EDITORIAL
Pidato Kenegaraan atau Laporan Kegiatan Satgas?
LAZIMNYA sebuah pidato kenegaraan mustinya berisi review perjalanan bangsa sampai pada satu titik tertentu. Apalagi pidato disampaikan dalam ulang tahun kemerdekaan sebuah bangsa, seharusnya bisa memberikan gambaran yang lengkap tentang perjalanan bangsa. Tantangan, rintangan, dan peluang ke depan seharusnya juga menjadi catatan penting bagi seorang kepala negara. Situasi terkini juga harus menjadi konsentrasi untuk dicari solusinya. Pidato kenegaraan Presiden RI 16 Agustus 2021 sungguh tak berbobot. Hampir seluruh isi pidato bercerita tentang Pandemi Covid-19 dan penanganan yang penuh puja puji diri. Tak ada sedikit evaluasi diri, pengakuan tentang amburadulnya penanganan, jumlah yang positif dan yang meninggal dunia. Mahal sekali harga sebuah kejujuran. Pidato ini lebih terkesan laporan bulanan Ketua Satgas Covid-19 di sebuah desa. Pidato kenegaraan tak menyinggung soal kelaparan, kemiskinan, dan kriminalitas. Pidato kenegaraan jauh dari harapan masyarakat yang ingin tahu visi pertanian, industri, dan perdagangan. Para petani tak mendapatkan jawaban tentang mengapa pupuk selalu mahal, kekurangan air dan harga hasil panen yang anjlok. Para nelayan kecewa pidato kenegaraan tidak membahas sulitnya BBM dan maraknya pencurian ikan. Pidato juga enggan menyebut masalah ketidakadilan hukum, kriminalisasi ulama, dan banyaknya koruptor. Pidato kenegaraan juga malu mengakui bahwa negara ini menuju negara gagal karena utang luar negeri yang mengkhawatirkan. Selain itu, dalam naskah pidato kenegaraan ini juga masih ada beberapa salah tulis seperti "ketidak adilan" yang seharusnya ditulis "ketidakadilan", "pra kerja" seharusnya "prakerja", "mengkaji" seharusnya mengaji serta penulisan huruf kapital yang tidak konsisten. Saat membahas protokol kesehatan, naskah negara juga lupa mengingatkan 3M, padahal 3T dibahas. Kita tahu masyarakat lebih familiar pada 3M. Itu soal tata bahasa. Yang ini soal tata kedaulatan. Persoalan serius di Laut Cina Selatan juga tidak masuk radar istana untuk disampaikan dalam pidato kenegaraannya. Persoalan yang sangat serius bagi kedaulatan NKRI sama sekali tak diucapkan dalam pidato yang amat penting ini. Masyarakat ingin tahu strategi dan kebijakan negara dalam menghadapi perang dua kepentingan di depan mata yang mana wilayah NKRI akan menjadi arena pertempuran. Pidato kenegaraan juga tidak mampu memberikan gambaran, kapan situasi normal akan dimulai. Dengan dukungan anggaran yang besar, kecanggihan teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni mustinya pemerintah berani mengambil risiko bahwa pandemi bakal berkahir sebentar lagi. Pemerintah harus menyiapkan fasilitas dan perangkat untuk menjamin masyarakat. Dengan demikian masyarakat merasakan ada pemimpin, ada penanggungjawab, dan ada pelindung. Selama pandemi masyarakat bingung dan panik sendiri, ibarat anak ayam kehilangan induknya. Akan tetapi kepanikan itu mereda dengan sendirinya, bukan karena usaha pemerintah. Sebuah pidato kenegaraan yang baik adalah pidato yang disampaikan dengan gagah berani dan meyakinkan, baik isi maupun penampilannya. Jika tidak, maka masyarakat hanya tertarik melihat penampilannya saja - yang lucu.
Waduh, Jokowi Kehilangan Uang Rp 11.000 Triliun Lebih
“...INGIN mengingatkan. Uang kita banyak sekali di luar. Ada sudah data di kantongan saya,” kata Joko Widodo sambil memasukkan tangan kanannya ke jas dan menggerakkannya ke arah kantong baju yang dipakainya. Jokowi melanjutkan, “Data di Kementerian Keuangan ada. Di situ dihitung ada Rp 11.000 triliun yang disimpan di luar (negeri),” yang disambut tepuk tangan para pengusaha dan undangan yang hadir. “Di kantong saya beda lagi, lebih banyak,” katanya sambil memasukkan lagi tangan kanan ke jasnya dan mengarahkan ke kantong kemejanya. Karena memang sumbernya berbeda. Sumbernya sumber internasional semua, tapi berbeda. “Ndak apa-apa.Yang paling penting bagaimana uang-uang itu bisa dibawa kembali ke negara kita, karena saat ini kita membutuhkan partisipasi bapak, ibu dan saudara-saudara semuanya untuk negara, untuk bangsa.” Kalimat Jokowi tersebut diambil dari cuplikan video ketika ia menyampaikan sambutan sosialisasi program pengampunan pajak atau tax amnesty, di Hotel Clarion, Makasar, Sulawesi Selatan, Jumat (25/11/2016) malam. Ucapannya itu jelas terdengar dalam video tersebut, meskipun Sekretariat Kabinet (Setkab) telah menghilangkan atau menghapus dari akun twitter-nya. Berita tentang uang Rp 11.000 triliun itu sempat dijelaskan Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai berita hoax dan disinformasi. Hoax dan disinformasi karena seolah uang tersebut merupakan milik pemerintah. Betul hoax dan disinformasi mengenai penyebutkan “uang milik atau simpanan pemerintah. Akan tetapi, uang Rp 11.000 triliun itu benar diucapkan oleh Jokowi. Bahkan, angkanya lebih besar karena Rp 11.000 triliun itu data Kementerian Keuangan. “Di kantong saya beda lagi, lebih besar,” katanya tanpa menyebutkan angka yang pasti di kantongnya. Nah, lebih besar lagi bisa ditafsirkan lebih dari Rp 11.000 triliun. Bisa beda Rp 100 juta, Rp 100 miliar dan seterusnya. Akan tetapi, apa ia bedanya cuma ratusan juga dan ratusan miliar? Barangkali lebih besar dari Rp 11.000 triliun itu adalah Rp 15.000 triliun, Rp 20.000 triliun, dan sederet angka lainnya (mungkin dalam ilusi dan mimpi). Bahkan, tidak kalah sigap, pihak Kementerian Keuangan harus segera meluruskan kalimat Jokowi itu. Menurut Staf Khusus Bidang Komunikasi Strategis Kementerian Keuangan, Yustinus Prastowo Rp 11.000 triliun itu merupakan data aset yang dimiliki Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Nah, sebagai rakyat tentu lebih percaya pada ucapan Jokowi itu, ketimbang bantahan dari Kemenkeu dan Kominfo. Apalagi, saat mengucapkan Rp 11.000 triliun lebih itu, ia sebagai presiden, bukan sebagai menteri apalagi pimpinan parpol. Bedanya, presiden petugas partai. Mengapa harus lebih mempercayai omongan Jokowi ketimbang pihak Kemonfo dan Kemenkeu? Sebab, yang diucapkan Jokowi itu berasal dari sumber asing atau sumber internasional. Nah, dalam kaitan sumber internasional, berarti Jokowi juga kurang percaya atau malah tidak percaya dengan angka yang disampaikan pihak Kementerian Keuangan. Akan