Masih ada pihak yang melakukan atraksi ugal-ugalan. Semoga ada solusi terbaik untuk bangsa ini...!
Politisasi Guru Besar Kian Merusak Marwah Perguruan Tinggi
KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri baru saja dikukuhkan sebagai guru besar, alias profesor kehormatan di Universitas Pertahanan, Jumat (11/6). Megawati, kata Rektor Unhan Laksamana Madya TNI Prof Amarulla Octavian, dinilai berhasil memimpin Indonesia menghadapi krisis multidimensi selama menjadi Presiden RI (2001-2004). Keberhasilan itu lah yang dijadikan Megawati sebagai judul pidato pengukuhannya : Kepemimpinan Presiden Megawati Pada Era Krisis Multidimensi pada 2001-2004. Pengukuhan Megawati sebagai profesor ini mengundang kontroversi. Mulai dari kelayakan, status guru besar kehormatan, sampai judul pidato pengukuhannya yang dinilai memuji diri sendiri. Sehari sebelum pengukuhan Megawati, Dirjen Dikti Kemendikbud Ristek Nizam kepada media secara tegas menyatakan tidak ada gelar profesor kehormatan. Yang ada adalah gelar doktor kehormatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, gelar doktor kehormatan diberikan oleh perguruan tinggi kepada seseorang dengan jasa yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan. Untuk gelar doktor kehormatan, Mega telah mengantongi 9 gelar dari berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Sehari kemudian Nizam meralat pernyataannya. Dia membuat siaran resmi mengucapkan selamat atas pengukuhan Megawati sebagai profesor. Lucunya Nizam menyebut Mega sebagai profesor dengan status dosen tidak tetap. Dia mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi. Seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap dalam jabatan akademik tertentu pada perguruan tinggi. Pernyataan Nizam dan kemudian diikuti Ralat tersebut menunjukkan betapa kacaunya administrasi pada Kemendikbud Ristek yang dipimpin Nadiem. Bagaimana mungkin seorang Dirjen yang membawahi perguruan tinggi, tidak tahu menahu bahwa Menteri sebagai atasannya telah mengeluarkan surat keputusan untuk gelar Megawati. Penetapan Profesor Kehormatan terhadap Megawati tersebut tertuang dalam surat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nomor 33271/MPK.A/KP.05.00/2021. “Terhitung mulai tanggal 1 Juni 2021 diangkat dalam jabatan Profesor dalam Ilmu Kepemimpinan Strategik ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 2021,” kata Sekretaris Senat Unhan saat membacakan surat keputusan tersebut. Sejak awal publik sudah mencurigai pemberian gelar profesor kepada Megawati sangat kental dengan aroma politik. Bagi lingkungan Dephan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, ini merupakan penghargaan kedua yang diberikan kepada Megawati dalam sepekan terakhir. Pada tanggal 6 Juni Megawati meresmikan patung Presiden Soekarno sedang menunggang kuda di halaman Depan kantor Kemenhan. Soekarno alias Bung Karno nota bene adalah ayah kandung Megawati. Tak cukup hanya itu, sekarang Unhan yang secara kelembagaan berada di bawah Kemenhan memberi gelar profesor kehormatan kepada Megawati. Dua penghargaan itu sangat sulit untuk tidak dihubung-hubungkan dengan kepentingan politik menghadapi Pilpres 2024. Prabowo sedang mengincar tiket dan dukungan dari PDIP sebagai capres berpasangan dengan Puan Maharani. Keinginan Prabowo ini secara terbuka sudah disampaikan oleh Sekjen Partai Gerindra Achmad Muzani. Mereka ingin berkoalisi dengan PDIP. Keinginan politik semacam itu sah-sah saja. Masalahnya menjadi lain, ketika Prabowo kemudian mempolitisasi perguruan tinggi. Peruguruan tinggi adalah sebuah institusi yang kemandiriannya harus dijunjung tinggi. Tidak hanya secara akademis, namun juga moral. Mengacu pada aturan yang dikemukakan oleh Dirjen Dikti