Besok Vonis HRS: Kita Lihat Independensi Penegakan Keadilan

TAKARAN yang paling krusial untuk melihat wajah demokrasi adalah penegakan keadilan. Jika penegakan keadilan mendekati kesempurnaan, maka semakin sedikitlah bopeng demokrasi.

Seberapa beratkah pekerjaan untuk menegakkan keadilan? Sangat berat. Sebab, keadilan yang tegak tidak menghasilkan apa-apa untuk keuntungan pribadi. Orang-orang yang menegakkan keadilan adalah orang-orang yang paham betul bahwa mereka hanya akan mendapatkan apa-apa yang menjadi haknya.

Jadi, kalau dibalik, apakah orang-orang yang mendapatkan apa-apa yang bukan menjadi hak mereka adalah orang-orang yang tidak menegakkan keadilan? Pasti! Dan ini generik sifatnya. Berlaku di mana pun. Di ruang sidang, di jalan-jalan, di pasar, di kantor, di kampus.

Karena itu, Marcus Tullius Cicero (filsuf Romawi sebelum Masehi) mengatakan, “Fondasi keadilan adalah itikad baik.” The foundation of justice is good faith.

Hanya orang-orang yang punya itikad baik (good faith) yang memiliki mentalitas dan nyali keras untuk menegakkan keadilan. Khususnya penegakan keadilan di ruang sidang. Mereka kuat menghadapi apa saja, berupa godaan imbalan, godaan subjektivitas, dan intervensi kekuasaan. Inilah “hama” peradilan.

Di antara tiga “hama penegakan keadilan” tersebut, intervensi kekuasaan adalah gangguan yang paling berat. Di zama sebelum Reformasi 1998, hama intervensi itu merajalela. Pasca-reformasi, suasana di ruang sidang pengadilan relatif tenteram. Bebas hama.

Akan tetapi, sejak Joko Widodo (Jokowi) memimpin negara ini, suasana penegekan keadilan kembali dilanda hama intervensi dengan varian yang lebih ganas. Kita memang tidak melihat langsung serangan hama itu, tetapi ada bekas-bekas yang ditinggalkannya.

Intervensi kekuasaan menggerogoti independensi penegakan keadilan dari hulu sampai hilir. Meskipun ladang penegakan keadilan belum seluruhnya diserbu hama intervensi kekuasaan, tetapi serangan hama itu semakin meluas.

Intervensi kekuasaan itu terlihat jelas ketika penegakan keadilan “mengganggu” kepentingan para penguasa level tinggi. Salah satu kasus yang diduga kuat akan dirasuki oleh intervensi kekuasaan adalah penegakan keadilan atas diri Habib Rizieq Syihab (HRS).

Besok, Kamis, 24 Juni 2021, independensi penegakan keadilan akan diuji. Sidang terakhir tuduhan berbohong hasil tes swab Rumah Sakit Ummi, Kota Bogor, Jawa Barat. Majelis hakim akan membacakan putusan perkara ini di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

Dalam putusan perkara sebelumnya, yaitu kasus kerumunan Petamburan, proses penegakan keadilan dirasakan tidak mencerminkan independensi pengadilan. Sebagai contoh, para pakar hukum pidana berpendapat HRS tidak seharusnya diadili karena dia telah membayar denda kerumunan. Tetapi, majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara 8 (delapan) bulan dalam sidang pada 27 Mei 2021. Di hari yang sama, HRS dihukum denda Rp 20 juta untuk kasus kerumunan Megamendung.

Jelas terlihat independensi penegakan keadilan untuk kedua perkara ini terkena hama intervensi kekuasaan. Ada yang melakukan okestrasi kerumunan HRS. Padahal, kerumunan yang melanggar protokol kesehatan terjadi di banyak tempat.

Diinisiasi oleh para pemegang kekuasaan. Bahkan, Presiden Jokowi membuat kerumunan di Maumere, NTT, akhir Februari 2021. Tetapi, polisi menolak pengaduan masyarakat.

Kasus ketiga yang dijalani HRS dengan dakwaan berbohong terkait hasil tes swab di RS Ummi Bogor, dipastikan akan menjadi penakar independensi penegakan keadilan.

Aroma politis di kasus ini sangat menyengat. Misalnya, pernah seseorang yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan mencuitkan “kegembiraan” ketika HRS ditahan polisi. “Sampai bertemu 2016,” bunyi cuitan staf khusus Istana Presiden yang berinisial DH.

Cuitan ini terkonotasi dengan pilpres 2024. Tafsiran dari cuitan ini adalah bahwa HRS, kalau dihukum 6 tahun penjara sesuai tuntutan jaksa, tidak akan bisa “mengganggu” misi para capres lawan HRS yang ingin masuk Istana.

Banyak yang berpendapat, DH menulis cuitan senang itu karena dia ingin agar kekuasaan yang menindas kelompok Islam bisa berlanjut mulus lewat pilpres 2024. Dari sini, orang mengartikan ada upaya para penguasa untuk memenjarakan HRS semaksimal mungkin sehingga dia baru akan bebas pada 2026. Setelah proses pilpres selesai.

Inilah yang dianggap sebagai skenario politik kasus swab tes RS Ummi. Tuntutan hukumannya sangat fenomenal. Berlebihan sekali.

Berbohong hasil tes kesehatan harus dituntut hukuman penjara 6 tahun. Ini membuat publik mempertanyakan mengapa proses hukum kasus pembunuhan 6 pengawal HRS lambat sekali. Para pelaku sudah jelas dan mereka melakukan pembunuhan sadis penuh kebiadaban.

Seluruh rakyat pastilah berharap agar keadilan benar-benar ditegakkan. Kita semua wajib aktif mengawal semua proses penegakan keadilan. Di mana pun itu dan sekecil apa pun kasusnya.

“Kalau kita tidak merawat keadilan, maka pastilah keadilan tidak akan merawat kita,” kata Francis Bacon –filsuf dan negarawan Inggris abad ke-16.

Jangan sampai intervensi kekuasaan atas penegakan keadilan mencederai perasaan rakyat. Sebab, kalau cedera itu sampai akut, maka sangat mungkin mereka akan termakan pendapat bahwa keadilan itu tidak ada. Tidak bisa diharapkan.

Tentu sikap putus asa sangat berbahaya. Rakyat bisa tergiring untuk mencari keadilan di luar sistem. Lebih mempriharinkan lagi jika mereka pernah tahu buah pikiran Elimile Autumn –penyanyi dan penulis lagu Amerika kelahiran 1979.

“There is no such thing as justice, all the best that we can hope for is revenge.”

“Keadilan itu tidak ada, yang terbaik untuk kita harapkan adalah balas dendam,” kata musisi yang mahir memainkan biola itu.

Semudah itukah rakyat kehilangan harapan? Kelihatannya tidak, jika para penguasa sadar bahwa perilaku mereka bisa menjerumuskan bangsa ini ke jurang kekacauan.

Mari kita simak akhir dari penegakan keadilan besok dan hari-hari selanjutnya.

394

Related Post