tetapi, yang jelas setelah hampir lima tahun diucapkannya, angka Rp 11.000 triliun itu tidak jelas keberadaannya. Tidak jelas, apakah dana tersebut bagian dari pelarian modal atau bahkan bagian dari tindak kejahanan pencucian uang (money laundering) yang sudah lama diberitakan. Namun, yang pasti Rp 11.000 triliun lebih itu hilang bagaikan ditelan bumi. Muncul kembali dan menjadi pembicaraan ramai saat keluarga Akidi Tio menyumbang Rp 2 triliun guna membantu penanganan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Nyatanya, sumbangan itu bodong, bohong, ngibul dan sederet kata lainnya yang dialamatkan kepada keluarga Akidi Tio. Jika sumbangan Rp 2 triliun dari keluarga Akidi Tio hilang begitu saja, maka uang Rp 11.000 lebih di kantong Jokowi juga ikut melayang. Entahlah. Apakah antara dana Akidi Tio dan yang di kantong Jokowi itu ada persamaan dan perbedaannya. Persamaannya, sama-sama triliunan rupiah. Sedangkan perbedaannya, yang satu disampaikan anak pengusaha (katanya). Sedangkan satu lagi disampaikan secara resmi oleh penguasa. **
Rezim Ini Tak Lulus Belajar Berhitung
KETIKA bayi beranjak ke masa kanak-kanak, pelajaran pertama yang diberikan oleh orangtuanya adalah berhitung. Ia akan diajari mengenal jumlah anggota tubuh dan menghitung satu sampai seratus. Jika lancar, selanjutnya ia akan belajar penambahan dan pengurangan, perkalian dan pembagian. Jika salah hitung ia akan dibetulkan oleh orang tuanya. Mengapa berhitung penting, sebab sejak kecil anak sudah harus diajarkan berpikir logis, matematis, dan sistematis. Pendidikan pemula ini sangat baik untuk membentuk karakter, moralitas, dan cara berpikir konstruktif. Jika hari ini ada sebuah rezim gagal dalam hitung- menghitung, maka patut dipertanyakan apakah rezim ini kekanak-kanakan. Betapa tidak heran, bantuan sosial bagi penerima dampak Covid19 yang seharusnya beres, malah menimbulkan kegaduhan. Ada saja masalah yang muncul: ada yang tidak terima sama sekali, ada yang tanpa hak menerima, ada yang menerima dobel dan ada yang baru menerima satu kali. Padahal, pandemi sudah berjalan 1,5 tahun. Anggarannya pun dipersiapkan dengan matang, lengkap dengan regulasinya. Jumlahnya mencapai Rp750 triliun. Unik memang, dana besar, tetapi hasilnya tidak maksimal. Padahal perangkat negara sudah dikerahkan. Ada BPS, Dinas Kependudukan, Bupati, Camat dan Lurah, tetapi persoalan data tidak pernah klop. Jadi apa sesungguhnya yang didata selama ini? Amburadulnya data kependudukan sesungguhnya terjadi sejak Pemilu 2014. Mulai dari data hilang, data dobel, dan data orang meninggal terjadi saat sebelum Pemilu. Bahkan hingga usai Pemilu pun datanya masih simpang siur. Tak pernah akurat. Aneh, hal yang sama terjadi pada Pemilu 2019. Kisruh data terjadi sepanjang waktu. Hasil Pemilu pun tak ada yang sinkron antara KPU, data, partai, lembaga survei, data kecamatan, dan Babinsa. Semuanya berselisih. Butuh nalar dan niat tulus dari rezim saat ini. Kalau rezim bisa mengendalikan anggota DPR RI untuk tidak kritis, untuk diam saja, untuk pura pura tidak melihat kesengsaraan rakyat, kenapa rezim tidak bisa memaksimalkan Bupati dan Walikota seluruh Indonesia untuk bergerak cepat. Jumlah anggota dewan yang 560 hampir sana dengan jumlah bupati/walikota seluruh Indonesia yang sekitar 513. Ini lebih simpel, cepat, dan akurat. Bupati bisa mengerahkan aparat di bawahnya untuk bergerak. Kisruh bansos ini mustinya bisa menyadarkan rezim untuk lebih cerdas mengelola negara. Idealnya bantuan bukan diberikan pada saat bencana semata. Agar bantuan tidak membebani negara, mustinya berupa kebijkan publik sesuai perintah undang-undang. Rezim jangan ugal-ugalan mencabuti subsidi. Subsidi BBM, listrik, dan pangan seharusnya diberikan secaa tulus. Sehingga jika ada bencana rakyat kecil masih bisa bertahan, listrik terjangkau, beras terbeli. Yang terjadi justru semua subsidi dipangkas atau tepatnya dihapus. Atas nama pemerataan tapi yang terjadi justru kesengsaraan berkepanjangan. Tugas negara adalah memakmurkan rakyatnya dengan memberikan kemudahan mencari nafkah, mendapatkan pekerjaan dan perlindungan hukum. Hari ini, di tengah wabah koroma masyarakat hidup seakan tanpa pemimpin. Bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mereka cari nafkah, sakit, dirawat, bahkan mati di rumah sendiri-sendiri. Fasilitas kesehatan dan tenaga medis sudah tak mampu menangani. Ada 50 ribu orang terpapar dan 2000 orang meninggal dunia setiap hari. Ada yang usul data bansos ini mustinya bisa memakai data BLT sehingga tidak perlu lagi membuat data baru. Akan tetapi data BLT yang sudah berjalan tahunan pun sama amburadulnya. Data BLT ternyata lebih memiriskan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyebut realisasi BLT Desa masih rendah. Penyerapan anggaran baru sekitar 8,2 persen. Capaian ini sangat jauh dari total anggaran yang disediakan. Jumlah desa yang baru menyerap di bawah 15 persen, ada 163 daerah yang realisasinya hanya 983 miliar padahal anggarannya 11,51 triliun. Jadi not even 1 triliun realisasinya hanya 8,2 persen," kata Sri Mulyani. Ini artinya masih banyak orang yang tidak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah Satu-satunya menteri yang lihai mengjitung data hanyalah bekas Menteri Sosial Juliari Batubara. Ia lancar dan cepat sekali menghitung jumlah penerima bansos. Sayang, kiprahnya ternyata dilandasi oleh semangat nyolong. Ia memungut Rp10 ribu dari setiap bansos yang diberikan. Konon aslinya Rp 42 ribu yang ditilep. Maklum ada jatah buat sang Madame. Jejak Juliari kemudian diikuti oleh para pengambil kebijakan di daerah- daerah. Memanfaatkan lemahnya pendataan, Bupati Bandung Barat, Bupati Karawang, Malang, Tangerang, dan terjadi hampir di seluruh wilayah NKRI mengikuti langkah Juliari. Mereka rajin mengolah data untuk dikorupsi demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Persoalannya bukan pada data, tetapi moralitas, profesionalitas, dan konsistensi. Jika mau, pemerintah bisa menerapkan pendataan dari bawah yakni RT RW karena mereka yang paling tahu kondisi masyarakat secara nyata. Jika masih mengacu pada data BPS, Dinas Kependudukan, dan lembaga dari pusat lainnya, niscaya persoalan data tidak akan beres. Tampaknya rezim justru menikmati amburadulnya data karena banyak celah bisa dimainkan.
