ALL CATEGORY

Presiden Sebar Bansos Jelang Pemilu, Rakyat Harus Paham: Itu Duit Negara Bukan Punya Jokowi

Jakarta | FNN - Menjelang Pilpres, Presiden Jokowi mendadak merilis bantuan sosial (bansos) baru berupa bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp200 ribu per bulan dari Januari hingga Maret 2024. Bahkan, bansos ini dikucurkan dengan anggaran sebesar Rp11,2 triliun di tengah masa kampanye Pemilu 2024. Nantinya, bantuan tunai itu bakal diberikan sekaligus pada Februari 2024 kepada 18 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani,  bansos itu dirapel sehingga warga akan mendapatkan Rp600 ribu sekaligus. \"Diberikan langsung tiga bulan pada Februari,\" ujar Sri Mulyani di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (29/1). Menanggapi hal ini, pengamat politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno meminta agar pihak yang memberikan dan pihak yang menerima sedianya sama-sama menyadari bahwa bansos adalah uang negara. Kesadaran tersebut sangat penting agar bansos tidak dikaitkan dengan salah satu calon, partai atau figur tertentu. “Bahwa bantuan yang diberikan negara kepada mereka, itu kewajiban negara dan hak rakyat. Oleh karena itu sehebat apapun bantuan sosial itu, jangan dimaknai dari pemberian penguasa. Penguasa dan pemerintah itu hanya sekedar perantara untuk menyalurkan bantuan itu kepada masyarakat,” ujarnya. Adi kemudian mengingatkan agar elit politik tidak berupaya melakukan propaganda dan penggiringan opini terkait dengan bansos. Di saat bersamaan, Kemenkeu terpaksa harus merealokasi program yang ada di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk memenuhi dana bansos tersebut. \"Sebagian besar kan (anggaran) sudah ada di APBN, tapi ini kan memang ada beberapa perubahan-perubahan yang mungkin sifatnya merespons kondisi yang ada di masyarakat dan global,\" ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu di Kantor Kemenko Perekonomian, Senin (29/1). (abd)

Sengaja Usik Kampanye, Jokowi Buntuti Ganjar, Elektabilitas Prabowo-Gibran Ambyar?

Jakarta | FNN - Ada yang aneh dalam dua bulan belakangan ini, yakni ketika Presiden Jokowi terlihat sangat rajin melakukan kunjungan kerja ke wilayah yang sebelumnya dikunjungi capres nomor urut 3 Ganjar-Mahfud. Terkini, Jokowi menyambangi Yogyakarta saat bertepatan dengan agenda kampanye Ganjar Pranowo yang bertajuk Hajatan Rakyat Yogyakarta di Alun-alun Wates, Kulon Progo, Yogyakarta, Minggu (28/1). Diketahui, Jokowi terpantau sarapan dan gowes bareng bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Kota Yogyakarta. Bukan itu saja, Jokowi menemui Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X di Keraton Kilen, Kecamatan Kraton, Yogyakarta. Adapun Jokowi diketahui telah berada di Yogyakarta sejak Jumat (26/1) malam. Bahkan, sehari setelahnya, Jokowi sempat bermain sepak bola bersama masyarakat di Lapangan Gamplong, Moyudan, Sleman, DIY, Sabtu sore. Lantas, betulkah kunjungan Jokowi yang membuntuti Ganjar terjadi karena masih rendahnya elektabilitas Prabowo-Gibran? Ada kemungkinan ke arah sana, terutama ketika kunjungan Jokowi dilakukan secara berulang membuntuti Ganjar. \"Kalau melihat polanya yang selama ini terjadi ya sepertinya itu disengaja ya. Karena di mana Ganjar melakukan kampanye, tiba-tiba satu atau dua hari ada Pak Jokowi datang. Sekali dua kali ini memang bisa dipahami sebagai suatu yang kebetulan. Tetapi kalau sudah berkali-kali, kan sudah menjadi modus ya, menjadi pola yang bisa dipelajari ya,\" ujar Pengamat Politik dari Universitas Andalas, Asrinaldi, Minggu (28/1/2024). Menurut Asrinaldi, kedatangan Jokowi ke Yogyakarta tentu saja akan mempengaruhi massa pendukung PDIP di sana. Dengan kata lain, tujuan dari Jokowi mengikuti wilayah kampanye Ganjar sudah jelas untuk memaksimalkan dukungan untuk paslon nomor urut 2. Menurut Asrinaldi, terdapat polarisasi dalam massa PDIP, yakni memilih Ganjar atau Prabowo. Artinya, selain basis massa yang loyal kepada Jokowi, terdapat pula basis massa yang masih menjadi swing voter antara Ganjar atau Prabowo. \"Nah, dengan datangnya Jokowi ke daerah-daerah yang dikunjungi PDI Perjuangan tentu persepsi mereka itu akan bergeser. Terutama yang swing voter-nya dari massa pendukung Ganjar ke Prabowo. Paling tidak diharapkan itu adalah berbagi massa untuk melengkapi suara Prabowo yang memang sudah stagnan itu dalam beberapa survei,\" jelas Asrinaldi. (wid)

