EDITORIAL

Politisasi Guru Besar Kian Merusak Marwah Perguruan Tinggi

KETUA Umum PDIP Megawati Soekarnoputri baru saja dikukuhkan sebagai guru besar, alias profesor kehormatan di Universitas Pertahanan, Jumat (11/6). Megawati, kata Rektor Unhan Laksamana Madya TNI Prof Amarulla Octavian, dinilai berhasil memimpin Indonesia menghadapi krisis multidimensi selama menjadi Presiden RI (2001-2004). Keberhasilan itu lah yang dijadikan Megawati sebagai judul pidato pengukuhannya : Kepemimpinan Presiden Megawati Pada Era Krisis Multidimensi pada 2001-2004. Pengukuhan Megawati sebagai profesor ini mengundang kontroversi. Mulai dari kelayakan, status guru besar kehormatan, sampai judul pidato pengukuhannya yang dinilai memuji diri sendiri. Sehari sebelum pengukuhan Megawati, Dirjen Dikti Kemendikbud Ristek Nizam kepada media secara tegas menyatakan tidak ada gelar profesor kehormatan. Yang ada adalah gelar doktor kehormatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan, gelar doktor kehormatan diberikan oleh perguruan tinggi kepada seseorang dengan jasa yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan. Untuk gelar doktor kehormatan, Mega telah mengantongi 9 gelar dari berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Sehari kemudian Nizam meralat pernyataannya. Dia membuat siaran resmi mengucapkan selamat atas pengukuhan Megawati sebagai profesor. Lucunya Nizam menyebut Mega sebagai profesor dengan status dosen tidak tetap. Dia mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta Permendikbud Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi. Seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap dalam jabatan akademik tertentu pada perguruan tinggi. Pernyataan Nizam dan kemudian diikuti Ralat tersebut menunjukkan betapa kacaunya administrasi pada Kemendikbud Ristek yang dipimpin Nadiem. Bagaimana mungkin seorang Dirjen yang membawahi perguruan tinggi, tidak tahu menahu bahwa Menteri sebagai atasannya telah mengeluarkan surat keputusan untuk gelar Megawati. Penetapan Profesor Kehormatan terhadap Megawati tersebut tertuang dalam surat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nomor 33271/MPK.A/KP.05.00/2021. “Terhitung mulai tanggal 1 Juni 2021 diangkat dalam jabatan Profesor dalam Ilmu Kepemimpinan Strategik ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 2021,” kata Sekretaris Senat Unhan saat membacakan surat keputusan tersebut. Sejak awal publik sudah mencurigai pemberian gelar profesor kepada Megawati sangat kental dengan aroma politik. Bagi lingkungan Dephan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, ini merupakan penghargaan kedua yang diberikan kepada Megawati dalam sepekan terakhir. Pada tanggal 6 Juni Megawati meresmikan patung Presiden Soekarno sedang menunggang kuda di halaman Depan kantor Kemenhan. Soekarno alias Bung Karno nota bene adalah ayah kandung Megawati. Tak cukup hanya itu, sekarang Unhan yang secara kelembagaan berada di bawah Kemenhan memberi gelar profesor kehormatan kepada Megawati. Dua penghargaan itu sangat sulit untuk tidak dihubung-hubungkan dengan kepentingan politik menghadapi Pilpres 2024. Prabowo sedang mengincar tiket dan dukungan dari PDIP sebagai capres berpasangan dengan Puan Maharani. Keinginan Prabowo ini secara terbuka sudah disampaikan oleh Sekjen Partai Gerindra Achmad Muzani. Mereka ingin berkoalisi dengan PDIP. Keinginan politik semacam itu sah-sah saja. Masalahnya menjadi lain, ketika Prabowo kemudian mempolitisasi perguruan tinggi. Peruguruan tinggi adalah sebuah institusi yang kemandiriannya harus dijunjung tinggi. Tidak hanya secara akademis, namun juga moral. Mengacu pada aturan yang dikemukakan oleh Dirjen Dikti Nizam, gelar profesor kehormatan tidak dikenal. Aroma barter politik dalam pemberian gelar itu memang sangat kental. Selain Prabowo, Mendikbud Ristek Nadiem juga patut dicurigai. Bagaimana mungkin dia menerbitkan surat keputusan, tanpa diketahui oleh bawahannya. Untuk gelar guru besar, perguruan tinggi biasanya akan mengajukan usulan ke kementerian. Pos pertama yang menerima usulan adalah Dirjen Dikti. Setelah memenuhi semua syarat dan ketentuan, baru diajukan ke menteri. Jadi patut diduga usulan gelar profesor kehormatan ini juga di by pass langsung ke Menteri Nadiem. Publik pasti belum lupa. Ketika heboh reshuffle dan peleburan Kementerian Ristek ke Kemendikbud, Nadiem diketahui sowan ke Megawati. Mega meminta agar Nadiem melakukan pelurusan sejarah Peristiwa G30S/PKI. Ketika Presiden Jokowi akhirnya mengumumkan reshuffle, Menristek Bambang Brojonegoro terpental. Kemenristek dilebur ke Kemendikbud. Nadiem tetap bertahan dengan kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar. Terbitnya SK gelar profesor kehormatan yang tidak dikenal di dalam aturan dan ketentuan pemberian gelar di Kemendikbud, menegaskan adanya aturan yang ditabrak. Itu merupakan konsekuensi barter-barter politik yang tengah terjadi di pemerintahan Jokowi. Melalui forum ini kami mengingatkan. Terlalu banyak institusi yang telah dirusak pada masa rezim pemerintahan Jokowi. Mulai dikebirinya peran lembaga legislatif, lembaga judisial seperti MK dan KPK, dan sekarang politisasi dunia perguruan tinggi. Mau dibawa ke mana bangsa ini, bila perguruan tinggi, sebagai simbol moral intelektual juga diacak-acak, demi kepentingan politik jangka pendek para politisi yang haus kekuasaan. Ambyaarrrrr!

