EDITORIAL

Politik Patung Sukarno Ridwan Kamil

Oleh Dimas Huda, Wartawan Senior FNN PATUNG Sukarno ada di mana-mana. Di Kantor Kemenhan ada patung Sukarno. Patung Sukarno juga ada di Lemhannas, di Akademi Militer Magelang, di Stadion Gelora Bung Karno, di Semarang, di Blitar, di Solo, di Gerbang Bandara Soekarno-Hatta, di Palu, di Bandung, Polder Tawang, di Bandar Lampung dan banyak lagi. Begitu Joko Wododo berkuasa, Megawati menggeber pembangunan patung Sukarno. Ketua Umum PDI Perjuangan ini bertekad membangun patung di semua daerah.  Sudah ada 33 patung Sukarno sejak tahun 1980. Peresmian patung saban tahun terjadi.  Pada tahun 2021 ada 7 patung. Pada saat itu, sepanjang 2017-2021, pembangunan patung Sukarno naik 120%. Kini, lebih banyak lagi. Patung-patung itu dibangun dengan duit negara.  Mega bilang Sukarno adalah proklamator, bapak bangsa, dan pahlawan nasional yang bisa ditiru oleh generasi muda. “Bikinlah di setiap daerah patung beliau,” titah Mega.  Kala itu, tanggal  28 Oktober 2021, Mega bicara dalam acara virtual Peresmian dan Penandatanganan Prasasti Taman UMKM Bung Karno. Ucapan Mega idu geni, sakti. Maklum Presiden Joko Wododo adalah petugas partai, PDIP. Dan seluruh kepala daerah di negeri ini adalah anak buah presiden.  Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mempersembahkan keinginan Mega tersebut dalam momentum yang terukur. Emil merencakan pembangunan patung Sukarno setinggi 22,3 meter. Ini bakal menjadi patung Sukarno paling menjulang di Indonesia. Biayanya sekitar Rp15 miliar. Jangan tanya duit dari mana. Jelas duit negara. Groundbreaking patung itu sudah dilakukan saat sebagian umat Islam merayakan Iduladha, 28 Juni lalu. Emil hadir bersama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto. Langkah gesit Emil patut diduga sebagai langkah politik mendekati pemilihan umum (2024). Ini kesempatan. Mumpung para bakal capres belum memiliki pasangan. Bisa diduga Emil bernafsu ingin berpasangan dengan Capres PDIP Ganjar Pranowo.  Jika bukan itu, tentu publik bisa membaca Emil sedang main zig-zag. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih cocok dekat dengan PDIP. Ketimbang, misalnya, Partai Nasdem. Harap diingat Partai Nasdem adalah partai pertama pengusung Emil, sebelum 3 partai lain, untuk duduk di kursi empuk Jabar-1.   Membangun patung dan tugu peringatan seharusnya memang bukan hal yang perlu dipersoalkan. Kita menyadari patung sebagai monumen adalah penghargaan kolektif untuk mengenang individu, peristiwa, dan aktivitas unik. Dan, untuk tujuan ini, patung dan tugu peringatan berdampak besar pada masyarakat dan budaya.  Sukarno pantas diabadikan dengan cara itu. Patung politisi dan monumen politik juga merupakan bagian penting dari sejarah dan budaya suatu negara.  Hanya saja, hal yang mengkhawatirkan adalah ketika tugu peringatan semakin banyak dibangun dengan tujuan semata-mata untuk ekspansi politik. Lebih mengkhawatirkan lagi, pembuat kebijakan terus menikmati monopoli virtual dalam membangun monumen dan mendirikan patung di ruang publik. Jika ini terjadi, sudah sepantasnya kita belajar peristiwa di negara lain. Tengok saja peristiwa ketika patung Thomas Edison, memegang bola lampu pijar, menggantikan patung William Allen, seorang Demokrat Ohio yang menjabat dua periode di Senat AS dan terpilih sebagai gubernur. Bukan hanya Ohio di mana patung seorang politisi telah digantikan oleh seorang non-politisi; itu terjadi di negara bagian lain seperti Alabama, Iowa, dan Carolina Utara. Sudah saatnya negeri ini punya aturan dalam masalah pembangunan tugu peringatan/patung, penggantian nama gedung, dan penggantian nama jalan, dll sehingga tidak diboncengi kepentingan politik, seperti kasus Ridwan Kamil.  Patung Sukarno sudah ada di Bandung dan tidak perlu diternak terus menerus. Emil tentu juga sudah tahu bahwa sang proklamator adalah Sukarno-Hatta. Bukan Sukarno seorang. Lebih jauh lagi, Sukarno adalah tokoh dan pendiri PNI yang partainya kurang diminati di Jawa Barat. Orang Jawa Barat lebih memilih Masyumi. Jadilah Jawa Barat dengan benar.     Toh, Emil boleh jadi lebih memperhatikan kata-kata Jean Sibelius: “Jangan perhatikan apa yang dikatakan para kritikus. Sebuah patung tidak pernah didirikan untuk menghormati seorang kritikus.”®

