Vonis Bebas Pembunuh, Tunda Pemilu, dan Dukun Mandalika

Tak terasa kita telah 8 tahun dipimpin oleh penguasa yang memiliki kekuasaan mutlak. Mereka bisa berbuat apa saja sesuai arah telunjuknya. Dari mengkriminalisasi rakyat yang berbeda hingga memenjarakan ulama. Tak ada lagi kamar untuk berdiskusi, tak ada lagi ruang demokrasi. Atas nama pembangunan, semua dibikin satu suara: legislatif, yudikatif di bawah dirijen eksekutif.

Jika dulu rakyat masih bisa menuangkan uneg-unegnya di jalanan, kini tak bisa lagi. Saluran yang paling merdeka adalah medsos, itu pun tak luput dari pantauan rezim 24 jam penuh. Mata-mata disebar, penyusup diselundupkan dan buzzer dikerahkan untuk mengintip suara kritis rakyat. Jika ada suara-suara yang tak menghibur rezim, bedil dan penjara berbicara.

Pilihan rakyat hanya diam atau kasak kusuk di ruang terbatas. Rakyat betul-betul tertindas dan dilibas.

Hari ini lihat saja, siapa yang punya daya mempertanyakan vonis bebas pembunuh 6 Laskar FPI oleh pengadilan. Sementara Habib Rizieq harus dipenjara 4 tahun hanya untuk menebus kalimat "Saya Sehat". Siapa yang berani menjelaskan mengapa hukum di era rezim ini begitu jahat. Tak lain, ini semua terjadi karena kekuasaan begitu absolut di tangan satu orang.

Praktek tangan besi berikutnya adalah upaya penundaan Pemilu. Pemilu yang sudah dirancang pada Februari 2024 akan diundur pada 2027. Kebohongan disiapkan, hasil survei dipamerkan, baliho-baliho dimuntahkan. Di jalanan, di terminal, di tempat ibadah dan di semua tempat “milik” penguasa.

Libido politik rezim ini tampaknya melebihi kemampuannya. Mereka ingin orgasme berulang-ulang menikmati manisnya kekuasaan. Mereka  beli obat kuat, mereka racik jamu keperkasaan, dan mereka persiapkan ranjang-ranjang perselingkuhan.

Persetan dengan undang-undang, regulasi dan tata tertib, mereka punya kuasa. Jangan coba-coba halangi mereka, jika tidak, kerangkeng imbalannya. Rakyat hanya bisa diam dalam ketertindasan.

Ambisi kekuasaan mutlak lainnya, mereka pertontonkan di Mandalika. Di ajang internasional yang semua mata bisa memandang, mereka unjuk kepongahan. Setelah berhasil mengatur pengadilan, setelah sukses menggoyang masa jabatan,  kini mereka coba mengatur cuaca, memerintah alam, sangat berani melampaui kuasa Tuhan.

Aksi perdukunan yang dieksploitasi secara masif dan luas sesungguhya menunjukkan betapa kerdilanya rezim ini. Mereka mengabaikan akal sehat, mengesampingkan logika, dan memuja khayalan.

Aksi prasejarah yang tumbuh subur pada masanya, mereka paksa tampilkan secara demonstratif di era serba teknologi, sangat terukur, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Mereka gunakan mata kuda untuk menjalankan aksinya. Tak peduli kritikan, bull-yan, cercaan bahkan hinaan dari setiap mata yang memandang.

Polah tingkah rezim ini hanya baik di mata para pemujanya.  Berbanding terbalik dengan masyarakat luas yang memandang dengan penuh kesadaran, akal sehat, dan keimanan.

Jika dukun pengatur cuaca itu melakukannya dengan sembunyi-sembunyi, mungkin publik masih bisa memaklumi. Tetapi ini dilakukan di tengah lapang, di tengah hajat internasioanl dan disaksikan penonton seluruh dunia.

Apalagi, hasilnya Nol Besar. Hujan tetap mengucur deras, bahkan sang dukun sendiri tak mampu melindungi badannya dari guyuran hujan yang sangat lebat,  geluduk menggelegar,  petir menyambar dan genangan air menyebar. Sang dukun basah kuyup, air hujan meleleh di mukanya, rambutnya basah, pakaiannya menempel di setiap lekuk badannya. Namun ia terus melancarkan aksinya: menyetop hujan dengan sebuah mangkuk yang ia pukul-pukul biar keluar bunyi-bunyian.

Aksinya gagal, hujan tetap mengguyur. Cercaan bertubi-tubi datang mengarah ke sang dukun yang tetap heroik dalam teatrikalnya. Tontonan yang menghibur sekaligus memalukan. Hujan akhirnya berhenti, tetapi kata BMKG memang saatnya berhenti, karena durasi, bukan karena dukun.

Platform pengelolaan negeri ini hampir sama dengan ritual yang disiapkan dukun di Mandalika. Mereka hanya punya ambisi, namun klaimnya bisa berbuat apa saja.

Rakyat tentu makin khawatir. Jika ada politisi sudah memberi sinyal tawur dan amuk massa, jika organisasi buruh sudah mewacanakan people power, jika enak-emak sudah dilecehkan urusan dapurnya, Lalu menunggu apa lagi?

Jika kaum intelektual, LSM, ormas, dan organisasi keagamaan sudah satu suara, maka tak ada lagi yang bisa menghentikan kekuatan massa disokong kekuatan alam.

Mereka boleh saja menganggap enteng, mereka boleh saja berargumen bahwa aksi 212 yang mencapai 7 juta saja bisa dipadamkan, maka kita saksikan apakah kekuatan massa kali ini bertekuk lutut pada penguasa zalim?

Dukun Mandalika adalah puncak kepongahan penguasa. Ia cermin yang nyata bagaimana  kebodohan dipertontonkan. Mereka yakin mereka bisa. Yang terjadi petir menyambar di dekat sang dukun.  Yang mahakuasa masih punya rasa iba, petir menyambar bukan mengenai dirinya.

Jika sang dukun bisa mengundang hujan dan mengusir  panas, mengapa ia tidak bisa mengusir TKA Cina yang merajalela. Jika dukung bisa mengundang hujan dan panas, mengapa ia tidak bisa menyedot duit 11 triliun di kantong Pak Penguasa.

Sudahlah, semua sudah cetho welo welo. Rakyat bosan pencitraan, muntah kemunafikan.

Rakyat makin khawatir, ada kekuatan yang menyarankan mundur teratur atau rakyat sendiri yang akan tawur. (EDITORIAL FNN)

869

Related Post