Nizam, gelar profesor kehormatan tidak dikenal. Aroma barter politik dalam pemberian gelar itu memang sangat kental. Selain Prabowo, Mendikbud Ristek Nadiem juga patut dicurigai. Bagaimana mungkin dia menerbitkan surat keputusan, tanpa diketahui oleh bawahannya. Untuk gelar guru besar, perguruan tinggi biasanya akan mengajukan usulan ke kementerian. Pos pertama yang menerima usulan adalah Dirjen Dikti. Setelah memenuhi semua syarat dan ketentuan, baru diajukan ke menteri. Jadi patut diduga usulan gelar profesor kehormatan ini juga di by pass langsung ke Menteri Nadiem. Publik pasti belum lupa. Ketika heboh reshuffle dan peleburan Kementerian Ristek ke Kemendikbud, Nadiem diketahui sowan ke Megawati. Mega meminta agar Nadiem melakukan pelurusan sejarah Peristiwa G30S/PKI. Ketika Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan reshuffle, Menristek Bambang Brojonegoro terpental. Kemenristek dilebur ke Kemendikbud. Nadiem tetap bertahan dengan kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar. Terbitnya SK gelar profesor kehormatan yang tidak dikenal di dalam aturan dan ketentuan pemberian gelar di Kemendikbud, menegaskan adanya aturan yang ditabrak. Itu merupakan konsekuensi barter-barter politik yang tengah terjadi di pemerintahan Jokowi. Melalui forum ini kami mengingatkan. Terlalu banyak institusi yang telah dirusak pada masa rezim pemerintahan Jokowi. Mulai dikebirinya peran lembaga legislatif, lembaga judisial seperti MK dan KPK, dan sekarang politisasi dunia perguruan tinggi. Mau dibawa ke mana bangsa ini, bila perguruan tinggi, sebagai simbol moral intelektual juga diacak-acak, demi kepentingan politik jangka pendek para politisi yang haus kekuasaan. Ambyaarrrrr!
Hukum Tajam ke Oposisi Tumpul ke Pendukung Jokowi
JUDUL di atas mengingatkan kita betapa carut-marutnya hukum di negeri Pancasila ini. Padahal, kalimatnya berbunyi, "Hukum tajam atau runcing ke bawah, tumpul ke atas." Kalimat runcing atau tajam ke bawah, tumpul ke atas merujuk pada banyaknya kasus kelas teri yang diproses secara hukum, dan kelas kakap dipetieskan. Hal tersebut bisa terjadi karena hukum masih bisa dibeli. Hukum bisa diperdagangkan. Hukum bisa mandul jika berhadapan dengan orang berkuasa, berduit, memiliki beking, dan memiliki pengaruh. "Koruptor bisa dihukum rendah dan sering memakai batik saat tampil di televisi, pencuri ayam dihukum berat dan selalu memakai kaos atau rompi tahanan," begitu kalimat yang sering didengar dalam obrolan di warung kopi hingga perkantoran, dari lingkungan perumahan biasa sampai perumahan elit. Sedangkan kepada mereka yang tidak punya apa-apa dan siapa, hukum sangat tajam. Mereka mudah dijadikan tersangka dan ditahan, kasusnya bergulir ke pengadilan, dan divonis bersalah. Ingat kasus nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500.000 subsider satu hari hukuman percobaan gara-gara mencuri kayu jati milik Perhutani. Nenek berusia 63 tahun itu membantah tuduhan, karena kayu jati yang digunakan tempat tidur itu diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya. Itu peristiwa tahun 2015 yang sempat menggemparkan jagat hukum di Indonesia. Mencuri tidak dibenarkan dalam hukum agama apa pun, dan juga dalam hukum positif (KUH Pidana). Akan tetapi, perlakuan hukum kepada nenek renta itu dirasakan sangat tidak adil. Tahun 2017, seorang kakek berusia 62 tahun juga harus mendekam di penjara gara-gara dilaporkan sang menantu. Kakek bernama Charli itu dilaporkan dengan tuduhan penggelapan uang Rp 3,5 juta. Menantu bernama Panji melaporkannya dengan tuduhan menjual tanah 44 hektare dengan harga Rp 3,5 juta. Padahal, tanah tersebut sudah dijual Panji tahun 2014. Masih banyak kisah pilu lainnya tentang orang lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi hukum. Kasus orang-orang lemah yang meradang karena jeratan hukum cukup banyak, meskipun yang muncul ke permukaan sangat sedikit. Rakyat geram atas perlakuan yang dinilai tidak adil itu. Banyak rakyat, termasuk ahli hukum dan pemerhati hukum harus mengernyitkan dahi melihat perlakuan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi yang menjadi awal laporan kasus. Tidak heran jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, cita-cita Indonesia sebagai negara hukum belum sepenuhnya terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. "Hukum masih dirasa cenderung tajam dan runcing ke bawah dan tumpul ke atas," kata Jokowi dalam pembukaan rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2016. Ucapan Jokowi itu menarik, karena mencuat pada saat dia baru hampir dua tahun menjadi presiden dalam periode pertama dengan Wakil Presiden M Jusuf Kalla. Ucapannya itu penuh makna dan harapan agar hukum benar-benar dijadikan panglima. Penegakan hukum diharapkan bisa terwujud secara adil tanpa mengenal pandang-bulu. Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Semakin lama, penegakan hukum semakin mandul dan acak-acakan. Apalagi menjelang periode kedua dan awal periode kedua Jokowi menjadi penguasa hingga sekarang. Hukum.semakin tercabik-cabik. Sekarang rakyat semakin merasakan jauhnya penegakan hukum yang adil. Mengambil istilah politik hukum, "Penegakan hukum hanya tebang pilih." Sebab, jika yang melaporkan pendukung Jokowi dan rezimnya, sangat cepat ditanggapi polisi. Jika yang melaporkan kasus adalah BuzzerRp, maka respon polisi sangat cepat dan sigap menerimanya. Bahkan, dalam pelaksanaannya orang yang dilaporkan pendukung Jokowi dan BuzzerRp cepat direspon, dengan menangkapnya di tengah malam. Akan tetapi sebaliknya. Jika yang melapor adalah oposisi, maka jangan kecewa jika pelapornya disuruh balik melengkapi berkas. Itu hanya bahasa halus. Padahal, sebenarnya laporannya ditolak polisi. Kasus ini sering terjadi. Seandainya laporan diterima, prosesnya pun tidak jalan. Ingat kasus Deny Siregar yang dilaporkan karena dugaan penghinaan kepada santri di Tasikmalaya. Sampai sekarang kok kasusnya diam atau didiamkan? Hal itu tidak lain karena yang dilaporkan adalah BuzzerRp yang tidak lain pendukung Jokowi. Banyak kasus ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat, terutama oposisi dan pengkritisi Jokowi dan rezimnya. Ada penegakan hukum, tetapi tidak adil. Rakyat membutuhkan penegakan hukum yang adil. Ingat kasus Budi Djarot? Kasus Dewi Tandjung, Abu Janda, dan sederet Buzzer Rp lainnya yang kerap menghina dan mengolok-olok umat Islam dan ulama. Bahkan, ada BuzzerRp yang menghina Nabi Muhammad dan memelesetkan AlQur'an. Sudah ada yang dilaporkan, tetapi tidak direspon, apalagi diproses. Baru direspon polisi, ketika masyarakat "mengepung" rumahnya dan menginterogasi orangnya. Jika dari kubu oposisi atau pengkritisi Jokowi yang dilaporkan, sudah dipastikan cepat diproses. Bahkan, beberapa kasus, polisi sendiri yang membuat laporan (secara hukum dibenarkan). Kasus terakhir dan menarik adalah laporan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo terhadap Eko Kunthadi dan Mazdjo Pray. Keduanya dilaporkan politisi Partai Demokrat itu dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Betul, polisi menindaklanjuti laporan tersebut. Akan tetapi, sungguh aneh, karena polisi justru "ngotot" melakukan mediasi terlebih dahulu. Banyak dugaan, upaya mediasi itu dilakukan pihak penyidik Polda Metro Jaya karena Eko dan Mazdjo pendukung Jokowi (walau bukan pendukung terbuka dan membabi-buta), sedangkan Roy Suryo dianggap oposisi. Secara hukum mediasi dibenarkan, tetapi mestinya polisi tidak langsung menggiringnya ke arah tersebut. Wahai Jokowi dan pendukungmu, berhentilah bermain-main dengan hukum. Wahai polisi, kalian harus adil dalam menegakkan hukum. Jangan permainkan hukum. Sebab, masih ada hukum Allah yang paling adil. ***