Negara Korup Bernama Indonesia

Oleh Dimas Huda, Wartawan Senior FNN KIAN mengapungnya kasus-kasus korupsi belakangan ini sungguh menjijikkan. Kasus korupsi Menteri Komunikasi dan Informatika nonaktif Johnny G Plate yang merugikan negara Rp8 triliun, hanyalah satu contoh saja, betapa bobroknya negeri ini.  Kini, korupsi seakan bukan hal yang memalukan. Seorang koruptor, begitu keluar dari penjara disambut bak pahlawan. Ada lagi bekas narapida korupsi yang kembali aktif berpolitik dan ber-cas-cis-cus tak tahu malu, dengan menunjukkan wajah tak berdosa.  Sungguh sangat berbahaya ketika korupsi berubah menjadi praktik yang diterima secara budaya. Berurusan dengan korupsi membutuhkan institusi yang efektif dan, yang terpenting, pemimpin yang kredibel.  Sementara, kesimpulan dari semua itu adalah kegagalan Presiden Jokowi dalam pemberantasan korupsi. Padahal korupsi merupakan salah satu hambatan paling serius untuk memperdalam demokrasi dan pembangunan ekonomi. Transparency International Indonesia (TII) menyodorkan skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022 yang anjlok empat poin yaitu dari 38 menjadi 34. Tak cukup itu, peringkat Indonesia pun terjun bebas, dari 96 menjadi 110. Merujuk pada temuan TII, tak salah jika kemudian disimpulkan bahwa Indonesia layak dan pantas dikategorikan sebagai negara korup. Salah satu di antara sekian banyak variabel yang disorot oleh TII dalam paparan IPK adalah maraknya korupsi politik di Indonesia. Analisa tersebut tentu benar jika dikaitkan dengan realita saat ini.  Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK sejak 2004 sampai 2022, pelaku yang berasal dari lingkup politik, baik anggota legislatif maupun kepala daerah, menempati posisi puncak dengan total 521 orang. Ini menandakan, program pencegahan maupun penindakan yang diusung pemangku kepentingan gagal total. Pada awalnya, kita berharap Jokowi yang tampak bersahaja itu akan berada di depan dalam pemberantasan korupsi. Nyatanya, tidak demikian. Profesor Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, menyebut Presiden Jokowi justru patut diduga melakukan tindak pidana korupsi.  Laporan Ubaedillah Badrun, 10 Januari 2022, kepada KPK memberi sinyal hal itu. Dalam laporan itu dijelaskan ada penyuntikan modal dari satu perusahaan Ventura di luar negeri ke perusahaan anak-anak presiden. Menurutnya, ini adalah upaya suap kepada Presiden melalui anak-anaknya. Konsepnya adalah trading influence, memperdagangkan pengaruh.  Di dalam United Nations Against Convention, Konvensi PBB antikorupsi, perdagangan pengaruh ini sudah dinyatakan secara tegas dan jelas. Anak-anak Jokowi tidaklah mungkin mendapatkan suntikan modal hingga ratusan miliar, jika mereka bukan anak presiden. Selain itu Presiden Jokowi justru melakukan pelanggaran pasal 21 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi berupa obstruction of justice, menghalang-halangi penegakan hukum pemberantasan korupsi. Denny menyebut ada elit yang seharusnya diproses, tapi tidak, karena ada dalam barisan-barisan koalisi.  Presiden Jokowi mestinya berkaca pada teladan Ellen Johnson Sirleaf, Presiden Liberia dan kepala negara wanita pertama di Afrika. Bisa juga meniru Atifete Jahjaga, Presiden Kosovo dan kepala negara wanita pertama di Balkan.  Komitmen Presiden Sirleaf untuk memberantas korupsi bahkan sampai menskors putranya sendiri, bersama dengan 46 pejabat senior pemerintah lainnya, karena gagal mengungkapkan asetnya kepada pejabat antikorupsi Liberia.  Manuver politik ini menjadi cara yang sangat efektif untuk menunjukkan kepada warga dan pebisnis Liberia yang bekerja keras bahwa dia dan pemerintahannya menganggap serius pemberantasan korupsi. Sedangkan Presiden Jahjaga setelah beberapa bulan sebagai Presiden, pidato pertamanya di parlemen menunjukkan bahwa dia menyadari masalah ini dan berencana untuk menanganinya secara langsung. Dengan suara percaya diri, dia mengumumkan pembentukan dewan antikorupsi presiden. Dewan akan mengoordinasikan pekerjaan dan kegiatan para pemangku kepentingan utama yang memerangi korupsi. Orang yang skeptis cenderung percaya inisiatif semacam itu akan gagal sejak awal. Atau, lebih buruk lagi, institusi semacam itu akan dituduh melegitimasi pejabat korup dengan mempercayakan inisiatif korupsi yang dirancang untuk menyelidiki mereka. Akan tetapi, praktik negara menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi memerlukan pembentukan mekanisme pertukaran informasi yang efektif antara lembaga penegak hukum dan aktor lain yang terlibat. Bagi Presiden Jahjaga, membentuk Dewan yang digerakkan oleh hasil hanyalah permulaan. Dia dengan jelas mengakui bahwa korupsi juga merupakan masalah internasional dan pemberantasannya membutuhkan solusi bersama.  Dalam mengorganisir KTT perempuan internasional di Kosovo, yang menangani masalah korupsi publik secara dekat, Kosovo diubah dari pusat korupsi menjadi pusat internasional untuk mencari solusi melawan korupsi. Sementara di Indonesia, hal yang awalnya sudah dirintis pemerintah sebelumnya tak berlanjut. KPK yang selama ini gencar memberantas korupsi politik justru dilemahkan oleh Presiden Joko Widodo melalui perubahan Undang-Undang (UU) KPK. Tidak cukup itu, Presiden juga membiarkan figur-figur bermasalah memimpin lembaga antirasuah.  Kita juga tentu saja menyadari bahwa membangun institusi yang memerangi korupsi memang penting, tetapi tidak cukup. Memerangi korupsi publik membutuhkan kemauan politik, tanggung jawab bersama, dan kerja keras di antara para pemimpin partai politik dan terpilih secara demokratis, oposisi politik, masyarakat sipil, dan warga negara. Singkatnya, prakarsa antikorupsi lebih mungkin berhasil jika melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan.®

Mimpi "Politik" SBY Jelas Menakutkan

Oleh: Dimas Huda, Wartawan Senior FNN PRESIDEN RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, mendadak mengumbar mimpinya. Mimpi SBY ditafsirkan banyak orang sebagai mimpi bernuansa politis.  SBY mengaku bermimpi naik kereta bersama Presiden Jokowi dan Megawati. Dalam mimpi itu ia dijemput oleh Jokowi di kediamannya di Cikeas lalu mereka menjemput Megawati di kediamannya, Kebagusan, Jakarta Selatan.  Mereka bertiga lalu naik kereta dari Stasiun Gambir menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur yang tiketnya disiapkan oleh Presiden RI ke-8 atau Presiden terpilih di Pemilu 2024. Mimpi itu diungkap SBY beberapa saat setelah pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani.  Kisah mimpi SBY ini bisa saja hanya mengada-ada, bisa juga beneran. Jika itu mengada-ada tentu bertujuan politis. Publik belum lupa bahwa hubungan SBY dan Megawati amatlah buruk. SBY berupaya rujuk, tapi terus saja direspons merajuk oleh Mega. Hal itu sudah terjadi sejak 2004. Ibaratnya, cinta mereka berdua betepuk sebelah tangan.  Mendadak pihak Mega, diwakili putrinya, Puan Maharani, kencan dengan putra SBY, AHY. Publik juga menerjemahkan kencan ini adalah kencan politik.  Konon ini semua adalah kisah bersambung tentang merebut Partai Demokrat dari Cikeas. Gagal dengan cara kasar, maka cara halus ditempuh. Tujuannya, menarik PD dari koalisi yang mencalonkan Anies Rasyid Baswedan sebagai presiden.  Jika gerakan ini sukses, maka sulit bagi Anies untuk melanjutkan langkahnya. Suara Partai Nasdem dan PKS tidaklah cukup untuk mengusung calon presiden. Jika mimpi SBY jadi kenyataan jelas menakutkan dan akan sangat memengaruhi masa depan negeri ini.  Tak usahlah kita menghubungkan ini dengan mimpi Firaun yang berbuah dibunuhnya banyak bayi laki-laki yang lahir di era kelahiran Nabi Musa. Juga bukan seperti mimpi Raja Namrud yang melihat bintang terbit dari barat, mengabarkan akan lahirnya Nabi Ibrahim. Hasilnya, lagi-lagi bayi yang lahir pun dibunuh.  Persoalan mimpi memang bukan barang sepele. Selama berabad-abad orang merenungkan arti mimpi. Peradaban awal menganggap mimpi sebagai perantara antara dunia kita dan dunia para dewa.  Sander van der Linden, peneliti dalam psikologi eksperimental sosial di London School of Economics and Political Science, menyebut orang Yunani dan Romawi yakin bahwa mimpi memiliki kekuatan kenabian tertentu.  Pada akhir abad ke-19, Sigmund Freud dan Carl Jung mengajukan beberapa teori mimpi modern yang paling dikenal luas.  Teori Freud berpusat pada gagasan tentang kerinduan yang ditekan - gagasan bahwa bermimpi memungkinkan kita memilah-milah keinginan yang tidak terselesaikan dan tertekan.  Carl Jung --yang belajar di bawah Freud-- juga percaya bahwa mimpi memiliki kepentingan psikologis, tetapi mengusulkan teori yang berbeda tentang maknanya. Sejak itu, kemajuan teknologi telah memungkinkan pengembangan teori-teori lain. Salah satu teori neurobiologis terkemuka tentang mimpi adalah \"hipotesis aktivasi-sintesis\". Teori ini menyatakan bahwa mimpi sebenarnya tidak berarti apa-apa: mimpi hanyalah impuls listrik otak yang menarik pikiran dan citra acak dari ingatan kita.  Menurut teori, manusia membangun cerita mimpi setelah mereka bangun, dalam upaya alami untuk memahami semuanya. Namun, mengingat banyaknya dokumentasi aspek realistis mimpi manusia serta bukti eksperimental tidak langsung bahwa mamalia lain seperti kucing juga bermimpi.  Psikolog evolusi berteori bahwa mimpi benar-benar memiliki tujuan.  Secara khusus, \"teori simulasi ancaman\" menunjukkan bahwa mimpi harus dilihat sebagai mekanisme pertahanan biologis kuno yang memberikan keuntungan evolusioner karena kapasitasnya untuk berulang kali mensimulasikan potensi peristiwa yang mengancam - meningkatkan mekanisme neuro-kognitif yang diperlukan untuk persepsi dan penghindaran ancaman yang efisien. Hubungan antara mimpi dan emosi kita disorot dalam penelitian yang diterbitkan oleh Matthew Walker dan rekannya di Sleep and Neuroimaging Lab di UC Berkeley, yang menemukan bahwa pengurangan tidur REM (atau kurang \"bermimpi\") memengaruhi kemampuan kita untuk memahami emosi yang kompleks dalam kehidupan sehari-hari – fitur penting dari fungsi sosial manusia.  Sander van der Linden mengatakan mimpi membantu kita memproses emosi dengan menyandikan dan membangun ingatan tentangnya. Apa yang kita lihat dan alami dalam mimpi kita belum tentu nyata, tetapi emosi yang melekat pada pengalaman ini pasti nyata.  Kisah-kisah mimpi kita pada dasarnya mencoba menghilangkan emosi dari pengalaman tertentu dengan menciptakan ingatan tentangnya. Dengan cara ini, emosi itu sendiri tidak lagi aktif.  Mekanisme ini memainkan peran penting karena ketika kita tidak memproses emosi kita, terutama yang negatif, ini meningkatkan kekhawatiran dan kecemasan pribadi.  Singkatnya, mimpi membantu mengatur lalu lintas di jembatan rapuh yang menghubungkan pengalaman kita dengan emosi dan ingatan kita. Begitu juga dengan mimpi SBY.

