EDITORIAL

Polisi Harus Hentikan Proses Terhadap Napoleon Bonaparte

AKHIR pekan kemarin, rakyat heboh dengan berita dari dalam rumah tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri). Heboh, karena tersangka penista agama Islam, M.Kece mendapatkan “hadiah” bogem mentah yang diduga dilakukan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Muka Kece menjadi bonyok dan memar sebagaimana dapat dilihat dari foto-foto yang beredar di media mainstream maupun media sosial (medsos). Tidak hanya “hadiah” bogem mentah. Bahkan si terduga penista agama yang mengaku atheis itu juga mendapatkan lumuran kotoran manusia, sebagai pengharum baginya. Sudah badannya ‘dibedaki’ kotoran manusia, muka pun bengkak. Wajah yang katanya “Kece” pun menjadi tidak karu-karuan. Wajah garang yang selama ini menantang umat Islam di medsos dengan hinaannya kepada Nabi Muhammad Salllahu ‘alaihi wasallam, berubah menjadi muka rusak, muka mengharapkan iba,dan muka memelas. Umat Islam garis lurus tidak ada yang simpati padanya. Bahkan, umat Islam golongan ini memuji tindakan yang diduga dilakukan Napoleon Bonaparti alias Napo Batara itu. Dukungan kepada Napo Batara – yang ditahan karena vonis 4 tahun penjara dalam kasus suap Djoko Tjandra – terus mengalir. Apalagi, setelah ia mengeluarkan surat terbuka dari dalam tahanan, yang beredar pada Ahad, 18 September 2021. Ia sangat jantan, karena berani mempertanggungjawabkan tindakannya, menghajar si terduga penista agama Islam. Dalam surat terbukanya itu, Napoleon menulis, “Akhirnya, saya akan mempertanggung jawabkan semua tindakan saya terhadap Kace..apa pun risikonya.” Mengapa Napoleon yang masih polisi aktif dengan dua bintang di pundak mengatakan itu? Sebab, dalam pandangannya, perbuatan Kece dan beberapa orang tertentu telah sangat membahayakan persatuan, kesatuan, dan kerukunan umat beragama di Indonesia. Sebagai seorang Muslim sejak lahir, Napoleon sangat terusik dengan perbuatan Kece, sang atheis yang melecehkan dan menghina agama Islam. Ia pun menegaskan, silahkan dirinya dihina, tetapi tidak terhadap Allah ku, Al-Qur’an, Rasulullah Sallahu ‘alaihi wasaallam dan akidah Islamku. “Siapa pun bisa menghina saya, tapi tidak terhadap Allah ku, Al Qur’an, Rasulullah SAW dan akidah Islam ku. Karenanya saya bersumpah akan melakukan tindakan terukur apa pun kepada siapa saja yang berani melakukannya,” tulis Napoleon dalam surat terbukanya itu. Perseteruan antara Napoleon Bonaparte dengan Kece, ternyata berujung pada pelaporan ke Bareskrim Polri. Napolen dilaporkan, karena dugaan penganiayaan dan kekerasan fisik. Menarik dianalisa, mengapa polisi begitu mudah menindaklanjuti laporan Kece tersebut? Padahal, di dalam tahanan, baik tahanan kepolisian maupun di lembaga pemasyarakatan, kekerasan sesama tahanan sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Ada istilah “lurah”, “komandan” dan lain-lain di dalam tahanan. Istilah tersebut disematkan kepada penghuni lama yang sudah menjadi “bos” di tahanan. Bisa juga penghuni baru yang berhasil mengambil-alih kekuasaan di dalam tahanan. Anda mengertilah, kalau sudah ada “lurah”, “komandan” dan sebutan lain, menunjukkan kekuasaan atau seorang tahanan yang berkuasa atas tahanan lain. Sang “lurah” menjadi pimpinan di sebuah tahanan. Ia memiliki kekuasaan “istimewa” dalam memberlakukan tahanan lain. Juga mendapatkan perlakuan “istimewa” dari penjaga tahanan. Termasuk harus menyetorkan sesuatu, terutama membagi makanan yang dibawa keluarga tahanan yang menjadi “binaannya”. Nah, di hampir semua penjara, ada saja aksi kekerasan terjadi sesama tahanan. Akan tetapi, biasanya bisa diselesaikan di dalam, tanpa harus melapor ke polisi. Mengapa laporan Kece malah diproses oleh polisi? Kabar yang beredar, kejadian antara Napoleon dan Kece itu sudah diselesaikan secara damai oleh sesama penghuni tahanan Bareskrim Polri. Tentu, perdamaian itu juga dipastikan difasilitasi oleh polisi yang menjaga mereka atau yang bertanggungjawab atas semua tahanan di tempat tersebut. Semestinya, laporan sesama tahanan tidak perlu diproses oleh polisi. Kecuali mengakibatkan tahanan meninggal dunia atau cacat seumur hidup, dan tahanan yang menjadi bandar serta pengedar narkoba. Sebab, jika setiap peristiwa di dalam penjara dilaporkan oleh yang merasa dirugikan atau teraniaya, berapa banyak yang harus diproses oleh polisi. Berapa banyak, narapidana yang akan menjadi tersangka lagi. Polisi harus berpikir ulang menindaklanjuti laporan Kece itu. Polisi harus menghentikan proses terhadap Napoleon. Sebab, kejadian tersebut berada dalam ranah Rutan. Artinya, jika ditindaklanjuti, bakal ada penjaga tahanan atau penanggungjawabnya yang harus diproses juga. Harus diproses karena ada “pembiaran” kekerasan terjadi. Polisi juga harus bertanggungjawab atas kekerasan yang terjadi atas Kece. Tidak bisa semata-mata membebankannya kepada Napoleon Bonaparte. Kecuali, ada polisi yang “dendam” kepada Napo Batara. **

