Demokrasi Terpimpin Gaya Baru

PEMANGGILAN pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) oleh Rektor UI Ari Kuncoro, Minggu kemarin menimbulkan kegaduhan. Penyebabnya, sang mahasiswa memosting poster di media sosial berjudul Jokowi The King of Lip Service disertai foto Presiden Jokowi mengenakan jas dan bermahkota raja. Ari Kuncoro sontak meminta klarifikasi atas pemuatan poster tersebut. Ia memanggil pengurus BEM UI.

Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra membenarkan bahwa pemberian gelar kepada Presiden Jokowi sebagai 'the king of lip service' merupakan bentuk kritikan kepada pemerintah. BEM UI menilai banyak pernyataan Presiden Jokowi yang tidak sesuai dengan realita atau pelaksanaannya, seperti soal revisi UU ITE, omnibus law, ketidakadilan hukum, hingga kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Inti dari pemanggilan itu, BEM UI menolak tunduk untuk menghapus poster.

Tak lama berselang warganet heboh. Ada yang pro, banyak yang kontra.

Yang pro pemanggilan menganggap BEM UI terlalu lebay, bahkan ada yang menuduh BEM UI melecehkan simbol negara. Ade Armando, dosen FISIP UI malah menuduh dan menyerang pribadi Ketua BEM UI masuk lewat jalur nyogok. Tuduhan yang tidak elok, juga tidak berdasar. Ia melecehkan sendiri kampus tempat ia menumpang berkarier dan mengais rezeki.

Yang kontra pemanggilan, menganggap kampus tidak bebas lagi berekspresi dalam mengemukakan pendapat. Kampus dikebiri dan telah dikendalikan rezim. Cara-cara Orde Baru mengerdilkan kampus telah diadopsi sedemikian rapi.

Ada dua kemungkinan mengapa rektor kepanasan menyikapi meme. Pertama, rektor ditekan rezim. Kedua, rektor punya inisiatif sendiri memanggil mahasiswa. Maklum, sang rektor saat ini juga menjabat sebagai komisaris bank BUMN. Ia harus reaktif terhadap pemberi jabatan. Situasi ini jelas menunjukkan bahwa kampus berada dalam kendali rezim.

BEM UI tidak sendirian. Solidaritas BEM seluruh Indonesia bergerak. Mereka memberi dukungan dan mengutuk cara-cara rezim mengerdilkan kampus. Aliansi 44 organisasi mahasiswa menyatakan bahwa pemanggilan oleh birokrat UI mengindikasikan bahwa aktor

pemberangusan kebebasan berpendapat tidak hanya datang dari negara, tapi juga datang dari kampus. Sehingga sudah semakin nyata bahwa kebebasan sipil semakin kerdil dan menyerang suara-suara yang menyatakan kebenaran kepada publik.

Ketua BEM Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Fikrah Aulia, menyatakan bakal terjadi gelombang yang lebih besar jika kampus dikekang.

Pembungkaman terhadap kampus, rektor, dan mahasiswa sesungguhnya menunjukkan praktek demokrasi terpimpin yang nyata. Apalagi fungsi legislatif yang disetel untuk selalu mengamini kebijakan eksekutif, semakin menunjukkan negara ini disetting dengan cara otoriter.

Bangsa ini pernah memilih praktik demokrasi terpimpin, dimana presiden berperan sebagai penguasa paling tinggi. Sistem pemerintahan ini mulai diberlakukan pada 5 Juli 1959 dan berkahir 1965, di bawah pemerintahan Presiden Soekarno kala itu.

Dengan berlakukan sistem demokrasi terpimpin, Presiden Soekarno pada masa itu bisa mengubah berbagai peran wakil rakyat yang dianggap tidak sejalan dengan kehendaknya, khususnya di bidang politik.

Fungsi partai politik sangat terbatas. Keberadaannya hanya sebatas pelengkap. Mereka wajib mendukung berbagai peraturan Presiden Soekarno secara total.

