Hukum Tajam ke Oposisi Tumpul ke Pendukung Jokowi
JUDUL di atas mengingatkan kita betapa carut-marutnya hukum di negeri Pancasila ini. Padahal, kalimatnya berbunyi, "Hukum tajam atau runcing ke bawah, tumpul ke atas."
Kalimat runcing atau tajam ke bawah, tumpul ke atas merujuk pada banyaknya kasus kelas teri yang diproses secara hukum, dan kelas kakap dipetieskan. Hal tersebut bisa terjadi karena hukum masih bisa dibeli.
Hukum bisa diperdagangkan. Hukum bisa mandul jika berhadapan dengan orang berkuasa, berduit, memiliki beking, dan memiliki pengaruh. "Koruptor bisa dihukum rendah dan sering memakai batik saat tampil di televisi, pencuri ayam dihukum berat dan selalu memakai kaos atau rompi tahanan," begitu kalimat yang sering didengar dalam obrolan di warung kopi hingga perkantoran, dari lingkungan perumahan biasa sampai perumahan elit.
Sedangkan kepada mereka yang tidak punya apa-apa dan siapa, hukum sangat tajam. Mereka mudah dijadikan tersangka dan ditahan, kasusnya bergulir ke pengadilan, dan divonis bersalah.
Ingat kasus nenek Asyani yang divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp 500.000 subsider satu hari hukuman percobaan gara-gara mencuri kayu jati milik Perhutani. Nenek berusia 63 tahun itu membantah tuduhan, karena kayu jati yang digunakan tempat tidur itu diambil dari lahannya sendiri oleh almarhum suaminya. Itu peristiwa tahun 2015 yang sempat menggemparkan jagat hukum di Indonesia.
Mencuri tidak dibenarkan dalam hukum agama apa pun, dan juga dalam hukum positif (KUH Pidana). Akan tetapi, perlakuan hukum kepada nenek renta itu dirasakan sangat tidak adil.
Tahun 2017, seorang kakek berusia 62 tahun juga harus mendekam di penjara gara-gara dilaporkan sang menantu. Kakek bernama Charli itu dilaporkan dengan tuduhan penggelapan uang Rp 3,5 juta. Menantu bernama Panji melaporkannya dengan tuduhan menjual tanah 44 hektare dengan harga Rp 3,5 juta. Padahal, tanah tersebut sudah dijual Panji tahun 2014.
Masih banyak kisah pilu lainnya tentang orang lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi hukum. Kasus orang-orang lemah yang meradang karena jeratan hukum cukup banyak, meskipun yang muncul ke permukaan sangat sedikit.
Rakyat geram atas perlakuan yang dinilai tidak adil itu. Banyak rakyat, termasuk ahli hukum dan pemerhati hukum harus mengernyitkan dahi melihat perlakuan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi yang menjadi awal laporan kasus.
Tidak heran jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, cita-cita Indonesia sebagai negara hukum belum sepenuhnya terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. "Hukum masih dirasa cenderung tajam dan runcing ke bawah dan tumpul ke atas," kata Jokowi dalam pembukaan rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2016.
Ucapan Jokowi itu menarik, karena mencuat pada saat dia baru hampir dua tahun menjadi presiden dalam periode pertama dengan Wakil Presiden M Jusuf Kalla. Ucapannya itu penuh makna dan harapan agar hukum benar-benar dijadikan panglima. Penegakan hukum diharapkan bisa terwujud secara adil tanpa mengenal pandang-bulu.
Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Semakin lama, penegakan hukum semakin mandul dan acak-acakan. Apalagi menjelang periode kedua dan awal periode kedua Jokowi menjadi penguasa hingga sekarang. Hukum.semakin tercabik-cabik. Sekarang rakyat semakin merasakan jauhnya penegakan hukum yang adil.
Mengambil istilah politik hukum, "Penegakan hukum hanya tebang pilih." Sebab, jika yang melaporkan pendukung Jokowi dan rezimnya, sangat cepat ditanggapi polisi. Jika yang melaporkan kasus adalah BuzzerRp, maka respon polisi sangat cepat dan sigap menerimanya. Bahkan, dalam pelaksanaannya orang yang dilaporkan pendukung Jokowi dan BuzzerRp cepat direspon, dengan menangkapnya di tengah malam.
Akan tetapi sebaliknya. Jika yang melapor adalah oposisi, maka jangan kecewa jika pelapornya disuruh balik melengkapi berkas. Itu hanya bahasa halus. Padahal, sebenarnya laporannya ditolak polisi. Kasus ini sering terjadi.
Seandainya laporan diterima, prosesnya pun tidak jalan. Ingat kasus Deny Siregar yang dilaporkan karena dugaan penghinaan kepada santri di Tasikmalaya. Sampai sekarang kok kasusnya diam atau didiamkan? Hal itu tidak lain karena yang dilaporkan adalah BuzzerRp yang tidak lain pendukung Jokowi.
Banyak kasus ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat, terutama oposisi dan pengkritisi Jokowi dan rezimnya. Ada penegakan hukum, tetapi tidak adil. Rakyat membutuhkan penegakan hukum yang adil.
Ingat kasus Budi Djarot? Kasus Dewi Tandjung, Abu Janda, dan sederet Buzzer Rp lainnya yang kerap menghina dan mengolok-olok umat Islam dan ulama. Bahkan, ada BuzzerRp yang menghina Nabi Muhammad dan memelesetkan AlQur'an. Sudah ada yang dilaporkan, tetapi tidak direspon, apalagi diproses. Baru direspon polisi, ketika masyarakat "mengepung" rumahnya dan menginterogasi orangnya.
Jika dari kubu oposisi atau pengkritisi Jokowi yang dilaporkan, sudah dipastikan cepat diproses. Bahkan, beberapa kasus, polisi sendiri yang membuat laporan (secara hukum dibenarkan).
Kasus terakhir dan menarik adalah laporan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo terhadap Eko Kunthadi dan Mazdjo Pray. Keduanya dilaporkan politisi Partai Demokrat itu dalam kasus dugaan pencemaran nama baik.
Betul, polisi menindaklanjuti laporan tersebut. Akan tetapi, sungguh aneh, karena polisi justru "ngotot" melakukan mediasi terlebih dahulu. Banyak dugaan, upaya mediasi itu dilakukan pihak penyidik Polda Metro Jaya karena Eko dan Mazdjo pendukung Jokowi (walau bukan pendukung terbuka dan membabi-buta), sedangkan Roy Suryo dianggap oposisi. Secara hukum mediasi dibenarkan, tetapi mestinya polisi tidak langsung menggiringnya ke arah tersebut.
Wahai Jokowi dan pendukungmu, berhentilah bermain-main dengan hukum. Wahai polisi, kalian harus adil dalam menegakkan hukum. Jangan permainkan hukum. Sebab, masih ada hukum Allah yang paling adil. ***