Sim Salabim Abracadabra Waskita Karya

Oleh: Djony Edward -- Wartawan Senior FNN  LAGI-lagi PT Waskita Karya Tbk membuat ulah. Kali ini tidak sendiri, bersama PT Wijaya Karya Tbk—keduanya merupakan BUMN karya—telah membuat berang Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo lantaran merasa dikadali atas laporan keuangan yang sim salabim. Sebelumnya Tiko, demikian ia biasa disapa, sempat berang lantaran Dirut PT Waskita Karya Tbk Destiawan Soewardjono ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi proyek fiktif sebesar Rp2,5 triliun oleh Kajaksaan Agung (Kejagung). Tiko juga berang lantaran diketahui Waskita tak mampu melunasi utang obligasi korporasi yang diterbitkannya. Sehingga lewat Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) disepakati ada penjadwalan ulang. Kali ini, keberangan Tiko tak hanya pada manajemen Waskita, tapi juga kepada manajemen Wika dengan sebab yang sama. Yaitu kedua BUMN publik ini menyajikan laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kondisi riilnya. Yang paling mencolok, baik WSKT maupun Wika mengaku selalu untung setiap tahun, padahal keuangan kedua BUMN karya itu sejatinya bobrok.  “Sebenarnya ini apakah memang pelaporan keuangan selama ini riil atau jangan-jangan perlu restatement karena selama ini laporan keuangannya tidak riil. Ini kami akan ada restatement,” ujar Tiko dalam rapat kerja Komisi VI DPR bersama Kementerian BUMN, Senin (5/6). Saat ini Kementerian BUMN tengah melakukan investigasi bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait manipulasi laporan keuangan tersebut. Apabila dugaannya benar, Tiko berjanji akan mengejar manajemen yang membuat laporan keuangan palsu itu.  “Apabila memang ada fraud dari sisi pelaporan keuangan kami bisa lakukan tindakan tegas dengan kerangka governance yang ada,” ucapnya. Seperti diketahui laporan keuangan 2022, WSKT membukukan pendapatan Rp15,30 triliun, atau tumbuh 25,20% dibandingkan periode yang sama tahun 2021 sebesar Rp12,22 triliun. Peningkatan pendapatan WSKT terutama berasal dari pendapatan jasa konstruksi. Segmen bisnis ini lompat 33,46% menjadi Rp13,56 triliun. Peningkatan pendapatan yang mencapai double digit ini diiringi oleh kenaikan beban pokok pendapatan yang lebih besar hingga 34,20%, menjadi Rp13,85 triliun. Alhasil, laba kotor WSKT turun 23,68%, menjadi Rp1,45 triliun. Di sisi lain, WSKT mencatat bagian laba bersih entitas asosiasi dan ventura bersama, mencapai Rp1,08 triliun. Berkebalikan dengan 2021, WSKT mencatat rugi bersih entitas asosiasi dan ventura bersama sebesar Rp321,62 miliar. Sedangkan laporan keuangan WIKA, mencatat kenaikan atas kerugian dalam laporan keuangan 2022. Angkanya mencapai Rp59,6 miliar. Berkebalikan dengan 2021 yang masih untung Rp117,67 miliar. Pada 2022, pendapatan WIKA melesat 20,61%, menjadi Rp21,48 triliun dibandingkan tahun sebelumnya, pendapatannya hanya Rp17,81 triliun. Margin laba usaha WIKA pun naik menjadi 7,96%, dibandingkan 2021 sebesar 6,29%. Tiko mengatakan ternyata dari laporan keuangan yang disajikan kedua BUMN karya tersebut ada potensi pemaparan yang tidak sesuai dengan kondisi riil. Oleh karenanya direksi dan komisaris kedua BUMN tersebut bisa saja dikenakan delik pidana.  “Apabila ada unsur pidana dalam laporan keuangan, fraud, kita bisa melakukan penuntutan kepada manajemen lama yang waktu itu melaporkan laporan keuangan. Saya sudah lapor dengan Ketua BPKP, jika memang ada fraud dari sisi pelaporan keuangan kita bisa lakukan tindakan tegas,” tegas Tiko. Tiko mengakui, keuangan kedua perusahaan pelat merah itu, sedang mengalami kesulitan arus kas (cash flow). Selain margin laba yang tipis, beberapa proyek disebut rugi seperti pekerjaan terintegrasi (Engineering, Procurement and Construction--EPC). Kondisi ini salah satunya disebabkan persaingan yang makin ketat di pasar. BUMN karya memang benar-benar sedang dalam periode yang buruk akibat cawe-cawe direksi dan komisarisnya. Terutama Wakita dan Wika yang mendapat proyek penugasan paling besar dari Pemerintah, sehingga harus banting tulang, bahkan sulap-sulapan laporan keuangan, asal Bapak senang. Ternyata bukan Bapak senang yang didapat, justru Bapak berang. Sudah jatuh tertimpa tangga pulak, sedihnya BUMN karya di era jahiliyah GCG seperti sekarang ini.      