Hukum Tajam ke Oposisi Tumpul ke Pendukung Jokowi

JUDUL di atas mengingatkan kita betapa carut-marutnya hukum di negeri Pancasila ini. Padahal, kalimatnya berbunyi, "Hukum tajam atau runcing ke bawah, tumpul ke atas." Kalimat runcing atau tajam ke bawah, tumpul ke atas merujuk pada banyaknya kasus kelas teri yang diproses secara hukum, dan kelas kakap dipetieskan. Hal tersebut bisa terjadi karena hukum masih bisa dibeli. Hukum bisa diperdagangkan. Hukum bisa mandul jika berhadapan dengan orang berkuasa, berduit, memiliki beking, dan memiliki pengaruh. "Koruptor bisa dihukum rendah dan sering memakai batik saat tampil di televisi, pencuri ayam dihukum berat dan selalu memakai kaos atau rompi tahanan," begitu kalimat yang sering didengar dalam obrolan di warung kopi hingga perkantoran, dari lingkungan perumahan biasa sampai perumahan elit. Sedangkan kepada mereka yang tidak punya apa-apa dan siapa, hukum sangat tajam. Mereka mudah dijadikan tersangka dan ditahan, kasusnya bergulir ke pengadilan, dan divonis bersalah. Ingat kasus nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500.000 subsider satu hari hukuman percobaan gara-gara mencuri kayu jati milik Perhutani. Nenek berusia 63 tahun itu membantah tuduhan, karena kayu jati yang digunakan tempat tidur itu diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya. Itu peristiwa tahun 2015 yang sempat menggemparkan jagat hukum di Indonesia. Mencuri tidak dibenarkan dalam hukum agama apa pun, dan juga dalam hukum positif (KUH Pidana). Akan tetapi, perlakuan hukum kepada nenek renta itu dirasakan sangat tidak adil. Tahun 2017, seorang kakek berusia 62 tahun juga harus mendekam di penjara gara-gara dilaporkan sang menantu. Kakek bernama Charli itu dilaporkan dengan tuduhan penggelapan uang Rp 3,5 juta. Menantu bernama Panji melaporkannya dengan tuduhan menjual tanah 44 hektare dengan harga Rp 3,5 juta. Padahal, tanah tersebut sudah dijual Panji tahun 2014. Masih banyak kisah pilu lainnya tentang orang lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi hukum. Kasus orang-orang lemah yang meradang karena jeratan hukum cukup banyak, meskipun yang muncul ke permukaan sangat sedikit. Rakyat geram atas perlakuan yang dinilai tidak adil itu. Banyak rakyat, termasuk ahli hukum dan pemerhati hukum harus mengernyitkan dahi melihat perlakuan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi yang menjadi awal laporan kasus. Tidak heran jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, cita-cita Indonesia sebagai negara hukum belum sepenuhnya terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. "Hukum masih dirasa cenderung tajam dan runcing ke bawah dan tumpul ke atas," kata Jokowi dalam pembukaan rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2016. Ucapan Jokowi itu menarik, karena mencuat pada saat dia baru hampir dua tahun menjadi presiden dalam periode pertama dengan Wakil Presiden M Jusuf Kalla. Ucapannya itu penuh makna dan harapan agar hukum benar-benar dijadikan panglima. Penegakan hukum diharapkan bisa terwujud secara adil tanpa mengenal pandang-bulu. Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Semakin lama, penegakan hukum semakin mandul dan acak-acakan. Apalagi menjelang periode kedua dan awal periode kedua Jokowi menjadi penguasa hingga sekarang. Hukum.semakin tercabik-cabik. Sekarang rakyat semakin merasakan jauhnya penegakan hukum yang adil. Mengambil istilah politik hukum, "Penegakan hukum hanya tebang pilih." Sebab, jika yang melaporkan pendukung Jokowi dan rezimnya, sangat cepat ditanggapi polisi. Jika yang melaporkan kasus adalah BuzzerRp, maka respon polisi sangat cepat dan sigap menerimanya. Bahkan, dalam pelaksanaannya orang yang dilaporkan pendukung Jokowi dan BuzzerRp cepat direspon, dengan menangkapnya di tengah malam. Akan tetapi sebaliknya. Jika yang melapor adalah oposisi, maka jangan kecewa jika pelapornya disuruh balik melengkapi berkas. Itu hanya bahasa halus. Padahal, sebenarnya laporannya ditolak polisi. Kasus ini sering terjadi. Seandainya laporan diterima, prosesnya pun tidak jalan. Ingat kasus Deny Siregar yang dilaporkan karena dugaan penghinaan kepada santri di Tasikmalaya. Sampai sekarang kok kasusnya diam atau didiamkan? Hal itu tidak lain karena yang dilaporkan adalah BuzzerRp yang tidak lain pendukung Jokowi. Banyak kasus ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat, terutama oposisi dan pengkritisi Jokowi dan rezimnya. Ada penegakan hukum, tetapi tidak adil. Rakyat membutuhkan penegakan hukum yang adil. Ingat kasus Budi Djarot? Kasus Dewi Tandjung, Abu Janda, dan sederet Buzzer Rp lainnya yang kerap menghina dan mengolok-olok umat Islam dan ulama. Bahkan, ada BuzzerRp yang menghina Nabi Muhammad dan memelesetkan AlQur'an. Sudah ada yang dilaporkan, tetapi tidak direspon, apalagi diproses. Baru direspon polisi, ketika masyarakat "mengepung" rumahnya dan menginterogasi orangnya. Jika dari kubu oposisi atau pengkritisi Jokowi yang dilaporkan, sudah dipastikan cepat diproses. Bahkan, beberapa kasus, polisi sendiri yang membuat laporan (secara hukum dibenarkan). Kasus terakhir dan menarik adalah laporan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo terhadap Eko Kunthadi dan Mazdjo Pray. Keduanya dilaporkan politisi Partai Demokrat itu dalam kasus dugaan pencemaran nama baik. Betul, polisi menindaklanjuti laporan tersebut. Akan tetapi, sungguh aneh, karena polisi justru "ngotot" melakukan mediasi terlebih dahulu. Banyak dugaan, upaya mediasi itu dilakukan pihak penyidik Polda Metro Jaya karena Eko dan Mazdjo pendukung Jokowi (walau bukan pendukung terbuka dan membabi-buta), sedangkan Roy Suryo dianggap oposisi. Secara hukum mediasi dibenarkan, tetapi mestinya polisi tidak langsung menggiringnya ke arah tersebut. Wahai Jokowi dan pendukungmu, berhentilah bermain-main dengan hukum. Wahai polisi, kalian harus adil dalam menegakkan hukum. Jangan permainkan hukum. Sebab, masih ada hukum Allah yang paling adil. ***

