Ketika Orang Terkuat Merasa Terzolimi
Khutbah panjang Presiden Jokowi pada 16 Agustus 2023 di gedung DPR tak memberikan gambaran dan harapan yang adil bagi rakyat Indonesia. Di awal khutbahnya ia lebih senang mengeksploitasi penderitaan dirinya ketimbang merasa bersalah terhadap keputusan, peraturan, dan kebijakan yang diambil seorang Presiden.
Tampaknya ia tak suka dianalogikan sebagai lurah. Ia orang hebat, tak sekelas lurah. Sebagaimana tahun lalu ia mengundang seorang anak ke istana untuk menyanyikan lagu "Ojo Dibanding-bandingke". Ini menyiratkan bahwa seorang presiden di Indonesia tak bisa dibandingkan dengan siapa pun, termasuk dengan pemimpin sebelumnya, apalagi dengan seorang lurah. Ingat kan, "Tak ada visi menteri, yang ada visi presiden". Produk hebat ini jangan dilombakan, sebab sudah pasti menang.
Ia juga ingin mengingatkan bahwa semua pekerjaan adalah hasil pemikiran dan keputusannya, maka tak elok kalau ia disalahkan, digoblog-goblogkan, ditolol-tololkan, serta difiraunkan. Sungguh tak punya adab jika ada orang yang menghina dan mencaci presidennya.
Presiden merasa sedih bahwa budaya santun budi pekerti luhur bangsa ini mulai hilang. Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah. Polusi di wilayah budaya ini sangat melukai keluhuran budi pekerti bangsa Indonesia.
Tampaknya presiden lupa, siapa yang memelihara buzzer yang setiap hari menggonggong dan menyalak terhadap yang berbeda. Lolongan buzzernya jauh dari pekerti yang baik.
Setelah mengeluh, presiden lalu membacakan pidatonya. Ritual tahunan itu lebih banyak memaparkan hasil pekerjaan selama setahun terakhir yang semu. Capaian-capaian yang diklaim, semuanya kontradiksi dengan yang ada di lapangan. Busung lapar masih tinggi, pengangguran merajalela, kriminalitas meningkat, korupsi meroket, dan banjir tenaga kerja asing Cina masih mewabah.
Presiden seharusnya menjelaskan soal IKN yang kontroversial. Ini menyangkut masalah kedaulatan dan masa depan anak bangsa.
Presiden seharusnya menjelaskan soal Kereta Cepat Bandung dan proyek raksasa lainnya. Ini menyangkut soal kelangsungan bisnis dan masa depan ekonomi Indonesia.
Presiden seharusnya menjelaskan soal karpet merah tenaga kerja asing Cina di Indonesia agar buruh Indonesia tidak merasa dibuang. Ini menyangkut pembelaan dan perlindungan terhadap anak bangsa sendiri.
Presiden dengan kekuasaannya yang absolut seharusnya bisa menghentikan buzzer buzzer kebal hukum dan tak beradab, tak beretika, dan tak punya budi pekerti yang baik. Inilah bibit perang saudara yang terus tumbuh bersemi.
Presiden seharusnya minta maaf telah membiarkan tuduhan radikal, intoleran, dan antiNKRI tetap berlangsung pada umat Islam.
Apakah Saudara Presiden - pemegang kekuasaan tertinggi dan terkuat - tidak melihat ini?
Semua tak berkutik di depan presiden, kecuali oposisi. Para ketua partai hanya bisa tunduk dan patuh. Airlangga Hartarto yang berbadan besar dan punya partai besar kalah terhadap presiden yang berbadan kecil dan tak punya partai.
Prabowo yang "Macan Asia" harus bertekuk lutut pada "Kucing Boyolali", Habib Rizieq yang pekik takbirnya menggelegar, kini suaranya pelan menghilang. Kurang kuat apalagi wahai presiden.
Akhirnya kita harus mengakui sebagaimana dikatakan Gus Mus bahwa tipikal bangsa ini hanya ada dua: majikan dan jongos. Selama 350 tahun bangsa ini telah diperjongos oleh majikan. Setelah majikan berhasil kita usir, maka jongos yang berubah menjadi majikan, kejahatannya melebihi majikan yang terdahulu.
Pemimpin seharusnya memberikan motivasi dan optimisme, bukan mengeluhkan sesuatu yang tak semestinya, apalagi tentang pribadi. Itu playing victim namanya. (*)