Impeachment: Mengukur Kekuatan Jokowi

Denny Indrayana menyerukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Sementara pimpinan Parpol masih sibuk mempersiapkan pengganti presiden pada 2024.  Oleh Dimas Huda ---Wartawan Senior FNN Apes menimpa Ibu Negara Iriana Jokowi. Ia terjatuh saat turun di tangga pesawat Kepresidenan RI 1 pada 14 November 2022. Untung ada sang suami yang menggenggam erat tangannya.  Peristiwa ini terekam saat Iriana bersama Presiden Jokowi turun dari pesawat di Bandara Ngurah Rai, Bali jelang gelaran KTT G20. Jatuhnya Iriana jelas tidak serius. Ini jika dibandingkan, misalnya, jika Presiden Jokowi yang jatuh. Bukan dari tangga pesawat, melainkan dari jabatannya sebagai presiden.  Hal itu bukan hal yang musykil. Prof H Denny Indrayana, SH, LLM, PhD telah menyerukan pemakzulan atas Presiden Jokowi. Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (2011-2014) ini memandang Jokowi telah melakukan tiga pelanggaran konstitusional. “DPR RI harus memulai proses impeachment,” ujar Denny dalam surat terbuka yang ditujukan kepada DPR RI. Surat terbuka itu diunggah Denny di akun Twitternya. Denny Indrayana membeberkan sederet perilaku Jokowi yang dianggap dapat merusak konstitusi Negara. Misalnya, Jokowi melakukan cawe-cawe politik untuk mendesign agar Pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua kontestan. Kemudian, membiarkan Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menganggu Partai Demokrat melalui gerakan pengambilaihan partai. Lalu kasus Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang dicopot dan dijerat kasus hukum setelah Suharso empat kali bertemu Anies Rasyid Baswedan. Yang pada intinya, gerakan-gerakan Jokowi itu menurut Denny Indrayana bertujuan untuk menjegal Anies Baswedan ikut Pilpres 2024. \"Itu sebabnya saya berkirim surat kepada Mega (Megawati Soekatnoputri) untuk mengingatkan petugas partainya di Istana, jangan gunakan tangan kuasa untuk cawe-cawe merusak konstitusi bernegara,\" tulis Denny Indrayana dalam tulisannya berjudul \'Awas, Krisis Konstitusi di Depan Mata!\' Persoalannya, proses pemakzulan bukan hal yang murah dan mudah untuk saat ini. Apalagi jika seruan itu dilakukan ketika partai politik tengah gencar-gencarnya memanaskan mesin partainya. Kasat mata sudah tampak, bahwa mayorias partai politik kini berhubungan mesra dengan Presiden Jokowi. Mereka sudah sekendang sepenarian dengan Presiden Jokowi. Nah, itu sebabnya perlu kiranya mengukur kekuatan Jokowi saat ini.  Kasus Sukarno Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, impeachment atau pemakzulan yang berujung pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, telah terjadi dalam dua rezim pemerintahan yakni pada masa Presiden Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal itu terjadi sebelum perubahan UUD 1945. Presiden Sukarno diberhentikan oleh MPRS berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Hal tersebut dilakukan MPRS setelah Sukarno menyampaikan pidato pertanggungjawaban dengan judul Nawaksara yang oleh Sukarno disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela, karena faktanya pertanggungjawaban tersebut diberikan bukan atas permintaan MPRS. Setelah pidato pertanggungjawaban tersebut disampaikan, MPRS meminta agar Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya yang kemudian dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara.  Adapun hal-hal yang diinginkan oleh MPRS untuk meminta Presiden melengkapi pidato pertanggungjawabannya adalah agar Presiden menjelaskan mengenai sebab-sebab terjadinya G-30-S/PKI beserta epilognya dan kemunduran ekonomi serta akhlak.  “Pertanggungjawaban yang menyangkut  tindakan moral yang dilakukan oleh rakyat seharusnya bukan merupakan bagian yang harus dipertanggungjawabkan oleh seorang Presiden,” tulis Soewoto Mulyosudarmo dalam bukunya berjudul “Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997). Dalam pemberhentian Presiden Sukarno tidak dikenal adanya penyampaian memorandum oleh DPR. Karena pada waktu itu belum ada ketentuan yang dibuat secara jelas dan tegas mengenai proses pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatannya karena dianggap telah melanggar haluan negara.  Adapun yang dijadikan dasar pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu hanyalah Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa jika DPR menganggap bahwa Presiden melanggar haluan negara, maka DPR dapat mengusulkan kepada MPR untuk mengadakan persidangan istimewa meminta pertanggungjawaban Presiden. Apabila dicermati proses penyampaian pertanggungjawaban Presiden Sukarno pada waktu itu terungkaplah bahwa MPRS sejatinya tidak pernah meminta pertanggungjawaban Presiden. Itulah yang kemudian membuat pertanggungjawaban tersebut disebut sebagai pertanggungjawaban sukarela. Namun setelah penyampaian pidato sukarela tersebut, MPRS meminta kepada Presiden untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya. Atas permintaan tersebut Sukarno menyampaikan pidato yang dikenal dengan Pidato Pelengkap Nawaksara.  Pidato ini kemudian juga mendapat penolakan dari MPRS yang pada akhirnya memberhentikan Soekarno dari jabatan Presiden. Kasus Gus Dur Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya juga terjadi pada Presiden Abdurrahman Wahid. Proses pemberhentian ini dilakukan ketika proses Perubahan Ketiga UUD Negara RI Tahun 1945 dilakukan. Akibatnya, proses pemberhentiannya tetap berpedoman kepada Penjelasan UUD 1945 serta Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Saatnya Sidang Istimewa MPR” yang dilansir Harian Republika, Kamis 1 Februari 2001, menjelaskan dalam kasus Abdurrahman Wahid, setidaknya terdapat lima peristiwa yang dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa. Pertama, Abdurrahman Wahid pernah meminta agar Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan-pelarangan Penyebaran Ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme dicabut. Padahal apabila ditinjau dari sisi ketatanegaraan usulan ini tidak tepat, karena Presiden terikat untuk menjalankan haluan negara termasuk ketetapan MPRS tersebut. Hal ini juga bertentangan dengan sumpah dan janji yang diucapkan di hadapan MPR sebelum ia dilantik menjadi Presiden.  Dalam negara demokrasi modern pelanggaran seperti ini merupakan pelanggaran yang sangat prinsipil dalam penyelenggaraan negara.  Kedua, pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa hak interpelasi DPR merupakan tindakan inkonstitusional. Hak interpelasi tersebut berkaitan dengan tindakan Presiden yang memberhentikan beberapa orang menteri di kabinetnya. Bahkan sebelumnya Presiden juga pernah menilai bahwa DPR seperti taman kanak-kanak.  Ketiga, penggantian Kapolri dari Jenderal S. Bimantoro kepada Komjen. (Pol). Chaeruddin Ismail yang dilakukan secara sepihak oleh Presiden dinilai telah melanggar ketetapan MPR, karena penggantian tersebut mengharuskan adanya persetujuan DPR. Tindakan jelas melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh MPR.  Keempat, adanya pernyataan Presiden yang menyatakan bahwa semua pansus yang ada di DPR adalah ilegal sehingga apapun yang dihasilkan oleh pansus tidak sah secara hukum. Hal ini terkait dengan beberapa kasus seperti adanya indikasi keterlibatan Presiden dalam skandal bullogate dan bruneigate.  Kelima, penolakan Presiden terhadap dua orang calon ketua Mahkamah Agung (MA) yang diusulkan DPR. Tindakan ini membuat Presiden tidak menjalankan ketentuan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang menyatakan bahwa Ketua MA diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan DPR.  Hal ini juga mengindikasikan bahwa Presiden mencoba mengintervensi MA sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi serta bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya yang bersifat ekstra yudisial. Hanya saja, yang jadi alasan di luar itu semua. Gus Dur dijerat dengan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei kepada Aceh yang ngetop disebut Buloggae dan Bruneigate. Mengontrol Kekuasaan Sidang Istimewa menjadi salah satu instrumen untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan Presiden. UUD 1945 memang tidak mengatur secara jelas mengenai prosedur hingga Sidang Istimewa dilaksanakan oleh MPR.  