Tragedi Duit Haji
BUKAN kali ini saja, duit calon haji sudah menjadi kecurigaan umat. Jauh sebelum Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan pembatalan pemberangkatan haji pada 3 Juni 2021, duit haji telah jadi misteri. Rezim boleh saja membantah bahwa duit haji tidak disalahgunakan. Tetapi empat tahun yang lalu, Presiden Jokowi memerintahkan kepada Kepala Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu untuk mengelola dana haji biar lebih produktif. “BPKH siap menjalankan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menginvestasikan dana haji sebesar Rp 80 Triliun, 80 persen (dari total dana haji)," kata Anggito seusai dilantik sebagai Anggota BPKH oleh Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7/2017). Demikian juga Ma’ruf Amin. Melalui juru bicara Masduki Baidlowi, Wapres menyarankan dana haji bisa dimasukkan ke investasi-investasi saham yang menguntungkan pemerintah, yang sangat terjamin amannya, “Itu boleh. Kira-kira begitu waktu itu," lanjut Masduki saat memberi klarifikasi beredarnya video Wapres tentang dana haji, di Jakarta Senin (7/6/2021). Sejak pembentukan BPKH umat bertanya-tanya, mengapa duit haji dipakai seenaknya. Bukankah dana haji diperuntukkan hanya bagi kepentingan ibadah. Kini setelah ribut soal dana haji, pemerintah kembali ngeles bahwa dana haji aman. BPKH dalam laman resminya mengungkapkan, selama tiga tahun mengelola dana haji telah berhasil membukukan peningkatan dana kelolaan, meski berada pada situasi yang tidak mudah akibat pandemi Covid-19 dan kontraksi ekonomi. Pada 2020, saldo dana haji yang dikelola BPKH sebesar Rp 143,1 triliun atau meningkat 15,08%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang sebesar Rp 124,32 triliun. Realisasi tersebut juga telah melebihi target dana kelolaan yang ditetapkan oleh BPKH tahun 2020 sebesar Rp 139,5 triliun. Terkait instrumen dana kelolaan tahun 2020, sebesar Rp 99,53 triliun atau mencakup 69,6% untuk diinvestasikan, dan sisanya 30,4% atau Rp 43,53 triliun ditempatkan di bank syariah. Sebetulnya calon jamaah haji tidak butuh penjelasan teknis yang njlimet dan bikin mumet. Calon jamaah tidak butuh pengetahuan tentang valas, sukuk, surat utang atau investasi lainnya. Mereka hanya butuh kejujuran, mengapa saatnya berangkat tidak bisa berangkat. Itu saja. Calon jamaah haji tidak semuanya melek ekonomi. Mereka bukan mau berwisata. Uang yang mereka setorkan bukan untuk dibungakan, apalagi main valas yang tentu saja mengandung unsur judi. Mereka juga percaya kepada pengelola haji yang notabene adalah pemerintah. Mereka yakin pemerintah tidak akan jahat seperti pengelola First Travel, arisan berantai dan investasi bodong lainnya. Oleh karena itu, jujurlah wahai rezim. Kepercayaan mahal harganya. Pepatah mengatakan, "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya." Pengingkaran inilah yang bikin kecewa umat. Ada puluhan ribu calon haji yang petani miskin, tukang bubur, dan pekerja kasar lainnya. Setiap keping rupiah, mereka sisihkan demi memenuhi rukun Islam kelima sebagai umat yang taat. Jika tiba-tiba pemerintah membatalkan ibadah suci tersebut, jelas menjadi pertanyaan besar. Mengapa pemerintah tidak mendata berapa jumlah calon haji yang lansia, sepuh, dan tak berdaya untuk diprioritaskan? Bukankah pengelolaan ibadah haji sudah seusia dengan republik ini? Sangat absurd jika alasan terlalu mepet waktunya untuk persiapan sehingga haji harus dibatalkan. Bukankah pandemi ini sudah memasuki tahun