Membaca Gestur Kebijakan Fiskal yang Galau

BEBERAPA hari belakangan publik dihebohkan dengan rencana pemungutan pajak yang lebih agresif dan lebih massif di tengah situasi krisis pandemi Covid-19. Agresivitas dan masifnya pungutan pajak yang direncanakan itu benar-benar mengagetkan publik.

Lebih kaget lagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati karena publik sudah kadung tahu rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12%. Plus varian pungutan PPN lainnya yang ujung-ujungnya mencekik leher rakyat. “Tapi itu baru rencana,” begitu pembelaan Menkeu.

Soal aneka rencana kenaikan PPN akan termuat dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Menurut dia, sampai saat ini rencana RUU KUP itu belum dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR.

Sehingga, dari sisi etika politik, Sri Mulyani merasa belum bisa menjelaskan kepada publik sebelum dibahas dengan DPR. "Karena itu adalah dokumen publik yang kami sampaikan ke DPR melalui Surat Presiden dan oleh karena itu situasinya menjadi agak kikuk karena kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan ke DPR juga," ujar dia.

Tapi Sri lupa bahwa ia adalah pejabat publik, segala keputusan, kebijakan ataupun rencana kebijakan memang selaiknya harus melewati uji publik. Dan sequence terkait rencana kenaikan PPN ini sudah benar, yang aneh justru sikap Menkeu yang galau ketika publik mengetahui rencananya lebih awal.

Oleh karena rencana detil kenaikan PPN ini begitu dramatis, publik pun lebih awal menolak, karena merekalah yang akan menjadi sasaran kebijakan Menkeu terbaik di Asia tersebut.

Apa saja rencana kenaikan PPN yang ada dalam draf RUU KUP tersebut?

Pertama, PPN yang awalnya 10% dinaikkan menjadi 12% hingga 15% dan multi tarif PPN. Tentu ini sangat memberatkan wajib pajak (WP) badan maupun pribadi dalam situasi krisis sekarang ini.

Kedua, penghapusan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) orang pribadi sebesar Rp54 juta, dalam RUU KUP itu dihilangkan. Sehingga WP yang penghasilannya di bawah Rp54 juta yang semula tidak kena pajak, akan dikenakan pajak.

Ketiga, pemerintah berencana menambah layer pendapatan kena pajak dan memperbaiki tarif PPh orang pribadi. Orang dengan penghasilan kena pajak (PKP) sampai dengan Rp50 juta dalam satu tahun maka dibanderol PPh sebesar 5%. Orang dengan PKP di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta dikenakan pajak sebesar 15%. Orang dengan PKP di atas Rp250 juta hingga Rp500 juta dikenakan tarif PPh sebesar 25%. Dan orang dengan PKP di atas Rp500 juta tarif pajak penghasilan orang pribadi senilai 30%. Target pembuatan layer PPh ini adalah untuk menggenjot penerimaan pajak orang pribadi. Tentu saja hal ini akan memberatkan ekonomi rakyat yang sedang susah.

Keempat, pemerintah juga berencana akan mengenakan PPN sekolah dan jasa pendidikan lainnya sebesar 12%. Tentu saja akan berdampak pada kenaikan biaya pendidikan.

Kelima, pemerintah berencana mengenakan pajak biaya melahirkan yang direncanakan sebesar 12%. Tentu saja biaya melahirkan akan lebih mahal dan makin tidak terjangkau.

Keenam, pemerintah akan mengenakan PPN untuk sembako 12% untuk 11 jenis sembako. Mulai dari beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayuran. Bisa diduga, dampaknya akan menggenjot harga sembako.

Ketujuh, pemerintah juga berencana mengenakan pajak atas pulsa, kartu perdana, token dan lainnya.

Selain menaikkan tarif PPN dan PPh serta pengenaan pajak baru, menurut Sri, pemerintah juga sebenarnya melakukan pelonggaran-pelonggaran pajak karena situasi ekonomi yang mengalami kontraksi. Adapun relaksasi perpajakan itu meliputi.

Pertama, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan SPT tahunan dan pembayaran pajak bagi wajib pajak orang pribadi sampai dengan 30 April 2020. Seperti diketahui, sesuai ketentuan batas akhir sebenarnya jatuh pada 31 Maret 2020.

Kedua, wajib pajak orang pribadi yang menjadi peserta amnesti pajak dan memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan--realisasi pengalihan dan investasi harta tambahan atau penempatan harta tambahan--dapat melaporkannya paling lambat 30 April 2020.

Ketiga, wajib pajak dapat menyampaikan SPT masa PPh pemotongan untuk masa pajak Februari 2020 pada 21 Maret 2020 hingga 30 April 2020 tanpa dikenai sanksi administrasi keterlambatan.

Keempat, pengajuan upaya hukum tertentu yang memiliki batas waktu pengajuan antara 15 Maret hingga 30 April 2020 diberikan perpanjangan batas waktu sampai 31 Mei 2020.

