Petani Miskin Ini Terusir dari Tanah Kelahiran, Ulah Mafia Tanah Bikin Resah
Samarinda, LIRANEWS.COM | Korban mafia tanah terus bermunculan. Kali ini menimpa keluarga La Singga (80) bersama 25 anak dan cucunya. Mereka kini tinggal di sebuah gubuk terbuat dari seng dan spanduk bekas berdiri di atas lahan seluas 4x5 m persegi di pinggir jalan.
Peristiwa memilukan ini terjadi pada 15 September 2015 antara keluarga miskin La Singga dengan PT Sumber Mas Timber di kawasan Jalan H.M. Ardans (Ring Road III), Kelurahan Air Hitam, Samarinda Ulu, Kalimantan Timur usai Pengadilan Negeri Samarinda melakukan eksekusi berdasarkan Putusan Nomor 15/Pdt.G/2023/PN.Smr.
Proses eksekusi dilaksanakan di bawah pengamanan ketat aparat kepolisian. Keluarga La Singga melakukan perlawanan seadanya menghadapi kuatnya aparat negara.
Keluarga La Singga meyakini bahwa proses pengadilan dilakukan dengan penuh rekayasa, manipulasi, dan kongkalikong antara penasihat hukum yang lama dengan pihak pengadilan dan perusahaan.
Keyakinan ini juga dibenarkan oleh penasihat hukum La Singga yang baru, Sunarti, SH, MH alias Xena yang kerap dijuluki pengacara Bolang.
"Memang klien kami awalnya didampingi penasihat hukum, tetapi sepertinya hanya formalitas. Saya menduga fungsinya hanya untuk memuluskan pihak perusahaan memperoleh kemenangan. Ini diperkuat dengan pengakuan keluarga La Singga bahwa selama persidangan hanya dihadiri oleh penasihat hukum yang lama. Pihak keluarga jarang ikut sidang. Aneh, saat eksekusi pengacara lama mengundurkan diri," papar Xena, Sabtu, 22 November 2025 di Samarinda.
Oleh karena itu Xena meminta DPRD Kota Samarinda untuk duduk bersama para pihak mengurai masalah pengadilan yang prosesnya tidak lazim ini. "Saya berharap semua pihak duduk bersama difasilitasi DPRD untuk menguji kejujuran mereka," tegasnya.
Sebelumnya kata Xena, memang DPRD pernah turun tangan, tetapi tidak semua pihak dihadirkan. DPRD malah menyarankan keluarga La Singga ikhlas menerima putusan pengadilan.
Padahal, maksud Xena, DPRD berdiri di tengah menyikapi pengadilan sesat yang sudah diputuskan dengan penuh rekayasa.
Hal senada disampaikan oleh Rustani SH partner Xena. Ia mengatakan pola-pola pemaksaan kehendak menjadi pola lazim yang dilakukan oleh para mafia tanah. Putuskan dulu pengadilan, lalu ribut belakangan, yang penting mereka sudah punya putusan pengadilan, meskipun cara dan prosesnya dengan melakukan rekayasa.
Rustani yang sudah puluhan tahun menangani masalah tanah di Kalimantan, paham betul cara kerja mafia tanah. Korbannya selalu rakyat kecil yang minim pengetahuan hukum.
"Mafia tanah ini sulit diberantas. Mereka akan selalu ada, bahkan sampai kiamat kurang dua hari, mereka masih eksis," katanya geram.
Kata Rustani, jika pemerintah tutup mata terhadap keadaan ini, jangan harap ada keadilan bagi rakyat kecil. Mereka akan selalu dikalahkan oleh pemilik modal dengan dalih putusan pengadilan. "Jusuf Kalla saja dilibas, apa lagi rakyat miskin," tegasnya.
Sementara keluarga La Singga yang merasa tertindas hanya bisa mengutuk pemerintah dan siapapun yang mendukung kesewenang-wenangan hukum. Mereka melampiaskan kepasrahan itu dan bersumpah atas nama Tuhan dalam bentuk poster yang di pasang di lokasi tanah mereka.
Keluarga La Singga mengaku telah menempati lahan seluas sekitar 20.000 meter persegi (2 hektare) sejak tahun 1971. Di atas tanah itu berdiri beberapa bangunan tempat tinggal dan usaha keluarga yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
Tiba-tiba tanah tersebut diklaim oleh PT Sumber Mas Timber, perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan kayu. Sengketa kepemilikan pun mencuat dan bergulir hingga meja hijau.
Setelah melalui serangkaian persidangan di Pengadilan Negeri Samarinda, Pengadilan Tinggi hingga kasasi Mahkamah Agung, perkara tersebut dimenangkan oleh PT Sumber Mas Timber.
Pihak keluarga La Singga kaget karena pihaknya tidak pernah menjual kepada siapapun. Sementara mereka tahu persis PT Sumber Mas Timber baru masuk wilayah itu tahun 1978 setelah membeli lahan di sebelahnya.
Keluarga La Singga kemudian mendatangi DPRD Kota Samarinda untuk meminta perhatian atas nasib mereka. Mereka berharap lembaga legislatif dapat meninjau kembali proses pengadilan yang penuh kejanggalan.
Namun, DPRD menegaskan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan membatalkan putusan pengadilan.
Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, H. Samri Shaputra, S.H.I., menjelaskan bahwa pihaknya hanya dapat memediasi dan memastikan proses hukum berjalan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.
“Kami sudah beberapa kali memfasilitasi komunikasi antara keluarga La Singga dan pihak perusahaan. Namun secara hukum, perkara ini sudah final dan harus dilaksanakan. DPRD tidak dapat mengubah atau menunda pelaksanaan putusan yang sudah inkrah,” tutur H. Samri Shaputra.
Menanggapi pernyataan anggota DPRD Kota Samarinda, keluarga La Singga melalui kuasa hukumnya berharap wakil rakyat tidak boleh larut dalam skenario mafia tanah. "Apa yang disampaikan anggota DPRD adalah pernyataan normatif, seharusnya wakil rakyat bisa memahami suasana batin keluarga La Singga yang menjadi korban ketidakadilan," tegas Xena.
Seharusnya kata Xena mediasi yang dilakukan bukan bicara soal santunan, tetapi menghadirkan seluruh pihak agar terlihat siapa yang curang, culas, dan bohong.
Atas dasar ini, lanjutnya akan terungkap bahwa proses pengadilan penuh rekayasa dan manipulasi. "Dengan demikian putusan pengadilan tersebut cacat hukum dan bisa dibatalkan. Apalagi pihak keluarga La Singga berani sumpah pocong untuk meyakinkan pemerintah bahwa mereka tidak bersalah," pungkasnya.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat bahwa proses pengadilan seringkali menjadi legitimasi pemilik modal untuk menyerobot tanah orang. Pemerintah dan lembaga peradilan seharusnya mampu menjadi penengah yang bijak, agar keadilan tidak hanya berpihak pada kekuatan, tetapi juga pada fakta kebenaran. (sar)