Dosen UI Ade Armando Menderita Inferiority Complex
SUNGGUH memprihatinkan di era milenial ini masih ada manusia kerdil, naif, tidak berdaya, dan rendah diri. Kenyataan tersebut dialami oleh seorang pendidik sebuah universitas ternama di Indonesia. Ade Armando namanya. Tampaknya, manusia yang satu ini tengah menderita inferiority complex atau kompleks inferioritas akut. Ia menganggap dirinya lebih rendah bahkan lebih hina dari manusia di sekitarnya. Ia juga merasa agamanya tidak mampu mengatasi persoalan hidupnya. Oleh karena itu, ia benci agamanya sendiri. Kebencian itu ia umbar dan publikasikan. Namun, karena keculasannya - semua gangguan jiwa - itu ia lempar ke pihak lain. Itu cara dia agar tidak terlihat menderita penyakit yang memalukan tersebut. Hanya karena membaca kabar ada orang Cina mau menyumbang Rp 2 triliun untuk mengatasi Pandemi Covid-19, Ade Armando langsung girang. Kegirangan itu diungkapkannya dalam bentuk penghinaan kepada kaum muslim pribumi. "2 Triliun rupiah lho, bukan 2 milyar uang semua gak pake pasir. Ini satu lagi tambahan contoh untuk menantang kelompok-kelompok muslim pribumi yang selalu menjelekkan Tionghoa. Saya mau bilang ini sumbangan pengusaha Tionghoa, mana sumbanganmu?" Demikian cuitan dosen yang gagal meraih gelar profesor itu. Dia pikir tidak ada umat Islam dan pribumi yang dermawan. Ia minder. Padahal kedermawanan pribumi dan umat Islam sungguh nyata, tidak perlu publikasi. Islam mengajarkan kedermawanan tidak perlu digembar-gemborkan. Ibaratnya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tidak perlu tahu. Mulia sekali. Tetapi, tidak salah juga disebutkan contoh Muhammadiyah yang telah menggelontorkan uang umat Rp 1 triliun (satu triliun rupiah) dalam membantu menangani pandemi Coronadisease 2019 (Covid-19). Itu bukan angka fiktif apalagi ghaib, apalagi tipu-tipu seperti yang dilakukan keluarga Cina, Akidi Tio . Itu angka nyata yang tercatat di pembukuan organisasi Islam yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan itu. Belum lagi sumbangan dari warga NU, baik secara pribadi maupun disalurkan lewat organisasi di berbagai wilayah. Demikian juga ormas Islam lainnya, yaitu Persaudaraan Islam (Persis), Al Washliyah, Mathlaul Anwar, Front Persaudaraan Islam dan lainnya. Kalau sumbangan pribadi masing-masing umat Islam, jelas tidak terhitung. Bisa lebih dari Rp 2 triliun. Bahkan, bisa jadi mendekati Rp 11.000 triliun rupiah, angka yang ada di kantong Joko Widodo. Belakangan sumbangan Cina itu ternyata bohong belaka dengan ditetapkannya sang anak penyumbang siluman menjadi tersangka karena membuat kegaduhan dan penghinaan terhadap negara. Dosen rasialis itu pura-pura pikun. Apa yang pernah disanjung setinggi langit ternyata hoaks atau bohong kelas tinggi. Sang dosen juga tiba-tiba bego bahwa orang-orang Tionghoa di Indonesia-lah yang sesungguhnya makan duit rakyat paling banyak. Merekalah tukang tipu yang bersekongkol dengan pejabat bejat demi perut dan nafsunya. Mereka keruk duit orang Indonesia, bukan menyumbang. Mereka para penyamun uang negara lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Ada Sudono Salim mengeruk Rp 79 triliun, Honggo Wandratno korupsi Rp 37 triliun, Maria Pauline Lumowa korupsi Rp 1,9 triliun, Irawan Salim korupsi 500 ribu dolar AS (Amerika Serikat), Sudjiono Timan korupsi 126 juta dolar AS, Usman Admadjaja 35,6 triliun, Shemy Konjongiang 2,6 triliun, David Nusa Wijaya Rp 1,29 triliun, Samadikun Hartono Rp 169 miliar, Sjamsul Nursalim korupsi Rp 65,4 triliun. Ada Itjih Nursalim, Bambang Sutrisno, Hartati Murdaya, Hartono Tjahjadjaja, dan Eddy Sindoro. Pasca Orde Baru ada Hendra Rahardja Rp 1 triliun, Sanyoto Tanuwidjaja, Djoko Tjandra, Anggoro Widjojo, Robert Dale, Lesmana Basuki, Tony Suherman, Dewi Tantular 3,11 triliun, Anton Tantular 3,11 triliun. Ada Sukanto Tanoto, dan masih ada koruptor China lagi yang lolos dari pengadilan. Para koruptor itu semuanya Tionghoa alias Cina alias Chinesse. Paling anyar adalah dalam kasus korupsi Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri). Pada kasus yang masih bergulir di pengadilan itu ada Benny Handoko, Cina - anak almarhum Handoko. Benny Handoko adalah cucu perintis Batik Keris. Sebelumnya, Ade Armando juga menulis di medsos bernada provokatif soal agama pemain bulu tangkis Anthoni Sinisuka Ginting pasca kemenangan menuju seminfinal Olimpiade Tokyo. "Eh Ginting itu Islam atau Kristen ? Ya Kristen laah...ooh". Ternyata setelah dijilat setinggi bulan oleh si dosen karena kekristenannya, Anthony Ginting gagal ke final tunggal putra badminton Olimpiade Tokyo 2021. Ia kalah 16-21, 11-21 dari Chen Long pada semifinal di Musashino Forest Sport Plaza, Tokyo, Jepang. Padahal menang dan kalah tidak ada kaitannya dengan agama. Hanya saja karena si dosen orang yang mudah haru dan mewek, ia terlalu cepat memuja Anthony Ginting yang Kristen. Pesan yang ingin disampaikan oleh si dosen sinting itu adalah, tidak ada muslim yang berprestasi yang ada hanya Kristen. Cuitannya mengenai agama Ginting yang Kristen pun mendapatkan cacian dari netizen. Tidak hanya orang Islam. Bahkan, yang beragama Kristen pun menghujat sang dosen yang sedang "sakit jiwa" itu. Ini pelanggaran berat bagi keutuhan NKRI. Ia dengan sengaja telah memperuncing dan memancing persoalan sensitif secara terang- benderang. Ia terus memprovokasi di media sosial. Bukan sekali dan dua kali saja ia berulah. Anehnya, ia aman-aman saja. Seorang pendidik mengeksploitasi persoalan SARA (Suku, Agama, Ras dan Anti-golongan) di muka umum adalah sifat kekanak-kanakan yang tidak pantas, tidak elok, tidak beretika, dan tidak bermoral. Bukan hanya itu, ia menantang secara radikal muslim pribumi untuk melawan - mungkin dengan kekerasan. Beruntung umat Islam memiliki kesabaran yang luar biasa. Mereka tetap tenang. Beberapa minggu belakangan si dosen juga menunjukkan sikapnya yang naif dan memalukan. Ia merendahkan Ketua BEM UI dengan tuduhan masuk lewat jalur nyogok. Kelainan jiwa sang dosen sesunggguhnya sudah semakin nyata. Beberapa gejala yang dialaminya yaitu kepercayaan diri yang rendah, insecurity, ketidakmampuannya mencapai suatu tujuan, mudah menyerah, adanya keinginan menarik diri dari situasi sosial, sering merasa murung, serta mengalami kekhawatiran dan depresi. Polisi harus segera bertindak. Sang dosen telah melanggar hukum dengan menciptakan kegaduhan dan mengusik persoalan SARA. Umat Islam juga harus punya keberanian membereskan manusia yang selalu membangun narasi permusuhan. Hal itu semua menunjukkan manusia yang mengidap inferiority complex. Berbahaya sekali. Jika inferiority complex itu hanya menjangkiti diri sendiri, tidak masalah. Akan tetapi, jika “penyakit” tersebut berpengaruh pada keputusan-keputusan dan kebijakan negara, maka akan sangat berbahaya. Sangat mungkin negara ini juga menderita inferiority complex. Sebab, sang dosen kabarnya menjadi buzzer istana.
