Jenderal Dudung, Ada Apa Denganmu?

KEMBALI nama Jenderal asal Bandung ini menuai kontroversial, khususnya bagi keluarga besar TNI dan umat Islam serta kalangan intelektual.

Berawal dari pesan khusus Megawati kepada KSAD Jendral Andika pada peresmian patung Bung Karno di sekolah AKMIL dimana Mayjen Dudung Abdurrahman menjabat Gubernur AKMIL nya. Maka jadilah setelah itu Mayjen Dudung menjabat Pangdam Jaya yang begitu strategis bagi seorang Jenderal Angkatan Darat.

Kemudian, kita semua masih ingat tentang insiden memalukan, dimana terjadi penghalangan dan penghadangan terhadap puluhan jenderal purnawirawan di TMP Kalibata, yang ketika itu mengadakan acara ziarah kepada makam Pahlawan Revolusi dalam memperingati hari kekejaman PKI yang kita kenal dengan sebutan G 30 S / PKI pada tahun 2020 yang lalu.

Purnawiraan lintas matra yang tergabung dalam organisasi PPKN (Purnawirawan Peduli Kedaulatan Negara) ini, diusir dan dihadang oleh Dandim Jakarta Kolonel Ucu. Berikut juga mengirimkan pasukan dari Batalion Arhanud yang berada di bawah BKO Kodam Jaya yang Pangdam nya ketika itu adalah Mayjen Dudung Abdurrahman.

Baru kali ini terjadi, seorang perwira menengah di TNI AD, yang lulusan AKMIL, demikian lancang menghadang para seniornya. Padahal di dalam rombongan itu tidak saja dari purnawirawan TNI AD, tapi juga ada dari purnawirawan TNI AL dan AU.

Bahkan juga ada mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, mantan KSAL Laksamana Slamet Subiyanto, mantan KSAU Marsekal Imam Sufaat, mantan Dankor Marininir Letjen TNI Mar Suharto selaku ketuanya.

Sontak insiden ini mencoreng dan melukai hati dan jiwa para keluarga besar TNI. Ketika kejadian memalukan korsa tentara selama ini dilihat telanjang oleh mata publik. Melihat bagaimana dengan lancang tanpa ada rasa hormat Kolonel Ucu berani menampik tangan Letjen Suharto yang mau bacakan amanat upacara ziarah makam di TMP Kalibata.

Yang lebih menyakitkan lagi adalah : acara kegiatan yang mereka hadang itu adalah acara kegiatan yang selama puluhan tahun Indonesia merdeka rutin di laksanakan. Yaitu memperingati sejarah kebiadaban PKI 30 September 1965. Ada apa?

Alasan prokes Covid19 dan apapun lah saat itu, hanya alasan klise. Karena, semua persyaratan prokes sudah di penuhi. Mulai dari pengaturan jarak, pembatasan jumlah peserta, hand sanitizer, wajib masker, dan tim medis di tempat kegiatan.

Komandan satuan komando kewilayahannya ketika itu adalah Mayjen Dudung Abdurrahman selaku Panglima Kodam Jaya.

Setelah itu, publik juga melihat Mayjen Dudung ikut hadir dalam konferensi pers bersama Kapolda Metro Jaya dalam rilis tewasnya 6 orang laskar FPI. Bahkan Mayjen Dudung ikut juga pegang-pegang alat bukti senpi dan golok samurai. Pertanyaannya, sejak kapan TNI ikut ikutan dalam hal penanganan kriminal?

Yang lebih menyakitkan lagi bagi keluarga besar tentara itu adalah, posisi dan gestur Mayjen Dudung tak lebih ibarat jadi asisten pendamping Kapolda saat itu. Ke mana wibawa seorang Panglima Kodam yang dijabatnya?

Tak cukup sampai di situ. Terjadi lagi insiden pencopotan baliho Imam Besar FPI Habib Rizieq Riziq Shihab di beberapa titik di Jakarta. Dan dengan tegas dan jumawa, kembali Mayjen Dudung Abdurrahman yang mengaku menyuruh anggotanya untuk melakukan itu. Belum lagi pengerahan Pangkoopsus pasukan paling elit TNI ke markas FPI menggunakan Ranpur dan Rantis seolah mau perang!

Kembali, insiden ini mencoreng nama baik TNI khususnya TNI AD. Berbagai protes dan kritik juga keluar dari banyak kalangan. Baik dari para senior TNI dan senayan bahkan juga pengamat militer.

Ngapain TNI ikut-ikutan menurunkan baliho yang itu hanya tugas Satpol PP? Dengan pakaian dan senjata lengkap lagi. Ada apa? Untuk kelihatan gagah? Untuk nakutin-nakutin rakyat? Apakah ini tidak keblinger namanya.

