Kekerasan Verbal Disonansi Israel-Hamas

Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior 

      DISONANSI moral 'leader' dan "leadership" perang Gaza, makin runtuh. Tak ada wibawa!
     Dunia harus bersiap menghadapi kekacauan moral dan kekacauan verbal! Karena rasa takut tak bisa diciptakan. Dengan ancaman dan intimidasi! 
    Kekacauan kawasan Timteng, akan bermula dari Gaza. Kekerasan  verbal, seperti: "menjadikan Gaza sebagai neraka" (Trump), telah melahirkan psikologi emosional bagi lawan yang diancam.
     Konsonansi, atau titik seimbang semestinya dihadirkan dari orang yang "disegani". Begitu juga resonansi sebagai asosiatif konsonansi, tak bisa diserahkan pada "leadership" yang tak punya tolok ukur (benchmarking).     
    Pelajaran empirik. "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari", telah menjadikan gencatan senjata Gaza, rapuh dan mudah runtuh. 
     "Membuat Gaza jadi neraka", mendorong Donald Trump masuk "terlalu jauh" dalam arena.  Hamas makin yakin, tak ada pilihan. Karena "bola" bukan ada di tangan mereka. Bukan pula di tangan Netanyahu. Tapi, ada di tangan Trump.
      Kepura-puraan untuk mendamaikan semasa Joe Biden. Telah berubah menjadi "outspoken", blak-blakan.  Tak ada lagi resonansi (titik seimbang) untuk "menghardik" pihak-pihak yang bertikai. Agar berhenti berperang dan saling bunuh.
    Hamas yang tak sedikit pun takut terhadap Donald Trump, berbalik mengingatkan. Tak ada cara lain pembebasan sandera, kecuali melalui negosiasi. Semacam pesan, kekekerasan verbal, tidak laku bagi Hamas.
     Patuhi persyaratan perjanjian gencatan senjata. Itulah yang gerakan perlawanan Islam (Harakat sl-Muqawama al-Islamiyya/Hamas) ini "takuti", bukan Trump. Bukan pula Netanyahu.
     "Kami katakan pada seluruh dunia. Tidak ada migrasi kecuali ke Yerusalem." Itulah respon berani Hamas terhadap kekerasan verbal Donald Trump. Menyangkut memukimkan rakyat Gaza ke Mesir, Yordania.
     Ancaman Trump, agar Hamas membebaskan seluruh 70-an sandera Israel. Tidak diperdulikan Hamas. Hamas hanya telah membebaskan tiga sandera (15/2): Sagui Dekel-Chen, Iair Horn, dan Sasha Troufanov. Kini sudah di tangan IDF.
     Terlalu 'hiperbolik' untuk memgatakan Hamas telah memenangkan "psywar" terhadap Israel, juga Donald Trump. 
     Namun ada yang menarik, pembebasan sandera Palestina oleh Israel kali ini. Israel meng-imitasi, meniru cara Hamas membebaskan rakyat Palestina. Kali ini, ratusan tahanan Palestina telah didandani rapi. Seolah Israel ingin mengatakan. "Kami manusiawi".
     Biasanya tirus, kurus, lusuh, tahanan Palestina dipakaikan kemeja bergambar "Awal Zaman Daud". Ber-'banner': "Kami tidak akan melupakan, atau memaafkan" . Dalam bahasa Arab, seolah Israel ingin mengatakan. "Hamas kejam".
      Kekerasan fisik dan mental,  kurang tudur, kelaparan di penjara Israel.  Dialami oleh para  tahanan Palestina.  
     Dilaporkan oleh Pusat Informasi Israel untuk HAM yang berjudul. "Selamat datang di neraka" (2024). Merilis 55 tahanan Palestina yang dibebaskan. Memperlihatkan "gap", antara perlakuan Israel dan Hamas terhadap tawanan.
      Fase ke-6, dari tujuh fase tahap ke-1, telah berjalan baik. Sabtu depan, sebelum memasuki perundingan Tahap ke-2, akan menuntaskan jumlah 33 sandera Israel yang  dibebaskan.
      Bagaimana kelanjutannya. Masih teka-teki. Terlebih bila AS tidak berupaya mendinginkan keadaan. Minggu depan, masih teka-teki. (*)

179

Related Post