Tragedi Duit Haji

BUKAN kali ini saja, duit calon haji sudah menjadi kecurigaan umat. Jauh sebelum Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengumumkan pembatalan pemberangkatan haji pada 3 Juni 2021, duit haji telah jadi misteri. Rezim boleh saja membantah bahwa duit haji tidak disalahgunakan. Tetapi empat tahun yang lalu, Presiden Jokowi memerintahkan kepada Kepala Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu untuk mengelola dana haji biar lebih produktif. “BPKH siap menjalankan instruksi Presiden Joko Widodo untuk menginvestasikan dana haji sebesar Rp 80 Triliun, 80 persen (dari total dana haji)," kata Anggito seusai dilantik sebagai Anggota BPKH oleh Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7/2017). Demikian juga Ma’ruf Amin. Melalui juru bicara Masduki Baidlowi, Wapres menyarankan dana haji bisa dimasukkan ke investasi-investasi saham yang menguntungkan pemerintah, yang sangat terjamin amannya, “Itu boleh. Kira-kira begitu waktu itu," lanjut Masduki saat memberi klarifikasi beredarnya video Wapres tentang dana haji, di Jakarta Senin (7/6/2021). Sejak pembentukan BPKH umat bertanya-tanya, mengapa duit haji dipakai seenaknya. Bukankah dana haji diperuntukkan hanya bagi kepentingan ibadah. Kini setelah ribut soal dana haji, pemerintah kembali ngeles bahwa dana haji aman. BPKH dalam laman resminya mengungkapkan, selama tiga tahun mengelola dana haji telah berhasil membukukan peningkatan dana kelolaan, meski berada pada situasi yang tidak mudah akibat pandemi Covid-19 dan kontraksi ekonomi. Pada 2020, saldo dana haji yang dikelola BPKH sebesar Rp 143,1 triliun atau meningkat 15,08%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang sebesar Rp 124,32 triliun. Realisasi tersebut juga telah melebihi target dana kelolaan yang ditetapkan oleh BPKH tahun 2020 sebesar Rp 139,5 triliun. Terkait instrumen dana kelolaan tahun 2020, sebesar Rp 99,53 triliun atau mencakup 69,6% untuk diinvestasikan, dan sisanya 30,4% atau Rp 43,53 triliun ditempatkan di bank syariah. Sebetulnya calon jamaah haji tidak butuh penjelasan teknis yang njlimet dan bikin mumet. Calon jamaah tidak butuh pengetahuan tentang valas, sukuk, surat utang atau investasi lainnya. Mereka hanya butuh kejujuran, mengapa saatnya berangkat tidak bisa berangkat. Itu saja. Calon jamaah haji tidak semuanya melek ekonomi. Mereka bukan mau berwisata. Uang yang mereka setorkan bukan untuk dibungakan, apalagi main valas yang tentu saja mengandung unsur judi. Mereka juga percaya kepada pengelola haji yang notabene adalah pemerintah. Mereka yakin pemerintah tidak akan jahat seperti pengelola First Travel, arisan berantai dan investasi bodong lainnya. Oleh karena itu, jujurlah wahai rezim. Kepercayaan mahal harganya. Pepatah mengatakan, "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya." Pengingkaran inilah yang bikin kecewa umat. Ada puluhan ribu calon haji yang petani miskin, tukang bubur, dan pekerja kasar lainnya. Setiap keping rupiah, mereka sisihkan demi memenuhi rukun Islam kelima sebagai umat yang taat. Jika tiba-tiba pemerintah membatalkan ibadah suci tersebut, jelas menjadi pertanyaan besar. Mengapa pemerintah tidak mendata berapa jumlah calon haji yang lansia, sepuh, dan tak berdaya untuk diprioritaskan? Bukankah pengelolaan ibadah haji sudah seusia dengan republik ini? Sangat absurd jika alasan terlalu mepet waktunya untuk persiapan sehingga haji harus dibatalkan. Bukankah pandemi ini sudah memasuki tahun kedua? Mengapa pemerintah tidak menyiapkan skenario ibadah haji di tengah pandemi? Yang terjadi justru pemerintah sibuk berkilah, cari-cari alasan, dan ngeles. Saking terdesaknya, pemerintah mengizinkan dana haji ditarik kembali. Sungguh tawaran yang aneh. Apalagi para calon haji sesungguhnya hanya punya satu tujuan yakni berhaji. Bukan bertujuan ambil duit. Tidak elok menarik kembali duit haji. Akan tetapi, tawaran tersebut lagi-lagi curang, yang boleh ditarik hanya biaya pelunasan. Bagaimana dengan duit Rp 25 juta yang sudah mengendap selama 15 tahun, apakah boleh diambil? Jika demikian, salahkah jika umat menduga dana haji zonk? Tampak sekali rezim punya tabiat tukang pungut. Mereka memungut apa saja. Mereka mengincar duit yang ada di kantong rakyat. Ada saja target yang dipungut, dari pembelian permen hingga donasi kemanusiaan. Dari biaya admin transaksi bank hingga pajak penghasilan. Dari kotak amal hingga dana haji. Ini preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Rezim tak kreatif menghasilkan uang, selain melakukan pungutan. Wajar jika calon jamaah haji pun geram. Mana lebih produktif, apakah investasi dikelola pemerintah atau dikelola umat sendiri. Sejauh ini setiap calon haji harus setor dana sebesar Rp 25 juta. Masa tunggu berkisar 10-20 tahun. Bahkan kini ada yang 30 tahun. Jika uang Rp 25 juta itu dibuat usaha jualan martabak, maka akan menghasilkan 3 gerobak martabak plus bahan bakunya. Jika setiap gerobak martabak menghasilkan keuntungan Rp 2 juta per bulan, maka akan terkumpul Rp 6 juta. Dalam setahun bisa terkumpul Rp 72 juta. Sepuluh tahun Rp 720 juta per jamaah. Di Indonesia ada 450. 000 calon jamaah haji. Fantastis. Jauh lebih menguntungkan ketimbang main valas, bukan? Belum lagi jika dana itu dipakai buat beternak kalajengking seperti saran Presiden Jokowi. Harga racun scorpion itu mahal, 1 (satu) liter mencapai Rp 150 miliar. Wow menarik sekali. Bisa dibayangkan berapa keuntungan umat jika dana haji dikelola sendiri. Ongkos naik haji dibayar sebelum keberangkatan saja. Pemerintah boleh berargumen, namun umat tidak akan pernah percaya. Rezim boleh teriak dana haji aman, tapi rakyat berhak bertanya mengapa sampai dua kali musim haji selalu gagal dan batal. Mengapa negara-negara lain bisa berhaji. Sederhana saja. Motor titipan tidak boleh dipakai oleh pengelola untuk ngojek apalagi motornya kemudian digelapkan. Demikian juga dana titipan harus siap dikembalikan manakala dibutuhkan oleh penitip, tidak boleh dipakai untuk keperluan apa pun. Ke mana duit haji? Mengapa tidak juga diaudit? Mengapa donasi untuk Palestina yang cuma Rp 39 miliar ngotot mau diaudit? Sementara dana haji yang mencapai ratusan triliun dibiarkan? Sejak kapan umat menyatakan ikrarnya bahwa dana haji untuk infrastruktur, valas atau sukuk? Para calon haji tidak pernah menyatakan dana haji dipakai buat selain haji. Mereka percaya pemerintah menjaga dana umat apalagi untuk kepentingan ibadah wajib. Jika pada saatnya ibadah harus ditunaikan tetapi tidak bisa dilakukan karena duitnya gak ada, apakah ini bukan upaya menghalang- halangi umat untuk beribadah dan menjalankan keyakinan? Apakah ini bukan pelanggaran hak asasi manusia? Pemerintah bertidaklah secara wajar biar tidak ada prasangka liar. Jangan kebohongan ditutupi dengan kebohongan baru. Jangan terbiasa putuskan dahulu, jelaskan kemudian. Jangan menganggap semua pelanggaran bisa dijelaskan dengan konferensi pers dan grafik apalagi dengan gonggongan buzzer. Tampaknya rezim telah menempatkan diri sebagai makhluk paling sempurna, tanpa salah. Apapun yang dilakukan selalu benar. Untuk kasus yang sudah nyata saja pemerimtah enggan meminta maaf apalagi untuk kasus yang samar. Arogansimu bisa menjerumuskanmu.**