Semi Lockdown, Presiden Jokowi Jangan Kelewat Ngawurlah
Maret 2020, tepatnya tanggal 31 Maret Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Heading Kepres ini adalah Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat CoronaVirus Disease 2019 COVID-19. Diktumnya berisi dua hal. Pertama, pernyataan tentang Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kedua, pernyataan tentang penanganan Covid-19 wajib dilakukan sesuai peraturan perundangan. Kepres inilah yang mengawali tindakan pemerintahan Presiden Jokowi mengurus Covid. Kepres itu dikeluarkan bersamaan dengan diterbitknnya PP Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kala itu covid-19 telah merajalela. Sialnya penanganannya tidak cukup menjanjikan harapan. Disana-sini bermunculan masalah demi masalah. Sebabnya Kepres ini tidak mengatur lembaga penanganan. Kelembagaannya dibuat belakangan. Kepres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid, diterbitkan tanggal 13 Maret 2020 mengatur kelembagaan dimaksud. Seminggu setelah itu, Presiden kembali menerbitkan Kepres Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus -2019. Kepres ini diterbitkan tanggal 20 Maret 2020. Tidak fokus. Karena bukan Menteri Kesehatan yang diangkat menjadi Ketua, tetapi Menteri Kordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Ketua dibantu dua wakil ketua. Kedua wakil ketua itu adalah Menko Polhukam dan Menteri Kesehatan. Tragis, urusan kesehatan diserahkan kepada organ non kesehatan. Sungguh tercela. Salah urus ini menghadirkan keraguan besar tentang keberhasilannya. Rakyat dibatasi pergerakannya. Tragis, warga negara asing, khususnya tenaga kerja China, negeri yang darinya Covid-19 berawal, dibiarkan terus berdatangan ke Indonesia. Menjaga performa pertumbuhan ekonomi, begitu yang disajikan secara luas justru menemui akhir yang pahit. Postur ekomomi dalam pandangan ekonom kredibel, misalnya Rizal Ramli, Didik Rachbini, dan Faisal Basri tak melihat kebaikan yang dihasilkan dari kebijakan double goal itu untuk cegah covid dan menjaga ekonomi. Buruknya kedua keadaan itu, membawa Presiden memasuki meja kebijakan. Presiden mengeluarkan kebijakan baru. Presiden membentuk Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 Tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Kepres ini diterbitkan tanggal 20 Juli 2020. Melalui Perpres yang terlambat itu, Presiden membentuk satu komite dan dua satuan tugas. Komite dan satuan tugas itu adalah (a) Komite Kebijakan. (b) Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan (c) Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional. Kebijakan ini baru diambil setelah lima bulan Indonesia diterpa pandemi. Efeknya terhadap terhadap postur kesehatan masyarakat dan keadaan ekonomi, jelas buruk. Dengan argumen pembenar sehebat apapun, kebijakan ini jelas menyepelekan kredit rakyat. Dalam kajian tata negara, hal ini berkualifikasi sebagai penghancuran kepercayaan rakyat atau public trust. Kajian tata negara memberi kualifikasi tindakan itu sebagai perbuatan tercela. Tercela Secara Konstitusi Tak mengherankan pandemi terus membara dan ekonomi menjauh dari baik. Awal Juli 2021 Covid-19 menggila. Orang mati dimana-mana. Rumah sakit tak cukup tersedia untuk orang sakit. Oksigen tak diduga mencekik rumah sakit, karena kelangkaannya. Presiden merespon keadaan itu cukup menarik. Tidak seperti respon pertama, kali ini, tidak dibuat dalam Kepres. Setelah dapat masukan dari menteri, ahli kesehatan dan kepala daerah saya memutuskan memberlakukan PPKM darurat sejak 3 Juli hingga 20 Juli 2021 khusus untuk Jawa Bali," kata Jokowi (CNBCindonesia 1 Juli 2021). Sungguh tercela Presiden. Keputusan itu tidak diberi bentuk. Apalagi berbasis UU Nomor 6 Tahun 2018. Tercela dilaksanakan, dengan menerbitkan Instruksi Menteri, terlepas siapapun menteri yang menerbitkan instruksi itu. Apa itu PPKM darurat? Apa dasarnya? Samakah dengan karantina wilayah? Samakah dengan PSBB? Jawabannya tidak. Konsep ini sepenuhnya merupakan kreasi keliru yang patal. Suka-suka Presiden saja. Menariknya setelah hampir sebulan berjalan, Presiden memberi pernyataan atas kebijakannya itu, yang harus diakui keliru. "Lockdown itu artinya tutup total. Kemarin yang namanya PPKM darurat itu namanya semi lockdown. Itu masih semi saja, saya masuk kampung, masuk daerah, semuanya menjerit untuk dibuka," kata Jokowi, Jumat (CNBCIndonesia, 30/7/2021). Presiden, dengan pernyataannya itu, jelas hendak meremehkan hukum yang menjadi kewajibannya untuk ditegakan selurus-lurusnya dan seadil-adil-adilnya. Pernyataan Presiden itu menandai Presiden, bukan hanya tidak memahami UU Nomor 6 Tahun 2018 yang turut dibentuknya itu, tetapi lebih dari itu. UU Nomor 6 tahun 2018 hanya mengenal Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar. UU ini tidak mengenal konsep semi lockdown Presiden. UU ini tidak menyerupakan, sebagian atau seluruhnya, karantina Wilayah dengan PSBB. Apalagi dengan semi lockdown. Suka atau tidak, kebijakan ini tidak memiliki rasio konstitusional. Sukar sekali untuk tidak menunjuk tindakan Presiden itu berdimensi tercela secara konstitusi. Untuk alasan kemanfaatan secanggih apapun, kebijakan yang berakibat menyengsarakan rakyat pada hampir semua aspek, logis dikualifikasi perbuatan tercela. Bebebasan orang bergerak dibatasi dimana-mana. Padahal ini hanya satu kebijakan melalui Instruksi Menteri. Bukan perintah UU. Batasi kebebasan orang, padahal tidak sedang dilakukan karantina Wilayah, juga tak sedang diterapkan PSBB. Jutaan vaksin yang tak dapat digunakan. Nilai uang yang hilang akibat kegagalan vaksin terjadi di tengah hutang yang terus membengkak, memiliki dimensi perbuatan tercela Presiden. Hal tercela lainnya yang telanjang, hampir seratus ribu nyawa mati di tengah kebijakan ini. Terlepas jumlahnya, tenaga kesehatan mati dimana-mana. Wajar menilai ini sebagai akibat langsung dari kebijakan yang tak kredibel. Bukan PSBB, bukan pula Karantina Wilayah. Tetapi yang teridentifikasi melanggar protokol kesehatan dipidana. Orang juga diberi sanksi administratif. Mengaitkan sertifikat vaksin dengan kebebasan bergerak, bepergian, jelas salah dalam konteks konstitusi. Di Banyuwangi, Kades Temuguruh, Asmuni didenda Rp 48 ribu. Anggota DPRD Banyuwangi, Syamsul Arifin didenda Rp 500 ribu. Seorang tukang bubur di Tasikmalaya, dikenai hukuman denda hingga Rp 5 juta karena nekat berdagang di masa PPKM (RMol, 29/7/2021). Bansos mengharuskan kategorisasi warga negara di satu sisi. Di sisi lain bansos tidak dikenal dalam UU Nomor 6 Tahun 2018. Tentu ketika diterapkan karantina wilayah atau lockdown. Siapapun mereka, berduit atau tidak, semuanya menjadi subyek UU Nomor 6 Tahun 2018 pada penerapan karantina wilayah. Konsep “semi lockdown” yang konstruksi hukumnya asal-asalan oleh Presiden, tidak logis diterima secara konstitusional. Suka atau tidak, kebijakan itu tidak berbasis UU Nomor 6 Tahun 2018. Presiden harus diingatkan kebijakan jenis ini menandai Presiden menyerupakan eksistensinya dengan negara. Melaksanakan sebagian UU, dan mengabaikan sebagiannya, malah membuat sendiri tindakan pemerintahan tanpa dasar hukum, dengan akibat menyengsarakan rakyat, menandai sekali lagi, betapa tercelanya kebijakan ini. Beralasan untuk menimbang perbuatan ini berdasarkan pasal 7A UUD 1945. Perbuatan tercela, menurut kajian tata negara universal, tidak dapat diserupakan, dan tidak memiliki akar pidana. Perbuatan ini, berkarangka jamak. Awalnya perbuatan maladministrasi, sebelum akhirnya merujuk pengingkaran terhadap kepercayaan masyarakat. Tidak ada ketidakpercayaan masyarakat, kalau tidak pernah terjadi salah urus pada urusan pemerintahan. Sayangnya, DPR yang telah terlihat sejauh ini sebagai sub-ordinat Presiden, menjadi penghalang terbesar untuk mempertimbangkan tindakan tata negara, menyelidiki “kualifikasi tindakan penanganan covid ini” dalam dimensi perbuatan tercela. Inilah harga politik yang mendekorasi postur tata negara dan politik mutakhir.