kedua? Mengapa pemerintah tidak menyiapkan skenario ibadah haji di tengah pandemi? Yang terjadi justru pemerintah sibuk berkilah, cari-cari alasan, dan ngeles. Saking terdesaknya, pemerintah mengizinkan dana haji ditarik kembali. Sungguh tawaran yang aneh. Apalagi para calon haji sesungguhnya hanya punya satu tujuan yakni berhaji. Bukan bertujuan ambil duit. Tidak elok menarik kembali duit haji. Akan tetapi, tawaran tersebut lagi-lagi curang, yang boleh ditarik hanya biaya pelunasan. Bagaimana dengan duit Rp 25 juta yang sudah mengendap selama 15 tahun, apakah boleh diambil? Jika demikian, salahkah jika umat menduga dana haji zonk? Tampak sekali rezim punya tabiat tukang pungut. Mereka memungut apa saja. Mereka mengincar duit yang ada di kantong rakyat. Ada saja target yang dipungut, dari pembelian permen hingga donasi kemanusiaan. Dari biaya admin transaksi bank hingga pajak penghasilan. Dari kotak amal hingga dana haji. Ini preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Rezim tak kreatif menghasilkan uang, selain melakukan pungutan. Wajar jika calon jamaah haji pun geram. Mana lebih produktif, apakah investasi dikelola pemerintah atau dikelola umat sendiri. Sejauh ini setiap calon haji harus setor dana sebesar Rp 25 juta. Masa tunggu berkisar 10-20 tahun. Bahkan kini ada yang 30 tahun. Jika uang Rp 25 juta itu dibuat usaha jualan martabak, maka akan menghasilkan 3 gerobak martabak plus bahan bakunya. Jika setiap gerobak martabak menghasilkan keuntungan Rp 2 juta per bulan, maka akan terkumpul Rp 6 juta. Dalam setahun bisa terkumpul Rp 72 juta. Sepuluh tahun Rp 720 juta per jamaah. Di Indonesia ada 450. 000 calon jamaah haji. Fantastis. Jauh lebih menguntungkan ketimbang main valas, bukan? Belum lagi jika dana itu dipakai buat beternak kalajengking seperti saran Presiden Jokowi. Harga racun scorpion itu mahal, 1 (satu) liter mencapai Rp 150 miliar. Wow menarik sekali. Bisa dibayangkan berapa keuntungan umat jika dana haji dikelola sendiri. Ongkos naik haji dibayar sebelum keberangkatan saja. Pemerintah boleh berargumen, namun umat tidak akan pernah percaya. Rezim boleh teriak dana haji aman, tapi rakyat berhak bertanya mengapa sampai dua kali musim haji selalu gagal dan batal. Mengapa negara-negara lain bisa berhaji. Sederhana saja. Motor titipan tidak boleh dipakai oleh pengelola untuk ngojek apalagi motornya kemudian digelapkan. Demikian juga dana titipan harus siap dikembalikan manakala dibutuhkan oleh penitip, tidak boleh dipakai untuk keperluan apa pun. Ke mana duit haji? Mengapa tidak juga diaudit? Mengapa donasi untuk Palestina yang cuma Rp 39 miliar ngotot mau diaudit? Sementara dana haji yang mencapai ratusan triliun dibiarkan? Sejak kapan umat menyatakan ikrarnya bahwa dana haji untuk infrastruktur, valas atau sukuk? Para calon haji tidak pernah menyatakan dana haji dipakai buat selain haji. Mereka percaya pemerintah menjaga dana umat apalagi untuk kepentingan ibadah wajib. Jika pada saatnya ibadah harus ditunaikan tetapi tidak bisa dilakukan karena duitnya gak ada, apakah ini bukan upaya menghalang- halangi umat untuk beribadah dan menjalankan keyakinan? Apakah ini bukan pelanggaran hak asasi manusia? Pemerintah bertidaklah secara wajar biar tidak ada prasangka liar. Jangan kebohongan ditutupi dengan kebohongan baru. Jangan terbiasa putuskan dahulu, jelaskan kemudian. Jangan menganggap semua pelanggaran bisa dijelaskan dengan konferensi pers dan grafik apalagi dengan gonggongan buzzer. Tampaknya rezim telah menempatkan diri sebagai makhluk paling sempurna, tanpa salah. Apapun yang dilakukan selalu benar. Untuk kasus yang sudah nyata saja pemerimtah enggan meminta maaf apalagi untuk kasus yang samar. Arogansimu bisa menjerumuskanmu.**