Sandyakala Ning Joko Widodo

SANDYAKALA artinya guratan merah di langit saat memasuki senja. Sandyakala Ning Joko Widodo artinya waktu yang dimiliki Joko Widodo sudah mulai habis, terlihat samar-samar, mulai redup bertepatan dengan tenggelamnya matahari menuju gelap.

Adalah sastrawan Sanusi Pane yang memopulerkan kata itu ketika menulis sebuah drama sejarah berjudul Sandyakala Ning Madjapahit yang ditulis pada tahun 1930-an. Ensiklopedi Sastra Indonesia mencatat drama itu pertama kali dimuat dalam Majalah Timbul Nomor 1--6, Tahun VII, 1932, dan Nomor 3—4 Februari 1933. Setelah Sanusi Pane meninggal dunia pada 02 Juni 1966 atas inisiatif Ajip Rosidi, tahun 1971 drama "Sandyakala Ning Madjapahit" itu diterbitkan kembali oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, dalam bentuk buku.

Buku Sandyakala Ning Madjapahit ternyata mendapat sambutan yang hangat di kalangan masyarakat sastra. Sanusi Pane tampaknya ingin menunjukkan kepada kita bahwa kejayaan suatu kerajaan harus didukung oleh kejujuran dan keunggulan pribadi para pemimpinnya. Ia akan rontok lebih cepat oleh kerakusan, kesombongan, dan kebodohan.

Drama ini menekankan banyaknya konflik para aparat kerajaan yang berakibat runtuhnya kerajaan, merupakan simbol hancurnya peradaban lama dan bangkitnya peradaban baru. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik adalah ratu, kaum bangsawan, dan agamawan.

Ratu yang jiwanya bersih dari angkara dan harta, yang hidup sesuai dengan zamannya, bisa menyelamatkan dan menegakkan kerajaan yang hampir runtuh. Akan tetapi, dengan disingkirkannya sama sekali elemen penyelamat dan pendukung satu-satunya, akhirnya runtuhlah pula tiang-tiang kejayaan kerajaan tersebut.

Rupanya drama ini ditulis sebagai penyalur rasa tertekan kaum intelektual oleh penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap pergerakan sekitar tahun 1930-an.

Namun, di tengah penggambaran kehancuran dan runtuhnya suatu kekuasaan tersebut, masih terselip secara samar-samar harapan akan terang yang baru.

Dalam istilah politik kekinian, analoginya hampir sama bahwa penguasa yang bertengger saat ini sedang memasuki sandya kala. Kekuasaannya sudah mulai habis. Cahayanya mulai redup. Masa kegemilangannya mulai tenggelam, bahkan lebih cepat karena intrik dan politik di dalam kekuasaan itu sendiri.

Para tokoh yang berkonflik dalam rezim ini juga memiliki unsur yang sama yakni presiden, kaum bangsawan, dan agamawan. Bangsa Indonesia tahu, Jokowi naik menjadi presiden adalah atas jasa PDIP dan Megawati. Tanpanya Jokowi bukan siapa-siapa.

Akan tetapi tabiat asli Jokowi sudah terbaca sejak awal. Orang memberi cap sebagai Kacang Lupa Kulitnya. Kisruh di istana Jokowi terjadi pada 100 hari kepemimpinan periode pertama ditandai dengan perpecahan antara Megawati dan Jokowi. Pemicunya adalah pergantian Kapolri yang diikuti saling sandera antara KPK dan POLRI. Rakyat tahu calon Kapolri Budi Gunawan adalah usulan Megawati. Penundaan pelantikan Kapolri tentu saja merupakan pesan buruk yang diterima Megawati dari Jokowi. Apalagi akhirnya Kapolri pilihan Megawati tak jadi dilantik. Luka itu masih menganga sampai hari ini.

Rupanya Megawati seorang pengingat yang baik. Dalam banyak kesempatan Megawati selalu menyinggung Jokowi sebagai petugas partai. Kekhawatiran Megawati terhadap Jokowi tak bisa dimaklumi lagi. Lihat saja, pernyataan Megawati ini “Saya punya tanda tangan Pak Jokowi, dia petugas partai. Tanda tangan itu untuk Ketua Umum PDIP. Tapi kan gak pernah saya beber-beber. Hanya supaya kalau sewaktu-waktu yang namanya terjadi pembulyan terhadap saya sudah kelewatan, baru akan saya sampaikan bahwa ini konstitusi partai. Sampai presiden yang datang dari kita, saya katakan bahwa ini adalah petugas partai”.

Serangan terhadap Jokowi juga dilakukan putri Megawati, Puan Maharani. Sepertinya tekad Megawati sudah bulat, tak lagi membutuhkan Jokowi sebagai petugas partai. Ia pun mendorong Puan untuk tampil menjadi pemimpin masa depan.

Ketua DPR itu pun keluar kandang dengan memasang baliho di mana-mana. Kepak Sayap Kebhinnekaan menjadi andalan propaganda. Ia mulai berani melempar kritik tajam terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19. Puan menilai pemerintah gagal memulihkan kepercayaan masyarakat di tengah pandemi. “Percuma ada berbagai kebijakan bahkan pembatasan mobilitas rakyat kalau program ini di lapangan dijalankan ala kadarnya apalagi terkait dengan perut rakyat”.