Vaksin Nusantara Bisa Mempersatukan Tentara
DI era Joko Widodo sebagai presiden, hampir semua kelompok masyarakat pecah. Ormas, komunitas, organisasi keagamaan, organisasi profesi, ikatan alumni, polisi, dan tentara, terbelah. Semua pecah, minimal jadi dua. Pecahan ini mengkristal menjadi kekuatan yang solid pada masing-masing kelompok. Saat Pilpres 2019, ada kelompok cebong sebagai pendukung Jokowi- Maruf dan kelompok kampret yang menjadi pendukung Prabowo-Sandi. Pasca Pilpres petinggi cebong dan petinggi kampret sudah bersekutu, menyatu dalam kedudukan empuk. Persekutuan ini tidak serta- merta meredakan perselisihan. Mereka mencari musuh baru agar ada lawan berkelahi, meski hanya di media sosial (medsos), juga agar ada pekerjaan. Mereka ciptakan musuh baru itu bernama Kadrun atau kadal gurun. Siapa pun yang mengkritisi menyatunya cebong dan kampret, langsung dilabeli Kadrun. Kelak, tidak hanya mengkritisi persetubuhan cebong-kampret yang dihardik, orang yang tak pernah terlibat politik pun mereka musuhi. Siapa pun yang berani mengkritik penguasa, cap Kadrun langsung disematkan pada orang itu. Tidak peduli ia guru, dosen, pemikir, pengusaha, ulama, kiai kampung, habib, ajengan, marbot masjid maupun bilal. Lengkap dengan sumpah serapah ala buzzer. Pengkadrunan terhadap yang berbeda oleh aliansi cebong-kampret tidak membuat para Kadrun berkecil hati. Jumlah Kadrun justru semakin banyak. Simpati dan dukungan terhadap pihak yang dicap Kadrun terus mengalir. Apalah artinya istilah. Sebab, para Kadrun inilah sesungguhnya para pecinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) penjaga Pancasila, dan penjunjung tinggi akidah. Perpecahan di tubuh TNI (Tentara Nasional Indonesia) tidak kalah mengerikan. Tidak peduli jenderal, kapten maupun kopral. Siapa pun yang berani mengkritisi rezim langsung dicap Kadrun, dimusuhi, bahkan dipenjarakan. Mereka seakan tidak kenal balas budi, etika, adat, dan adab. Orang senasionalis Gatot Nurmantyo pun bisa mereka musuhi. Orang seloyal Kivlan Zen pun bisa mereka jebloskan ke penjara. Banyak TNI aktif maupun purnawirawan dicap Kadrun karena keberpihakannya pada perjuangan Islam dan keutuhan NKRI. Ada Ruslan Buton, Sugengwaras, Mayor Muhammad Saleh, dan banyak lagi. Di kalangan militer, tampaknya berlaku kembali cap TNI Hijau dan TNI Merah jaman dulu. Kini TNI Merah adalah mereka yang sedang merapat ke kekuasaan, sedangkan TNI Hijau adalah mereka yang tersingkir atau disingkirkan karena ketahuan bersimpati pada Kadrun. Tampaknya, perpecahan TNI bakal berakhir di ujung tamatnya rezim sekarang. Pengakuan secara tegas Kepala KSP (Kepala Staf Presiden) Jenderal Purnawirawan Moeldoko yang memilih vaksin Nusantara adalah sinyalemen kuat bahwa TNI akan solid kembali. Semua pimpinan TNI aktif maupun para purnawairan lebih memilih vaksin Nusantara ketimbang vaksin impor. Meski keberadaan vaksin tersebut dipersulit oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), tetapi demi NKRI, TNI siap mendukung total. TNI ingin menunjukkan bahwa bangsa ini mampu berdikari dan tidak tersandera kepentingan asing. Aneh jika vaksin harus impor sementara anak bangsa bisa memproduksi sendiri. Lebih terang lagi, Moeldoko sebelumnya divaksin selain vaksin Nusantara sesuai dengan arahan Jokowi. Tetapi, kini ia memilih vaksin Nusantara made in Terawan Agus Putranto, menteri kesehatan yang dipecat Jokowi. Terawan juga adalah seorang dokter, purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal atau bintang tiga. TNI harus sadar lebih cepat membaca nasib bangsa ke depan. Jika salah langkah, bahayanya lebih mengerikan.TNI sebaiknya mulai berkampanye ke seluruh penjuru negeri bahwa vaksin Nusantara buatan dalam negeri jauh lebih manjur, aman, halal, dan efektif ketimbang vaksin impor yang selalu menimbulkan keraguan. Vaksin Nusantara diambil dari darah orang yang mau disuntik lalu dimasukkan kembali ke tubuh yang bersangkutan. TNI sadar bahwa dengan kesolidan yang nyata, maka NKRI berdaulat, aman, dan terkendali. TNI cepatlah baris bersama rakyat menuntaskan rezim ini. Jangan hanya di belakang rakyat. Rakyat sudah tidak tahan negara dikelola dengan serampangan, teknik adu- domba, penuh intrik, dan permusuhan. Rakyat sudah muak dengan pencitraan, kemunafikan, kebohongan atau hoaks. Rakyat butuh sejahtera secara nyata, bukan kata- kata.Rakyat butuh pemimpin yang tegas, cerdas, dan berkarakter. TNI bisa mengingatkan presiden agar tidak bermain-main dengan kedaulatan, kesehatan masyarakat, dan masa depan ekonomi. Segeralah bertindak, rakyat solid bersama TNI.
Segera Lengserkan Jokowi Karena Tidak Mematuhi Konstitusi
“PRESIDEN (Joko Widodo) tidak patuhi konstitusi. Kalau dia patuh, sejak awal lockdown, konsekwensinya, dia (presiden) belanjakan itu. Sebulan Rp 1 juta saja kali 70 masih Rp 70 triliun. Kali 10 bulan saja masih Rp 700 triliun. Masih di bawah membanjirnya uang yang tidak jelas ke mana larinya. Masih jauh lebih efektif itu daripada vaksin.” Kalimat tersebut disampaikan politisi PDIP, Efendi Simbolon kepada wartawan, Sabtu, 31 Juli 2021. Ia mengungkapkan kalimat tersebut dengan menyalahkan Jokowi yang tidak mau menerapkan lockdown sejak awal pandemi Covid-19. Simbolon menanggapi pernyataan pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono yang menyebut Indonesia sedang menuju jalur jebakan pandemi (pandemic trap) yang semakin dalam. Apa yang disampaikan Efendi Simbolon ini menarik dicermati. Sebab, ia berasal dari partai utama pendukung Jokowi. Akan tetapi, pernyataan Simbolon yang berseberangan dan mengkritik keras pemerintahan Jokowi, sudah beberapa kali dilontarkannya. Nyatanya, kritik yang disampaikannya tidak digubris oleh Jokowi. Ibarat kata pepatah, “Anjing menggonggong kafilah berlalu.” Simbolon teriak-teriak, Jokowi terus larut dengan kebijakannya yang umumnya bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan selama pandemi ini banyak yang menyakiti rakyat. Contoh, pada saat rakyat membutuhkan bantuan (walaupun ada, tetapi tidak cukup), tetapi Jokowi tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur. Termasuk pembangungan ibukota baru, di Kalimantan Timur. Kabarnya, peringatan 17 Agustus 2021 akan digelar dari tempat baru tersebut. Dalam hal penanganan Coronadisease 2019 (Covid-19) presiden terlihat plintat-plintut. Kebijakannya semakin menyengsarakan rakyat. Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Level 4 berakhir Senin, 2 Agustus 2021 jelas semakin menyengsarakan rakyat. Kemungkinan besar diperpanjang lagi. Andaikan sejak awal diterapkan kebijakan tegas berupa lockdown, kemungkinan tingkat kesengsaraan rakyat bisa ditekan lebih rendah. Mengapa sejak awal tidak mau lockdown? Alasan pemerintah karena ingin menyeimbangkan penanganan kesehatan dan ekonomi masyarakat. Padahal, alasan yang tepat sehingga pemerintah tidak mengambil kebijakan lockdown adalah karena tidak ada uang. Alasan yang tidak masuk akal dan tidak dapat diterima akal sehat. Nyatanya, Covid-19 gelombang kedua, justru semakin menyengsarakan rakyat dari segi kesehatan dan ekonomi. Gelombang kedua telah memaksa masyarakat melakukan isomasi mandiri (isoman) karena rumah sakit tidak mampu menampung pasien corona. Ini menyebabkan banyak yang meninggal saat isoman. Faktornya, selain karena sulitnya mendapatkan obat-obatan, juga karena tekanan ekonomi. "Pemerintah sejak awal tidak menggunakan rujukan sesuai UU Karantina itu, di mana kita harusnya masuk ke fase lockdown. Tetapi kita menggunakan terminologi PSBB sampai PPKM. Mungkin di awal mempertimbangkan dari sisi ketersediaan dukungan dana dan juga masalah ekonomi. Pada akhirnya yang terjadi kan lebih mahal ongkosnya sebenarnya, PSBB itu juga Rp 1.000 triliun lebih ya di tahun 2020 itu," ujar Effendi. Effendi mejelaskan sudah banyak negara lain yang sukses mengatasi pandemi COVID-19 dengan cara lockdown. Virus Corona itu bisa dicegah penularannya dengan cara semua orang tetap berada di rumah. Alih-alih memilih lockdown, Indonesia justru menerapkan PPKM. Effendi menyatakan hasil dari PSBB hingga PPKM hanya 'nol' dan cenderung minus. Nah, kegeraman Simbolon itu sangat wajar. Menyalahkan Jokowi yang tidak melakukan lockdown adalah tepat. Menyebutkan Jokowi tidak mematuhi konstitusi lebih sangat tepat lagi. Tidak mematuhi konstitusi sama saja dengan melanggar konstitusi. Jika politikus pendukung utama saja sudah mengatakan presiden tidak patuh pada konstitusi, lalu apa yang harus dilakukan terhadap Joko Widodo? Segera lengserkan, segera berhentikan Jokowi. Jangan lagi menunggu semakin banyak konstitusi yang dilanggar dan tidak dipatuhi. Jika terus membiarkan pelanggaran terhadap konstitusi, derita rakyat semakin dalam dan lama. Sekarang saatnya PPKM alias Pak Presiden Kau Mundur! Bukan lagi Pak Presiden Kapan Mundur. Sebab, jika tidak mundur, semakin banyak rakyat yang Perut Perih Karena (belum) Makan (PPKM). **
Berdoalah Bangsaku, Agar Jokowi Diberi Kesadaran untuk Lengser
BISA jadi Presiden Jokowi selama ini selalu dalam pengaruh buzzer. Ia tidak tahu keadaan yang sebenarnya atas bangsa ini. Ia hidup dalam bayang-bayang kesuksesan. Harap maklum, tugas buzzer adalah memasok informasi kepada penguasa. Tidak jarang, informasi yang dipasok dipelintir, yang baik jadi buruk, yang buruk jadi baik, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar, dan yang waras jadi gila, yang gila jadi waras. Tabiat buzzer selalu memberikan bisikan yang baik-baik saja ke kuping presiden, padahal tidak ada yang baik apalagi dibanggakan. Sialnya, presiden kemungkinan tidak melakukan cek ulang atas apa yang disemburkan ke telinganya. Makanya, ketika presiden disuruh memerankan adegan bagi-bagi sembako di gang sempit di wilayah Jakarta Utara, ia manut saja. Ketika disetting untuk melempar bingkisan sembako di jalanan, presiden langsung mengangguk. Ketika diminta memerankan adegan beli obat di apotek, presiden HO OH saja. Padahal, sebagian besar masyarakat sudah mafhum, bahwa semuanya hanya pencitraan belaka. Tidak hanya itu, tindakan yang dilakukan presiden menjadi bahan tertawaan masyarakat karena kontradiktif dengan keadaan yang sebenarnya. Rakyat merasa miris ada presiden yang tidak paham kondisi riil masyarakatnya. Coba kita cek, siapa hari ini dari 270 juta rakyat Indonesia yang merasakan negara ini baik-baik saja? Siapa hari ini yang bisa menunjukkan kesejahteraan rakyat membaik? Siapa hari ini yang berani mengatakan ekonomi meroket, hukum berkeadilan, hubungan sosial kemasyarakatan seimbang, lapangan kerja membludak, pertanian melimpah, pengangguran minim, kelaparan nol, dan kemiskinan menurun? Siapa hari yang berani bersaksi bahwa penanganan Covid19 berjalan dengan baik, korban menurun, dan suasana hati masyarakat tenang? Tidak ada. Kalaupun ada, paling buzzer yang membuat ulah. Mereka bisa berbuat apa saja. Tiap pernyataannya selalu ngawur, asal-asalan, dan menyesatkan. Para buzzer akan membungkam kebenaran dan memanipulasinya dengan kebohongan. Jangankan rakyat biasa, menteri dan presiden pun tak ada yang secara ksatria tampil di muka publik menceritakan keadaan bangsa yang sebenarnya. Hari ini bangsa kita adalah bangsa dengan jumlah terpapar Covid sebesar 3.194.733, sebanyak 84.766 meninggal. Jumlah meninggal harian mencapai 1.487 orang, terbesar di dunia. Pemerintah tidak pernah merasa bersalah atas kegagalan menangani wabah. Mereka sibuk merekayasa aturan agar terhindar dari tanggungjawab sebagai konsekuensi pelaksanaan UU Kekarantinaan Kesehatan. Rezim betul-betul seenaknya. Pembubaran organisasi keagamaan FPI, pembunuhan laskar, dan vonis terhadap Habib Rizieq Syihab sesungguhnya pengingkaran terhadap kebenaran yang sangat nyata. Rezim menggunakan kacamata kuda hanya untuk membenarkan perilaku salahnya. Polisi, jaksa, dan hakim digerakkan untuk semata-mata membela rezim. Hukum berada di telapak tangannya yang bisa direkayasa kapan saja. Utak-atik terhadap pelaksanan UU Kekarantinaan Kesehatan dengan sebutan PSBB dan PPKM adalah praktek pelanggaran yang sangat telanjang. Presiden secara sengaja dan nyata melanggar Undang undang. Karenanya sudah bisa dimakzulkan. Membanjirnya TKA China, mulusnya UU Omnibuslaw, dan mudahnya mengubah Statuta UI adalah contoh lain bagaimana rezim mengelola negara seperti toko mebel. Seenaknya dan semaunya. Presiden seakan tidak punya sikap. Makanya kesalahannya tidak pernah dipersoalkan. Kelihatannya ada yang pasang badan. Oleh sebab itu, ketika presiden disuruh mengangkat komisaris yang tidak punya kapasitas, ia manut saja. Ketika disetting untuk tampil sederhana dan selalu pakai baju putih, presiden langsung mengangguk. Ketika diminta memerankan adegan tolong- menolong di area bencana, presiden inggih mawon. Padahal, sebagian besar masyarakat sudah tahu pola, karakter, dan strategi presiden jika ingin mengambil hati rakyat. Oleh karena itu, adegan demi adegan yang dipertontonkan presiden justru semakin membuat masyarakat bosan, bahkan muak. Celotehan buzzer di luar nalar dan perilaku presiden yang rendahan, naif, dan menggelikan tampaknya sukses menyihir sebagian pikiran rakyat Indonesia untuk memuji setinggi langit. Di sisi lain masyarakat yang masih berpikir logis dan waras menganggap apa yang dilakukan presiden tak berguna sama sekali. Presiden terperosok ke dalam tindakan yang mubazir dan sia-sia. Oleh karena itu, mari bangsa Indonesia semua berdoa agar presiden kembali ke jalan yang benar. Kumpulan doa seluruh anak bangsa akan menjadi energi yang kuat untuk menyadarkan presiden bahwa ia hanya sebatas wayang. Enam tahun sudah purna untuk menilai. Enam tahun lebih dari cukup untuk menyadarkan bangsa ini. Enam tahun terlalu lama untuk evaluasi. Pilihannya ada pada bangsa ini, cukup di sini atau terus berenang dalam kolam kesengsaraan. Ingat presiden, lengser adalah solusi yang lebih baik.