LPS Dalam Bahaya Besar Karena Pemimpinnya Tidak Amanah

LEMBAGA Penjamin Simpanan (LPS) kembali dalam sorotan. Pasalnya dana iuran perbankan 95,17% digunakan untuk belanja Surat Berharga Negara (SBN). Sampai akhir 2020, LPS diketahui memiliki aset tunai sebesar Rp140,16 triliun. Aset tunai tersebut berasal dari iuran industri perbankan berupa dana penjaminan. Dari jumlah tersebut ternyata 95,17%-nya dibelanjakan SBN atau setara Rp133,39 triliun. Memang pada 2020 berhasil membukukan surplus bersih sebesar Rp19,36 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp17,73 triliun. Sebagian besar surplus itu dari return SBN. "Pendapatan dari investasi naik sebesar 15,80% menjadi Rp8,84 triliun, atau naik sebesar Rp7,64 triliun dari tahun sebelumnya. Hal ini juga karena disertai efisiensi di sisi pengeluaran yang signifikan," demikian ungkap Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa. Sepanjang tahun 2020 kemarin LPS mencatat kenaikan jumlah simpanan masyarakat di 109 bank umum sebesar 10,86% Year on Year (YoY). "Jumlah rekening ini naik sebesar 16,12% (YoY) dibanding periode yang sama pada tahun sebelumnya. Simpanan yang dijamin LPS hingga Desember 2020 mencapai 350.023.911 rekening atau setara dengan 99,91%," katanya. Sedangkan besaran nilai simpanan yang dijamin LPS adalah Rp2 miliar per nasabah per bank. Ini setara 35,1 kali PDB per kapita nasional tahun 2020 yang jauh di atas rata-rata negara berpendapatan menengah ke atas sebesar 6,29 kali PDB per kapita. Sebelumnya Anggota Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan peran LPS akan dirombak bersamaan pembahasan RUU Omnibus Law Sektor Keuangan yang akan dilakukan pada masa sidang Agustus dan September 2021. Regulasi baru tersebut akan menambah peran LPS menjadi bersifat pre early warning atau lebih awal dibandingkan sekadar menunggu muncul bank gagal. Dia mencontohkan dalam kasus Bank Bukopin beberapa waktu lalu yang mengalami kendala likuiditas. Namun tidak dapat ditangani LPS karena kendala regulasi. Menurutnya kasus itu seharusnya itu sudah masuk ranah LPS dalam menyelamatkan dengan regulasi yang tepat. "Jangan sampai bank terlanjur gagal lalu masyarakat sudah panik menguras simpanannya. Di LPS ada uang nganggur Rp135 Triliun tapi hanya untuk beli SBN dan tidak mampu menggerakkan sektor riil, pertumbuhan ekonomi, dan lapangan kerja. Dana di LPS harus bisa lebih dari sekedar menjamin simpanan di atas Rp2 miliar saja," jelasnya. Masalah Besar Persoalannya, kondisi krisis saat ini sungguh dahsyat, lebih dahsyat dibandingkan krisis 1998, dimana sektor riil lumpuh. Hal ini bisa dilihat pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi atau minus 2,07%, sedangkan pertumbuhan kredit mengalami kontraksi 2,41%. Artinya, pertumbuhan ekonomi dan kredit yang minus, menunjukkan roda sektor riil mandeg. Kredit-kredit perbankan yang mengalir ke sektor riil bermasalah pengembaliannya akibat roda ekonomi melambat. Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) mengungkapkan, per Desember 2020, rasio kredit bermasalah (non performing loan--NPL) bank secara umum sebesar 3,02%. Angka ini meningkat 49 basis poin dari periode yang sama tahun sebelumnya 2,53%. Penyumbang pertumbuhan negatif tersebut terutama dari kredit di sektor perdagangan besar dan eceran terkontraksi 6,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year). Kemudian, laju kredit sektor real estate dan industri pengolahan juga minus masing-masing 3,5% yoy dan 4,1% yoy. Sektor perdagangan serta industri pengolahan merupakan sektor-sektor yang terkena dampak pandemi paling signifikan bila dibandingkan dengan sektor lainnya seiring dengan pembatasan aktivitas ekonomi serta pelemahan daya beli masyarakat. Dengan adanya kontraksi dari sektor yang berkontribusi besar tersebut, maka kinerja bank dalam mencetak laba bersih juga ikut terdampak. Per November 2020, rasio margin laba bersih (net interest margin/NIM) perbankan turun 4,41%. Pada November 2019, rasio NIM tercatat masih 4,89%. Konsekuensi dari pertumbuhan kredit negatif adalah makin membengkaknya restrukturisasi kredit perbankan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sejak diluncurkan 16 Maret 2020, sampai dengan akhir Desember 2020 program restrukturisasi kredit perbankan telah mencapai nilai Rp971 triliun diberikan kepada 7,6 juta debitur atau sekitar 18% dari total kredit perbankan. Bayangkan, jika tak ada restrukturisasi kredit, tentu saja jumlah tersebut akan menjadi beban LPS yang hanya memiliki aset tunai Rp140,16 triliun. Apalagi 95,17% sudah dibelanjakan SBN. Sehingga kas keras yang siap cair jika ada bank bermasalah atau ditutup, tinggal Rp6,77 triliun. Selama masa krisis ini saja ada dua bank yang collapse, yakni Bank Bukopin dan Bank Muamalat Indonesia. Untung saja Bukopin diselamatkan Kookmin Bank asal Korea sehingga bank kebanggaan koperasi itu telah berpindah kepemilikan oleh asing. Sedangkan Bank Muamalat diselamatkan lewat merger bank-bank syariah milik negara menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Secara operasional eks Bank Muamalat juga sedang diampu oleh Islamic Development Bank yang disebut-sebut akan menyuntik dana sebesar kredit macet Bank Muamalat. Pendek kata, likuiditas LPS yang bisa segera dicairkan kalau-kalau ada lagi bank bermasalah tersisa hanya Rp6,77 triliun. Setara aset Bank Century yang bermasalah. Kabarnya sejumlah bank kecil saat ini sedang megap-megap karena nasabahnya menggeser simpanannya ke bank-bank menengah dan bank besar yang lebih aman. Jika melihat sikap LPS yang membelanjakan 95,17% kasnya ke SBN, sungguh sangat membahayakan industri perbankan yang sudah tertatih-tatih membayar iuran ke LPS. Jika dan hanya jika di kemudian hari ada satu dua bank collapse, tentu akan membawa dampak berantai sehingga membutuhkan dana penjaminan yang besar. Dan LPS hanya menyisakan kas keras Rp6,77 triliun. Untuk mencairkan dana sisanya yang dibenamkan ke dalam SBN--karena memang likuiditas APBN sedang kering sekering-keringnya--makan membutuhkan waktu administrasi yang panjang. Bisa dibayangkan keriuhan yang akan terjadi, kemarahan nasabah yang akan memuncak karena dananya tak segera dapat dicairkan. Dan itu semua lantaran Purbaya Yudhi Sadewa dkk tidak amanah dalam mengelola dana LPS.

Mengapa KPK Menjadi Target

KALAU Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para pemimpin partai politik serius mau membasmi korupsi, mereka pasti akan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi, yang mereka lakukan adalah kebalikannya. Mereka melumpuhkan dan bahkan membunuh lembaga antikorupsi itu. Jadi, wahai rakyat yang selalu saja menjadi korban kerakusan oligarki busuk (oligarki busuk itu termasuklah para pemegang kuasa tertinggi di eksekutif dan legislatif), Anda semua tidak perlu berkerut memikirkan mengapa negara ini terpuruk terus. Penyebabnya, para elit begundal. Mereka itu berpura-pura ingin menegakkan keadilan dan memakmurkan rakyat, tetapi sesungguhnya mereka hanya memikirkan diri sendiri. Hanya memikirkan keluarga dan dinasti mereka. Kalaupun lebih dari memikirkan diri sendiri dan keluarga, paling banter mereka memikirkan kelompok. Ketika tempohari korupsi merajalela dan dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), semua pihak sepakat membentuk antikorupsi dengan wewenang yang luar biasa pula. Waktu itu, dan sampai sekarang, kepolisian serta kejaksaan dinilai punya banyak masalah untuk memberantas korupsi. Kedua lembaga tersebut tidak bisa diandalkan dan tidak bisa dipercaya mengurusi kasus-kasus korupsi. Lembaga khusus antikorupsi adalah satu-satunya solusi. Digagaslah KPK semasa Presiden Megawati Soekarnoputri. Dibentuk pada 2002 berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Kekuasaan lembaga ini untuk memberantas korupsi sangat besar. Sering dijuluki “superbody”. Independen dan bebas dari intervensi siapa pun. Ideal sekali. Semua orang bersemangat. Indonesia bakal bersih dari para pencoleng. KPK menjadi populer. Menjadi harapan rakyat untuk membasmi korupsi. Ketika KPK berhasil memborgol para koruptor dalam OTT (operasi tangkap tangan), publik senang sekali. Banyak bupati dan walikota diangkut ke Jakarta, diadili, kemudian dijebloskan ke penjara. Tapi, belakangan ini KPK mulai dirasakan mengganggu kepentingan partai-partai politik dan para individu yang terbiasa mendulang uang korupsi. KPK semakin menggelisahkan orang-orang yang selama ini ‘cari makan’ dan kekayaan lewat korupsi. Lembaga ini pun dimusuhi oleh DPR dan pemerintah. Apalagi, setelah OTT KPK menyasar para pejabat eksekutif sampai ke jenjang menteri. Menangkap pejabat legislatif hingga ke level Ketua DPR. Memborgol pejabat yudikatif sampai ke tingkat Ketua MK. KPK dianggap sebagai ancaman oleh banyak pihak, terutama para pemilik parpol busuk. Mereka gerah dan was-was mengamati lembaga antikorupsi itu. Tidak ketinggalan, yang ikut gelisah adalah para pemilik bisnis yang terbiasa menempuh jalan pintas dengan sogok-menyogok. Alhasil, KPK dibenci. Dimusuhi semua orang. Para musuh KPK itu jelaslah para penjahat dan perampok. Mereka inilah yang bekerja keras melumpuhkan KPK. Hari ini, target mereka telah tercapai melalui berbagai cara. Dimulai dari revisi UU KPK. Struktur KPK dirombak. Dibentuk Dewan Pengawas (Dewas) sebagai organ penentu. OTT tidak bisa lagi mudah dilakukan. Sekarang, pimpinan KPK bahkan bisa menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Sjamsul Nursalim, koruptor besar, adalah orang pertama yang menikmati SP3 KPK. Ke depan, diperkirakan akan banyak yang melobi penghentian perkara. Bisa saja nanti SP3 menjadi tambang duit. Status pegawai KPK dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Mereka tidak lagi independen, dan tidak lagi luar biasa. Tak lagi bergigi. KPK sekarang berada di bawah penguasaan eksekutif. Pekerjaan mereka bisa disetir. Apa argumentasi kuat perubahan status pegawai KPK menjadi ASN? Tidak ada. Tujuannya satu: dengan status ASN itu, maka semua orang di lembaga ini bisa dikendalikan oleh presiden, para menteri, dan orang-orang kuat lainnya. Tapi, ada 75 orang yang tidak bisa dikendalikan. Mereka dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Inilah tes dagelan yang isi dan eksekusinya tidak sedikit pun menunjukkan eksistensi intelektualitas (kecendekiaan) para perancangnya. Para pegawai KPK dites dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan tugas pemberantasan korupsi. Ada pertanyaan tentang FPI, HTI, tentang Habib Rizieq Syihab, tentang pacaran, tentang mau nikah atau tidak, tentang LGBT (lesbian, gay, biseks dan transgender), tentang aliran agama, dan pertanyaan-pertanyaan sampah lainnya. Tes seperti ini bukan hanya tidak beradab, tetapi juga biadab. Semua ini dilaksanakan untuk menyingkirkan 75 staf yang beritegritas, non-kompromis terhadap koruptor. Ke-75 orang itu dinyatakan tidak lulus. Padahal, mereka sudah bertugas belasan tahun. Apa dasar para penguji itu memutuskan mereka tidak memiliki wawasan kebangsaan? Baseless. Tak berdasar. Kalangan pengamat politik berpendapat Ketua KPK Firli Bahuri ditengarai sengaja menyingkirkan ke-75 orang yang tidak bisa diajak kompromi itu. Semua itu dilakukan untuk memuluskan agenda jahat elit garong. Bebas merdekalah para koruptor dan calon-calon perampok uang rakyat. Kepada Pak Sujanarko, Novel Baswedan, Andre Nainggolan, Harun Al-Rasyid (Si Raja OTT), Herbert Nababan, Juliandi Tigor Simanjuntak, Yudi Purnomo, dan sederet nama lainnya, Anda telah berjuang sekuat tenaga. Well done. You did your best untuk negara ini. Hari ini Anda terjungkal. Besok-lusa tidak ada yang tahu. Tetapi, rakyat tahu pasti dan mencatat siapa-siapa saja yang berkhianat. **

