Dugaan Korupsi Bansos Rp2,85 Triliun: Mengapa Pramono Anung Mempertahankan Arief Nasrudin?

Arief Nasrudin. Ist

JAKARTA, FNN | Kasus dugaan korupsi bansos Rp2,85 triliun di DKI Jakarta menyisakan tanya. Nama Arief Nasrudin—eks Dirut Pasar Jaya, kini Dirut PAM Jaya—tak tersentuh hukum, tapi tetap dipercaya Gubernur Pramono Anung.  

Pintu kaca kantor PT PAM Jaya di kawasan Penjaringan itu tampak tenang. Arief Nasrudin, Direktur Utama perusahaan air minum milik Pemprov DKI, masih berkantor seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda keresahan di balik ruang kerjanya, meski namanya kembali disebut dalam pusaran kasus lama: dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19 senilai Rp2,85 triliun.

Kasus itu mencuat dari program tanggap darurat pandemi 2020, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah Gubernur Anies Baswedan menyalurkan bantuan sembako bagi warga terdampak. Dana Rp3,65 triliun digelontorkan, dengan porsi terbesar—Rp2,85 triliun—dikelola oleh Perumda Pasar Jaya, yang kala itu dipimpin Arief.

Namun di lapangan, laporan publik dan temuan awal lembaga antikorupsi mengindikasikan adanya maladministrasi serius. Vendor yang tak punya pengalaman logistik tiba-tiba ikut menyalurkan bantuan: perusahaan servis AC, SPBU, bahkan kontraktor bangunan. Dari pengadaan itu, timbul selisih nilai sekitar Rp150 miliar yang hingga kini belum terjelaskan.

SP3 Hantu dan Kejanggalan Hukum  

Tiga nama utama terseret dalam kasus ini: Arief Nasrudin, Kepala Dinas Sosial DKI Premi Lasari, dan Kepala Bidang Banjamsos Ika Yuli Rahayu. Namun empat tahun berselang, tak satu pun ditetapkan sebagai tersangka. Rumor pun merebak: penyidikan dihentikan, konon dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang misterius.

“Rumor SP3 ini hanya pesan untuk Gubernur Pramono Anung agar tidak mencopot Arief Nasrudin,” kata Uchok Sky Khadafi, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA).
  
Menurut Uchok, sinyal itu ganjil: “Bagaimana mungkin orang yang terindikasi kuat dalam pengelolaan dana bansos sebesar itu masih dipercaya mengelola perusahaan vital seperti PAM Jaya?”

Kejaksaan Agung maupun KPK hingga kini tak pernah mengonfirmasi penerbitan SP3. Beberapa sumber di kalangan aktivis antikorupsi menyebut kasus itu “dibiarkan dingin”, tanpa keterangan resmi penghentian.

Jejak Lama, Jabatan Baru  

Di kalangan birokrasi DKI, Arief dikenal sebagai pejabat yang lihai bertahan. Setelah masa jabatan di Pasar Jaya berakhir, ia kembali dipercaya Gubernur Pramono Anung untuk memimpin PAM Jaya—perusahaan strategis yang mengelola layanan air bersih ibu kota.

Langkah ini memicu tanda tanya publik. Keputusan ini seperti bentuk pembiaran moral. Bagaimana mungkin pejabat yang namanya pernah disebut dalam kasus keuangan triliunan rupiah tidak dievaluasi?

Konon, Arief memang kerap dianggap bagian dari lingkaran teknokrat Pemprov DKI yang “serba bisa”—mengatur logistik, proyek pasar, hingga layanan air. Namun reputasinya kini dibayangi persoalan yang tak kunjung tuntas.

Di Antara Politik dan Hukum  

Sumber di Balaikota menyebut, posisi Arief dianggap “aman” karena keberadaannya strategis dalam proyek-proyek air minum yang menjadi kebanggaan gubernur. Tapi bagi aktivis antikorupsi, ini adalah preseden buruk.

“Bansos adalah uang rakyat,” tegas Uchok Sky. “Dana sebesar Rp2,85 triliun itu bisa membangun ratusan sekolah dan membantu ribuan keluarga miskin di Jakarta. Mengapa kasus sebesar ini tidak disentuh hukum?”

Dalam lanskap hukum Indonesia, kasus bansos memang sensitif. Ia sering bersentuhan dengan kebijakan darurat, celah birokrasi, dan kepentingan politik lokal. “Bila tak diselidiki tuntas,” kata Firdaus, “ia akan menjadi simbol ketidakadilan baru: bahwa korupsi bisa dihapus hanya dengan jabatan.”

Empat tahun sudah berlalu sejak rakyat menerima paket-paket bansos itu—sebagian rusak, sebagian tak sampai. Kini, nama-nama di baliknya justru naik pangkat.  

Kantor PAM Jaya tetap bersih, keran-keran tetap mengalir, tapi bau ketidakadilan seperti masih menetes pelan di antara pipa-pipa itu. (Dimas Huda)

29

Related Post