Mereka Bungkam Aktivis, Pelukis dan Jurnalis

LAPORAN yang dilayangkan kepada Hersubeno Arief sangat disayangkan dan tidak tepat. Sebab, konten channel Youtube Hersubeno Point merupakan produk jurnalistik dari FNN (Forum News Network). Mengapa disesalkan? Karena di negara hukum yang berdasarkan Pancasila, masih ada yang tidak mengerti dan memahami aturan perundang-undangan dan hukum, terutama yang mengatur kebebasan pers. Semestinya, sebelum melapor ke kepolisian, Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, terlebih dahulu menggunakan hak jawab yang ditujukan ke FNN. Tembusannya ke Dewan Pers. Harus menggunakan hak jawab? Betul karena hal itu merupakan perintah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang yang lahir dari ‘rahim’ reformasi itu jelas bertujuan sangat baik, terutama dalam menjaga kebebasan pers dari bentuk intimidasi, pembereidelan dan cara lain yang tidak sejalan dengan hukum. Sengketa pers tidak serta-merta bisa dibawa ke ranah hukum. Harus diselesaikan lewat mekanisme hak jawab. Media wajib menayangkan atau memuat hak jawab segera setelah menerimanya. Jika tidak memuatnya, Dewan Pers akan turun tangan. Jika hak jawab yang dimuat tidak memuaskan pihak yang dirugikan, Dewan Pers akan memanggil kedua-belah pihak. Kedua belah pihak akan “disidang”. Jadi, tidak serta-merta dibawa ke ranah hukum, dengan melaporkannya ke polisi. Hal tersebut sesuai dengan MOU antara Dewan Pers dengan Kapolri Nomor 2/DP/MoU/II/2017. Dalam Memorandum Of Understanding (MOU) itu jelas menyebutkan, jika dianggap ada yang tidak tepat pada pemberitaan sebuah media, kasusnya dibawa kepada Dewan Pers, bukan kepada polisi. Jadi, semestinya DPD PDIP Jakarta paham dengan hal-hal yang mengatur mengenai pers. Tidak serta-merta melaporkan Hersubeno Arief ke Polda Metro Jaya atas konten berjudul, “Ketum PDIP Megawati Dikabarkan Koma dan dirawat di RSPP.” yang di-upluod Hari Kamis tanggal 9 September 2021. Konten tersebut jelas tidak menyebarkan berita bohong atau hoax. Sebab, di dalamnya juga sudah mengutip pernyataan para petinggi PDIP. Pernyataan yang dikutip itu juga merupakan salah satu bentuk chek and rechek yang dilakukan wartawan kami, Hersubeno Arief. Selain itu, keesokan harinya juga sudah di-upload pernyataan Megawati yang menyatakan sehat walafiat. “Breaking News! Ketum PDIP Megawati Sehal Wal Afiat.” Demikian judul konten yang diluncurkan pada Jumat, 10 September 2021. Pernyataan itu diambil dari ucapan Megawati pada pembukaan TOT Kader PDIP. Konten kedua itu juga merupakan salah satu bentuk chek and rechek yang dilakukan Hersubeno Point FNN. Sebab, banyak cara melakukan chek and rechek. Kembali ke laporan, semua melihat itu terjadi karena arogansi dari sebuah partai pendukung utama pemerintahan Joko Widodo. Sebab, sudah terlalu banyak dan sering kader-kader dan simpatisannya melakukan pengaduan atas ketidaksukaannya terhadap rakyat, terutama oposisi. Padahal, katanya, partai wong cilik. Ada kesan, mereka sedang dalam mabuk di lingkaran kekuasaan. Sehingga, segala macam bisa dilakukan. Di tengah rakyat ada kalimat, “Mana berani polisi menolak laporan mereka.” Bahkan, penangkapan sejumlah aktivis pun disebut sebagai pesanan. Demikian juga penurunan spanduk, baliho dan penghapusan mural. Jadi, jika perlu aktivis, pelukis dan jurnalis yang kritis harus ditangkap dan dipenjara. Mana lagi kehidupan demokrasi jika sudah demikian. Mana lagi kebebasan pers, jika aturan dan hukum tentang Pers saja dilanggar. Mana lagi kebebasan berekspresi, jika hasil karya pelukis berupa mural harus dihapus. Semua mau dibungkam. Sudahlah, sesama anak bangsa jangan saling mengadu-domba. Jangan saling bernafsu memenjarakan. Yang perlu dibangun adalah kesadaran bersama agar semua pihak, baik kubu pendukung pemerintah maupun oposisi supaya sama-sama tidak menyebarkan berita bohong atau hoax, apalagi berita fitnah. Kami di FNN selalu menanamkan wartawan agar tidak menurunkan berita bohong apalagi fitnah. Sebab, hal itu dilarang dalam ajaran agama Islam. **

Mencari Aktor Intelektual Pembunuhan Munir dan 6 Laskar FPI

SUDAH 17 tahun berlalu. Dua presiden. Puluhan kali desakan dari publik untuk mengungkap. Tetapi, aktor intelektual pembunuhan Munir Said Thalib, mantan koordinator Kontras, belum juga ditemukan. Jangankah ditemukan, dimulai saja pun proses pencariannya, belum. Munir dibunuh pada 7 September 2004 ketika dalam penerbangan dengan Garuda dari Jakarta menuju Amsterdam. Otopsi menemukan racun arsenik dalam jumlah besar di tubuh Munir. Pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, dijatuhi hukuman penjara 14 tahun karena terbukti membunuh aktivis HAM (Hak Azasi Manusia) itu. Pollycarpus diyakini tidak mungkin sendirian. Dia hanya sebagai operator lapangan dengan misi meracun Munir lewat minuman. Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) waktu itu menyimpulkan ada pemufakatan jahat untuk menghabisi Munir. TPF menuliskan tiga rekomendasi. Akan tetapi, “Rekomendasi Nomor 3” yang sangat krusial. Yaitu, permintaan agar SBY memerintahkan Kapolri untuk mendalami dugaan keterlibatan lima (5) orang dalam pembunuhan ini. Kelima orang itu adalah Indra Setyawan, Ramelga Anwar, Muchdi PR, Bambang Irawan dan AM Hendropriyono. Empat dari lima orang ini sudah diadili. Hanya Hendropriyono yang belum pernah diperiksa. Para aktivis HAM, para pakar hukum pidana, politisi dan tokoh-tokoh masyarakat menuntut agar pemerintah segera mengungkap aktor intelektual pembunuhan Munir. Namun, hingga saat ini tak berhasil ditemukan. Sekarang tidak banyak waktu yang tersisa untuk membongkar aktor intelektual itu. Hanya setahun lagi. Sebab, begitu kasus pembunuhan Munir genap berusia 18 tahun, maka berlakulah aturan kedaluwarsa. Artinya, kasus pembunuhan Munir akan dimasukkan ke tong sampah setelah 7 September 2022. TPF Munir dibetuk pada 22 Desember 2004. Mereka bekerja tujuh bulan sampai 23 Juni 2005. Pada 24 Juni 2005, TPF menyerahkan hasil penyelidikan mereka kepada Presiden SBY. Anehnya, SBY tidak langsung mengumumkan temuan TPF kepada publik. Sampai akhirnya masa jabatan keduanya selesai pada 20 Oktober 2014. Sekarang, penuntasan kasus pembunuhan Munir ada dalam tanggung jawab Presiden Jokowi. Dia pernah berjanji akan menyelesaikan kasus Munir. Tetapi, sampai detik ini tidak ada realisasinya. Bahkan, dokumen yang berisi hasil kerja dan rekomendasi TPF dinyatakan hilang pada 2016. Hilang yang sangat misterius. Yang jelas, dokumen itu sudah diserahkan TPF kepada SBY. Rachlan Nashidik, politisi Partai Demokrat yang juga mantan anggota TPF, mengatakan SBY sudah mengirimkan dokumen final TPF kepada para penegak hukum. Dia yakin, dokumen itu ada di Istana saat ini. Hari ini, publik menuntut pengungkapan aktor intelektual atau dalang utama pembunuhan Munir. TPF sebetulnya sudah memberikan aba-aba tentang ke mana penyelidikan krusial harus di arahkan untuk menemukan Sang Aktor. Tetapi, SBY dan Jokowi tampaknya menghindari arah penyelidikan itu. Dari tahun ke tahun penyelidikan penting itu tidak pernah terlaksana. Nah, mengapa berat sekali mencari aktor intelektual pembunuhan Munir? Apa yang menjadi kendala? Jawaban singkatnya: kedua presiden, baik SBY maupun Jookowi, tak berani. Mereka tidak punya niat, dan juga nyali, untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir. Presiden SBY dulu, dan Presiden Jokowi sekarang, memiliki banyak instansi dan lembaga yang bisa dengan mudah menemukan dalang pembunuhan Munir. Tetapi itu tidak mereka lakukan. Walaupun Pollycarpus sudah meninggal dunia, upaya untuk mengungkap aktor intelektual pembunuhan Munir masih bisa dilakukan. Sangat mungkin, pintu persembunyian Sang Aktor bisa terbuka kalau Rekomendasi Nomor 3 TPF dilaksanakan sepenuhnya. Setelah kasus pembunuhan Munir diserahkan ke Jokowi, tidak ada perubahan sampai hari ini. Rekomendasi agar Polri mendalami peranan Hendropriyono tidak pernah terlaksana. Padahal, pemeriksaan Hendro sangat penting. Diyakini, bisa membuka jalan menuju “persembunyian” Sang Aktor pembunuhan Munir. Begitu banyak desakan dan imbauan, tidak dihiraukan oleh Jokowi. Selain dalang pembunuhan Munir, rakyat juga menuntut agar para penegak hukum mengungkap aktor intelektual pembunuhan 6 (enam) lasar pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) di KM-50. Para pakar hukum dan forensic berpendapat tidak ada kendala untuk menelusuri dalang KM-50. Sayangnya, para tersangka yang sudah ditetapkan oleh kepolisian pun bisa bebas bekerja di instansi mereka. Sudah sembilan bulan berlalu, kasus ini pun kelihatannya bisa menguap begitu saja. Tetapi, rakyat akan terus menuntut penegakan keadilan. Rangkaian peristiwa pembunuhan KM-50 itu sangat jelas. Saking jelasnya, para petinggi kepolisian sempat gugup pada awal-awal penangan kasus tersebut. Banyak orang percaya penanganan kasus ini dengan rekayasa pasti akan terbongkar. Tidak lama lagi!

