Ketika Jokowi Djadikan “Berhala”
PATUNG Jokowi tak hanya ada di Mandalika. Ia telah bertenggger di mana-mana. Patung Jokowi ibarat berhala yang “disembah” para pemujanya.
Ide pendirian patung Jokowi sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 2016, dua tahun sebelum periode pertama berakhir. Meski banyak penolakan lantaran patung biasanya dipersembahkan untuk yang sudah wafat, namun Jokowi tetap ho oh saja. Ia menikmati setiap sanjungan dan pujian para sekutunya.
Patung pertama berdiri pada pertengahan tahun 2017. Patung lilin ini terpajang di Museum Madame Tussauds, Hong Kong. Patung ini bisa dipoles sekehendak pemujanya. Awal pertama diresmikan, mengenakan kemeja putih lengan panjang khas Jokowi, belakangan didandani dengan mengenakan kemeja batik.
Patung Jokowi kedua berdiri di bukit Sunu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT). Patung ini mengenakan busana adat asal Timor Tengah Selatan, dibuat di Bali dan memiliki berat 600 kilogram serta tinggi 3,5 meter dengan fondasi 2,5 meter.
Proses pendirian patung ini sungguh heroik. Diarak oleh ratusan massa ke atas bukit melalui jalanan yang terjal bertepatan dengan Hari Pahlawan, sebagai bentuk apresiasi warga terhadap Presiden Jokowi. Selain itu, patung ini disimbolkan oleh warga sekitar sebagai semangat Jokowi dalam membangun negeri.
Patung ketiga adalah Patung “Jokowi Menangis” yang akan dibangun di lokasi bencana di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Gagasan ini muncul dari warga Adonara yang berdomisili di Denpasar, Bali.
Patung ini juga dimaksudkan untuk mengenang Jokowi yang peduli dan pernah berkunjung saat bencana Adonara melanda. Proyek ini membutuhkan lahan seluas 5.000 meter persegi.
Patung keempat adalah patung Jokowi Naik Sepeda yang banyak ditemui di banyak bandara.
Yang paling heboh adalah patung Jokowi Naik Motor Balap di Mandalika. Inilah patung kelima yang dipersembahkan pemujanya untuk mengenang jasa-jasa junjungannya.
Adalah seniman patung asal Bali, Nyoman Nuarta yang membuat patung Presiden Jokowi naik motor bertuliskan RI-1. Patung ini diberi nama Speed yang menggambarkan kinerja pemerintah dalam memajukan pembangunan di Indonesia dengan cepat. "Patung ini saya beri judul Speed, itu simbol dari Pak Jokowi yang serba cepat. Sekarang beliau ada di Sumatra, besok sudah pindah. Aduh, seperti tidak kenal lelah, luar biasa. Saya tambah semangat membuat patung presiden yang saya kagumi," kata Nyoman.
Patung Jokowi di Mandalika sempat mendapat penolakan masyarakat setempat. Para tokoh agama yang tergabung dalam Forum Komunikasi dan Silaturahmi Pondok Pesantren (FKSPP) menolak pendirian patung karena bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Ketua FKSPP TGH Hasan Basry menyebut pendirian patung Jokowi bertentangan dengan julukan Lombok Seribu Masjid, Seribu Tuan Guru dan Masyarakat Agamis.
Patung biasanya untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah gugur. Sementara Jokowi masih hidup. Seharusnya konsultasi dulu dengan masyarakat Lombok Tengah agar tidak terjadi perpecahan.
Joko Widodo adalah Presiden yang harus dihormati. namun bukan berarti bentuk penghormatannya diwujudkan dalam sebuah patung yang bertentangan dengan nilai agama.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) TGH Habib Ziadi juga menolak patung tersebut karena bertentangan dengan agama Islam.
Seharusnya Jokowi tidak berkenan dibuatkan patung ketika kondisi negeri sedang dirundung bencana. Lebih baik, Jokowi memikirkan janji-janji kampanye yang belum dituntaskan selama empat tahun menjabat.
Ahmad Riza Patria sebelum menjabat Wagub DKI, mengatakan Jokowi tidak berjasa untuk negeri ini sehingga sampai harus dibuatkan patung. “Biasanya patung itu dibangun untuk yang berjasa dan yang sudah meninggal. Dibangun untuk mengenang dan mengapresiasi jasa orang tersebut. Biasanya yang dibangun patung itu, pahlawan. Pak Jokowi jasanya belum ada, harus diuji juga,” kata Riza.
Pak SBY 10 tahun memimpin negeri ini tidak minta dibuatkan patung, Bu Mega, Gus Dur juga tidak minta patung. Pak Jokowi juga bukan pahlawan. Masih banyak tokoh di seluruh Indonesia yang jasanya besar, tidak minta dibikinkan patung.
Kalaupun Jokowi memang dinilai berjasa untuk Indonesia, dia harusnya menolak dibikinkan patung. Ini menunjukkan kebijaksanaan dari seorang pemimpin.
Tokoh besar itu low profile. Itu namanya tokoh beneran. Kalau membiarkan orang bikin patung, bukan orang besar, kebangetan namanya.
Patung Jokowi di Hongkong, Sunu, Flores, dan Mandalika menunjukkan Jokowi telah dijadikan “berhala”, untuk dipuja.
Di Senayan para petualang politik tak kalah sigap, mereka juga “memberhalakan” Jokowi. Tiga pimpinan partai politik Airlangga Hartarto (Golkar), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Zulkifli Hasan (PAN) telah terang-terangan menunjukkan sikapnya mendukung penundaan Pemilu dari 2024 ke 2027. Ini artinya Jokowi menikmati jabatan gratis selama 3 tahun.
Padahal, ketiga pimpinan Parpol tersebut sebelumnya telah menyetujui Pemilu 2024 dilaksankan pada Februari 2024 berikut tahapannya. Tanpa rasa malu mereka mengubah pandangan, hanya demi hasrat pribadi dan kelompoknya. Sebuah pengingkaran demokrasi yang sangat radikal.
Begitulah adanya. Oleh sebagian orang, Jokowi telah diberhalakan secara gamblang. Ia dipuja-puja sesukanya. Ia dikultuskan sekehendaknya. Kekurangannya mereka sembunyikan sedalam-dalamnya, sedikit prestasinya mereka angkat setinggi-tingginya. Inilah konsep Mikul Dhuwur Mendhem Jero yang salah kaprah.
Jokowi telah diperkosa untuk dijadikan obyek sesembahan, yang bisa memberikan pencerahan dan kesejahteraan. Ia dipoles dengan indah untuk memancarkan seberkas sinar yang diyakini bisa memberikan penerangan di tengah kegelapan. Padahal, semua itu absurd, fatamorgana, dan rekayasa.