Politik Patung Sukarno Ridwan Kamil
Oleh Dimas Huda, Wartawan Senior FNN
PATUNG Sukarno ada di mana-mana. Di Kantor Kemenhan ada patung Sukarno. Patung Sukarno juga ada di Lemhannas, di Akademi Militer Magelang, di Stadion Gelora Bung Karno, di Semarang, di Blitar, di Solo, di Gerbang Bandara Soekarno-Hatta, di Palu, di Bandung, Polder Tawang, di Bandar Lampung dan banyak lagi.
Begitu Joko Wododo berkuasa, Megawati menggeber pembangunan patung Sukarno. Ketua Umum PDI Perjuangan ini bertekad membangun patung di semua daerah.
Sudah ada 33 patung Sukarno sejak tahun 1980. Peresmian patung saban tahun terjadi. Pada tahun 2021 ada 7 patung. Pada saat itu, sepanjang 2017-2021, pembangunan patung Sukarno naik 120%. Kini, lebih banyak lagi. Patung-patung itu dibangun dengan duit negara.
Mega bilang Sukarno adalah proklamator, bapak bangsa, dan pahlawan nasional yang bisa ditiru oleh generasi muda. “Bikinlah di setiap daerah patung beliau,” titah Mega.
Kala itu, tanggal 28 Oktober 2021, Mega bicara dalam acara virtual Peresmian dan Penandatanganan Prasasti Taman UMKM Bung Karno. Ucapan Mega idu geni, sakti. Maklum Presiden Joko Wododo adalah petugas partai, PDIP. Dan seluruh kepala daerah di negeri ini adalah anak buah presiden.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mempersembahkan keinginan Mega tersebut dalam momentum yang terukur. Emil merencakan pembangunan patung Sukarno setinggi 22,3 meter. Ini bakal menjadi patung Sukarno paling menjulang di Indonesia. Biayanya sekitar Rp15 miliar. Jangan tanya duit dari mana. Jelas duit negara.
Groundbreaking patung itu sudah dilakukan saat sebagian umat Islam merayakan Iduladha, 28 Juni lalu. Emil hadir bersama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.
Langkah gesit Emil patut diduga sebagai langkah politik mendekati pemilihan umum (2024). Ini kesempatan. Mumpung para bakal capres belum memiliki pasangan. Bisa diduga Emil bernafsu ingin berpasangan dengan Capres PDIP Ganjar Pranowo.
Jika bukan itu, tentu publik bisa membaca Emil sedang main zig-zag. Dia ingin menunjukkan bahwa dirinya lebih cocok dekat dengan PDIP. Ketimbang, misalnya, Partai Nasdem. Harap diingat Partai Nasdem adalah partai pertama pengusung Emil, sebelum 3 partai lain, untuk duduk di kursi empuk Jabar-1.
Membangun patung dan tugu peringatan seharusnya memang bukan hal yang perlu dipersoalkan. Kita menyadari patung sebagai monumen adalah penghargaan kolektif untuk mengenang individu, peristiwa, dan aktivitas unik. Dan, untuk tujuan ini, patung dan tugu peringatan berdampak besar pada masyarakat dan budaya.
Sukarno pantas diabadikan dengan cara itu. Patung politisi dan monumen politik juga merupakan bagian penting dari sejarah dan budaya suatu negara.
Hanya saja, hal yang mengkhawatirkan adalah ketika tugu peringatan semakin banyak dibangun dengan tujuan semata-mata untuk ekspansi politik. Lebih mengkhawatirkan lagi, pembuat kebijakan terus menikmati monopoli virtual dalam membangun monumen dan mendirikan patung di ruang publik.
Jika ini terjadi, sudah sepantasnya kita belajar peristiwa di negara lain. Tengok saja peristiwa ketika patung Thomas Edison, memegang bola lampu pijar, menggantikan patung William Allen, seorang Demokrat Ohio yang menjabat dua periode di Senat AS dan terpilih sebagai gubernur.
Bukan hanya Ohio di mana patung seorang politisi telah digantikan oleh seorang non-politisi; itu terjadi di negara bagian lain seperti Alabama, Iowa, dan Carolina Utara.
Sudah saatnya negeri ini punya aturan dalam masalah pembangunan tugu peringatan/patung, penggantian nama gedung, dan penggantian nama jalan, dll sehingga tidak diboncengi kepentingan politik, seperti kasus Ridwan Kamil.
Patung Sukarno sudah ada di Bandung dan tidak perlu diternak terus menerus. Emil tentu juga sudah tahu bahwa sang proklamator adalah Sukarno-Hatta. Bukan Sukarno seorang. Lebih jauh lagi, Sukarno adalah tokoh dan pendiri PNI yang partainya kurang diminati di Jawa Barat. Orang Jawa Barat lebih memilih Masyumi. Jadilah Jawa Barat dengan benar.
Toh, Emil boleh jadi lebih memperhatikan kata-kata Jean Sibelius: “Jangan perhatikan apa yang dikatakan para kritikus. Sebuah patung tidak pernah didirikan untuk menghormati seorang kritikus.”®