Sandyakala Ning Joko Widodo

SANDYAKALA artinya guratan merah di langit saat memasuki senja. Sandyakala Ning Joko Widodo artinya waktu yang dimiliki Joko Widodo sudah mulai habis, terlihat samar-samar, mulai redup bertepatan dengan tenggelamnya matahari menuju gelap. Adalah sastrawan Sanusi Pane yang memopulerkan kata itu ketika menulis sebuah drama sejarah berjudul Sandyakala Ning Madjapahit yang ditulis pada tahun 1930-an. Ensiklopedi Sastra Indonesia mencatat drama itu pertama kali dimuat dalam Majalah Timbul Nomor 1--6, Tahun VII, 1932, dan Nomor 3—4 Februari 1933. Setelah Sanusi Pane meninggal dunia pada 02 Juni 1966 atas inisiatif Ajip Rosidi, tahun 1971 drama "Sandyakala Ning Madjapahit" itu diterbitkan kembali oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, dalam bentuk buku. Buku Sandyakala Ning Madjapahit ternyata mendapat sambutan yang hangat di kalangan masyarakat sastra. Sanusi Pane tampaknya ingin menunjukkan kepada kita bahwa kejayaan suatu kerajaan harus didukung oleh kejujuran dan keunggulan pribadi para pemimpinnya. Ia akan rontok lebih cepat oleh kerakusan, kesombongan, dan kebodohan. Drama ini menekankan banyaknya konflik para aparat kerajaan yang berakibat runtuhnya kerajaan, merupakan simbol hancurnya peradaban lama dan bangkitnya peradaban baru. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik adalah ratu, kaum bangsawan, dan agamawan. Ratu yang jiwanya bersih dari angkara dan harta, yang hidup sesuai dengan zamannya, bisa menyelamatkan dan menegakkan kerajaan yang hampir runtuh. Akan tetapi, dengan disingkirkannya sama sekali elemen penyelamat dan pendukung satu-satunya, akhirnya runtuhlah pula tiang-tiang kejayaan kerajaan tersebut. Rupanya drama ini ditulis sebagai penyalur rasa tertekan kaum intelektual oleh penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap pergerakan sekitar tahun 1930-an. Namun, di tengah penggambaran kehancuran dan runtuhnya suatu kekuasaan tersebut, masih terselip secara samar-samar harapan akan terang yang baru. Dalam istilah politik kekinian, analoginya hampir sama bahwa penguasa yang bertengger saat ini sedang memasuki sandya kala. Kekuasaannya sudah mulai habis. Cahayanya mulai redup. Masa kegemilangannya mulai tenggelam, bahkan lebih cepat karena intrik dan politik di dalam kekuasaan itu sendiri. Para tokoh yang berkonflik dalam rezim ini juga memiliki unsur yang sama yakni presiden, kaum bangsawan, dan agamawan. Bangsa Indonesia tahu, Jokowi naik menjadi presiden adalah atas jasa PDIP dan Megawati. Tanpanya Jokowi bukan siapa-siapa. Akan tetapi tabiat asli Jokowi sudah terbaca sejak awal. Orang memberi cap sebagai Kacang Lupa Kulitnya. Kisruh di istana Jokowi terjadi pada 100 hari kepemimpinan periode pertama ditandai dengan perpecahan antara Megawati dan Jokowi. Pemicunya adalah pergantian Kapolri yang diikuti saling sandera antara KPK dan POLRI. Rakyat tahu calon Kapolri Budi Gunawan adalah usulan Megawati. Penundaan pelantikan Kapolri tentu saja merupakan pesan buruk yang diterima Megawati dari Jokowi. Apalagi akhirnya Kapolri pilihan Megawati tak jadi dilantik. Luka itu masih menganga sampai hari ini. Rupanya Megawati seorang pengingat yang baik. Dalam banyak kesempatan Megawati selalu menyinggung Jokowi sebagai petugas partai. Kekhawatiran Megawati terhadap Jokowi tak bisa dimaklumi lagi. Lihat saja, pernyataan Megawati ini “Saya punya tanda tangan Pak Jokowi, dia petugas partai. Tanda tangan itu untuk Ketua Umum PDIP. Tapi kan gak pernah saya beber-beber. Hanya supaya kalau sewaktu-waktu yang namanya terjadi pembulyan terhadap saya sudah kelewatan, baru akan saya sampaikan bahwa ini konstitusi partai. Sampai presiden yang datang dari kita, saya katakan bahwa ini adalah petugas partai”. Serangan terhadap Jokowi juga dilakukan putri Megawati, Puan Maharani. Sepertinya tekad Megawati sudah bulat, tak lagi membutuhkan Jokowi sebagai petugas partai. Ia pun mendorong Puan untuk tampil menjadi pemimpin masa depan. Ketua DPR itu pun keluar kandang dengan memasang baliho di mana-mana. Kepak Sayap Kebhinnekaan menjadi andalan propaganda. Ia mulai berani melempar kritik tajam terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19. Puan menilai pemerintah gagal memulihkan kepercayaan masyarakat di tengah pandemi. “Percuma ada berbagai kebijakan bahkan pembatasan mobilitas rakyat kalau program ini di lapangan dijalankan ala kadarnya apalagi terkait dengan perut rakyat”. Pada kesempatan berbeda Puan juga menggebrak soal komunikasi publik Jokowi yang buruk. “Perbaiki komunikasi publik termasuk kejelasan siapa yang pegang komando dari krisis ini, terutama terkait dengan keputusan pemerintah,” sentil Puan. Suara Puan adalah suara Megawati sebagai pimpinan PDIP. Masyarakat tahu bahwa PDIP adalah “The Rulling Party” sehingga kebijakan Pemerintah adakah produk, sepengetahuan, atau sepersetujuan PDIP. Akan tetapi realitas politik berbeda di lapangan. Ada pasang naik dan surut hubungan intim politiknya. Jokowi memang bukan kader murni PDIP. Ia tak bisa lepas dari kegemarannya berjalan sendiri di got, sawah, hutan, jalan tol, lokasi banjir, atau kandang bebek. Megawati agaknya tak suka gaya ini. Ketika relawan Jokowi menggaungkan perpanjangan jabatan Presiden tiga periode, PDIP yang memiliki Puan Maharani sebagai kader jagoan untuk dimajukan Pilpres 2024, langsung meradang. Begitu juga ketika Jokowi bermain-main dengan Ganjar Pranowo, Puan menghajar Gubernur Jawa Tengah melalui kadernya Bambang Pacul, Ketua DPD PDIP Jawa Tengah. Di daerah Bambang terus memacul siapapun kader yang tak sejalan dengan garis partai. Keberanian Puan mengkritik Jokowi merupakan bukti nyata bahwa kekuatan rezim mulai rapuh. Jika PDIP menarik dukungan “petugas partai yang durhaka” maka dipastikan Pemerintahan Jokowi bakal ambrol. Mungkin sebelum 2024. Di luar istana, dalam beberapa hari ini kekecewaan rakyat terhadap Jokowi makin meluas. Tak hanya kecewa terhadap kebijakan penanganan pandemi Covid-19 tetapi kecewa terhadap seluruh kebijakan rezim yang memaksa. Rakyat terus dipaksa mengikuti irama dan kehendak penguasa. Akumulasi dari kekecewaan ini juga memaksa rakyat makin berani menyampaikan pendapatnya, baik dalam bentuk video, tulisan, maupun coretan di jalanan. Di Danau Toba Medan Sumatera Utara, rakyat melakukan demonstrasi meminta Jokowi turun. Spanduk bertuliskan “Close Jokowi” mewarnai aksi tersebut. Di Jabotabek, mahasiswa terus melakukan konsolidasi untuk menentukan dan memantapkan aksinya. Mereka tengah menyusun strategi, jadwal, dan tema aksi untuk segera direalisasikan dalam waktu dekat. Di Kalimantan, Papua, dan Maluku mahasiswa sudah gerah melihat sepak terjang rezim yang makin jauh dari arah reformasi. Mereka menganggap Jokowi mundur adalah solusi terbaik. Di Makassar, demonstrasi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Indonesia meminta Jokowi lengser karena tidak berpihak kepada petani, buruh, dan masyarakat kecil. Sebelumnya, di kalangan TNI, Perwira TNI Ruslan Buton meminta Presiden Jokowi mundur, tapi malah dipenjara dengan tuduhan ujaran kebencian. Tak hanya itu, Presiden digugat mundur di PN Jakarta Pusat oleh Muhidin Jalin, dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. Jokowi diminta menyatakan pengunduran diri secara terbuka. Pakar hukum tata negara Refly Harun melalui kanal YouTubenya meminta Presiden Jokowi mundur karena dari sisi amanat konstitusi, Presiden gagal melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, berkaitan dengan banyaknya korban meninggal dalam pandemi Covid-19. Akademisi Rocky Gerung menilai desakan masyarakat agar Jokowi mundur adalah konsekuensi logis atas kegagalannya dalam menangani Pandemi Covid-19. Fenomena kegagalan rezim berganti menjadi fenomena ujaran kebencian, hoax, eksploitasi SARA, kriminalisasi ulama, beternak buzzer, pemujaan terhadap TKA Cina, petani dan nelayan terpinggirkan, akademisi berakrobat seperti badut, korupsi di semua lini, kebohongan dipertontonkan oleh petinggi negeri sekadar untuk mendapat tepuk tangan dari para penggemarnya yang dungu. Media mainstream melakukan penyesatan, tokoh yang konsisten menyuarakan kebenaran diserang buzzer bayaran dengan kata-kata keji dan fitnah karena mereka tidak sanggup berargumentasi dengan menggunakan nalar manusia. Ingat, Kerajaan Majapahit sebuah negara besar yang dihormati bangsa-bangsa pada masanya itu, akhirnya sirna oleh karena korupsi, perang saudara, dan kepemimpinan yang lemah, rakus, serta lancung pasca-wafatnya Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Di bawah kepemimpinan yang lemah, lancung, koruptif, dan penuh muslihat ini apakah Sandyakala Ning Joko Widodo segera menjadi kenyataan?