Babi Ngepet Tidak Lebih Berbahaya Daripada Bank Ngepet

BEBERAPA bulan lalu masyarakat di Bedahan, Depok, Jawa Barat dihebohkan oleh penangkapan Babi Ngepet oleh warga setempat. Penangkapan ini membuat masyarakat sedikit lega karena akhir-akhir ini banyak uang yang hilang di rumahnya. Masyarakat meyakini Babi Ngepet pelakunya. Dalam kepercayaan sebagian masyarakat kita, Babi Ngepet adalah babi jadi- jadian yang merupakan penjelmaan dari manusia. Tugasnya menyedot duit masyarakat yang disimpan di rumah. Tandanya, jika ada babi hutan berkeliaran di got depan rumah, masyarakat meyakini itu babi ngepet yang sedang menyedot duit penghuni rumah tersebut. Pemilik rumah baru tahu duitnya tersedot setelah babi siluman itu menghilang. Belakangan cerita Babi Ngepet di Depok ternyata prank belaka setelah seorang warga mengaku sebagai perekayasa. Polisi pun ikut menjadi korban prank babi ngepet dengan membuat press realease peristiwa yang menghebohkan tersebut. Pelaku prank bernama Adam Ibrahim. Babi ia beli dari toko online seharga 900 ribu untuk kemudian dibuat cerita seakan-akan benar adanya. Skenario ia susun, aksi dimulai dan publik percaya, bahkan polisi. Masyarakat pun berduyun-duyun. Perekayasa mengaku menangkap babi tersebut dengan ritual tertentu. Setelah ditangkap babi dibunuh lalu dikubur layaknya manusia dengan dibungkus kain kafan. Kuburan babi menjadi perhatian masyarakat luas dan membludak. Ada nilai bisnis di sini, yakni lahan parkir dan tiket masuk kuburan babi. Ini salah satu motif Adam Ibrahim membuat episode Babi Ngepet. Belakangan setelah Adam Ibrahim ditangkap polisi, cerita tentang Babi Ngepet di Depok menghilang. Meski cerita Babi Ngepet mereda, namun mitos tentang binatang haram itu tidak pernah sirna. Apalagi mitos ini pernah dibikin film layar lebar tahun 1980-an. Babi Ngepet merupakan varian lain dari cara memupuk harta dengan bantuan setan, seperti pelihara tuyul dan bulus putih. Babi Ngepet di era digital lebih parah lagi, namanya Bank Ngepet. Bank bisa menyedot duit nasabah, bahkan sampai tiris habis. Jika Babi Ngepet melakukan aksinya secara sporadis dan acak, sedangkan Bank Ngepet menyedot duit rakyat secara sistematis, rutin, dan berkala. Bank Ngepet dilakukan oleh bank pelat merah yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) antara lain Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BRI, dan Bank BTN. Mereka pada 1 Juni 2021 berencana menerapkan biaya baru bagi para nasabahnya. Cek saldo dikenakan 2500, sedangkan tarik tunai dikenakan 5000. Bayangkan jika dalam sebulan melakukan cek saldo 10 kali maka duit akan tersedot 25.000. Demikian juga jika dalam sebulan nasabah melakukan tarik tunai 20 kali, maka dalam sebulan 100.000. Ini jelas telah menciptakan beban baru bagi semua nasabah di tengah pandemi Covid-19. Di samping biaya cek saldo dan tarik tunai masih ada pungutan lain atas nama biaya admin saat melakukan transaksi seperti, bayar listrik 3500, bayar air 3500, bayar gas 3500, bayar telefon/internet 3500, cicilan rumah 3500, cicilan motor 3500, dan cicilan lainnya. Biaya ini tidak termasuk biaya admin bulanan sebesar 12.000. Jika nasabah melakuan transaksi di mall sebanyak 4 kali sebulan maka biaya bank mencapai 14.000. Jika nasabah berbelanja di Alfamart atau Indomaret sebanyak 10 kali sebulan, maka duit yang tersedot mencapai 35.000. Belum lagi besarnya biaya transfer lintas bank pelat merah ke bank swasta atau sebaliknya. Jadi, bisa dihitung berapa uang masyarakat yang disedot bank tiap bulan. Praktek Bank Ngepet oleh bank milik negara mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik keras adanya rencana perubahan biaya layanan transaksi di ATM bank BUMN. Ketua YLKI Tulus Abadi meminta penerapan biaya administrasi ini harus segera ditolak. Para konsumen dijadikan 'sapi perah' atau sumber pendapatan di tengah kondisi sulit pandemi Covid-19. Tidak elok dan tidak kreatif menjadikan biaya admin Bank termasuk cek saldo sebagai sumber pendapatan. Ini tidak pantas. Penolakan juga datang dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Indef meminta agar Himbara lebih kreatif cari pendapatan berbasis fee, jangan hanya bermain di layanan ATM. Seharusnya tidak perlu memberikan beban tambahan ke nasabahnya dalam bertransaksi di ATM Link. Ia menyebut, arah pengembangan sistem pembayaran ke depan, khususnya perbankan dituntut untuk memberikan efisiensi, sehingga biaya bisa ditekan dan ujungnya nasabah diuntungkan. Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad menilai keputusan bank Himbara menarik biaya cek saldo, dan tarik tunai bagi nasabahnya akan memberikan dampak ekonomi biaya tinggi dan beban baru bagi nasabah. Tampaknya petinggi bank milik negara tak mau kalah dengan Adam Ibrahim si perekayasa Babi Ngepet dan tukang parkir liar yang memungut parkiran di setiap gerai ATM. Aneh, duit-duit sendiri, saat diambil harus membayar kepada orang yang berodal sempritan. Jika seseorang cuma punya sisa uang di 150 ribu, lalu dia cek saldo di ATM, maka ia akan terkena biaya cek saldo. Uangnya tidak bisa diambil lantaran berada di batas minimal syarat bank tersebut. Kelak, uang itu akan dilahap habis oleh bank setiap bulan dengan dalih biaya administrasi bulanan. Ekonomi kreatif bukan memungut dan memeras uang rakyat. Ciptakan pekerjaan baru, beri rangsangan positif dan fasilitas lain yang mempermudah UMKM tumbuh berkembang. Sangat ironis. Pengusaha besar banyak diberi kemudahan fasilitas seperti tax holiday. Pengemplang pajak juga diberi ampunan dengan tax amnesty. Sementara rakyat kecil terus dipantau kepemilikannya, diintip tabungannya dan disedot hartanya. Ada saja ide untuk memeras duit rakyat mulai dari cek saldo, kotak amal musholla, hingga penarikan zakat. Belum lagi pajak penjualan, pajak penghasilan, dan pajak sabun mandi serta pajak pembelian alat-alat rumah tangga lainnya. Tak ada celah bagi masyarakat untuk menghindari auto-sedot ala Babi Ngepet. Semoga kebijakan ini tak hanya ditunda tetapi dibatalkan selamanya. (sws)