Hanya saja, untuk kasus Abdurrahman Wahid agak sedikit berbeda, karena pada era ini telah terdapat ketentuan yang memberikan pengaturan mengenai penyelenggaraan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.  Ketentuan tersebut lahir pada masa pemerintahan Orde Baru yang berbentuk ketetapan MPR. Meskipun kehadiran ketetapan ini terkesan mempersulit dilaksanakannya Sidang Istimewa, tetapi di sisi lain ada upaya untuk memperjelas mekanisme pelaksanaan Sidang Istimewa.  Mekanisme Sidang Istimewa tersebut tercantum di dalam Pasal 7 Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Ketentuan tersebut menghendaki bahwa sebelum Sidang Istimewa dilakukan harus melalui proses penyampaian memorandum pertama dan memorandum kedua oleh DPR kepada Presiden. Dalam kasus Abdurrahman Wahid, proses penyampaian memorandum tersebut juga telah dilakukan. Namun hal tersebut tidak diindahkan oleh Presiden. Bahkan ia mengeluarkan maklumat pada dini hari tanggal 23 Juli 2001, hal ini menjadi puncak kepanikan Presiden dalam menghadapi tekanan politik yang menginginkan dirinya untuk turun dari tampuk kekuasaannya.  Salah satu isi dari maklumat tersebut adalah membekukan lembaga MPR. “Pembekuan MPR sebagai lembaga yang posisi konstitusionalnya berada di atas Presiden, jelas lebih mencerminkan kepanikan ketimbang rasionalitas melembagakan demokrasi,” tulis Syamsuddin Haris dalam bukunya berjudul “Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia” (Grafiti, Jakarta 2007).  “Hal ini juga cukup menjadi alasan bagi MPR untuk mempercepat Sidang Istimewa,” tambah Saldi Isra.  Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR akhirnya menyelenggarakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid, namun ia tidak hadir dan juga tidak menyampaikan laporan pertanggungjawabannya secara tertulis. Akhirnya MPR mengeluarkan ketetapan pemberhentian dari jabatannya sebagai Presiden karena ketidakhadiran dan penolakan memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR serta tindakan penerbitan maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001.  Tindakan ini dipandang oleh MPR sebagai pelanggaran terhadap haluan negara.  Pemberhentian presiden dalam masa jabatannya menjadi kewenangan MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia pada masa itu. Kekuasaan yang sangat besar ini secara hukum telah tercantum dalam UUD 1945 yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: ”Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Sistem kekuasaan di Indonesia menganut supremacy of parliament atau supremasi MPR, karena MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki wewenang tak terbatas. Seluruh kekuasaan dan tanggungjawab penyelenggaraan negara harus dipertanggungjawabkan kepada MPR.  Pertanggungjawaban ini tidak terkecuali bagi seorang Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan tertinggi di bawah MPR. “MPR berwenang mengangkat dan mengesahkan suatu pemerintah (eksekutif) dan sekaligus memberhentikan pemerintah yang diangkatnya itu apabila ia gagal atau tidak mampu lagi melaksanakan kehendak rakyat melalui majelis itu,” tulis Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia” (Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta, 1983). Majelis dalam menjalankan kekuasaannya sebagai pemegang kedaulatan rakyat berwenang menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Negara.  “Jadi tidak hanya ditujukan kepada Presiden saja, tetapi ini ditujukan bagi semua lembaga negara agar tidak melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangannya,” Sri Soemantri dalam “Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945” (Alumni, Bandung) menambahkan. Aturan Saat Ini Hanya saja, UUD 1945 yang berlaku dalam tiga periode yakni periode 1945- 1949, periode 1959-1966, dan periode 1966-1998 dipandang telah terbukti tidak pernah menghadirkan pemerintahan yang demokratis.  Perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali telah membawa perubahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam perubahan tersebut salah satu kesepakatan dasar yang menjadi agenda adalah mempertegas system pemerintahan presidensial.  Hal tersebut dapat dicermati dari semakin kuatnya kedudukan Presiden dalam pemerintahan. Ia tidak mudah diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR kecuali ia terbukti telah melanggar ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dasar. Pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya diatur secara eksplisit di dalam Pasal 7A dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI 1945).  Dalam Pasal 7A dinyatakan bahwa Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden oleh MPR sebelum masa jabatannya berakhir hanya mungkin dilakukan apabila Presiden sungguh-sungguh telah melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya, dalam Pasal 7B Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menjelaskan mengenai prosedur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya tersebut.  Perubahan ini telah menggeser dominasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadikan konstitusi sebagai pemegang kedaulatan. Proses pemberhentian Presiden inipun tidak hanya melalui forum politik di MPR, tetapi juga harus melalui proses peradilan di Mahkamah konstitusi. Dalam masa periode pasca-perubahan ketiga UUD 1945 memang belum ada praktik ketatanegaraan dalam hal pemberhentian presiden dalam masa jabatannya (pemakzulan). Namun setidaknya terdapat beberapa peristiwa yang berpotensi terjadinya pemakzulan Presiden.  Seperti bergulirnya hak angket DPR atas kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan terakhir kasus Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Keduanya terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Penahanan yang dilakukan Kepolisian terhadap kedua tokoh ini memancing simpati tidak hanya dari kalangan masyarakat umum tetapi juga dari para tokoh nasional untuk menjamin pembebasan keduanya.  Kala itu, Prof Dr Mahfud MD yang menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI mengingatkan bahwa gerakan ini bisa berujung kepada ancaman bagi kedudukan presiden melalui proses pemakzulan.  Presiden memang tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tetapi pelemahan terhadap lembaga KPK bisa diartikan terlibat korupsi. Keterlibatan Presiden juga dapat dipandang dari segi pembiaran yang dilakukan oleh Presiden atas penahanan terhadap kedua Pimpinan non-aktif KPK ini oleh kepolisian. Jadi tergantung bagaimana memformulasikan hukumnya. Hal senada diungkapkan Pengamat Hukum Tata Negara Saldi Isra. “Sekecil apapun kesalahan yang dilakukan oleh Presiden, gerbang pemakzulan bisa dimulai dan amat mungkin terjadi dengan memberi tafsir terbuka atas klausul Pasal 7A UUD Negara RI Tahun 1945,” tulis Saldi Isra dalam artikelnya berjudul “Gerbang Menuju Pemakzulan” (Media Indonesia, Rabu 04 November 2009). Lalu, apakah yang dilakukan Jokowi sudah layak untuk dimakzulkan? “Saya berpendapat, Presiden Joko Widodo sudah layak menjalani proses pemeriksaan impeachment karena sikap tidak netralnya alias cawe-cawe dalam Pilpres 2024,” jelas Denny Indrayana yakin. Kini, semua pimpinan partai politik sudah tunduk pada Presiden Jokowi. Dan menurut Denny justru inilah yang bisa dijadikan dalih mengapa Jokowi harus dimakzulkan. “Ada dugaan Presiden Jokowi memanfaatkan kekuasaan dan sistem hukum untuk mencengkram para pimpinan parpol untuk maksud tertentu terkait Pilpres 2024,” ujarnya. Tetap saja, hal ini tergantung apakah DPR yang didominasi oleh partai pendukung pemerintah akan melakukan pemakzulan atau tidak.