TNI dibentuk sebagai alat pertahanan negara dan melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. Bukan nakut- nakutin rakyat. Bahkan ancam ancam bubarkan Ormas. Aneh bin ajaib.

Dalam Tupoksi TNI dan UU Pertahanan, TNI sebagai komponen utama alat pertahanan negara hanya bisa diturunkan apabila dalam kondisi darurat militer. Sedangkan, ini darurat sipil pun belum terjadi. Ada apa?

Kemudian masih dalam bulan ini, kembali Mayjen Dudung melontarkan statemen yang pedas dan kontroversial. Yaitu menyatakan bahwa semua agama itu sama. Sontak, hal ini bertentangan dengan akidah umat beragama khususnya Islam yang mayoritas di negeri ini.

Tak ayal, kritik pedas dan peringatan juga keluar dari MUI seperti Dr Anwar Abbas. Sejak kapan pula TNI ikut mengotak-atik urusan beragama masyarakat.

Meskipun, ada klarifikasi bahwa pernyataan dan tindakan Jenderal Dudung adalah pernyataan personal pribadi bukan institusi, namun faktanya bagaimana memisahkan itu semua?

Terakhir baru kejadian hilang dan raibnya tiga patung tokoh legendaris TNI AD dalam penumpasan PKI 1965, di ruangan Diorama Mako Kostrad. Kembali kejadian ini terungkap bertepatan dengan bulan September dimana Pangkostrad saat ini adalah Letjen Dudung Abdurrahman yang naik jadi bintang tiga.

Walaupun sudah klarifikasi dari Kapen Kostrad Kolonel Haryantana, bahwasanya raibnya patung tersebut atas permintaan mantan Pangkostrad tahun 2012 Letjen TNI purn AY Nasution.

Namun klarifikasi ini juga mesti di klarifikasi lagi secara transparan. Tidak bisa sepihak. Apakah itu benar apa adanya? Atau hanya alasan klise sekadar melindungi Letjen Dudung, dan membenturkan Jenderal Gatot yang membuka kejadian ini pada publik dengan seniornya Letjen AY Nasution. Wallahualam, kita tidak tahu.

Namun akhirnya wajar, masyarakat bertanya ada apa dengan Jenderal Dudung? Rangkaian peristiwa di atas tentu tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada sentimen dan maksud apa di balik ini semua?

Jangan hanya gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Karena Letjen Dudung adalah jenderal aktif, menjabat posisi jabatan strategis.

Wajar saja, berkembang asumsi liar dan mengkait-kaitkan hubungan kultural keluarga Letjen Dudung yang notabone nya adalah menantu dari KH Cholid Rozali salah satu tokoh senior PDIP.

Sedangkan PDIP adalah partai penguasa saat ini di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Dan kita sama sama tahu bagaimana hubungan sentimen antara PDIP dengan Islam, dan hubungan PDIP dengan para anak anak PKI sesuai pengakuan anggota DPR RI Ripka Tjiptaning. Termasuk hubungan PKI dengan TNI !

Untuk itulah, perlu kita dengar semua penjelasan dan klarifikasi dari Letjen Dudung Abdurrahman. Sebagai prajurit TNI, tentu kita tak meragukan lagi kapasitas loyalitas, dan semangat patriotisme beliau terhadap bangsa dan negara ini. Kalau asumsi di atas salah, inilah kesempatan Letjen Dudung klarifikasi semua. Jangan sampai anggapan negatif ini beranak pinak di tengah masyarakat tanpa diluruskan.

Namun karena Indonesia adalah negara demokrasi berdasarkan Pancasila, dimana pasca reformasi ini menganut asas supremasi sipil, Letjen Dudung Abdurrahaman harus berani bicara apa adanya. Apa dalam pikiran dan benaknya.

Agar masyarakat tidak tumbuh curiga, yang hal ini tentu dapat merusak harmonisasi hubungan rakyat dan tentara. Sedangkan jargon dan doktrin TNI kita adalah sudah jelas “ Tentara Rakyat “. TNI adalah anak kandung rakyat Indonesia.

Ditambah lagi, sejarah sudah mencatat bagaimana licik dan lihainya kaum komunis yang tergabung dalam PKI menyusup dalam tubuh pemerintahan termasuk TNI, kemudian mengkhianati bangsa kita. Jangan sampai hal ini terulang kembali. Karena sesuai kata pepatah “ Bangsa yang melupakan sejarahnya, maka mendapat kutukan akan mengulangi sejarah itu kembali “.

Kita tunggu itikad baik dari Letjen Dudung Abdurrahman kepada seluruh rakyat Indonesia.

894

Related Post