Munarman Aktivis yang Harus Dihabisi

SUDAH empat bulan lebih ia menjadi tahanan kepolisian dengan dugaan keterlibatan tindak pidana terorisme. Sebuah tuduhan yang penuh misteri dan rekayasa. Sebab, hanya dikaitkan dengan kehadirannya dan menyampaikan materi dalam pertemuan di Makassar, Sulawesi Selatan dan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di Cuputat, Kota Tangerang Selatan, Banten Penangkapannya pun dianggap tidak manusiawi. Ia ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri pada Selasa, 27 April 2021 di kediamannya, Klaster Lembah Pinus Modern Hill, Blok G-5/8 RT 01/RW 13, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Bayangkan, permintaannya memakai sandal saja tidak dibolehkan. Bahkan, ketika ia mengatakan penangkapan tidak sesuai prosedur hukum yang berlaku, terdengan suara bentakan sebagai jawabannya. Berdasarkan video yang beredar, ia terlihat tampak tenang menghadapi pasukan antiteror dalam jumlah lumayan banyak dengan senjata lengkap. Ditambah lagi dengan aparat keamanan yang tidak menggunakan pakaian dinas. “Munarman ditangkap!” Demikian kalimat yang beredar di WhatsApp (WA) grup saat menjelang berbuka puasa waktu itu. Harap maklum, waktu penangkapannya bertepatan dengan bulan suci Ramadhan 1442 Hijriyah. Dengan mata ditutup dan tangan diborgol, pengacara Habib Rizieq Shihab itu dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Memakai kain sarung dan kemeja koko putih, Munarman terlihat tetap tenang. Ya, itulah yang dialami Munarman, SH. Sang pengacara, aktivis demokrasi dan hak azasi manusia. Sederet profesi di bidang pembelaan disandangnya. Kariernya dimulai ketika bergabung dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Palembang, kemudian menjadi Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) di Aceh. Puncak kariernya ketika tanggal 25 September 2002 terpilih menjadi Ketua YLBHI dan diembannya sampai 2006. Jika melihat sepak-terjangnya, pantas ia selalu bersinggungan dan berhadapan dengan aparat keamanan, baik dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia - yang merupakan gabungan tentara dan polisi di masa orde baru) maupun dengan aparat hukum (polisi, jaksa dan hakim) di masa reformasi. Bahkan, bisa dikatakan Munarman adalah “musuh” bebuyutan polisi dan jaksa. ‘Musuh’ utamanya adalah polisi. Ia selalu menjadi target polisi, terutama setelah bergabung dengan FPI yang senantiasa mengkritik pemerintah. Selalu dianggap berseberangan dengan penguasa, sehingga ia harus ‘dihabisi.” Perlakuan dan penangkapan terhadap mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam itu dinilai tidak adil. Juga terkesan dipaksakan karena diduga ada kaitan dengan pembelaannya terhadap pembantaian enam laskar FPI yang mengawal iringan HRS dan keluarga di KM-50 Jln Tol Jakarta-Cikampek. Juga, karena pembelaannya dalam persidangan HRS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang sempat membentak jaksa penuntut umum. Anda bisa bandingkan antara perlakuan yang diterapkan kepada Munarman dengan dua orang anggota polisi yang membunuh laskar tersebut. Ibarat kata pepatah, “Antara bumi dan langit.” Munarman ditangkap dan ditahan dengan tuduhan teroris, sedangkan dua polisi, Briptu FR, dan Ipda MYO yang dituduh membunuh dijerat dengan dua pasal, tidak ditahan. Tidak ditahan, baik saat penyelidikan dan penyidikan di Polda Metro Jaya maupun saat berkas dan tersangkanya dilimpahkan ke kejaksaan. Malah, keduanya masih aktif sebagai polisi. Inilah yang namanya, “Hukum tajam ke oposisi, tetapi tumpul ke polisi.” Padahal, dua anggota polisi itu dikenakan pasal yang hukuman maksimalnya cukup berat. Pertama, Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai tuduhan primer. Pasal tersebut, terkait dengan ancaman 15 tahun penjara bagi pelaku perampasan nyawa orang lain, atau pembunuhan. Kemudian, dalam rencana dakwaan subsider, jaksa penuntut umum (JPU) memakai sangkaan Pasal 351 ayat (3) juncto, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sangkaan tersebut, terkait dengan penganiayaan yang menyebabkan kematian, dengan ancaman tujuh tahun penjara. Melihat ketimpangan dalam penegakan keadilan itu, maka wajar sejumlah aktivis, pengacara, ulama, habaib dan tokoh masyarakat menyuarakan agar Munarman segera dibebaskan dari penjara. Tuntutan yang sama juga sudah beberapa kali disampaikan terhadap HRS dan kawan-kawan. Rabu, 1 September 2021, tuntutan agar Munarman dibebaskan disuarakan oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai Sahabat Munarman. Bertempat di Masjid Baiturrahman, Jln Sahardjo, Tebet, Jakarta Selatan, mereka mengeluarkan tiga pernyataan sikap. Pertama, mengutuk keras segala bentuk kriminalisasi dan terorisasi beserta fitnah terhadap sahabat kami saudara Munarman. Kedua, mendesak agar kriminalisasi, terorisasi serta fitnah terhadap saudara Munarman segera dihentikan dan membebaskannya dari tahanan. Ketiga, hentikan segala bentuk kriminalisasi dan terorisasi terhadap ajaran agama mana pun maupun pemuka agama apa pun di Indonesia. “Rakyat perlu mengetahui, fitnah berupa tuduhan Munarman menggerakkan orang atau bermufakat jahat atau memberikan bantuan atau menyembunyikan informasi adalah fitnah keji terhadap yang bersangkutan," kata Juju Purwanto, pengacara Munarman. Contoh kehadiran Munarman di acara seminar di Makassar, Sulawesi Selatan. Munarman tidak melakukan pembaiatan anggota ISIS (Islamic State of Iraq and Syria- Negara Islam Irak dan Suriah) dalam acara seminar tersebut. Munarman hadir sebagai narasumber yang substansi materinya adalah tentang kontra terorisme. “Adanya agenda baiat ISIS tidak diketahui Munarman. Sehingga saat berlangsung secara mendadak pun ia tidak ikut membaiat, tidak mendukung, menyuruh, atau memfasilitasi," ujarnya. "Sungguh tidak masuk akal sehat dan sangat mustahil apabila saudara Munarman terlibat dalam gerakan terorisme," ucap Juju. Sedangkan Marwan Batubara mengatakan, penangkapan dan penahanan Munarman lebih menunjukkan kesewenang-wenangan dari pemerintah, dalam hal tersebut aparat polisi. Oleh karena itu, ia minta segera dibebaskan. Marwan mengatakan, jika Presiden Joko Widodo bukan pemimpin yang hipokrit, "Ya buktikan, Pak Munarman, saudara kami itu, segera bebaskan." Ia memprotes penangkapan Munarman, karena melanggar hukum. "Jangan sembarang tangkap. Pak Jokowi bilang Pancasila, lalu dari Pancasila itu ada kejelasan tentang ini negara hukum. Akan tetapi, praktiknya justru sangat biadab gitu. Tidak beradab ya, memperlakukan saudara kami itu seolah-olah beliau itu bukan manusia ya," kata Marwan, koordinator Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 Laskar FPI itu. Marwan mengingatkan masih ada yang lebih berkuasa dari Jokowi dan jajarannya. “Itu keyakinan kami. Jika Anda (Jokowi) tidak melepaskan Munarman, kami berdo’a, semoga Allah nanti menjatuhkan hukumnya atau keputusannya yang terakhir dan lebih adil.” **