Viral Anak Sekecil Itu Berkelahi dengan Mahfud: Publik Percaya Gibran Memang Sekurangajar Itu

Jakarta | FNN - Viral di media sosial sebuah video cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka dinyanyikan lagu \'Sore Tugu Pancoran\' dengan lirik diubah menjadi \'anak sekecil itu berkelahi dengan Mahfud\'.  Diketahui, momen Gibran dinyanyikan \'anak sekecil itu berkelahi dengan Mahfud\' terjadi di Sanur, Bali, Sabtu (27/1). Dalam video viral tersebut, Gibran tampak tersenyum kecil ketika penonton meneriakkan kata \'Mahfud\'. Banyak respon netizen terhadap video tersebut. Namun bagi TPN Ganjar Pranowo-Mahfud Md, hal tersebut tak lain adalah playing victim. Pasalnya, menurut Jubir TPN Ganjar-Mahfud, Imam Priyono, Gibran bukanlah hanya anak kecil, tetapi juga adalah anak presiden aktif. \"Gimik politik. Mas Gibran kan nggak hanya anak kecil, beliau anak presiden aktif saat ini yang sedang berkontestasi pada level tertinggi. Jadi kalau niatnya untuk playing victim rasanya nggak pas,\" kata Imam Priyono, Senin (29/1/2024). Menurut Imam, cawapres Gibran terkesan hanya melakukan playing victim karena seolah-olah lemah. Padahal, sumber kekuatan Gibran cukup besar. \"Iya karena seolah-olah kan seperti digambarkan sosok yang lemah dan kecil. Tentu dalam kondisi politik saat ini kepentingannya elektoral,\" kata dia. Sebelumnya, rendahnya etika cawapres Gibran juga ramai diperbincangkan terutama saat debat cawapres. Salah satu pihak yang menyoroti etika Gibran adalah Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting Pangi Syarwi Chaniago. Dia mengatakan sepanjang debat Gibran secara membabi buta menyerang, merendahkan, dan mengolok-olok karakter personal kandidat lainnya. Begitulah betapa rendahnya adab seorang anak kecil bernama Gibran. Ia melecehkan seorang profesor yang sudah malang melintang di dunia politik. Tak layak anak sekecil itu mempertontonkan tindakan yang tak beretika. \"Inilah sebabnya mengapa founding father republik merancang bahwa calon presiden dan wakil presiden harus memiliki usia minimal 40 tahun. Saya yakin bahwa keputusan tersebut bukanlah sesuatu yang spontan dan tidak punya alasan yang kuat,” jelasnya. (sws).

ASN Dipaksa Netral, Presiden Malah Memihak: Jokowi Sakit Mental?