Dulu BUMN Sapi Perahan Pejabat Kini Jadi Perasan Relawan Jokowi

PEMBERITAAN tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak ada henti-hentinya belakangan ini. Tidak hanya kabar tentang untung dan rugi, tetapi menyangkut pengangkatan direksi dan komisaris yang syarat nepotisme. Tidak hanya pemberitaan karena banyak karyawannya dituding radikal, dan tidak Pancasilais, karena rajin beribadah, terutama karyawan Islam yang setiap solat wajib berusaha ke masjid dan berjamaah, tetapi juga pemberitaan miring lainnya. Harap maklum, masjid di sejumlah kantor BUMN sangat indah dan sejuk karena pendingin udara (AC) yang bagus. Hal itu bisa kita jumpai terutama di kantor-kantor BUMN yang ada di Jakarta, dan di beberapa daerah. Hampir dipastikan, jika solat Zuhur, solat Ashar dan solat Jum'at, masjid-masjid BUMN penuh jemaah, baik karyawan perusahaan plat merah itu, maupun dari luar. Masalah BUMN tidak pernah sepi dari pemberitaan. Menjelang bulan Ramadhan 1422 Hijriyah yang baru lewat, ada direksi PT Pelni melarang kajian Ramadhan karena penceramahnya dituding radikal. Pihak Pelindo 2 sudah membantah larangan itu tidak ada kaitan dengan isu radikal. Yang jelas, salah seorang karyawan Pelni yang menjadi pengurus pengajian menjadi korban. Sedangkan yang mengeluarkan larangan aman, karena pendukung Joko Widodo atau Jokowi. Nah, masih berita menarik lainnya. Komisaris Independen PT Waskita Karya (Persero) Tbk berisial M dituding telah menelantarkan anak dari hasil pernikahan siri. Belakangan, komisaris berinisial M itu adalah Profesor Muradi. Namun, kasusnya hilang bak ditelan bumi. Pengacaranya membantah tuduhan yang dialamatkan kepada profesor yang juga guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Fisip Unpad), Bandung. Kasusnya tenggelam. Sang profesor tetap aman jadi konisaris independen karena pendukung Jokowi. Belakangan, berita miring tentang BUMN ramai lagi. Hal itu tidak lain karena pengangkatan Abdi Negara Nurdin alias Abdee 'Slank' menjadi Komisaris PT Telkom (Persero) Tbk. Pengangkatannya disorot karena sebagai musisi tidak memiliki kelayakan dan kapabilitas menjadi komisaris emiten berkode TLKM itu. Akan tetapi, dibalik kritik dan bahkan hujatan terhadap pengangkatannya itu, masyarakat maklum, ia diangkat karena pendukung Jokowi. Pokoknya, kalau mau menjadi direksi dan komisaris BUMN harus menjadi pendukung Jokowi. Direksi dan komisaris BUMN yang benar-benar independen sudah tergerus oleh pendatang baru yang lebih layak di mata pemerintah, yaitu relawan dan pendukung Jokowi. Bahkan, beberapa orang BuzzerRp alias pembela atau pendengung Jokowi juga ada yang masuk menjadi komisaris dan direksi BUMN. Tidak heran juga meme olok-olokan dialamatkan kepada BuzzerRp Deny Siregar, Abu Janda, Dewi Tanjung, dan lainnya tentang jatah menjadi komisaris atau direksi BUMN. Dalam foto yang beredar, para BuzzerRp itu digambarkan sebagai sosok yang sedang antre menunggu panggilan dan pengangkatan menjadi petinggi di sejumlah perusahaan negara yang masih lowong/kosong. Sangat disayangkan, komisaris dan direksi BUMN diisi oleh orang yang hanya menjadi pendukung, relawan Jokowi, dan Buzzer Rp. Pengangkatan itu sangat jauh lebih buruk jika dibandingkan di masa Orde Baru. Sejatinya, reformasi yang digulirkan juga harus melepaskan BUMN dari tangan-tangan jahil para relawan, pendukung dan BuzzerRp. Oleh karena itu, menarik dikutip pernyataan politikus PDI-P, Adian Napitupulu yang menyebutkan, 6.200 direksi dan komisaris di BUMN merupakan orang-orang titipan. Dia menyebutkan titipan karena melihat selama ini proses rekrutmen terkesan tertutup. Artinya, angka 6.200 itu mencakup seluruh BUMN. Titipan yang dimaksud termasuk relawan.dan pendukung Jokowi. Termasuk BuzzerRp. Kita tidak tahu berapa persen dari 6.200 itu yang berasal dari pendukung Jokowi secara terang-terangan atau samar-samar. Sulit juga dihitung berapa yang berasal dari relawan Jokowi. Akan tetapi, sederet nama sudah muncul di media massa. "Titipan-titipan itu konsekuensi dari tidak adanya sistem rekrutmen yang transparan?,” ujar Adian kepada Kompas.com, Sabtu (25/7/2020). Proses rekrutmen yang transparan sangat penting dilakukan untuk jabatan direksi dan komisaris di perusahaan pelat merah itu. Sebab, gaji yang dikeluarkan untuk dua jabatan tersebut berasal dari perusahaan milik negara. “Lucu dan aneh bagi saya kalau Negara mengeluarkan Rp 3,7 triliun setiap tahun untuk 6.200 orang yang rakyat tidak tahu bagaimana cara rekrutmennya dan dari mana asal usulnya,” kata Adian. Betul apa yang dikatakan Adian itu. Tidak hanya lucu dan aneh, tetapi juga.membingungkan rakyat. Apalagi, uang yang mereka terima Rp 3,7 triliun (angka 2020). Bisa jadi sekarang angkanya mendekati Rp 4 triliun. Angka itu baru berupa gaji, tunjangan, dan tantiem. Nah, jika ditambah dengan biaya perjalanan dinas, tentu angkanya sulit diperoleh. Belum.lagi fasilitas lain, termasuk mobil mewah. Nah, karena angka gaji dan tantiem serta fasilitas lain yang diperoleh sangat fantastis dan menggiurkan, maka para relawan, pendukung Jokowi berlomba-lomba mengajukan lamaran. Prosesnya pengangkatannya cepat, dan tidak transparan. Tiba-tiba saja si A, si B, si C dan seterusnya diumumkan menjadi anggota direksi dan komisaris PT. Nganu. Ya, beginilah BUMN di negara Pancasila tercinta ini. Bagi yang ingin mendapatkan kursi, silahkan merapat. Dengan catatan, relawan dan pendukung Jokowi. Aji mumpung saja. BUMN sekarang sudah berubah jargon. Jika sebelumnya, terutama di masa Orba BUMN itu menjadi sapi perahan pejabat, sekarang berubah menjadi tempat pemerasan relawan Jokowi. **