Indonesia Makin tidak Baik-baik Saja
PENANGANAN berbagai masalah di negeri ini semakin carut-marut. Kondisi bangsa semakin memprihatinkan. Pada saat rakyat melakukan kritik terhadap jalannya pengelolaan negara, pemerintah malah menganggapnya sebagai musuh. Sejumlah aktivis pun sudah dipenjarakan. Persoalan bangsa ini semakin kacau karena elitenya yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan dirinya. Lihat saja dalam penanganan Covid-19 yang amburadul. Rakyat disuruh vaksin gratis. Memasuki kawasan tertentu, rakyat harus menunjukkan kartu tanda sudah divaksin. Misalnya, pedagang dan pengunjung yang mau datang ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat (khususnya gedung yang dikelola Perusahaan Daerah Pasar Jaya) harus menunjukkan kartu vaksin. Tanpa itu, ditolak masuk ke gedung. Aturan tersebut sangat mengada-ngada. Sebab, ketersediaan vaksin yang disiapkan pemerintah masih terbatas. Belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Aturan harus memperlihatkan kartu vaksin itu juga sangat tidak masuk akal. Mestinya, aturan seperti itu tidak perlu diberlakukan. Jika aturan itu diterapkan secara paksa dan permanen, itu artinya mengingatkan kita pada aturan zaman orde baru dan masih berlaku beberapa tahun setelah reformasi. Aturan itu adalah tidak memberikan layanan kependudukan (pembuatan Kartu Tanda Penduduk, surat keterangan pindah, surat pengantar mau menikah, surat pengantar akte kelahiran anak, dan surat tanda kematian) jika belum melunasi PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Padahal, tidak ada kolerasinya. Akan tetapi, karena terpaksa, rakyat terkadang harus kembali ke rumah, mengambil bukti tanda pelunasan PBB. Aneh. Aturan kuno mau diterapkan. Kalaupun mau diterapkan, mestinya pemerintah menunggu sampai seluruh rakyat Indonesia divaksin. Vaksin gratis bagus. Akan tetapi, yang lebih penting dan sangat mendesak adalah bagaimana rakyat bisa mendapatkan obat dengan mudah dan gratis. Sebab, rakyat yang sudah semakin susah, dan ketika kena Covid-19 kemudian melakukan isolasi mandiri (isoman) banyak yang kesulitan mendapatkan obat. Akhirnya, banyak yang meninggal saat isoman. Jangankan yang isoman, yang dirawat di rumah sakit pun banyak yang tidak mendapatkan obat dan pelayanan kesehatan secara maksimal. Coba tonton video seorang ibu yang dirawat di rumah sakit dengan napas tersengal-sengal meminta pulang karena tidak diberikan obat dan air minum. Miris menonton videonya. Rumah sakit penuh pasien. Antrean yang mau dirawat sering terlihat di rumah sakit dan bahkan sampai mendirikan tenda darurat, tempat ranjang perawatan. Wajar antre karena pasien tiba-tiba membludak. Di sisi lain, tenaga medis yang menangani atau melayani pasien sangat terbatas. Tenaga medis pun kelelahan. Tidak heran banyak tenaga medis yang gugur karena menjalankan tugas. Mereka adalah, "Pahlawan Kesehatan." Tidak sedikit juga tenaga medis yang mengundurkan diri. Lebih memprihatinkan lagi ketika jenazah yang mau keluar dari rumah sakit ikut antre. Hal itu terjadi karena selain ambulans yang terbatas, juga tenaga penggali kubur yang kewalahan dan kelelahan. Covid-19 pun seakan-akan dijadikan pembenaran atas kesalahan pengelolaan negara Pancasila ini. Misalnya, pertumbuhan ekonomi nyungsap, daya beli anjlok, PHK terjadi di mana-mana. Jika ditanyakan penyebabnya kepada pemerintah, maka paduan suara keluar, "Karena Covid-19." Paduan suara itu pun diikuti oleh para buzzer yang mati-matian membela rezim. Buzzer yang tidak punya malu dan harga diri. Padahal, jika kita merunut ke belakang, periode pertama pemerintahan Joko Widodo dan M. Jusuf Kalla, perekonomian sudah tidak menggembirakan alias merosot. Saat kampanye, mereka menjanjikan pertumbuhan ekonomi tujuh persen per tahun. Kenyataannya, jauh panggang dari api. Jangankan tujuh persen, angka pertumbuhan 5,20 persen saja tidak pernah tercapai. Di bidang politik pun carut-marut. Ada upaya memecah-belah partai secara terus-menerus dan sistematik. Ada yang terang-terangan mau membegal partai. Akan tetapi, upaya pembegalan yang dilakukan Kepala Staf Presiden, Moeldoko gagal total. Presiden Joko Widodo masih terlihat asyik blusukan dengan gelar, "Petugas Partai." Terakhir ia mendatangi sebuah apotik di Bogor menanyakan dua obat dan vitamin yang ternyata sudah kosong. Padahal, sejumlah obat-obatan (tidak hanya yang digunakan untuk pasien Covid-19) sudah banyak dan sudah lama kosong. Rakyat sudan teriak obat-obatan kosong. Blusukan yang dilakukan Jokowi itu menjadi bahan olok-olokan rakyat. Kelihatannya, karena petugas partai, ia masih lebih asyik dan suka blusukan serta pencitraan. Padahal, ia sudah menjadi Presiden Republik Indonesia yang mestinya merangkul anak-anak bangsa. Persoalan bangsa ini tidak akan bisa diselesaikan dengan baik jika masing-masing elite menonjolkan egonya masing-masing. Butuh kenegarawanan. Butuh contoh nyata dari para elite, khususnya elite yang sedang memegang kekuasaan, terutama Jokowi. Jika masih lebih asyik blusukan, pencitraan dan memarahi menterinya sendiri, Jokowi lebih baik berhenti. Wibawanya sudah tidak ada di mata para menterinya yang sering dimarahi. Apalagi di mata rakyat, Jokowi sudah tidak berguna. Tanpa kesadaran bersama, tanpa keinginan bersama, kehidupan berbangsa dan bernegara kian hari semakin carut-marut. Dikhawatirkan, terjadi tsunami yang menghancurkan sendi-sendi berbangsa dan bertanah air. **
Meledak dari Dalam
Bibit-bibit perpecahan di internal Kabinet Indonesia Maju tak bisa ditutup-tutupi lagi. Kegaduhannya terlihat semakin nyata. Antar-kementerian tidak ada koordinasi dan jalan sendiri-sendiri. Bahkan ada lima menteri keluar negeri saat pandemi, Presiden Jokowi tidak mengerti. Gonjang-ganjing kabinet terkuak saat Menkopolhukam Mahfud MD menonjolkan sikapnya di medsos. Saat PPKM Darurat, ia mengaku lebih suka menonton sinetron. Mahfud kelihatan sekali menikmati cerita fiktif di sinetron ketimbang berperan serta dalam membantu kerja Kabinet Indonesia Maju arahan Joko Widodo. Mahfud tertarik memberi komentar karena alur cerita dalam sinetron Ikatan Cinta yang digemarinya itu tidak sesuai dengan kaidah hukum. Makanya, ia mengulas secara serius adegan hukum tontonan sentimentil itu. Maklum ia mantan Ketua Mahkamah Konstitusi. Mahfud menilai, sang penulis tidak memahami hukum ketika membuat skenario cerita yang banyak digandrungi emak-emak itu. Entah mengapa Mahfud lebih suka mengomentari sinetron picisan imajinatif yang tidak ada gunanya sama sekali dalam perkembangan hukum di Indonesia. Mengapa Mahfud tidak tertarik mengomentari kejadian yang lebih serius, seperti kasus pembunuhan KM 50 Tol Jakarta- Cikampek. Pembunuhan sadis yang menyita perhatian internasional itu nyaris tak menyentuh