Kardus Durian, Alih Fungsi Lahan, Skandal Perempuan Dalam Pusaran Penundaan Pemilu
PENUNDAAN Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih menjadi isu yang tetap menarik dan seksi. Apalagi, hal itu juga menyangkut usaha menunda Pemilihan Presiden (Pilpres), karena sebelumnya sudah lama digadang-gadang, supaya jabatan Presiden Joko Widodo atau Jokowi diperpanjang tiga tahun dengan alasan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).
Menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi tetap menjadi isu seksi yang dilontarkan oleh para penjilat penguasa. Mereka akan tetap mempermainkan isu tersebut, karena selain ingin menutupi kebobrokan pemerintah dalam mengelola pemerintahan, juga sekaligus menutupi beberapa kasus yang diduga menimpa si penggoreng isu itu.
Adalah Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar yang kembali meluncurkan ide penundaan Pemilu. Padahal, sebelumnya, pesta demokrasi tersebut sudah ditetapkan pada 14 Februari 2024. Entah dapat wangsit dari mana, Muhaimin yang juga Wakil Ketua Dewan Perwajilan Rakyat (DPR) RI itu melemparkan isu supaya pesta lima tahunan itu ditunda.
Gayung pun bersambut. Dua petinggi partai lainnya turut mendukung ide Muhaimin yang disebut-sebut atau diduga tersandung kasus kardus durian itu. Ketua Umum Partai Golkar, Erlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan mendukung penundaan Pemilu tersebut.
Pun dukungan itu juga datang dari pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Menurut menteri segala urusan tersebut, ia memiliki big data yang menyebutkan 110 juta warga Indonesia mendukung penundaan Pemilu.
Tidak disebutkan angka 110 juta itu apakah yang sudah dari angka jumlah pemilih Indonesia yang diperkirakan mencapai 206 juta jiwa atau dari total seluruh penduduk Indonesia ya ng mencapai 175 juta jiwa. Jika dari angka total pemilih, maka klaim Luhut itu ;luar biasa. Akan tetapi, jika dari total jumlah penduduk Indonesia, maka big data Luhut itu sangat luar biasa, yang berarti 175 juta penduduk Indonesia ogah Pemilu ditunda
Hingga kini big data tersebut tidak jelas sumbernya. Apakah berdasarkan survei abal-abal, berdasarkan karangan Luhut dan bersumber dari bisikan pinokio dan gendoruwo.
Akan tetapi, yang pasti dan jelas, usulan penundaan Pemilu 2024 telah membuat jagat politik nasional semakin gaduh. Politik semakin panas. Berbagai tanggapan dan penolakan pun bermunculan, termasuk penolakan dari lembaga survei yang selama ini menjadi kepanjangan tangan penguasa dalam menyampaikan hasil survei yang baik-baik saja, yang menjadi tertawaan rakyat.
Bahkan, penolakan pun datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjadi partai penyokong utama pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Selain partai berlambang kepala banteng bermoncong putih itu, Partai Nasdem, Gerindra dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga menolak penundaan Pemilu 2024.
Artinya, di koalisi pemerintah ada tiga yang mendukung (PKB, Golkar dan PAN). Sedangkan empat partai (PDIP, Gerindra, Nasdem dan PPP) menolaknya. Tentu, ada partai gurem yang menjadi pendukung Jokowi ikut mendukung ide penundaan Pemilu. Sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat yang berada di luar koalisi pemerintah sejak awal dengan tegas menolak penundaan Pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
Mengapa PKB, Golkar dan PAN menginginkan Pemilu 2024 ditunda? Apakah hal itu diucapkan karena ketua umumnya tersandera oleh kasus? Sehingga, jika Pemilu ditunda, setidaknya bisa juga menunda kasusnya tidak diutak-atik penegak hukum? Mari kita cermati kasus yang menimpa ketua umum tiga partai pendukung penundaan Pemilu 2024 itu.
Pertama, Ketua Umum PKB,.Muhaimin Iskandar diduga ikut menikmati 'kardus durian' yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus tersebut terjadi saat ia menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kabar terakhir menyebutkan, komisi antirasuah akan kembali membuka penyelidikan kasus 'kardus durian' itu.
Seperti diketahui, dalam kasus suap DPID Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2011, Muhaimin disebut-sebut akan menerima jatah uang sebesar Rp1,5 miliar yang dimasukkan dalam 'kardus durian'. Namun, hal tersebut dibantah Muhaimin. Dalam kasus iti, sudah ada tiga orang yang dijatuhkan vonis bersalah karena terbukti melakukan praktik korupsi dalam kasus tersebut. Mereka adalah Sesditjen P2KT, I Nyoman Suisnaya; Kepala Bagian Program Evaluasi dan Pelaporan Dadong Irbarelawan, dan kuasa direksi PT Alam Jaya Papua Dharnawati.
Dharnawati mengaku memasukkan uang Rp1,5 miliar ke Kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Uang tersebut dimasukkan ke kardus buah durian. Oleh karena itu, kasus ini terkenal dengan sebutan 'kardus durian.'
Kedua, Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto. Menteri Koordinator Bidang Perekonomiaj ini relatif ‘bersih’ dari skandal korupsi. Sebab, sebelum menjadi menteri di kabinet Jokowi (awalnya Menteri Perindustrian), ia lebih banyak berkecimpung di Senayan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Hanya saja, kasus yang mencuat adalah dugaan persekingkuhannya dengan seorang wanita bernama Rifa Handayani. Kasus dugaan perselingkuhan itu mencuat setelah perempuan tersebut buka suara. Namun, dugaan perselingkuhan itu terjadi sebelum Airlangga menjadi menteri.
Entah karena kekuasaan dan tekanan, dugaan perselingkuhan yang sempat dilaporkan ke Mabes Polri itu kini seakan-akan tenggelam bagaikan ditelan ombak. Rifa melaporkan kasus pengancaman dan intimidasi yang dialaminya atas kasus perselingkuhan tersebut.
Ketiga, Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan. Pernah menjadi Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia diduga terlibat dalam alih fungsi lahan di Provinsi Riau.
Namanya sempat disebut dalam konstruksi perkara tersebut. Pada 9 Agustus 2014 Zulkifli Hasan menyerahkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal 8 Agustus 2014 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan kepada Gubernur Riau saat itu Annas Maamun.
Dalam surat itu, Menteri Kehutanan membuka kesempatan kepada masyarakat yang ingin mengajukan permohonan revisi bila ada kawasan yang belum terakomodir melalui pemerintah daerah.
Pada 29 April 2019, KPK mengumumkan tiga tersangka terdiri dari perorangan dan korporasi, yakni PT Palma, Legal Manager PT Duta Palma Group Tahun 2014 Suheri Terta (SRT), dan pemilik PT Darmex Group/PT Duta Palma, Surya Darmadi (SUD).
Dalam kasus tersebut, tiga perusahaan diduga mengeluarkan uang Rp 3 miliar guna menyogok pihak-pihak yang terkait dengan alih fungsi lahan tersebut. Uang sogok tersebut dimaksudkan guna memudahkan urusan, baik di Pemerintahan Provinsi Riau maupun di Kementerian Kehutanan.