Presiden Jokowi Harusnya Kesal Pada Dirinya Sendiri

PRESIDEN Joko Widodo atau Jokowi tengah kesal dengan amburadulnya data pemerintahan. Mulai dari pusat sampai tingkat daerah. Dampaknya selain sangat mengherankan, juga menimbulkan berbagai kelucuan yang tidak lucu. "Saya melihat, saya ini di lapangan terus. Ada waduk nggak ada irigasi-nya, irigasi primer, sekunder, tersier, nggak ada. Ada membangun pelabuhan baru, nggak ada akses jalan ke situ, apa-apaan. Bagaimana pelabuhan bisa digunakan,” ujarnya ketika memberi pengarahan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Internal Pemerintah 2021, Kamis (27/5/2021). Jokowi juga menyoroti tumpang tindihnya dana bantuan sosial (bansos) di tingkat pusat dan daerah. Soal ini juga pernah dilaporkan oleh Mensos Tri Rismaharini ke KPK. Berdasarkan audit dari BPK, ditemukan 21 juta data penerima bansos ganda. Dalam rapat kerja dengan DPR Komisi VIII DPR RI Risma mengaku mumet melihat data bansos. Yang lebih membuat Jokowi jengkel adalah rendahnya penyerapan anggaran baik pada APBN, maupun APBD. Padahal, dia sebelumnya mematok angka pertumbuhan ekonomi sampai 7 persen. Salah satu mesin penggeraknya diharapkan dari gelontoran anggaran pemerintah. "Saya minta percepatan belanja pemerintah dikawal dan ditingkatkan, dan supaya kita tahu semuanya, realisasi belanja pemerintah masih rendah, sekitar kurang lebih 15% untuk APBN, dan 7% untuk APBD, masih rendah. Serapan belanja PEN juga masih rendah, baru 24,6%, sekali lagi kecepatan, tapi juga ketepatan sasaran,” tegasnya. Ini bukan pertama kalinya Jokowi menyampaikan kejengkelan dan kemarahannya kepada jajaran pembantunya di kabinet, dan birokrasi. Berkali-kali kita mencatat Jokowi menyampaikan hal itu. Jokowi tercatat pernah sangat marah kepada menterinya soal penanganan krisis Covid-19. Dia bahkan sampai mengancam akan mencopot menteri yang dianggap tidak becus bekerja. Jokowi menilai ada menteri yang bekerja biasa-biasa saja. Tidak punya sense of crisis. Kalimat yang digunakan Jokowi juga sama. “Apa-apaan ini?” Melihat data dan fakta yang dipaparkan Jokowi kita bisa memaklumi jika presiden sampai harus heran, marah dan kesal. Sangat tidak masuk akal dan konyol bila ada pembangunan waduk, namun tak ada saluran irigasinya. Ada pelabuhan, tidak ada akses jalannya. Hal semacam itu hanya mungkin terjadi di negara Wakanda. Negeri antah berantah. Super konyol dan tak masuk akal. Percaya nggak percaya. Begitu juga halnya dengan tumpang tindihnya data, dan rendahnya penyerapan anggaran. Pada periode lalu, saat posisi Wapres dijabat oleh Yusuf Kalla, pemerintah sempat berkilah rendahnya penyerapan anggaran, karena banyak pejabat yang takut dicokok oleh KPK. KPK juga dituding oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko berdampak pada rendahnya investasi yang masuk ke Indonesia. Jalan keluarnya sekarang, KPK dilemahkan. Para petugasnya yang punya integritas dan dedikasi tinggi disingkirkan melalui test wawasan kebangsaan. Selain itu dengan dalih perang melawan Covid-19 pemerintah telah menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus. PERPPU tersebut kemudian disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020. Dengan UU tersebut, atas nama penanganan Covid-19, pejabat negara dilindungi dan kebal dari tuntutan hukum. Bebas menggunakan anggaran, tanpa harus khawatir dan takut akan dituntut secara hukum. Jadi sangat aneh bila penyerapan anggaran masih sangat rendah. Dalam situasi semacam ini kita jadi teringat dengan sebuah adagium dalam dalam dunia kemiliteran. “Tidak ada anak buah yang salah. Yang salah adalah komandan!” Presiden Jokowi harusnya bertanya kepada diri sendiri. Mengapa semua itu bisa terjadi. Jokowi sudah memasuki periode kedua sebagai seorang presiden. Dia sudah 7 tahun menjadi komandan tertinggi di Indonesia. Masa konsolidasi sudah lewat. Jokowi sudah bolak-balik bongkar pasang kabinet. Sudah enam kali reshuffle. Empat kali pada periode pertama, dan dua kali pada periode kedua. Sampai sekarang masih banyak sekali terjadi kekacauan dalam pelaksanaan pembangunan. Kekacauan data, dan kekonyolan-kekonyolan lainnya, Jokowi hendaknya bertanya kepada diri sendiri. Mengapa semua itu masih terjadi? Dia tidak bisa terus menerus menyalahkan anak buahnya. Toh dia sudah melakukan reshuffle sampai enam kali. Dia juga punya hak sepenuhnya kembali melakukan reshuffle, jika dianggap masih perlu. Kembali ke adagium militer tadi. Pasti yang salah adalah komandannya. Kesalahan itu ada pada diri Jokowi. Silakan marah pada diri sendiri. Masyarakat sudah lama marah melihat berbagai kekonyolan itu. Hanya saja rakyat tidak punya kewenangan mengganti presiden setiap saat, seperti halnya presiden bisa melakukan reshuffle. **