WATERGATE = MOELDOKOGATE

Harusnya dasar pemakzulan Watergate terhadap Presiden Richard Nixon, dapat juga diterapkan kepada Presiden Jokowi.  Oleh Dimas Huda ---Wartawan Senior FNN Prof Denny Indrayana, SH, LLM, PhD meyakini alasan impeachment terhadap Presiden Joko Widodo sangat kuat. Dia mengambil satu contoh kasus saja yakni skandal Moeldoko (Moeldokogate).  Denny membandingkannya skandal Moeldoko yang berjuang mengambil alih Partai Demokrat dari tangan Agus Harimurti Yudhoyono mirip dengan kasus Watergate dalam sejarah ketatanegaraan di Amerika Serikat. Kasus Watergate berujung dengan mundurnya Presiden Richard Nixon, karena menghindari pemecatan (impeachment).  Impeachment di Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama diatur dengan konstitusi. Ada 4 delik impeachment dalam konstitusi Amerika Serikat yang diadopsi ke dalam konstitusi kita yaitu:  1. Treason (pengkhianatan terhadap negara).  2. Bribery (penyuapan). 3. Other high crime (kejahatan tingkat tinggi).  4. Misdemeanors (perbuatan tercela).  Di Indonesia, selain 4 delik itu ada 2 tambahan lain yakni \'korupsi\' dan \'tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon presiden dan wakil presiden\'. Dengan konsep delik impeachment yang hampir sama, harusnya dasar pemakzulan Watergate yang terjadi dalam sejarah tahun 1972-1974 terhadap Presiden Richard Nixon, dapat juga diterapkan kepada Presiden Jokowi.  Baik Moeldokogate maupun Watergate, mempunyai karakteristik yang relatif sama. \"Bahkan, Moeldokogate punya dampak yang jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan Watergate,\" ujar Denny.  Dengan melihat perbandingan Watergate dan Moeldokogate, harusnya tidak sulit untuk dimulai proses pemakzulan jika partai politik di DPR mau menggunakan haknya.  \"Persoalannya adalah koalisi yang terjadi bukan kooperasi (kerjasama), tapi beralih rupa menjadi kolusi saling kunci terhadap kemungkinan munculnya kasus hukum di antara kekuatan politik yang ada,\" ujar Denny.  Akibatnya, pemakzulan yang seharusnya secara teori dapat dilakukan akhirnya secara politik memang tidak mudah dijalankan. Bukan karena Jokowi tidak melanggar delik pemakzulan, tetapi karena kekuatan koalisi di DPR tdak melaksanakan fungsi kontrolnya terhadap pelanggaran impeachment yang nyata-nyata dilakukan Presiden Jokowi.  Bukan Berarti Pemecatan Sejatinya, dalam dunia hukum tata negara ada dua konsep pemberhentian seorang presiden yakni melalui impeachment dan forum previlegiatum. Berikut ini tentang impeachment. Impeachment atau pemakzulan adalah sebuah proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan berarti selalu pemecatan atau pelepasan jabatan, namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal.  Dalam praktik impeachment yang pernah dilakukan di berbagai negara, hanya ada beberapa proses impeachment yang berakhir dengan berhentinya seorang pimpinan negara. Salah satunya adalah Presiden Lithuania, Rolandas Paskas. Proses impeachment itu berakhir pada berhentinya Paskas pada tanggal 6 April 2004.  Di Amerika Serikat pernah terjadi beberapa kali proses impeachment terhadap presiden misalnya pada Andrew Johnson, Richard Nixon, dan terakhir pada William Clinton. Namun, tidak semua tuduhan impeachment yang dilakukan di Amerika itu berakhir pada berhentinya presiden. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Dalam perkembangan hukum tata negara dewasa ini pranata impeachment menjadi populer sebab ada beberapa presiden dari beberapa negara di dunia yang masing-masing negara mempunyai sistem politik dan ketatanegaraannya yang berbeda, ingin melakukan impeachment terhadap presidennya karena dituduh telah melakukan suatu tindak pidana. Dengan kata lain, negara-negara itu meski sebagian belum memasukkan dalam konstitusinya tetapi melaksanakannya dalam praktik.  Misalnya, kasus impeachment yang telah dihadapi Presiden Joseph Estrada, Presiden Taiwan Chen Shui-bian yang dituduh membatalkan proyek pembangkit tenaga nuklir; Presiden Paraguay Raul Cubas yang dituduh melakukan tindak kriminal penyalahgunaan kekuasaan. Itu sebabnya Jokowi tampaknya santai-santai saja dalam menanggapi wacana impeachment. Seakan dia berkata: \"impeachment? Siapa takut..!\" ==== Perbandingan WATERGATE 1. Upaya penyadapan Partai Demokrat  melalui pembobolan untuk memasang alat sadap, waktunya pada saat kampanye pilpres. Maksudnya untuk mengganggu pencalonan presiden dari Partai Demokrat. Presiden Nixon terbukti terlibat.   2. Tuduhan terhadap Richard Nixon adalah menghalangi penyidikan (obstruction of Justice), menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power), dan melecehkan Kongres AS.   3. Penyelidikan parlemen dimulai dari adanya laporan Washington Post melalui investigasi 2 orang wartawannya, dari bocoran informasi yang diberikan oleh sumber anonim yang diberi nama Deep Throat.  MOELDOKOGATE  1. Moeldokogate, ada upaya untuk mengambil alih Partai Demokrat, melalui tangan kepala staf presiden, dan juga dilaksanakan menjelang kontestasi pemilihan Presiden 2024. Presiden Jokowi jelas terlibat, paling tidak membiarkan (by ommission) Moeldoko mengganggu daulat partai.  2. Hal yang sama sebenamya bisa dilihat di Indonesia. Ada upaya untuk obstruction of justice, untuk menutupi perkara kawan koalisi dan mengangkat perkara lawan oposisi. Salah satu indikasinya adalah dengan perpanjangan masa Jabatan pimpinan KPK melalui keputusan MK.  3. Di Indonesia belum ada proses penyelidikan. Harusnya bisa dilakukan jika DPR mau menggunakan hak angket dan hak menyatakan pendapatnya. Dalam penyelidikan, diperlukan pembocor informasi (whistle blower) pula, untuk membongkar konspirasi yang terjadi whistle (*)

