ETH Kaltim: Hibah Pemkab Kutim ke Kepolisian dan Kejaksaan Berpotensi Langgar Hukum
SAMARINDA, FNN - Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang menggelontorkan dana hibah untuk Aparat Penegak Hukum (APH) di wilayah Kalimantan Timur menuai sorotan tajam. Lembaga Pemantau Elang Tiga Hambalang Kalimantan Timur (ETH Kaltim) menilai kebijakan itu berpotensi melanggar hukum dan mengganggu independensi penegakan hukum di daerah.
Dalam nota kajian resmi yang diterima redaksi, ETH Kaltim menilai pemberian hibah kepada instansi vertikal seperti Kepolisian dan Kejaksaan tidak bisa dilakukan sembarangan. Secara konstitusional, lembaga-lembaga tersebut berada di bawah pemerintah pusat, sehingga anggaran pembangunan maupun operasionalnya harus bersumber dari APBN, bukan APBD.
“Kedudukan Kejaksaan dan Kepolisian merupakan instansi vertikal pemerintah pusat. Anggaran pembangunan dan operasional mereka tidak boleh dibiayai dari APBD,” tegas ETH Kaltim dalam hasil kajian hukumnya sebagaimana dikutip dari Sidikpolisinews, Sabtu, 25 Oktober 2025.
ETH Kaltim mengutip Pasal 300 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang memperbolehkan bantuan keuangan kepada instansi vertikal hanya jika mendukung urusan pemerintahan daerah dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Namun, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 menegaskan bahwa hibah semacam itu tidak boleh bersifat rutin, tidak boleh digunakan untuk operasional, dan harus berbasis perjanjian kerja sama (MoU) yang jelas manfaat publiknya.
ETH Kaltim menemukan indikasi bahwa sebagian hibah berpotensi menyimpang dari ketentuan tersebut, terutama jika digunakan untuk pembangunan fisik gedung, markas, atau fasilitas utama APH. Kegiatan semacam itu, menurut lembaga ini, merupakan urusan pusat yang wajib dibiayai oleh APBN, bukan oleh pemerintah daerah.
“Jika digunakan untuk pembangunan fasilitas instansi vertikal, maka kebijakan hibah tersebut bisa masuk kategori pelanggaran terhadap Undang-Undang Keuangan Negara,” tulis ETH Kaltim.
Lebih jauh, ETH Kaltim mengingatkan bahwa praktik hibah kepada APH juga dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, aparat penerima hibah adalah pihak yang memiliki kewenangan menindak kasus hukum di wilayah yang sama.
“Pemberian dana hibah kepada APH tanpa dasar hukum yang kuat dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap netralitas dan independensi penegakan hukum,” tegas lembaga itu.
ETH Kaltim merekomendasikan agar setiap hibah kepada instansi vertikal hanya dilakukan jika memenuhi tiga syarat utama:
Pertama, ada MoU resmi dan manfaat publiknya terukur. Kedua, tidak digunakan untuk pembangunan fisik atau kegiatan rutin. Ketiga, disetujui DPRD dan tercantum secara sah dalam dokumen APBD.
Lembaga itu memperingatkan, jika syarat tersebut diabaikan, kebijakan hibah dapat menjadi objek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan penegakan hukum oleh aparat berwenang.
ETH Kaltim juga berencana melakukan verifikasi lapangan untuk memastikan penggunaan dana hibah tersebut tidak keluar dari koridor hukum.
“Kami akan memantau dan memverifikasi langsung agar publik tahu ke mana dana hibah itu sebenarnya mengalir,” tutup pernyataan ETH Kaltim. (DH)