Jakarta | FNN - Aparatur Sipil Negara (ASN) belakangan ini harus rela menerima kenyataan pahit. Di saat seluruh ASN dipaksa harus netral dalam perhelatan Pilpres, Presiden Jokowi malah terang-terangan menunjukkan keberpihakannya kepada pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran. Presiden yang seharusnya memberikan teladan kepada ASN agar tetap netral, justru kini berbanding terbalik. Aneh bin ajaib. \"Biadab,\" protes salah seorang abdi negara di Kementerian Dalam Negeri yang sengaja tidak dipublikasikan identitasnya. ASN itu tak habis pikir di saat semua pegawai negeri dipaksa netral, tetapi Jokowi malah asyik memihak ke pasangan capres-cawapres nomor urut 2. \"Lalu apa gunanya kita belajar hukum, apa manfaatnya kita belajar etika, apa gunanya kita menjaga moral,\" ketus ASN tersebut. Kekesalan serupa juga datang dari seorang ASN yang sudah cukup lama berkarir di Kementerian BUMN. Menurut ASN yang enggan disebutkan namanya itu, sikap memihak yang dipertontonkan Jokowi justru menimbulkan kontroversi di kalangan ASN. Ada yang suka tetap tak sedikit pula yang tidak suka, tergantung pada preferensi politik masing-masing ASN. Perbedaan inilah yang rawan akan menimbulkan kegaduhan di antara sesama ASN. Menanggapi hal tersebut, kritikus politik Faizal Assegaf malah menduga ada yang salah dengan kondisi kejiwaan Presiden Jokowi. Menurutnya, Jokowi kemungkinan sudah mengalami depresi dan sakit mental.  \"Bukan mustahil dialami Jokowi. Publik harus tahu itu. Hasilnya harus diumumkan,\" terang Faizal Assegaf dalam program Kontroversi Metro TV, (26/2024). Dikatakan Faizal, sangat mungkin Jokowi mengalami tekanan berat hingga depresi mengingat banyaknya persoalan politik yang harus dihadapi. Tampaknya, ada kecemasan luar biasa yang mendera Jokowi hingga menimbulkan kepanikan. Akibatnya, kecemasan tersebut menjadi sikap panik, hingga melakukan kegilaan politik. \"Maka melanggar netralitas, etika, bahkan tabrak aturan hukum, lalu dia nilai wajar. Apalagi beban menangkan anak di Pilpres. Ini berat,\" ungkap Faizal. Buktinya, sambung Faizal, sudah banyak komentar tokoh dan pakar bicara soal hukum, etika, moralitas dan martabat negara, tetapi tak pernah direspon Presiden. Faizal pun menyebut sudah banyak contoh pemimpin dunia yang juga pernah mengalami depresi dan sakit mental. “Ini bukan hal baru. Mereka tak peduli masa depan bangsa,\" kata Faizal mengingatkan. (abd)

Dinasti Politik Jokowi Menjadi Sejarah Kelam Bangsa Indonesia

Oleh: Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Menarik! Setelah Boy Thohir sesumbar menyatakan, penguasa satu per tiga ekonomi Indonesia akan memenangkan Prabowo-Gibran satu putaran beberapa waktu yang lalu, kini keluar pernyataan tandingan dari konglomerat lainnya, Sofjan Wanandi, yang mendukung pasangan calon presiden Ganjar-Mahfud. https://www.idntimes.com/news/indonesia/amp/sunariyah/sofjan-wanandi-dukung-paslon-nomor-3-ganjar-mahfud-di-pilpres-2024 Pernyataan Sofjan Wanandi dapat dimaknai sebagai sangkalan keras terhadap pernyataan Boy Thohir, bahwa penguasa satu per tiga ekonomi Indonesia mendukung Prabowo-Gibran. Bahkan sebelumnya, beberapa kelompok konglomerat yang disebut Boy Thohir, antara lain Djarum Group, Sampoerna Group, Adaro Group, juga menyangkal pernyataan Boy Thohir terkait dukungan kepada Prabowo-Gibran. Mereka mengatakan, upaya pemenangan satu putaran Prabowo-Gibran adalah pendapat Boy Thohir pribadi. Tidak mewakilkan kelompok group manapun. Pernyataan Sofjan Wanandi tersebut juga tidak bisa dianggap remeh. Sofjan Wanandi adalah sosok konglomerat yang sudah lama malang melintang di dalam perekonomian Indonesia.  Sofjan Wanandi dikenal sebagai “juru bicara” para konglomerat di era Soeharto, yang juga dikenal dengan kelompok Prasetiya Mulya, atau kelompok Jimbaran. Mereka adalah para konglomerat kelas kakap yang diminta Presiden Soeharto mendirikan universitas Prasetiya Mulya. Oleh karena itu, pernyataan Sofjan Wanandi yang mendukung Ganjar dapat dimaknai sebagai pernyataan sikap, bahwa sebagian konglomerat menolak dan melawan Joko Widodo. Sebagai catatan, Sofjan Wanandi juga pernah menolak permintaan Soeharto terkait pengalihan sebagian saham konglomerat kepada koperasi milik rakyat.  Pernyataan Sofjan Wanandi juga menandai perpecahan dan pertempuran sesama konglomerat dalam menyikapi pilpres 2024 ini: pertempuran konglomerat pendukung 02 melawan konglomerat pendukung 03. Lalu bagaimana posisi 01 AMIN, Anies-Cak Imin? Apakah AMIN akan menjadi pelanduk, yang akan mati di antara pertarungan dua gajah: Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah? Melihat popularitas Anies-Imin, dan antusiasme masyarakat yang hadir pada  setiap kesempatan kampanye, atau pada setiap pertemuan Anies-Imin dengan masyarakat, terlihat jelas Anies-Imin didukung oleh kekuatan massa riil yang sangat besar, massa militan yang menginginkan perubahan, massa militan yang melawan Joko Widodo dan dinasti politik, yang bersumpah, Joko Widodo sudah cukup. Melihat popularitas Anies-Imin tersebut, tidak terlepas kemungkinan bahwa ada konglomerat poros ketiga, the silent majority, yang juga merapat ke 01. Kontestasi pilpres 2024 semakin seru. Perlawanan masyarakat dan pengusaha kepada Jokowi semakin terbuka. Joko Widodo semakin terpojok dan melemah. Dinasti politik Joko Widodo akan menjadi bagian sejarah kelam bangsa Indonesia. —- 000 —-