Membongkar Kartel Infrastruktur

Tak putus dirundung malang, itulah gambaran PT Waskita Karya Tbk sebagaimana digambarkan dalam karya sastra Sutan Takdir Alisjahbana. Baru saja dirundung masalah korupsi sehingga Direktur Utamanya Destiawan Soewardjono harus ditahan karena transaksi fiktif, tapi juga harus menghadapi ancaman gagal bayar bunga obligasi alias default. Inilah zaman dimana BUMN karya ini menghadapi keadaan paling buruk, good corporate governance babak belur, diterpa isu korupsi, kinerja obligasinya pun mendekati titik nadir. Inilah zaman jaihiliyah Waskita Karya. Akankah Waskita Karya menghadapi kebangkrutan? Selain tak mampu memenuhi hasrat investor obligasi, Waskita juga mengalami macet untuk pembayaran sub kontraktor, bahkan banyak sub kontraktor yang harus gulung tikar lantaran pekerjaan proyeknya belum kunjung dibayar. Korupsi di tubuh Waskita adalah wajah buruk korupsi infrastruktur yang dibanggakan Jokowi. Simak liputan lengkapnya di Majalah Forum Keadilan edisi Juni 2023. (*)

MUSRA Gagal, Jokowi Takut Umumkan Capres

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan  MUSYAWARAH Rakyat (Musra) yang diadakan di Istora Senayan, Minggu, 14 Mei 2023 yang diselenggarakan oleh relawan Jokowi dapat dibilang gagal. Puncak dari berbagai Musra yang diadakan di berbagai Provinsi tidak memenuhi harapan peserta maupun panitia dan tentu saja media. Gembar-gembor yang disampaikan Ketum Projo Budi Arie Setiadi bahwa ada arahan Jokowi tentang Capres yang didukung ternyata tidak terjadi.  Dari tiga nama yang diajukan yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto tidak satupun dipilih dan diumumkan. Jokowi hanya menyatakan akan membisikkan kepada partai-partai politik. Yang menunggu adalah massa \"puluhan ribu\" yang diumumkan adalah agenda bisikan. Lucu juga.  Jika ujungnya hanya bisik-bisik buat apa Jokowi mengumpulkan relawan di Istora Senayan ? Di samping buang tenaga, buang waktu, buang duit juga buang sampah. Dari sisi produk politik itu namanya buang angin. Momen yang ditunggu massa dijawab \"Belanda masih jauh\". Memang Jokowi tidak memiliki nyali untuk mengumumkan.  Pilihan sulit bagai makan buah simalakama. Memilih Ganjar tentu Prabowo ngamuk, begitu juga pilih Prabowo, Megawati dan banteng yang ngamuk. Airlangga hanya penggembira. Muara ngamuknya adalah Jokowi tidak aman setelah lengser. Bakal babak belur karena bebas perlindungan. Jalan aman Jokowi ya itulah bisik-bisik ke partai politik.  Tiga gagal Musra sekaligus kegagalan Jokowi, yaitu : Pertama, Musra Istora bukanlah puncak atau klimaks tetapi anti klimaks. Soal tiga nama yang disebutkan di atas semua khalayak sudah tahu. Maksud aspirasi relawan atau diadakan Musra atau juga kemauan Jokowi adalah \"asal bukan Anies\". Akibatnya Musra menjadi tidak bernilai atau tidak ada apa-apa.  Kedua, Musra bukan bagian dari demokrasi atau perwujudan asas kedaulatan rakyat melainkan mobokrasi, kekuasaan \"mob\" massa yang dimobilisasi. Sebagian rakyat yang dikendalikan oleh kekuasaan. Mungkin bayaran atau balas jasa lain. Jokowi gagal membangun demokrasi tetapi sukses \"menunggangi\" sebagian kecil rakyat.  Ketiga, relawan Jokowi memang cuma sedikit artinya sebagai Presiden Republik Indonesia hanya memiliki rakyat sejumlah \"puluhan ribu\". Lalu jutaan lainnya kemana  ? Musra yang dihadiri Jokowi membuktikan legitimasi rakyat atas Jokowi sudah menipis untuk tidak dibilang habis.  Soal bisik-bisik itupun sejak awal sudah dilakukan oleh Jokowi artinya tanpa musra-musraan. Meski pola bisik-bisik Jokowi ternyata gagal pula. Mendorong Ganjar tidak diterima Megawati, saat pindah ke lain hati Ganjar direbut Megawati. Mendorong Prabowo dalam \"koalisi besar\" justru koalisi semakin berpencar-pencar.  Berbisik untuk menyingkirkan Anies Baswedan hingga detik ini juga masih gagal. Anies justru semakin bersinar. Bukankah berlaku hukum politik bahwa semakin keras dianiaya semakin besar simpati ? Tanpa rekayasa Musra, rakyat telah menghasilkan Musra. Anies bakal menjadi penghuni Istana.  Jokowi teriak tidak bisa, berbisik juga tak bermakna. Kini siapa sebenarnya yang berkuasa  ? Yang jelas kekuasaan Jokowi semakin sirna. Musra tidak memberi asa apa apa. Buang sampah saja.  Bandung, 14 Mei 2023