Jokowi Sangat Ingin Tiga Periode

JOKO Widodo (Jokowi) pernah menegaskan bahwa dia tidak berniat dan tidak berminat menjadi presiden tiga periode. Sekitar dua bulan yang lalu, melalui rekaman YouTube Sekretariat Presiden menekankan bahwa dia akan mematuhi konstitusi (UUD 1945) yang mengamanatkan masa jabatan presiden maksimal dua periode. Persoalannya, bisakah pernyataan Jokowi itu dijadikan jaminan bahwa dia tidak akan melakukan upaya apa pun untuk mendapatkan periode ketiga? Kelihatannya, rakyat sudah terbiasa tidak mempercayai sepenuhnya apa yang diucapkan oleh Jokowi. Yang dia katakan itu adalah janji. Publik sudah mencatat ratusan janji Jokowi yang dia lindas sendiri. Apalagi ini janji untuk tidak meminati tiga periode. Sangat tak mungkin tidak dilanggar oleh Jokowi. Pertama, karena dia punya beban berat untuk memastikan anak-menantunya bisa berkarir lebih tinggi lagi dari jabatan walikota. Kedua, karena ada beberapa proyek pribadi yang ingin dituntaskannya. Dan ketiga, ada agenda China dan agenda taipan cukong yang harus dia laksanakan. Jokowi pastilah ingin agar Gibran Rakabuming (anak) dan Bobby Nasution (menantu) bisa naik menjadi gubernur dan seterusnya. Tanpa jabatan tiga periode, hampir pasti tamatlah riwayat Gibran sebagai walikota Solo dan Bobby sebagai walikota Medan pada 2025. Semua orang percaya bahwa Jokowi ingin memindahkan Gibran ke Jakarta menjadi gubernur DKI. Indikasinya adalah penolakan dia untuk melaksanakan pilkada Ibukota pada 2022. Ini adalah tahun masa jabatan Anies Baswedan berakhir. Kalau masa jabatan Anies dijadikan jadwal pilkada DKI, pastilah berat bagi Gibran untuk mengalahkan Anies dengan lurus-lurus saja. Dan memanglah tak mungkin pilkada DKI dibengkok-bengkokkan. Jokowi “memadamkan” peluang Anies dengan tetap mempertahankan pilkada DKI 2024 sebagaimana diamanatkan UU. Pilkada 2024 ini akan memuluskan Gibran. Tapi, hitung-hitungan ini pun tidak membuat Jokowi tenang. Sebab, masa jabatan presiden akan selesai pada 20 Oktober 2024. Sedangkan pilkada serentak 2024, termasuk DKI, akan dilaksanakan pada bulan November. Kalau Jokowi tak dapat periode ketiga, maka ambisi untuk menjadikan Gibran gubernur DKI sangat berat untuk direalisasikan. Pada bulan Juni atau Juli 2024, kekuasaan Jokowi menjadi sangat lemah karena presiden terpilih pengganti dia sudah diketahui. Praktisnya, Jokowi tidak punya ruang gerak untuk membantu Gibran begitu masuk bulan Maret 2024 –bulan pelaksanaan pilpres. Jadi, sangatlah dipahami kalau Jokowi berkepentingan untuk menyambung masa jabatannya menjadi tiga periode. Untuk kepentingan Bobby naik ke kursi gubernur Sumatera Utara (Sumut), masih bisa diusahakan Jokowi. Karena, pilgub Sumut akan dilaksanakan pada 2023. Jauh sebelum masa jabatan Jokowi selesai. Ini baru dari perspektif Gibran dan Bobby. Kita lihat kepentingan lain Jokowi untuk mendapatkan periode ketiga. Yaitu, proyek besar yang akan mencatatkan nama Jokowi di dalam sejarah. Yang terbesar adalah pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur (Penajam Paser Utara). Proyek ini menjadi taruhan pribadi Jokowi. Tentulah dia ingin memastikan itu terlaksana meskipun tidak akan rampung setelah dia selesai tiga periode. Kalau Jokowi tidak berhasil merebut periode ketiga, sangat mungkin proyek yang “banyak musuh” ini akan dibatalkan oleh presiden pengganti Jokowi pada pilpres 2024. Proyek lain yang juga memerlukan kekuasaan Jokowi adalah kepentingan para taipan yang ada di kelompok oligarkhi. Mereka semua sangat nyaman melakukan pengurasan kekayaan alam Indonesia jika Jokowi masih berkuasa. Jokowi sudah terbukti sebagai sahabat taipan yang baik sekaligus teman para cukong yang loyal. Mereka ingin agar kesempatan emas itu bisa sampai 2029. Enak dan leluasa. Jadi, itulah sebabnya orang tidak percaya kalau dikatakan Jokowi tidak berambisi memperpanjang kekuasaannya menjadi 15 tahun. Pak Amien Rais sangat jeli melihat gelagat Jokowi dalam memperjuangkan presiden tiga periode. Bisakah ini tercapai? Tidak ada yang mustahil bagi Jokowi. Dia didukung oleh para taipan dan cukong yang siap menggiring sebagian besar parpol di DPR untuk menyetujui amandemen UUD 1945. Mereka akan menyediakan “unlimited funding” (dana tak terbatas) untuk memuluskan perubahan konstitusi itu. Klop! Jokowi sangat ingin tiga periode. Sedangkan para taipan dan cukong sangat memerlukannya.[AU]

Mana Bupati-Walikota Yang Tidak Jual-Beli Jabatan?

BUPATI Nganjuk, di Jawa Timur, Novi Rahman Hidayat (NRH), terjaring dalam OTT KPK pada 10 Mei 2021. Tuduhan primernya adalah menjual jabatan. Tidak tanggung-tanggung. Hampir semua posisi yang berada di bawah pemerintah kabupaten (pemkab), diperjual-belikan. Dalam operasi ini, KPK menyita uang tunai hampir 700 juta rupiah. Bersama NRH, KPK menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat jual-beli jabatan itu. Termasuk sejumlah camat. KPK mengatakan, mereka menduga kuat NRH meletakkan tarif untuk posisi-posisi di lingkungan pemkab. Bahkan, sampai ke level perangkat desa-kelurahan. Untuk yang terendah ini, diperkirakan haganya antara 10-15 juta. Untuk jabatan yang lebih tinggi tarifnya bisa 150 juta. Atau lebih. Nah, apakah jual-beli jabatan di lingkungan pemkab atau pemko (pemerintah kota) merupakan bentuk korupsi baru? Konyol sekali kalau ada yang mengatakan iya. Sebaliknya, coba tunjukkan mana bupati atau walikota yang tidak memperjual-belikan jabatan? Kalau pun ada yang tidak mencari duit dari jual-beli jabatan, pastilah jumlahnya sedikit sekali. Terus, apakah jual-beli jabatan hanya terjadi di jajaran pemerintahan dalam negeri saja? Kembali lagi kita bertanya, apakah Anda bisa tunjukkan bos-bos instansi apa pun yang bersih dari jual-beli jabatan. Mari kita layangkan pertanyaan kepada para bos di Polri: ada atau tidak ada praktik jual-beli jabatan di Kepolisian? Kita hanya bertanya saja. Bukan menuduh. Ada atau tidak ada jual-beli jabatan di Polda, Polres, dlsb? Pertanyaan yang sama mari kita layangkan ke Kejaksaaan Agung: ada atau tidak ada jual-beli jabatan di sana? Pertanyaan serupa juga ditujukan kepada semua Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia. Ada 34 kejaksaan tinggi. Mohon jawaban jujur dari Anda semua. Jadi, dugaan jual-beli jabatan yang dilakukan NRH di pemkab Nganjuk kelihatannya hanya fenomena puncak gunung es (tip of iceberg). Kalau KPK serius mau membasmi jual-beli jabatan, coba saja Anda lakukan ‘surveillance’ (penguntitan) terhadap semua bupati-walikota. Rasanya kita berani jamin KPK bisa menjerat 100 atau 200 bupati-walikota dalam setahun. Jual-beli jabatan juga ditengarai berlangsung di level kementerian. Belum lama ini, majalah Tempo mengungkap dugaan juel-beli jabatan eselon dan dirjen di Kementerian Desa. Pernah pula terungkap praktik jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag). Mantan ketum PPP, Muhammad Romahurmuziy (Romi), tertangkap tangan oleh KPK (Maret 2019) dalam kaitan ini. Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Romi karena terbukti menjadi pemeran jual-beli jabatan di kementerian yang waktu itu dipegang oleh Lukman Hakim Saifuddin. Bagaimana dengan kementerian-kementerian lain? Wallahu a’lam. Yang jelas, sudah tertangkap dua menteri yang terlibat korupsi yaitu Juliari Batubara (ketika menjadi Mensos) dalam kasus Bansos dan Edhy Prabowo (semasa menjadi menteri kelautan) dalam kasus ekspor bibit lobster. Kedua menteri ini memang tidak terlibat korupsi jual-beli jabatan. Namun, kasus korupsi yang mereka lakukan itu menunjukkan bahwa ada persoalan mentalitas di kalangan para pejabat pemerintah. Artinya, secara umum korupsi apa saja kemungkinan besar akan dilakukan oleh seorang pejabat. Termasuk jual-beli jabatan. Dalam hal bupati-walikota, jual-beli jabatan adalah ‘tambang duit’ yang paling enak. Tidak terlalu besar risikonya. Transaksi bisa diatur agar luput dari radar KPK atau penegak hukum lainnya. Jual-beli jabatan bisa dilakukan tanpa jejak. Misalnya, orang yang menagih duit upeti bisa dibuat ‘tanpa hubungan’ dengan si pejabat yang menjualbelikan jabatan. Berdasarkan kemungkinan inilah, kita wajar bertanya: tunjukkan kepada rakyat mana bupati-walikota yang tidak menambang duit dari lelang jabatan.[AU]