Sejarah Kelam Obligor Lippo Group

KASUS Bantauan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebenarnya sudah terkubur 22 tahun silam, namun sisa-sisanya masih terasa hari ini. Karena memang masih ada masalah tersisa 48 obligor dan debitor yang diharapkan dapat mengembalikan dana BLBI, namun baru menyerahkan aset, seperti yang terjadi pada Lippo Group. Pemerintah diketahui telah melakukan penguasaan fisik terhadap aset obligor dan debitur BLBI berupa 49 bidang tanah seluas 5.291.200 m2. Lokasinya tersebar berada di Medan, Pekanbaru, Tangerang, serta Bogor. Rinciannya, 44 bidang tanah seluas 251.992 m2 berada di Perumahan PT Lippo Karawaci Tbk, Kelapa Dua, Tangerang. Di Medan seluas 3.295 m2, di Pekanbaru seluas 15.785 m2 dan 15.708 m2, serta di Bogor seluas 2.013.060 m2 dan 2.991.360 m2. Di sisi lain, pemerintah juga masih terus mengejar 48 obligor dan debitur untuk membayar utang Rp110,45 triliun ke negara. Keseriusan pemerintah mengumpulkan kembali aset negara itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang diteken pada 6 April 2021. Terkait penyitaan aset, Corporate Communication Lippo Karawaci Danang Kemayan Jati menjelaskan, lahan tersebut sebenarnya merupakan lahan yang sudah dimiliki secara hukum dan dikuasai oleh pemerintah, atas nama Depkeu, sejak 2001. "Jadi lahan tersebut sudah bukan lagi milik Pt Lippo Karawaci Tbk," tegasnya dalam keterangan tertulis, Jumat (27/8). Kepemilikan lahan tersebut diakui Danang memang terkait BLBI terhadap bank-bank yang diambil alih oleh pemerintah, melalui BPPN, pada bulan September 1997. "Tidak ada satu pun perusahaan Lippo, termasuk Bank Lippo, yang pernah meminta atau mendapatkan sekalipun atau satu sen pun, dana BLBI," tuturnya. Danang melanjutkan bahwa di antara aset-aset yang dikonsolidasikan di dalam satgas tersebut, ada yang terletak di sekitar pemukiman yang disebut Lippo Karawaci. Menurutnya itu adalah sesuatu hal yang wajar. "Pemberitaan yang seolah-oleh ada penyitaan lahan atau aset yang dikaitkan Lippo sebagai obligor dahulu atau sekarang, adalah sepenuhnya tidak benar. Karena aset itu sudah milik negara sejak 2001," tambahnya. Sampai di sini klaim Danang ada benarnya. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bank Lippo menerima dana rekapitalisasi sebesar Rp7,72 triliun. Dana rekap itu berupa obligasi fix rate sebesar Rp1,14 triliun dan obligasi variabel rate sebesar Rp6,58 triliun untuk mendapatkan kinerja rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio—CAR) 25,35%. Artinya Bank Lippo pasca rekapitalisasi memiliki likuiditas cukup dari syarat minimal CAR 4% dimasa krisis—dari sebelumnya 8%--bank itu direkap dengan 25,35%. Over rekapitalisasi, ini mungkin bentuk kedekatan para petinggi Lippo Group dengan pemerintah. Sebagai bentuk tanggung jawab jaminan, Lippo Group menyerahkan sejumlah aset. Selama Lippo Group tidak bisa mengembalikan dana rekap maka aset itu otomatis bisa disita sebagai bentuk pengembalian pinjaman kepada Pemerintah. Ada permainan buying time di sini, bisa saja saat aset Bank Lippo diserahkan nilai bukunya di bawah nilai utang. Namun setelah 22 tahun, aset yang sebagian besar berupa tanah itu kini nilainya sudah naik, sehingga inilah saatnya utang dianggap tuntas. Tentu saja ini bukan hal yang tanpa disengaja. Perlu diketahui arsitek konsep rekapitalisasi perbankan pada 1999 yang berupa Surat Keputusan Bersama 3 lembaga (Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan BPK) adalah petinggi Lippo Group, yakni Roy E. Tirtaji. Sehingga ketika Bank Lippo menjadi bank yang direkap, tentu menguntungkan dibandingkan rekapitalisasi bank lain. Rekapitlisasi bank hasil merger Bank Danamon hanya 17%, kemudian setelah merger naik menjadi 38,81%. Bank Niaga hanya 4%, setelah merger menjadi 16,47%. BII minus 14,64%, setelah direkap tiga kali menjadi 8%. Besarnya dana rekap Bank Lippo, tentu saja berkat kedekatan petinggi Lippo Group dengan Pemerintah saat itu. Kasus 22 Tahun Ihwal tagihan BLBI tersisa merupakan kasus masa lalu yakni warisan dari krisis moneter 1997-1998. Saat itu krisis tersebut menyebabkan dampak kepada perbankan. "Banyak bank yang mengalami kesulitan dan pemerintah dipaksa untuk melakukan apa yang disebut dengan penjaminan kepada seluruh perbankan Indonesia saat itu," tutur Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Jumat (28/7). Sri Mulyani menjelaskan saat itu banyak bank ditutup, diakuisisi, atau merger dengan perusahaan lain. Dalam kondisi itu lah pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) membantu dengan cara menyuntikkan likuiditas ke perbankan. "Dalam rangka untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, maka BI melakukan apa yang disebut bantuan likuiditas kepada bank-bank yang mengalami kesulitan," jelasnya. Bantuan likuiditas itu, sambung dia, dibiayai lewat surat utang negara (SUN) yang sampai sekarang masih digenggam oleh BI. Selama 22 tahun pemerintah disebut menanggung beban pembayaran utang, baik pokok dan bunga hingga saat ini. "Kalau dihitung selama 22 tahun, kita mengeluarkan bunganya bisa sampai kalau dulu itu mencapai di atas 10%. Kalau sekarang suku bunga barangkali sudah mulai turun tapi itu tetap tabungan yang luar biasa yang harus kita kembalikan," imbuhnya. Oleh sebab itu, pemerintah akan terus mengejar aset obligor dan debitur BLBI untuk melunasi kewajibannya. Tidak hanya yang di dalam negeri, tetapi juga aset yang berada di luar negeri. "Pemilik bank dan debitur harus mengembalikan dana tersebut. Itulah muncul tagihan apa yang kami sebut program BLBI akibat krisis keuangan 1997-1998," jelasnya. Satgas BLBI telah memanggil 48 debitur dan obligor tersebut untuk mengembalikan kewajibannya kepada negara. Salah satunya adalah Putra bungsu mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Tommy dipanggil atas nama pengurus dari PT Timor Putra Nasional. Satgas BLBI menyebut utangnya ke negara hingga Rp2,6 triliun. Sri Mulyani mengatakan pihaknya akan terus menghubungi obligor dan debitur sampai kepada keturunannya. Pasalnya, beberapa usaha obligor dan debitur tersebut bisa saja sudah dialihkan ke anak atau cucu. "Saya berharap kepada para obligor dan debitur tolong penuhi semua panggilan dan mari kita segera selesaikan obligasi atau kewajiban Anda semua yang sudah 22 tahun merupakan suatu kewajiban yang belum diselesaikan," pintanya. Sepertinya, seperti tesis penulis terdahulu, bahwa ribut-ribut soal dana BLBI selalu hadir satu hingga tiga tahun menjelang Pemilu. Ada indikasi kuat sisa-sisa tagihan BLBI obligor dan kreditor akan diolah lagi sebagai modal Pemilu. Rakyat hanya bisa menyaksikan sandiwara papan atas para perekayasa keuangan.

