Kemaruk

Apakah sudah eranya atau ada yang salah dari pemimpin kita? Entahlah, yang jelas sehari-hari selama delapan terakhir ini kita disuguhi sifat manusia yang tak pernah puas, selalu ingin terlihat hebat, menang sendiri, dan berambisi untuk mendapatkan lebih banyak. Setelah menang banyak, ingin lebih banyak lagi. Kerja kerja kerja. Kuasa kuasa kuasa.

Ajian itu nyatanya hebat dan ampuh. Ia bisa berkuasa nyaris sukses dua periode. Di ujung kekuasaannya kedua, ia sudah siap-siap untuk memuluskan kekuasaan periode ketiganya. Urusan prosedur dan undang-undang, itu bagaimana nanti saja. Yang paling penting saat ini bagaimana membius masyarakat agar di benak mereka ter-install diksi sang “raja” terus berkuasa.

Maka segala upaya dilakukan, ubo rampe dipersiapkan, dana digelontorkan, serta “sesajen” dipersembahkan, demi suksesnya sebuah ambisi: imperium.  

Ubo rampe-nya apa? Ya segala hal yang dibutuhkan untuk kelengkapan sang tokoh. Ia gerakkan partai, relawan, tokoh agama (dadakan) dan masyarakat luas. Ia bikin komunitas, fans club, dan organisasi massa. Ia perintahkan lembaga survei. Tidak boleh lupa, ia kendalikan buzzer untuk memoles, mendempul, dan membedaki wajah yang sedang sedang saja – cenderung minimalis – menjadi lebih menawan dan berkarakter juga cantik. Karakter polos, sederhana, merakyat, dan ndeso, tidak boleh diabaikan. Karakter inilah yang membuat ia dielu-elukan rakyat di pelosok negeri.

Duit, tentu saja semua orang tahu. Jangankan presiden, pemilihan ketua RW saja banyak bandar yang siap menyokong, bahkan dengan sistem ijon. Ini pekerjaan mudah.

“Sesajen,” apalagi kalau bukan imajinasi radikalisme, intoleransi, dan anti-NKRI. Barang ghaib ini ampuh sekali untuk mencari dana dan menakut-nakuti rakyat serta efektif menaikkan citra. Supaya tidak kelihatan imajinatif, ia tangkapi ulama dan penceramah agama (Islam). Publik yang coba memberi simpati, ia tuduh dengan isu radikalisasi, intoleransi dan pendirian negara dalam negara. Istilah kadrun merupakan sebutan yang paling pas dan sakti untuk menuangkan kebencian. Mereka sangat puas jika bisa melabeli kadrun kepada siapapun yang mereka benci. Ia tak hanya membunuh karakter, tetapi memutilasi tubuh yang dibencinya dalam banyak potongan. Lalu mereka orgasme berjamaah.

Inilah kebencian massal yang diproduksi secara masif, dibiayai negara, dan dijamin oleh rezim agar tidak tersentuh hukum. Maka, mereka pun makin berani dan kurang ajar. Entah berapa juta orang yang sakit hati oleh kelompok ini.      

Penjara adalah neraka yang dipersiakan rezim untuk orang-orang berbeda. Mula-mula dituduh radikal, jika tidak terbukti, maka harus dicari tuduhan lain, yang penting harus dikerangkeng. Anti-demokrasi, melanggar HAM? Emang gua pikirin!   

Hasil tak akan mengingkari proses. Sejak di Solo lalu di DKI dan kemudian di kancah nasional, polanya sama. Periode demi periode ia tapaki dengan sukses, mulus, dan nyaris nir-kendala.

Kini mereka sedang coba-coba memperpanjang kuasa di ujung kekuasaannya.

Mula-mula mereka lontarkan wacana tiga periode. Sang “raja” pun menolak, dengan alasan melanggar hukum dan berpotensi mempermalukan dirinya. Lalu senyap, bisa jadi karena wacana ini tak populer atau masyarakat sudah bosan. Wis sak karepmu, Le. Kira-kira begitu sikap yang ada di benak masyarakat.

Tiba-tiba muncul wacana perpanjangan masa jabatan dengan menunda Pemilu dari 2024 ke 2027. Para pencari muka “raja” melontarkan alasan yang seakan-akan logis, dari soal pandemi, pekerjaan “raja” yang belum tuntas, hingga dampak perang Ukraina-Rusia.

Namun wacana ini pun layu sebelum berkembang. Belum seminggu sejak para penjilat melontarkan penundaan Pemilu, mereka tiba-tiba koor, kompak tutup mulut bersama alias tak mau lagi bicara soal penundaan Pemilu. Belakangan diketahui,  wacana ini tak bakal terwujud karena risikonya terlalu besar. Kata Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, rakyat sudah siap tawur dengan pemerintah, jika Pemilu diundur.

Seakan berkejaran dengan waktu, wacana basi tiga periode dibikin anget kembali. Di berbagai daerah ormas dikerahkan, pertemuan diintensifkan, dan perang baliho digalakkan. Di YouTube video-video pendek dipertontonkan.

Tidak lupa buzzer difungsikan. Tombol di-ON-kan. Mirip robot, mereka pun langsung beraksi di medsos. Menggonggong. TOA TOA kebencian dikumandangkan, penyesatan dikemas dengan apik agar tampak sebagai kebenaran. Mereka memang ahlinya.

Dulu ketika “raja” didesak untuk turun di tengah jalan, para loyalis buta- tuli akan bilang, “Tunggu Pemilu, Kita Harus Konstitusional”. Tetapi konstitusi pun diakali, diperkosa, dan dieksploitasi untuk kepentingan kelompoknya.

Ini bukan soal konstitusional atau jalanan. Ini soal ketidakmampuan yang terus ditutup-tutupi.

Lihatlah fakta ini, kasus stunting di Indonesia terbanyak dan menempati urutan keempat dunia dan kedua di Asia Tenggara. Jumlah kasus stunting pada tahun 2019 mencapai 27,67 persen. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8 persen di tahun 2013. Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen.

Indeks persepsi korupsi Indonesia masih jauh dari rata rata global. Transparency Internasional merilis hasil survei tahun 2021 Indonesia meraih Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) sebesar 38, masih jauh dari skor rata-rata global yaitu 43.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin Indonesia meningkat di tengah pandemi Covid-19. Hingga September 2020, BPS mencatat angka kemiskinan bertambah 2,76 juta jiwa menjadi 27,55 juta jiwa, meningkat 1,13 juta orang terhadap Maret 2020 dan meningkat 2,76 juta orang terhadap September 2019.

Data Kemenkes menyebut angka kematian ibu dan anak di Indonesia pada Januari sampai September 2021 mencapai angka 3794 orang, meningkat 746 orang dari tahun sebelumnya.

Ini yang lebih tragis. Penyusutan lahan baku pertanian di Indonesia mencapai 120 ribu hektare setiap tahunnya. Ini kata Moeldojo, sang Ketua HKTI.

Lalu dengan data-data itu, alasan logis apa yang dipakai untuk memaksakan tiga periode, sementara konstitusi kita hanya membatasi dua periode, kalau bukan kemaruk, serakah, rakus, loba, dan tamak?

965

Related Post