Reformasi Polri: Potong Satu Generasi
POLRI berdiri di simpang jalan sejarah. Mandat konstitusional untuk melindungi dan mengayomi rakyat kini terancam oleh budaya lama yang menutup diri, impunitas, serta orientasi kekuasaan. Reformasi kepolisian yang digulirkan sejak dua dekade lalu belum juga menyentuh akar persoalan. Yang muncul baru reformasi prosedural, bukan kultural. Kini saatnya langkah berani diambil: potong satu generasi untuk menyelamatkan masa depan Polri.
Makna “memotong satu generasi” bukanlah ajakan untuk membinasakan, melainkan membersihkan. Generasi lama yang masih terjebak dalam pola pikir feodal dan militeristik mesti digantikan oleh kepemimpinan baru yang profesional, akuntabel, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Reformasi sejati tak mungkin lahir tanpa perombakan kepemimpinan. Sejarah menunjukkan, setiap lembaga yang gagal memperbarui dirinya akan tumbang di tangan zaman.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 sudah menegaskan posisi Polri sebagai alat negara penegak hukum yang mandiri dan terpisah dari militer. Namun, hukum di atas kertas tidak otomatis menjelma dalam tindakan. Amnesty International dalam Unfinished Business: Police Accountability in Indonesia (2009) mencatat lemahnya mekanisme akuntabilitas dan masih kuatnya budaya impunitas. Human Rights Watch pun menyoroti penggunaan kekerasan berlebihan terhadap warga sipil. Kelemahan ini tak hanya melukai publik, tetapi juga merusak kehormatan Polri itu sendiri.
Reformasi tanpa pergantian generasi kepemimpinan hanya melahirkan “reformasi setengah hati”. Harold Crouch dalam Political Reform in Indonesia after Soeharto menegaskan bahwa perubahan sejati menuntut keberanian mengganti elit lama yang mengakar pada struktur lama. Muhamad Haripin dan Sarah Nuraini Siregar dalam kajian BRIN (The Defects of Police Reform in Indonesia) menyebut reformasi Polri gagal karena lebih menitikberatkan pada instrumen birokrasi, bukan transformasi budaya.
Langkah radikal diperlukan. Pertama, audit etik dan kinerja terhadap perwira menengah dan tinggi harus dilakukan melalui mekanisme vetting terbuka. Mereka yang terindikasi menutup pelanggaran atau melakukan penyalahgunaan kekuasaan mesti dipensiunkan dini secara terhormat. Kedua, perkuat lembaga pengawas eksternal yang benar-benar independen. Komnas HAM dan Ombudsman harus memiliki akses penuh terhadap penyelidikan kasus pelanggaran.
Ketiga, Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) mesti direformasi total agar tidak menjadi “polisi di antara polisi” yang kehilangan objektivitas. Keempat, pendidikan ulang dengan kurikulum baru berbasis HAM, community policing, dan de-eskalasi konflik wajib diterapkan. Seperti ditegaskan dalam Handbook on Police Accountability, Oversight and Integrity terbitan UNODC, integritas hanya tumbuh melalui sistem pendidikan dan penghargaan yang konsisten.
Kofi Annan pernah berkata, “Tanpa keadilan, tak akan ada perdamaian yang abadi.” Pesan itu relevan bagi Indonesia. Tanpa akuntabilitas yang nyata atas pelanggaran aparat, reformasi Polri hanya menjadi jargon. Rakyat membutuhkan tindakan nyata, bukan pernyataan normatif. Proses hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu, agar rasa percaya publik dapat tumbuh kembali.
Tentu, langkah ini tidak mudah. Akan ada resistensi dari dalam tubuh kepolisian sendiri. Namun, keberanian untuk berubah adalah ukuran sejati profesionalisme. Seperti halnya bangsa-bangsa lain yang sukses menata ulang lembaga kepolisiannya—Jepang pasca-Perang Dunia II, atau Georgia pasca-revolusi mawar—reformasi menyakitkan pada awalnya, tetapi menyelamatkan di kemudian hari.
Reformasi Polri bukan semata proyek kelembagaan, melainkan fondasi bagi masa depan demokrasi Indonesia. Polisi adalah wajah pertama negara di mata rakyat. Bila wajah itu keras dan tak ramah, maka kepercayaan publik akan lenyap. Sebaliknya, bila Polri menegakkan hukum dengan nurani dan akal sehat, rakyat akan kembali percaya bahwa negara berpihak pada keadilan.
Kini pilihan di tangan pemerintah dan pimpinan Polri: mempertahankan status quo atau memotong satu generasi demi lahirnya kepolisian baru yang profesional, humanis, dan bersih. Reformasi Polri bukan opsi—ia adalah keniscayaan sejarah. (*)