Balada Rezim Penakut

SESUNGGUHNYA rakyat harus iba dan kasihan terhadap rezim dan gerombolannya. Mereka tak pernah sepi dari rasa takut. Entah bayangan apa yang menggelayut di matanya. Kelihatannya rasa takutnya sudah akut sehingga kadang mereka takut pada ulahnya sendiri. Jejak ketakutan mereka terekam dengan jelas. Setelah mereka takut terhadap medsos (media sosial) dan ceramah agama, mereka kini takut pada gambar, coretan, dan tulisan alias mural. Bukan mereka tidak berdaya melawan rasa takut. Sebenarnya mereka sangat perkasa dan kuasa. Bahkan kekuasaannya mendekati absolut. Ketakutan terhadap medsos mereka tamengi dengan UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) . Tak puas dengan UU, mereka bendung dengan SE (Surat Edaran) Kapolri tentang Hate Speech. Siapa pun yang ngomong - meski lewat medsos - yang isinya tidak membuat penguasa senang, langsung dipolisikan dan dikandangi. Mereka peralat buzzer untuk memelototi rakyat yang kritis. Mereka eksploitasi buzzer untuk mengawasi setiap kata yang keluar dari mulut rakyat. Kadang-kadang buzzer memancing mancing rakyat biar bisa emosi dan marah. Kalau sudah marah, mereka tinggal lapor polisi lalu diciduk dan dipenjara. Namun, jika buzzer yang melanggar, polisi menjadi buta dan tuli. Perangkap mereka canggih sekaligus kurang ajar. Jiancuk tenan, kata Arek Suroboyo. Terhadap Islam mereka juga takut berlebihan. Mereka takut melihat jenggot, celana cingkrang dan ceramah agama. Mereka juga Parkinson melihat solidaritas dan soliditas umat Islam. Meski takut, mereka tak akan lari. Mereka intip dari bilik-bilik kekuasaan. Mereka melawan dengan segala kemampuan menggunakan tangan binaan. Perangkat hukum mereka pakai untuk bemper rasa takut. HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dibubarkan, FPI (Front Pembela Islam) diluluh-lantakkan. Ceramah agama dimata-matai dan kajiannya diintimidasi. Padahal, sejak 14 abad yang lalu ceramah agama ya seperti itu. Ada yang teriak-teriak sambil mengacungkan jari, ada yang gebrak meja, dan banyak yang lembut bersahaja. Tetapi, mereka sebatas ceramah. Tidak ada yang berubah baik isi ceramah maupun cara penyampaiannya. Mengapa tiba-tiba sang Rezim Petugas Partai alergi terhadap Islam. Bahkan semua yang berbau Islam seakan akan harus salah dan layak dibenci? Dulu mereka juga takut pada kaos dan baliho.Takut pula pada gambar Habib Rizieq. Fotonya diinjak dan dibakar dengan penuh kebencian. Belum lama ini sang pembakar sudah game over. Dia adalah Budi Djarot, yang kuburannya viral karena sempat amblas. Entah karena apa? Kini ketakutan rezim makin parah, mendekati stadium 4. Mereka tidak kuasa menatap mural anak-anak muda yang sedang berkreasi dengan tulisan kritis dan kreatif. Padahal, mural hanyalah saluran belaka, setelah tidak ada lagi tempat mengadu. Wakil rakyat tidak mungkin mendengarkan suara hati rakyat karena mereka sudah senyawa dengan rezim. Apa yang tertulis di tembok- tembok jalanan itu sesungguhnya suasana batin rakyat. Lihat saja bagaimana mereka secara lugas menyampaikan perasaan batin mereka. "Yang bisa dipercaya dari TV Cuma Adzan", "Kami Lapar Tuhan", "Jangan takut tuan-tuan, ini cuma street art." Begitu takutnya dengan grafiti itu, sehingga membuat rezim langsung perintahkan aparat menghapusnya. Sebelumnya, mural di sejumlah daerah dihapus oleh aparat. Misalnya, mural yang menggambarkan wajah mirip Presiden Joko Widodo dengan tulisan "404: Not Found", di Batuceper, Kota Tangerang, Banten. Ada juga mural bertuliskan 'WABAH SESUNGGUHNYA ADALAH KELAPARAN' yang terletak di Parung Serab, Ciledug, Kota Tangerang. Rezim mestinya takut jika rakyatnya tidak bisa makan, bukan takut pada bayangannya sendiri. Mereka mestinya takut menumpuk utang dan menyelewengkan anggaran. Mereka seharusnya takut memfitnah dan mengadu-domba umat Islam. Tampaknya mereka tidak takut ditawur rakyatnya sendiri. Mereka kini sedang takut kelakuannya sendiri, takut terbongkar kebobrokannya, dan keculasannya. Mereka tidak pernah memikirkan rakyat bagaimana setiap hari dihantui ketakutan masa depan yang suram, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) setiap saat, dan tidak bisa makan. Yang dipikirkan hanya ketakutan mereka sendiri. Semoga ketakutan mereka menjadi kenyataan.