Jokowi Menjelang Tumbang

Oleh M Rizal Fadillah - Pemerhati Politik dan Kebangsaan AJAL kekuasaan Jokowi tinggal menghitung mundur. Meski pernah dan kuat wacana penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan, akan tetapi wacana itu semakin meredup seiring Jokowi aktif untuk mendukung atau mengkondisikan Capres pilihannya. Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto. Kecenderungan terkuat tampaknya kepada Ganjar Pranowo. Meski dengan terpaksa.  Mengapa terpaksa? Karena Jokowi kehilangan momentum untuk menjadi penentu atas Ganjar Pranowo sang jagoan awal yang kemudian ia tinggalkan saat tergoda untuk melirik Prabowo. Sementara Megawati merebut Ganjar atas dasar kalkulasi untuk masa depan PDIP. Meski harus mengorbankan karier dekat puterinya Puan Maharani. Ganjar yang direbut paksa membuat shock Jokowi. Ia limbung.  Meski Jokowi mencoba memperbaiki posisi tetapi Ganjar kini sudah milik Megawati dan PDIP. Jokowi menjadi bukan penentu tetapi penyerta saja bahkan singgasana pun  harus direlakan untuk dimanfaatkan.  Jokowi panik menjelang tumbang. Tumbang normal pada tahun 2024 dan atas kecelakaan jika harus lengser sebelum 2024. Dua hal yang mungkin terjadi dalam proses politik.  Kepanikan jika harus meninggalkan Istana pada tahun 2024 adalah ketidakpastian jaminan akan diri dan keluarga pasca tidak berkuasa. Jikapun Ganjar menjadi Presiden, Jokowi akan tetap berat berhadapan dengan tuntutan rakyat atas hutang dan beban berbagai kebijakan politiknya. Ganjar Pranowo yang berada di bawah kendali Megawati potensial melepas Jokowi tanpa perlindungan. Itu jika Ganjar sebagai pemenang. Nah jika ternyata Anies Baswedan yang justru menjadi Presiden, maka lebih celaka lagi bagi Jokowi. Anies Baswedan akan didesak oleh rakyat untuk mengaudit kekayaan Jokowi dan memproses hukum atas berbagai pelanggaran yang dilakukan selama menjabat sebagai Presiden.  Kepanikan terbesar adalah jika ada tekanan rakyat yang meminta dirinya mundur atau mungkin dimundurkan segera. Gaung pemakzulan yang akan menggema.  Manuver politik menuju 2024 yang dilakukan Jokowi semakin tak terkendali. Bergerak di antara usaha \"menyingkirkan\" Anies, merebut kembali kendali atas Ganjar serta mengobati dan memulihkan kepercayaan \"penghianatan\" kepada Prabowo.  Berbagai manuver tak terkendali akan menjadi boomerang. Menggali kuburan sendiri untuk mengisinya lebih cepat.  Blunder politik akan mempertajam perpecahan internal di lingkungan Istana. Publik sudah tahu dan bisa membaca antara Megawati dan Jokowi sebenarnya \"tidak akrab\" begitu juga dengan  partai koalisi yang sedang bergerak sendiri-sendiri mencari posisi. Ketaatan pada Jokowi hanya basa-basi. Ketika mengumpulkan partai koalisi di istana ia menyatakan tidak melanggar konstitusi karena bertindak sebagai politisi. Ia lupa jika sebagai politisi memanfaatkan fasilitas negara itu yang disebut sebagai melanggar konstitusi. Masuk kategori \"perbuatan tercela\" yang menjadi elemen untuk impeachment.  Manuver terdekat Jokowi adalah Musra relawan tanggal 14 Mei 2023 di GBK Senayan. Disebut sebagai puncak Musra. Jokowi akan hadir untuk memberi komando. \"Kita tunggu bersama apa yang akan diperintahkan Jokowi kepada kami semua di acara puncak Musra\", kata Budi Arie Setiadi Ketum DPP Projo. Kehadiran Jokowi dipastikan oleh DPP Projo tersebut.  Kebingungan Jokowi menjelang tumbang akan terbaca dari perintah di Musra besok. Jika diarahkan untuk dukung Ganjar sebagai Capres maka itu pertanda Jokowi sudah sesak nafas berada di bawah arus kuat komando Megawati \"pemilik\" Ganjar Pranowo. Jika semangat mendorong Projo agar mendukung Prabowo, maka itu indikasi bahwa perpecahan elit politik Istana sudah semakin nyata.  Memang kalau seseorang sudah mendekati ajal maka saat \"sakaratul maut\" ia meronta-ronta dengan tak jelas pegangan. Penuh ketakutan dan kekhawatiran akibat dosa-dosa yang bertumpuk.  Pak Jokowi tidak terkecuali. Meronta menjelang tumbang. (*)

Sejarah yang Dibelokkan

Oleh Daniel Mohammad Rosyid - Rosyid College of Arts NEGERI ini sudah diproklamasikan kemerdekaanya oleh Soekarno-Hatta nyaris 78 tahun silam, namun fakta-fakta yang saya temui justru menunjukkan bahwa kemerdekaan itu makin menghilang. Indeks Pembangunan Manusia kita di papan bawah, angka kemiskinan bertahan di 11%, rasio gizi bertahan buruk mendekati 0.4, angka gizi buruk stunting 20%. Bahkan Indeks Persepsi Korupsi kita tetap buruk setelah 20 tahun reformasi. Pendidikan kita hanya menyiapkan jongos ekonomi dan Pemilu hanya menjadikan jongos ekonomi itu menjadi jongos politik. Bahkan presiden sekalipun hanya jongos partai politik. Saat banyak jalan di kawasan perkotaan dibangun tanpa trotoar bagi pejalan kaki, maka kita bahkan gagap memasuki pintu gerbang kemerdekaan itu karena tidak mampu menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka dari penjajahan, yaitu jiwa merdeka.  Perampasan kemerdekaan itu dimulai dengan mengingkari konstitusi UUD 1945 sebagai sebuah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan memalsukannya dengan sebuah konstitusi baru yang norma-norma dasarnya berubah sama sekali. Pemalsuan konstitusi ini adalah sebuah makar tersembunyi. Kedaulatan rakyat yang dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat digusur oleh persekongkolan para elite partai politik dan para taipan pemilik modal. Hikmah hilang, pragmatisme hedonistik merasuk ke hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila telah dikubur di bawah kaki kaum nasionalis sekuler dan kiri radikal, namun mereka ini malah menuduh Islam sebagai ancaman terhadap Pancasila dan NKRI.  Narasi islamophobia ini adalah agenda lanjutan kekuatan-kekuatan nekolimik pelemahan Islam sebagai kekuatan dan sumber inspirasi perlawanan terhadap penjajahan. Upaya sistematik, terstruktur dan masif terus dilakukan untuk menempatkan Islam sebagai ideologi asing yang berbahaya bagi kelangsungan NKRI. Peran tokoh Islam sejak pra-kemerdekaan, persiapan kemerdekaan, dan pasca proklamasi dicoba dihilangkam dari ingatan kolektif bangsa ini, terutama generasi mudanya. Islam telah menggagalkan upaya aboriginasi bangsa ini. Islam tidak saja mempersatukan berbagai suku negeri kepulauan seluas Eropa ini, namun telah menyiapkan imajinasi baru yang disebut bangsa Indonesia melampaui tribalism sehingga negara ini layak disebut sebagai sebuah nation state, bukan tribal state. Diskriminasi ras di Eropa dan Amerika serta China yang masih ada hingga hari ini menunjukkan bahwa kedua adi kuasa ini pun gagal menjadi truly nation states. Sejarah sebuah bangsa adalah ingatan kolektif yang memberi rujukan bagi identitas dan eksistensi sebuah bangsa. Seperti CPU membutuhkan ROM dan memory, sebuah bangsa dengan sejarah yang rusak tidak akan mampu menjaga eksistensinya karena tidak mampu belajar. Belajar adalah proses memaknai pengalaman, sedangkan sejarah adalah repertoir pengalaman bangsa itu. Bangsa manapun yang tidak belajar akan musnah. Mengatakan Islam dan tokoh-tokoh Islam adalah musuh Pancasila dan NKRI tidak saja membelokkan sejarah negeri ini sebagai ingatan kolektif bangsa ini, tapi juga sekaligus mengancam peran potensialnya untuk mewarnai Abad Asia ini di tengah kebangkitan China dan India. Pada saat kaum nasionalis dan kiri radikal menyerang Islam dengan membangkitkan agenda tradisi lokal yang tribalistik, maka ingatlah bahwa membayangkan Indonesia tanpa Islam hanya mimpi buruk mereka di siang bolong. (*)