hati Mahfud untuk sekadar berkomentar. Itu pelanggaran HAM berat, ada realita, bukan imajinasi, sinetron atau rekayasa. Soal pembangkangan di medsos, bisa jadi Mahfud sedang menyentil Presiden Jokowi yang menunjuk Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan sebagai komandan PPKM Darurat dan dilanjutkan PPKM Level 4. Padahal, bisa jadi Mahfud ingin dilibatkan. Gonjang-ganjing kabinet berikutnya adalah, sehari ditunjuk Jokowi, Luhut langsung membuat gaduh. Ia menantang siapa pun yang menganggap penanganan pandemi Covid-19 tak terkendali, akan ditunjukkan ke mukanya. Luhut mengimani penanganan pandemi terkendali. Belakangan Luhut meminta maaf atas pernyataan yang ceplas- ceplos itu. Maklum, ucapan Luhut kontradiktif dengan pernyataan Jokowi yang mengatakan penanggulangan belum terkendali. Belum puas rasanya Luhut membikin onar. Luhut menyatakan bahwa sejak awal sesungguhnya ia meminta agar lockdown, tetapi ditolak presiden. Sebuah pengakuan yang sesungguhnya menelanjangi jeroan kabinet yang acak-kadut. Kekacauan kabinet terjadi juga saat Jokowi mengaku kecewa di tengah kasus Covid-19 yang sedang tinggi-tingginya banyak menteri melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Jokowi menganggap para menteri tak punya sense of crisis. Presiden menginstruksikan seluruh menteri dan kepala lembaga dilarang bepergian ke luar negeri, kecuali menteri luar negeri karena sesuai bidang tugasnya. Sisanya harus minta izin langsung kepada presiden. Padahal, diketahui beberapa hari belakangan, para pembantu presiden melakukan lawatan kerja ke luar negeri di tengah angka kasus Covid-19 sedang tinggi. Mereka antara lain Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang melakukan kunjungan kerja ke Perancis pada akhir Juni lalu. Ada Menteri PPN dan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa yang menghadiri pertemuan G-20 di Italia pada akhir Juni lalu. Selanjutnya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kunjungan kerja selama dua hari ke Singapura pada 13-14 Juli 2021. Terakhir, ada Menteri Perdagangan M Lutfi dan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang ke Amerika Serikat untuk memperkuat hubungan Indonesia-AS di bawah pemerintahan baru Presiden Joe Biden, sejak 9 hingga 18 Juli 2021. Jika tiba-tiba presiden mengeluh, apakah para menteri nyelonong begitu saja ke luar negeri? Atau apakah pembangkangan massal sedang terjadi di internal kabinet? Bohong, berdusta, berkhianat sepertinya sudah menjadi hal yang wajar dan strategi politik rezim ini. Menyimak ucapan, tindakan dan sikap Presiden Joko Widodo makin menarik. Menarik untuk ditelaah dan ditarik kesimpulan. Setelah ditelaah kesimpulannya adalah mencla-mencle. Oleh karena itu, tidak heran jika BEM UI menjuluki King of Lip Service. Tepat sekali Aliansi Mahasiswa UGM memberikan Jokowi gelar 'Juara Ketidaksesuaian Omongan dengan Kenyataan'. Tidak keliru julukan 'King of Silent' dan 'Queen of Ghosting' disematkan oleh BEM Unnes. Terbaru, BEM FISIP Unpad juga melontarkan kritik bernarasi “Kami bersama Jokowi, tapi boong”. Pun demikian Jokowi tidak pernah merasa bersalah. Menjawab kritikan BEM UI, Jokowi malah mengakui bahwa sejak lama publik meremehkan dirinya, tetapi ia tanggapi dengan santai dan tenang. “Saya tahu, saya dikatakan plonga-plongo, klemar-klemer, dan muka bipang,” kata Jokowi. Presiden tampaknya ingin menunjukkan dirinya sebagai orang pemaaf dan lurus serta tidak marah jika dilecehkan. Padahal, publik tidak butuh itu. Publik ingin tahu, kenapa dia hanya jualan lip service belaka. Presiden tidak menjawab substansial tuduhan mahasiswa BEM UI. Tampaknya presiden lupa bahwa sebagai pemimpin ia tak cukup hanya mengakui kelemahan dirinya. Ia harus bisa menjawab kritikan dengan data dan fakta. Agar lembaga kepresidenan punya wibawa, mustinya diusut siapa yang menuduh plonga-plongo dan pintar bersolek. Bawa ke ranah hukum. Bahwa kelak presiden mau mengampuninya, itu urusan nanti. Tegakkan dulu kehormatan lembaga negara, bukan malah menikmati pelecehan itu. Yang penting sekarang presiden harus bisa menjawab tuduhan BEM UI. Sampaikan secara gamblang, logis, dan argumentatif mengapa presiden tidak seperti yang dituduhkan itu. Buntut dari kritikan BEM UI terhadap Presiden menyeret Rektor UI Ari Kuncoro yang ternyata merangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia, yang belakangan ternyata melanggar Statuta UI. Statuta UI melarang rektor, wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta. Tidak lama kemudian presiden membela mati-matian Rektor UI. Jokowi mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Dengan terbitnya PP tersebut, rektor kini bisa rangkap jabatan sebagai komisaris. Pemerintah semakin ngaco dan semaunya saja. Ada pejabat melanggar aturan, kok, aturannya yang diubah. Sungguh tidak pantas menjadi pemimpin. Akhirnya, setelah menuai banyak kritik dari sejumlah akademisi, pengamat, dan rakyat Indonesia, Ari Kuncoro mengundurkan diri jabatan Wakil Komisaris Utama PT BRI. Namun, Ari Kuncoro seharusnya tidak hanya menanggalkan jabatan komisarisnya, tapi juga jabatan Rektor UI. Untuk menjaga moral, mestinya Ari Kuncoro mundur dari kedua jabatan tersebut karena sudah melakukan pelanggaran aturan. Bahkan, telah merevisi aturan yang menguntungkannya. Apa yang terjadi pada presiden kita tak lain adalah monopoli kebenaran. Hampir mirip dengan sikap dan perilaku buzzer yang punya konsep kebenaran sendiri tentang rezim ini. Atau sama seperti masa penjajahan, Belanda melakukan monopoli perdagangan di mana pasar dikuasai oleh satu penjual. Rezim ini melakukan monopoli kebenaran yang mengakibatkan penentuan kebijakan dilakukan sesuai selera penguasa. Mengapa isi kabinet terkesan gaduh tak berkesudahan? Sebab, Jokowi seakan sudah selesai tugasnya manakala sudah memberikan delegasi ke anak buahnya. Presiden berpikir tugasnya purna, manakala sudah bikin surat perintah. Dalam pikiran Jokowi, semuanya beres dengan Peraturan Pemerintah. Presiden duga semuanya beres manakala hukum telah bekerja text book. Ia tidak melihat moral hukum yang sedang dijalankan oleh para penyidik, jaksa, dan hakim. Atas nama tidak mau mencampuri hukum, kepala negara tutup mata melihat praktik peradilan sesat. Atas nama tidak mau terlibat urusan korupsi, kepala negara pura-pura tidak melihat praktik KPK yang semakin tidak membawa amanat hati nurani rakyat. Naif. Presiden tak cukup memberi penugasan. Ia harus memberikan arahan, strategi, dan evaluasi. Apa pun yang diluruskan oleh masyarakat selalu tidak dihiraukan. Rakyat dianggap musuh. Mirip cara kerja buzzer. Kini para buzzer mulai sadar dan berani mengkritik rezim. Para pembantu Jokowi juga sudah banyak yang jengah. Tampaknya sebentar lagi meledak dari dalam.