Indahnya Menunggangi Pandemi

HITUNGAN normal masa kerja rezim ini masih lama, sekitar 3 tahun lagi. Tetapi urusan waktu tampaknya tak begitu penting bagi kaum ambisius. Adalah Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang punya hasrat itu. Pagi-pagi ia sudah mengusulkan amandemen UUD 1945. Teorinya sih amandemen terbatas ingin memasukkan PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara). Kira-kira mirip konsep GBHN (Garis Besar Haluan Negera) era Orde Baru. Tujuannya agar arah pembangunan bangsa ini terarah dan terukur sehingga tidak berganti haluan setiap pergantian presiden-wakil presiden. Untuk urusan tersebut, Bambang bahkan sudah menemui Presiden Jokowi di Istana Bogor. Jokowi setuju usulan Bambang. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin amandemen itu hanya bicara soal PPHN? Percayakah masyarakat bahwa mereka tidak menyinggung Pasal 7 yang berpeluang melakukan perubahan masa jabatan presiden? Rasanya sulit dipercaya, apalagi Jazuli Fawaid wakil Ketua MPR dari PKB juga senapas dengan Bambang. Ditambah lagi penasihat komunitas Jokpro 2024, M. Qodari optimistis amandemen UUD 1945 soal masa jabatan presiden menjadi 3 periode sangat mungkin dilakukan apabila syarat-syarat terpenuhi. Ada sejarahnya Jokowi menolak ide Jokpro? Tak hanya itu, Menkeu Sri Mulyani berpesan agar masyarakat berhati-hati karena pandemi akan berubah menjadi endemi tahun 2022 dan seterusnya. Itu artinya, kelangsungan rezim harus diupayakan biar penanganan endemi lebih efektif. Apa iya? Tampaknya rezim ini sulit berkata jujur dan apa adanya. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada ukuran rezim berhasil mengelola negara dan menyejahterakan masyarakatnya. Apalagi dalam menangani wabah. Amburadul, mulai dari pendataan korban, tingginya korban meninggal, pemberlakuan lockdown, distribusi bansos (bantuan sosial) hingga meroketnya anggaran yang dikeluarkan. Belum lagi uang yang diselewengkan. Siapakah di antara 34 menteri di republik ini yang secara legowo mengakui kekurangan pemerintah? Siapakah mereka dari 565 anggota parlemen yang secara jantan menunjukkan kekeliruan pemerintah? Siapakah mereka dari puluhan lembaga yang dibentuk pemerintah secara lapang dada mengakui kebijakan rezim menimbulkan ketidakadilan. Tidak ada! Mereka semua diam, membisu menikmati kenyamanan. Mungkin saja takut bicara atau bisa jadi tidak peduli, cuek, dan acuh. Perpanjangan masa jabatan presiden tampaknya bakal mulus. Apalagi kalau melihat dukungan di kepemerintahan yang mencapai 74,1 persen, mustahil gagal. Oposisi bisa apa? Maka ketika Presiden Jokowi menolak usulan 3 periode, banyak yang tidak percaya. Akhir tahun 2019 Jokowi pernah menolak dicalonkan kembali menjadi presiden pada 2024. Ia melabeli pengusul sebagai orang yang ingin menampar mukanya dan menjerumuskannya. Akan terapi, jika kemudian ia mengangguk-angguk ajakan Ketua MPR, apakah tidak malu dibilang clutak dan kemaruk? Entahlah. Yang jelas, wacana penambahan waktu tiga tahun masa jabatan atau amandemen presiden tiga periode, terus bergulir. Mereka hari ini sedang terjangkit wabah Rumongso Biso (merasa bisa). Negara butuh pimpinan dan pembantu yang memiliki jiwa ksatria, apa adanya dan bertanggung jawab. Negeri ini tidak butuh pemimpin yang melempem, penuh polesan, dan pengecut serta tidak memiliki rasa malu. Mereka tidak malu meminta tambahan masa jabatan meskipun minim keberhasilan. Para pemimpin seharusnya bisa memetik pelajaran berharga dari wabah pandemi. Jangan sampai sebelum, selama, dan setelah pandemi, pribadi dan karakter bangsa Indonesia sama saja, tidak berubah. Para pemimpin segeralah bermuhasabah atau introspeksi diri memohon ampunan pada Tuhan, jadikan keadaan sekarang menjadi momentum menguatkan keimanan dan ketakwaan kita. Terutama kepada para pemimpin negeri, mari berintrospeksi dan bertobat. Dalam situasi sulit sekarang, sudah seharusnya semua pihak menyingkirkan ego pribadi, kelompok, dan golongan. Semua pihak harus bisa meningkatkan rasa peduli terhadap sesama. Mari hidupkan hati nurani kita untuk saling peduli terhadap sesama dan merajut kebersamaan dengan semua elemen menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran. Pandemi jangan ditunggangi untuk segudang ambisi. Ojo rumongso biso, nanging biso rumongso (jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa). Petuah Jawa yang sangat mulia ini harus dimiliki setiap pemimpin.