Pada kesempatan berbeda Puan juga menggebrak soal komunikasi publik Jokowi yang buruk. “Perbaiki komunikasi publik termasuk kejelasan

siapa yang pegang komando dari krisis ini, terutama terkait dengan keputusan pemerintah,” sentil Puan.

Suara Puan adalah suara Megawati sebagai pimpinan PDIP. Masyarakat tahu bahwa PDIP adalah “The Rulling Party” sehingga kebijakan Pemerintah adakah produk, sepengetahuan, atau sepersetujuan PDIP. Akan tetapi realitas politik berbeda di lapangan. Ada pasang naik dan surut hubungan intim politiknya. Jokowi memang bukan kader murni PDIP. Ia tak bisa lepas dari kegemarannya berjalan sendiri di got, sawah, hutan, jalan tol, lokasi banjir, atau kandang bebek. Megawati agaknya tak suka gaya ini.

Ketika relawan Jokowi menggaungkan perpanjangan jabatan Presiden tiga periode, PDIP yang memiliki Puan Maharani sebagai kader jagoan untuk dimajukan Pilpres 2024, langsung meradang. Begitu juga ketika Jokowi bermain-main dengan Ganjar Pranowo, Puan menghajar Gubernur Jawa Tengah melalui kadernya Bambang Pacul, Ketua DPD PDIP Jawa Tengah.

Di daerah Bambang terus memacul siapapun kader yang tak sejalan dengan garis partai.

Keberanian Puan mengkritik Jokowi merupakan bukti nyata bahwa kekuatan rezim mulai rapuh. Jika PDIP menarik dukungan “petugas partai yang durhaka” maka dipastikan Pemerintahan Jokowi bakal ambrol. Mungkin sebelum 2024.

Di luar istana, dalam beberapa hari ini kekecewaan rakyat terhadap Jokowi makin meluas. Tak hanya kecewa terhadap kebijakan penanganan pandemi Covid-19 tetapi kecewa terhadap seluruh kebijakan rezim yang memaksa. Rakyat terus dipaksa mengikuti irama dan kehendak penguasa. Akumulasi dari kekecewaan ini juga memaksa rakyat makin berani menyampaikan pendapatnya, baik dalam bentuk video, tulisan, maupun coretan di jalanan.

Di Danau Toba Medan Sumatera Utara, rakyat melakukan demonstrasi meminta Jokowi turun. Spanduk bertuliskan “Close Jokowi” mewarnai aksi tersebut. Di Jabotabek, mahasiswa terus melakukan konsolidasi untuk menentukan dan memantapkan aksinya. Mereka tengah menyusun strategi, jadwal, dan tema aksi untuk segera direalisasikan dalam waktu dekat.

Di Kalimantan, Papua, dan Maluku mahasiswa sudah gerah melihat sepak terjang rezim yang makin jauh dari arah reformasi. Mereka menganggap Jokowi mundur adalah solusi terbaik.

Di Makassar, demonstrasi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Indonesia meminta Jokowi lengser karena tidak berpihak kepada petani, buruh, dan masyarakat kecil.

Sebelumnya, di kalangan TNI, Perwira TNI Ruslan Buton meminta Presiden Jokowi mundur, tapi malah dipenjara dengan tuduhan ujaran kebencian.

Tak hanya itu, Presiden digugat mundur di PN Jakarta Pusat oleh Muhidin Jalin, dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis karena telah melakukan perbuatan melawan hukum. Jokowi diminta menyatakan pengunduran diri secara terbuka.

Pakar hukum tata negara Refly Harun melalui kanal YouTubenya meminta Presiden Jokowi mundur karena dari sisi amanat konstitusi, Presiden gagal melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, berkaitan dengan banyaknya korban meninggal dalam pandemi Covid-19.

Akademisi Rocky Gerung menilai desakan masyarakat agar Jokowi mundur adalah konsekuensi logis atas kegagalannya dalam menangani Pandemi Covid-19.

Fenomena kegagalan rezim berganti menjadi fenomena ujaran kebencian, hoax, eksploitasi SARA, kriminalisasi ulama, beternak buzzer, pemujaan terhadap TKA Cina, petani dan nelayan terpinggirkan, akademisi berakrobat seperti badut, korupsi di semua lini, kebohongan dipertontonkan oleh petinggi negeri sekadar untuk mendapat tepuk tangan dari para penggemarnya yang dungu.

Media mainstream melakukan penyesatan, tokoh yang konsisten menyuarakan kebenaran diserang buzzer bayaran dengan kata-kata keji dan fitnah karena mereka tidak sanggup berargumentasi dengan menggunakan nalar manusia.

Ingat, Kerajaan Majapahit sebuah negara besar yang dihormati bangsa-bangsa pada masanya itu, akhirnya sirna oleh karena korupsi, perang saudara, dan kepemimpinan yang lemah, rakus, serta lancung pasca-wafatnya Hayam Wuruk dan Gajah Mada.

Di bawah kepemimpinan yang lemah, lancung, koruptif, dan penuh muslihat ini apakah Sandyakala Ning Joko Widodo segera menjadi kenyataan?

1255

Related Post