Keterkaitan antara Presiden Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika itu, semakin akrab sehingga paham komunisme berkembang pesat pada masa itu.

Pers yang mempunyai peran sebagai penyambung suara rakyat dibatasi oleh pemerintah. Pengekangan terhadap pers tersebut mengakibatkan sebagian besar media menutup diri dan tidak berani menyiarkan berita lantaran adanya ancaman dicekal. Banyak media dibredel.

Kebebasan pers yang terkekang, sentralisasi pemerintah pusat, dan peran militer yang sangat besar berdampak pada meningkatnya tindakan yang semena-mena terhadap rakyat. Pelanggaran HAM menjadi hal yang biasa.

Sistem demokrasi terpimpin menimbulkan ketidakadilan, salah satunya ialah pemerintahan yang dikontrol sepenuhnya oleh rezim. Peran partai politik semakin tidak jelas dalam pemerintahan sehingga menimbulkan ketidakpastian.

Demokrasi terpimpin telah melahirkan dampak yang nyata. Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar sehingga timbul potensi penyalahgunaan.

Sistem pemerintahan ini juga memberikan dampak yang sangat besar bagi situasi politik di Indonesia kala itu. Adanya kepemimpinan kaum borjouis dan PKI membuat banyak rakyat melakukan penolakan.

Ditambah lagi maraknya korupsi di kalangan birokrat dan militer mengakibatkan pemasukan Indonesia dari ekspor mengalami penurunan drastis. Tidak hanya itu, inflasi yang cukup parah juga terjadi sebagai akibat tidak stabilnya kondisi perekonomian di Indonesia pada masa itu. Kondisi ini memaksa Soekarno harus lengser.

Apakah hari ini Indonesia menjalankan demokrasi terpimpin? Teorinya tidak, tetapi faktanya bisa dirasakan sendiri.

Publik pasti belum lupa penurunan baliho oleh TNI, pemblokiran media online dan media sosial, pemberlakuan aturan hate speech, pelanggaran HAM berat di km 50 tol Cikampek, bertamunya Partai Komunis Cina ke istana negara, serta mandulnya wakil rakyat di DPR.

Publik juga merasakan sendiri utang pemerintah yang menggunung, pendapatan pajak yang anjlok, pertumbuhan ekonomi yang terseok, pengangguran merajalela, dan korupsi yang tumbuh subur.

Publik juga pasti hafal siapa saja yang korupsi, siapa yang berkhianat pada rakyat, dan siapa yang bergelimang kemewahan di tengah kesengsaraan.

Satu lagi publik pasti paham strategi Kabinet Jokowi yang hanya ada satu visi, tidak ada visi menteri, visi gubernur, dan visi bupati/walikota. Semua visi presiden. Buntut dari semua itu, Jokowi lalu dikultuskan. Ia tidak pernah salah.

Pemerintah telah berkali-kali mengeluarkan Perppu sebagai syarat mengatasi kegentingan negara. Tapi rupanya Perppu salah sasaran karena negara tidak genting oleh HTI, FPI dan demo 212, apalagi bohong soal tes swab. Negara genting karena pemerintah tidak amanah dan antikritik. Kebijakannya selalu menimbulkan kegaduhan.

Jokowi harus belajar dari Bung Karno yang legowo menyerahkan kepemimpinan nasional lewat Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Dengan surat sakti ini Soeharto mampu mengatasi keadaan, membubarkan Orde Lama, mencabut status presiden seumur hidup, mengganti demokrasi terpimpin dengan demokrasi Pancasila. Soeharto mampu membawa kebangkitan bangsa hingga berkuasa 32 tahun.

Kelak, ketika rakyat sudah tidak menghendaki Soeharto menjadi presiden, ia pun turun tahta, lengser keprabon. Soeharto menyatakan berhenti dan menyerahkan kepemimpinan nasional kepada wakilnya, BJ Habibie, pada 21 Mei 1998.

Kita tunggu, apakah Presiden Joko Widodo memiliki kearifan dan jiwa kenegarawanan seperti dua bapak bangsa tersebut?

744

Related Post