Banteng Adu Tanduk, PDIP Pecah

SELEMBAR surat yang ditandatangani Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal, Hasto Kristiyanto beredar dan menarik dicermati. Surat tertanggal 11 Agustus 2021, bernomor 3134/IN/DPP/VIII/2021, perihal : Penegasan Komunikasi Politik. Surat ditujukan kepada DPP PDI Perjuangan, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, DPD dan DPC, anggota F-PDIP DPRD provinsi, kabupaten/kota, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah kader PDIP seluruh Indonesia. Intinya, penegasan kepada tiga pilar partai di tingkat masing-masing, sebagaimana pasal 15 huruf f Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Tahun 2019, “Dalam melaksanakan kepemimpinannya, Ketua Umum bertugas, bertanggung jawab dan berwenang serta mempunyai Hak Prerogatif untuk memutuskan Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden...” Semua kader diminta disiplin agar tidak memberikan tanggapan terkait calon presiden dan calon wakil presiden. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan dikenai sanksi disiplin partai. Dalam surat tersebut dijelaskan, “Skala prioritas partai adalah membantu rakyat dalam menangani seluruh dampak akibat pandemi Covid-19. Peningkatan jumlah pasien Covid-19 sangat serius dan sudah menjadi tugas kita bersama agar seluruh anggota dan kader partai untuk bahu-membahu, bergotong-royong membantu rakyat.” Ada dua hal yang menarik dicermati dari isi surat tersebut. Pertama, jelas-jelas semakin memperlihatkan terjadinya perpecahan di tubuh partai berlambang banteng hitam bermoncong putih itu. Surat tersebut muncul pada saat terjadinya kubu yang mencoba memuluskan Ganjar Pranowo menjadi calon presiden (capres) pada Pilpres 2024. Di sisi lain, ada juga kubu yang ‘ngotot’ mengajukan Puan Maharani menjadi capres 2024. Harap maklum, berdasarkan survei yang dilakukan beberapa lembaga, elektabilitas Ganjar Pranowo moncer. Sedangkan elektabilitas Puan Maharani masih memble. Berdasarkan hasil survei, perbedaan elektabilitas Gubernur Jawa Tengah dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu ibarat bumi dan langit. Terakhir, survei yang Charta Politika menempatkan nama Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di urutan terbawah elektabilitas 10 tokoh calon presiden atau Capres 2024. “Puan 1,4 persen, Airlangga 1 persen,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam paparannya mengenai peta elektoral survei, Kamis, 12 Agustus 2021. Entah sengaja atau kebetulan, hasil survei tersebut keluar sehari setelah surat mengenai “Penegasan Komunikasi Politik” beredar. Yunarto menerangkan, nama Puan dan Airlangga yang berada di urutan terbawah menandakan, banyaknya atribut berupa baliho maupun billboard tidak berkorelasi linier terhadap tingkat elektabilitas. Pemasangan berbagai atribut di berbagai daerah tersebut hanya bisa mendongkrak populatiras seseorang, bukan elektabilitas. Ada 10 nama yang disurvei. Menurut Yunarto, nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendapat elektabilitas tertinggi 20,6 persen. Diikuti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan 17,8 persen, Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto 17,5 persen. Lalu Menteri Pariwisata, Sandiaga Uno 7,7 persen, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil 7,2 persen. Kemudian Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono di urutan keenam dengan elektabilitas 4,2 persen, Menteri, Sosial Tri Rismaharini 3,6 persen, dan Menteri BUMN, Erick Thohir 1,8 persen. Puan Maharani kok berada pada urutan kedua dari bawah? Mestinya, sebagai wanita yang merupakan trah Sukarno, paling tidak urutan nomor 2, 3 atau 4. Atau setidaknya masuk dalam enam besar. Akan tetapi, putri Megawati itu kok berada pada urutan ke-9. Apa yang salah? Apakah yang salah yang melakukan survei atau Puan yang terlihat bagaikan “Putri Malu” menuju Pilpres 2024? Atau karena berkolerasi dengan sebutan “Madam” dalam kasus korupsi bantuan sosial yang menjerat Juliari Peter Batubara, mantan Menteri Sosial dan kawan-kawan. Entahlah. Pastinya, ya Puan berada pada urutan kedua dari bawah dari 10 orang yang disurvei. Kelihatannya, hasil-hasil survei yang muncul belakangan – dan menempatkan Puan berada pada urutan buncit – membuat sang Ibu murka. Ia murka kepada Ganjar, yang kabarnya didukung oleh Presiden Joko Widodo maju sebagai Capres 2024. Mengapa Jokowi mendukung Ganjar? Kabarnya, karena mantan Gubernur DKI Jakarta itu ingin memasangkan Ganjar Pranowo dengan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang sekarang menjadi Wali Kota Solo. Kabar kubu Puan yang tidak suka dengan Ganjar semakin nyaring. Apalagi, secara terang-terangan Ganjar sudah didukung berbagai pihak. Termasuk, Ahad, 22 Agustus 2021 kemarin, Sahabat Ganjar mendeklarasikan Ganjar Pranowo maju pada Pilpres 2024. Tidak tanggung-tanggung, deklarasi dilakukan di 51 kota pada 34 provinsi se-Indonesia. Perang antara kubu Ganjar dan Puan semakin panas. Menandingi apa yang dilakukan Ganjar yang juga kader PDIP itu, kubu Puan pun menyebarkan baliho dan billboar di seantero nusantara. Ya, meski pemasangannya sudah lama dilakukan dan belakangan semakin marak, tetapi elektabilitas dan popularitas Puan seakan masih saja jalan di dempat. Jalannya seperti keong dan siput. Kedua, surat yang ditandatangani Megawati dan Hasto itu menunjukkan PDIP sudah semakin berseberangan dengan pemerintahan Jokowi. Buktinya, di dalam surat itu, sama sekali tidak menyebutkan kader membantu pemerintah dalam menangani Covid-19. Padahal, ditegaskan prioritas partai adalah membantu rakyat dalam menangani seluruh dampak akibat pandemi Covid-19. Mengapa isi surat tersebut sama sekali menyebutkan membantu pemerintah atau bersama pemerintah bahu-membahu menganani Covid-19. Hal tersebut bisa terjadi, karena kemungkinan selain faktor terciumnya dukungan Jokowi terhadap Ganjar dalam Pilpres 2024, juga karena pejabat dari PDIP tidak dilibatkan dalam komando penanganan pandemi corona. Sulit dilukiskan bagaimana hati Megawati tidak hancur melihat Jokowi malah mengangkat Luhut Binsar Panjaian dan Airlangga Hartarto menjadi ‘panglima’ tempur Covid-19. Luhut adalah politisi senior Partai Golkar/Ketua Dewan Penasihat Golkar. Sedangkan Airlangga adalah Ketua Umum parta berlambang beringin itu. Kenapa mandat itu tidak diberikan kepada kader PDIP yang duduk di pemerintahan? Kalau Menteri Sosial, Tri Rismaharini membagi-bagi bantuan sosial, itu bukan penugasan khusus. Akan tetapi, sudah menjadi tugas dan tanggungjawabnya. Hal yang sama juga diemban oleh mantan Mensos, Juliari Peter Batubara yang dipenjara karena korupsi dana bansos. Mengapa Jokowi menunjuk Luhut dan Airlangga. Lagi-lagi itu juga merupakan langkah politis strategis. Sebagai partai pemenang Pemilu urutan ketiga (perolehan suara Golkar pada Pemilu 2019 sebesar 17.229.789 atau 12,31 persen), wajar Jokowi merangkulnya. Kalkulasi politiknya, jika PDIP tidak mau mendukung Ganjar dan Gibran, maka Jokowi akan meminta ‘bantuan’ kepada Golkar. Ke depan, pertarungan politik antara kubu Ganjar dan Puan akan semakin seru. Banteng sedang adu tanduk. Mereka saling mencari dukungan. Akan tetapi, yang jelas, banyak rakyat termasuk kader PDIP juga tidak menginginkan trah Sukarno menjadi presiden. Banyak yang nyinyir,”Memang Indonesia itu milik keluarga Soekarno?” Buktinya, banyak baliho puan yang dirusak orang tidak dikenal. **

Pidato Kenegaraan atau Laporan Kegiatan Satgas?

LAZIMNYA sebuah pidato kenegaraan mustinya berisi review perjalanan bangsa sampai pada satu titik tertentu. Apalagi pidato disampaikan dalam ulang tahun kemerdekaan sebuah bangsa, seharusnya bisa memberikan gambaran yang lengkap tentang perjalanan bangsa. Tantangan, rintangan, dan peluang ke depan seharusnya juga menjadi catatan penting bagi seorang kepala negara. Situasi terkini juga harus menjadi konsentrasi untuk dicari solusinya. Pidato kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 2021 sungguh tak berbobot. Hampir seluruh isi pidato bercerita tentang Pandemi Covid-19 dan penanganan yang penuh puja puji diri. Tak ada sedikit evaluasi diri, pengakuan tentang amburadulnya penanganan, jumlah yang positif dan yang meninggal dunia. Mahal sekali harga sebuah kejujuran. Pidato ini lebih terkesan laporan bulanan Ketua Satgas Covid-19 di sebuah desa. Pidato kenegaraan tak menyinggung soal kelaparan, kemiskinan, dan kriminalitas. Pidato kenegaraan jauh dari harapan masyarakat yang ingin tahu visi pertanian, industri, dan perdagangan. Para petani tak mendapatkan jawaban tentang mengapa pupuk selalu mahal, kekurangan air dan harga hasil panen yang anjlok. Para nelayan kecewa pidato kenegaraan tidak membahas sulitnya BBM dan maraknya pencurian ikan. Pidato juga enggan menyebut masalah ketidakadilan hukum, kriminalisasi ulama, dan banyaknya koruptor. Pidato kenegaraan juga malu mengakui bahwa negara ini menuju negara gagal karena utang luar negeri yang mengkhawatirkan. Selain itu, dalam naskah pidato kenegaraan ini juga masih ada beberapa salah tulis seperti "ketidak adilan" yang seharusnya ditulis "ketidakadilan", "pra kerja" seharusnya "prakerja", "mengkaji" seharusnya mengaji serta penulisan huruf kapital yang tidak konsisten. Saat membahas protokol kesehatan, naskah negara juga lupa mengingatkan 3M, padahal 3T dibahas. Kita tahu masyarakat lebih familiar pada 3M. Itu soal tata bahasa. Yang ini soal tata kedaulatan. Persoalan serius di Laut Cina Selatan juga tidak masuk radar istana untuk disampaikan dalam pidato kenegaraannya. Persoalan yang sangat serius bagi kedaulatan NKRI sama sekali tak diucapkan dalam pidato yang amat penting ini. Masyarakat ingin tahu strategi dan kebijakan negara dalam menghadapi perang dua kepentingan di depan mata yang mana wilayah NKRI akan menjadi arena pertempuran. Pidato kenegaraan juga tidak mampu memberikan gambaran, kapan situasi normal akan dimulai. Dengan dukungan anggaran yang besar, kecanggihan teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni mustinya pemerintah berani mengambil risiko bahwa pandemi bakal berkahir sebentar lagi. Pemerintah harus menyiapkan fasilitas dan perangkat untuk menjamin masyarakat. Dengan demikian masyarakat merasakan ada pemimpin, ada penanggungjawab, dan ada pelindung. Selama pandemi masyarakat bingung dan panik sendiri, ibarat anak ayam kehilangan induknya. Akan tetapi kepanikan itu mereda dengan sendirinya, bukan karena usaha pemerintah. Sebuah pidato kenegaraan yang baik adalah pidato yang disampaikan dengan gagah berani dan meyakinkan, baik isi maupun penampilannya. Jika tidak, maka masyarakat hanya tertarik melihat penampilannya saja - yang lucu.