Negeri “Sejuta” Upeti

REZIM ini tidak kehabisan akal untuk mengutip upeti dari rakyatnya. Ada saja yang menjadi obyek incaran pungutan. Mereka tak peduli kondisi ekonomi rakyat yang sedang sekarat. Mereka tutup mata terhadap banyaknya rakyat yang jatuh melarat karena dihajar pandemi. Rakyat jatuh bangun bertahan di tengah ketidakpastian. Segala upaya sudah rakyat lakukan untuk menyambung hidup, nyaris tiada hasil. Perekonomian makin nyungsep dan masa depan suram. Sialnya, tak ada jaminan dari pemerintah untuk sekadar hidup wajar.

Ratusan triliun rupiah bansos yang dianggarkan pemerintah untuk sekadar menopang kesulitan, malah dikorupsi para pengambil kebijakan. Menteri yang bertugas mengawasi dana bansos biar tidak ditilep, malah ikut terlibat dalam permufakatan jahat itu. Akibatnya, beras, minyak dan mie instan yang sampai ke mulut ke rakyat hanya basa-basi, sebatas ritual dan simbolik. Seakan-akan tanggung jawab sudah ditunaikan. Mana cukup satu keluarga dijatah beras 10 kg untuk tiga bulan?

Tak berlebihan jika disimpulkan rezim hanya memikirkan dirinya sendiri untuk mengatasi persoalan yang mereka buat sendiri. Toh rakyat bisa hidup dengan sendirinya. Hari kemarin rakyat tertampar oleh kebijakan rezim yang antirakyat, hari ini tergampar oleh berbagai pungutan. Yang demikian itu sudah terbiasa bagi rakyat.

Rezim tampaknya tak kuat lagi mengatasi defisit anggaran. Ini terjadi lantaran pengelolaan APBN yang ugal-ugalan. Akibatnya rezim ini kehabisan ongkos. Namun, di mata rakyat mereka berupaya untuk tampil baik-baik saja, seakan tidak ada masalah. Padahal segudang masalah membelit leher rezim. Untuk utang luar negeri sudah tak dipercaya, untuk mengelola duit umat, sudah tak ada lagi celah. Dana Haji dan Dana BPJS juga sudah hampir ludes. Salah satu yang gampang adalah mengincar sektor publik untuk dilakukan pungutan.

Dari sektor perbankan, rezim memungut biaya administrasi dalam setiap transaksi. Bahkan, rezim berencana menaikkan pungutan itu, namun gagal karena di-bully rakyat.

Dari sektor keagamaan, rezim mengincar dana zakat. Bahkan kotak amal mushola pun tak luput dari teropong pungutan. Belum lagi bicara tentang dana haji yang menurut Rizal Ramli hanya tersisa Rp 18 miliar dari total Rp 120 triliun.

Dari sektor pendidikan, rezim mengincar Pajak Penambahan Nilai (PPN) pendidikan. Padahal, sesuai perintah undang-undang, negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dari sektor kerakyatan, rezim berencana memungut pajak sembako hingga 12 persen. Singkong, beras, jagung, gula, kopi, minyak, sayuran, terasi, terigu, dan bumbu semua akan dipajakin. Ditarik upeti.

Betapa sulitnya memahami karakter, akal sehat, dan moral rezim. Bagaimana bisa mafhum, sembako yang seharusnya disubsidi oleh pemerintah, malah akan dipajaki.

Undang-undang memerintahkan negara menguasai kekayaan alam dan hajat hidup orang banyak untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Subsidi dihabisi, produksi dipajaki, hasil panen dipalaki. Rezim malah bersekongkol dengan korporasi dan oligarki. Rakyat diabaikan. Rakyat dijadikan obyek pungutan. Mirip sapi perah

Memungut upeti terhadap rakyatnya sesungguhnya menunjukkan kegagalan rezim ini memakmurkan rakyat. Rezim yang seharusnya bisa meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja, dan menjamin kehidupan yang layak, justru berubah menjadi monster yang menakutkan bagi rakyatnya sendiri.

Rezim makin kalap memungut duit rakyat. Maklum, rezim terlalu boros menghamburkan APBN sehingga butuh pemasukan dana baru. Rezim yang berada di ambang kebangkrutan ini sesungguhnya disebabkan oleh tidak cakapnya mengelola anggaran, banyaknya korupsi, dan pembangunan infrastruktur yang ugal-ugalan. Hal yang paling mudah yakni menaikkan pajak dan pungutan lain.

Mengapa rezim memiliki karakter seperti itu? Bisa jadi disebabkan oleh kultur yang terbangun sejak kecil. Sebagian besar orang Jawa pasti pernah mengalami atau melihat anak kecil yang baru bisa bicara mengikuti apa yang diperintahkan oleh orang tuanya. Ini biasanya terjadi di kampung-kampung manakala anak-anak sedang bermain dengan orang tuanya. Anak biasanya ditanya bagaimana cara makan atau menyebutkan nama- nama anggota tubuh.

Lalu ada adegan lain yang sudah menjadi kebiasaan, yaitu anak ditanya "Bagaimana kalau 'nyuwun' (meminta) sesuatu. Lalu anak menengadahkan tangannya tanda meminta. Dan orang tuanya dengan bangga memberi apresiasi dengan mengatakan 'pinter'. Ini artinya, sejak kecil anak-anak sudah diajari meminta. Dan orang tuanya bangga.

Lalu, menginjak dewasa, bahkan ketika memasuki dunia kerja, ada ungkapan kebiasaan yang juga unik, yaitu jika kita hendak bepergian, entah ke luar kota atau ke luar negeri, menjadi hal yang biasa untuk meminta oleh-oleh. "Jangan lupa oleh-olehnya ya". Begitu ungkapan yang lazim terjadi.

Dua contoh di atas merupakan pendidikan karakter yang kurang bagus karena orientasinya menjadi peminta-minta, bukan pemberi. Jika manusia manusia model seperti ini menjadi menteri keuangan, presiden, atau pembuat kebijakan lainnya, sangat mungkin menjadi penarik upeti, pemungut pajak, dan peminta-minta bantuan.

Sepintar apa pun ilmu seseorang, jika pendidikan karakternya salah, maka perilakunya juga salah.

Sepolos apa pun seseorang, jika pendidikan karakternya menyimpang, maka output-nya juga menyengsarakan.

Anehnya, rezim yang seperti itu masih banyak pemujanya, dari pelosok desa sampai ibu kota. Mereka ingin berkuasa tak hanya tiga periode, tapi selamanya.

575

Related Post