Viral Dugaan Bupati Kutai Timur Jual APBD Rp600 Miliar ke Haji Herman

Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman dan Kabid Bappeda Marhadyn. Foto: FNN.asia

JAKARTA, FNN--Di balik kemenangan politik, tersimpan tagihan raksasa. Dugaan barter proyek senilai Rp600 miliar antara Bupati Kutai Timur dan seorang pengusaha tambang menyeret birokrasi ke dalam pusaran korupsi. Dari Balikpapan, aroma “utang Pilkada” kini menyesaki udara Sangatta—meninggalkan jejak gelap dalam tubuh APBD 2025.

Sore itu, awal Oktober 2025, sebuah kafe di sudut Jalan Jenderal Sudirman, Balikpapan, menjadi saksi pertemuan empat orang yang kelak disebut sebagai “titik awal” kisruh anggaran Kutai Timur. Tak ada tanda-tanda mencolok—hanya secangkir kopi, obrolan datar, dan tawa sesekali. Namun di balik meja kayu itu, sedang dibicarakan hal besar: dugaan barter kekuasaan dan uang dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutai Timur 2025. 

Di sana hadir Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman, Kabid Bappeda Marhadyn, staf kepercayaan bupati Anggara, dan pengusaha tambang asal Balikpapan Haji Herman. Menurut laman fnn.asia yang sempat viral, topik yang mereka bahas adalah “utang politik” yang harus dibayar setelah Pilkada 2024.

“Haji Herman minta proyek besar dari APBD 2025. Katanya, untuk menutup dana yang sudah keluar waktu pilkada,” ujar sumber itu.

Bayangan Balas Jasa 

Nama Haji Herman memang tak asing di lingkaran tim pemenangan Ardiansyah–Mahyunadi (ARMY). Dalam laporan FNN.asia berjudul “Bupati bersama Marhadyn jual 600 miliar APBD Kutim ke Haji Herman”, disebutkan nilai kesepakatan politik itu mencapai Rp600 miliar—angka yang menggetarkan.

Sejak saat itu, posisi Marhadyn melonjak. Pejabat struktural yang sebelumnya jarang terdengar, tiba-tiba memegang kendali penuh atas perencanaan anggaran Kutim. Ia disebut menentukan struktur APBD, mengatur proyek prioritas, bahkan terlibat langsung dalam pembahasan tender.

“Sekarang semua lewat dia,” kata seorang pejabat Bappeda yang meminta namanya disamarkan. “Plt Kepala Bappeda Noviari Noor seperti kehilangan kewenangan.”

Jaringan Proyek yang Tersusun Rapi 

Beberapa kontraktor lokal di Sangatta mulai curiga. Sejak Maret hingga September 2025, hampir tak ada tender besar yang berjalan. “Tapi perusahaan tertentu yang dekat dengan Haji Herman malah bisa langsung kerja,” kata seorang pengusaha konstruksi.

Sumber lain di lingkungan Bappeda menyebut, daftar kegiatan dalam APBD Perubahan 2025 diatur agar proyek-proyek tertentu tetap masuk. Pertemuan tertutup antara Marhadyn dan Noviari Noor disebut terjadi berulang kali sepanjang September. “Kadang rapat malam, staf lain disuruh pulang,” ujar seorang ASN yang ikut membantu administrasi.

Isu makin panas ketika muncul kabar bahwa Rp60 miliar uang tunai berpindah tangan setelah pertemuan Balikpapan. Belum ada bukti kuat, tapi cerita itu berulang di kalangan pegawai dan politisi lokal. 

“Kalau benar APBD dipakai untuk bayar utang pilkada, itu bukan lagi pelanggaran etik—itu korupsi politik,” kata Burhanuddin AR, aktivis antikorupsi.

Bayang-Bayang Anggara dan Sekda

Nama Anggara tak kalah menarik. Ia dikenal sebagai “penyambung lidah” bupati—orang yang kerap menjadi perantara jika Bupati Ardiansyah membutuhkan dana cepat, termasuk dari dinas-dinas. “Sudah jadi rahasia umum di Kutim,” kata seorang ASN senior. “Ada beberapa pegawai siap bersaksi tentang peran Anggara.” 

Kekacauan tata kelola ini juga menyeret bayangan Sekretaris Daerah Kutai Timur, Rizali Hadi. Beberapa pejabat menuding Sekda memiliki “jagoan kontraktor” yang kerap membawa nama besar sang pejabat untuk mengamankan proyek. “Kalau Iwan sudah masuk, urusannya susah. Biasanya bawa nama Sekda dan ancam mutasi,” ujar seorang pejabat di dinas teknis.

Upaya media untuk mengonfirmasi Bupati Ardiansyah, Marhadyn, maupun Plt Kepala Bappeda Noviari Noor sampai kini tidak membuahkan hasil. Pesan singkat dan panggilan telepon yang dikirim tidak direspons.

Sementara itu, desakan publik agar KPK dan Kejaksaan Agung turun tangan semakin menguat. Warga Sangatta menyuarakan keprihatinan atas tata kelola keuangan daerah yang dianggap makin tak transparan. “Kami ingin APBD kembali ke rakyat, bukan ke kantong tim sukses,” kata Burhanuddin. 

Kini, di tengah kabut politik yang menutupi Kutai Timur, publik hanya bisa berharap pada langkah tegas aparat penegak hukum. Sebab bagi warga yang lelah dengan drama “utang Pilkada” dan proyek siluman, satu hal sudah jelas: kepercayaan publik adalah korban paling awal dari transaksi politik yang gelap ini. (DH)

 

56

Related Post