Latar belakang

Pertanyaannya, apa latar belakang sehingga pemerintah membabi buta menaikkan PPN dan PPh dan mengenakan obyek pajak baru tersebut? Tentu karena kondisi penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan hanya bisa dipungut 50% dalam kondisi krisis seperti sekarang ini.

Sementara penerimaan pajak juga kurang menggembirakan, termasuk investasi masuk yang jauh dari harapan, pemerintah juga telah mencetak uang besar, tapi kebutuhan APBN masih kurang dan kurang. Sehingga satu-satunya andalan pemerintah adalah mengandalkan utang.

Total utang pemerintah sampai April 2021 sudah mencapai Rp6.527,29 triliun. Tapi mengandalkan utang pun sudah tidak mungkin, seperti tersandera, mengingat untuk membayar bunga utang tahun ini saja sebesar Rp373 triliun pemerintah tidak mampu. Pemerintah terpaksa harus berutang lagi hanya untuk membayar bunga utang lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Pendek kata, maju kena, mundur kena. Pemerintah benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Pikirannya galau, sehingga Menkeu berinisiatif menaikkan aneka tarif pajak dan menyasar pajak baru. Hal ini juga didasari beberapa realitas.

Shortfall--selisih antara target dengan penerimaan—pajak sejak 2006 hingga hari ini masih terjadi dengan volume yang terus membesar. Paling tidak dalam tiga tahun terakhir shortfall pajak cukup mengenaskan.

Tahun 2019 target penerimaan pajak Rp1.500-an triliun tercapai hanya Rp1.300-an triliun, jadi shortfall Rp200 triliun. Pada 2020 target penerimaan pajak diturunkan menjadi Rp1.250-an triliun, yang tercapai hanya Rp1.100-an triliun, atau shortfal Rp150-an triliun. Tahun 2021 sama targetnya tercapai Rp1.100-an juga.

Lebih mengenaskan lagi jika menengok tax ratio, total penerimaan pajak dibagi dengan produk domestik bruto (PDB), yang pada tahun 2007 masih di level 12%, tiap tahun terus merosot tajam. Terakhir dikabarkan tax ratio tinggal 7%.

Inilah yang melatarbelakangi mengapa pemerintah galau, sehingga Sri Mulyani menempuh segala cara guna menalangi kewalahan APBN menghadapi realitas krisis plus pandemi Covid-19.

Celakanya, di tengah rencana pemerintah memeras uang rakyat lewat aneka kebijakan perpajakan di atas, kita masih menyaksikan korupsi semakin merajalela. Mulai dari korupsi Bansos, korupsi Jiwasraya, Bumiputera, PBJS Ketenagakerjaan, Asabri, impor benur, dan aneka korupsi bejat lainnya. Menunjukkan para pelaku korupsi sama sekali tidak memiliki sense of crisis.

Pada saat yang sama pemerintah memberlakukan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dibuat 0%. Sebuah ironi. Pajak orang kaya diturunkan, pajak orang miskin dinaikkan. Unsur keadilan pajak sama sekali tidak tercermin di sini.

Ironi lainnya, tax amnesty jilid 2 akan diberlakukan setelah tax amnesty jilid 1 dianggap gagal. Ada kecurigaan setelah rame-rame pesta korupsi, kini gilirannya diampuni lewat program pengampunan pajak.

Tidak hanya sampai di sini, pajak korporasi diturunkan dari 22% menjadi 20%, korporasi yang sudah terdaftar di BEI mendapat diskon tambahan 3% menjadi 17%.

Ironi lain, Presiden Jokowi masih berambisi untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru dengan biaya Rp466 triliun. Padahal kas APBN benar-benar kosong melompong, bahkan sarat dengan utang, benar-benar tidak memiliki kepekaan.

Puncak dari ironi itu adalah, rencana Kementerian Pertahanan melakukan belanja militer hingga Rp1.760 triliun dan sebagian besar lewat utang. Inilah puncak ironi yang mencengangkan itu.

Ekonom Senior Rizal Ramli menyindir pemerintah tidak memliki empati terhadap rakyat, tidak memiliki nurani, karena di tengah krisis malah sibuk merencanakan aneka kenaikan tarif pajak dan pungutan pajak baru. Ia mengingatkan pemerintah bahwa Revolusi Prancis, Revolusi Amerika dan India diawali dari situasi yang kurang lebih sama dengan Indonesia hari ini.

PBNU dan Muhammadiyah juga sudah mengingatkan soal perlunya membatalkan pajak sekolah dan sembako. Politisi oposisi juga tegas menolak rencana kenaikan pajak baru, pimpinan partai koalisi juga meminta rencana Menkeu dibatalkan karena dianggap tidak peka.

‘Ala kulli hal, Indonesia ini bak kapal yang akan karam. Di tengah gelombang yang dahsyat ini, masih ada mau membocorkan biduk bernama Indonesia. Masih ada pihak yang melakukan atraksi ugal-ugalan. Semoga ada solusi terbaik untuk bangsa ini...!

2112

Related Post