Politik Gentong Babi Rezim Jokowi dan Hancurnya Revolusi Mental

Oleh Dr. Syahganda Nainggolan | Sabang Merauke Circle)  POLITIK Gentong Babi (PGB) atau \"Pork Barrel Politics\" telah menjadi persoalan serius di Indonesia. PGB ini adalah menyuap rakyat dengan bansos dan berbagai program sosial serta asuransi sosial yang didesain untuk mendulang suara pada pemilihan umum. (Lihat Koran Tempo dalam Apa Itu Politik Gentong Babi?, 6/1/24). Untuk memperkuat pemahaman kita tentang PGB ini beberapa berita berikut perlu dicermati, yakni \"Kenapa Bansos Hanya Untuk Satu Kubu\" (Tempo, 27/1/24), \"Hati-hati Politik Gentong Babi\" (Kumparan, 21/12/23), dan \"Politik Gentong Babi Menjelang Pemilu\" (seknasfitra.org, 9/1/24). Modus operandi politik kotor ini adalah membuat berbagai program dan bantuan sosial yang dipertukarkan dengan kewajiban pemilih untuk mendukung pemberi bansos, dalam hal ini pemerintah berkuasa. Seknas Fitra, sebuah NGO yang mengkritisi anggaran negara, mencium aroma politik kotor ini mulai dimainkan oleh rezim Jokowi. Aroma bansos dan sejenisnya saat ini, dalam politik kotor, dapat kita saksikan dengan adanya program pemerintah seperti 1,2 juta ton beras, bantuan uang 600 ribu pada bulan depan, yang rappel 3 bulan, (Februari adalah bulan pencoblosan suara), program PKH (Keluarga Harapan), program Indonesia pintar, dan lain sebagainya.  (lihat: \"5 Bansos Jokowi Cair Awal 2024, Ini Daftarnya\", CNBC Indonesia, 21/1/24). Mengapa jadi bagian politik kotor?  karena pada saat bersamaan, Jokowi mengumumkan dia berpihak. Dia tidak lagi netral sebagai negarawan. Akibatnya adalah penyalahgunaan bantuan sosial berpotensi sangat besar diarahkan pada kepentingan suara  pasangan 02, di mana anaknya ada di sana. Rakyat Miskin dan Revolusi Mental Jokowi, dahulu ketika maju sebagai capres, berjanji akan membebaskan Bangsa Indonesia dari mentalitas budak dan ketertindasan. (Revolusi Mental, Kompas,10/5/2014). Ini adalah cita-cita mulia. Namun, membuat rakyat tergantung dengan bantuan sosial, seperti saat ini, adalah kejahatan besar. Makruf Amin, Wakil Presiden, mengatakan hal itu adalah praktek-praktek melanggengkan kemiskinan. Ketergantungan itu akan semakin jahat jika pemerintah memanipulasi image bahwa bantuan itu adalah tanda pertolongan presiden kepada rakyat susah. Indikasi ke arah itu tentunya jelas terlihat, seperti adanya viral bansos bertanda 02, temuan lembaga survei Indopol bahwa masyarakat takut di survei karena takut tidak diberi bansos, dan terakhir pernyataan Zulkifli Hasan dalam kampanyenya di Kendal. Pernyataan Zulkifli Hasan yakni dia bertanya \"yang kasih bansos sama BLT siapa?\", disini bukti dia  mengasosiasikan pemberian bansos dengan Jokowi dan meminta rakyat miskin dukung Gibran. (CNBC Indonesia, 4/1/24). Bagaimana Bansos di Belanda? Politik Gentong Babi telah ditinggalkan negara-negara eropa ratusan tahun silam. Sejak kebangkitan humanisme di barat, manusia tidak lagi dianggap sebagai budak. Barter kepentingan antara rakyat dan kapitalis, tidak lagi terikat pada tataran mirip binatang. Melainkan perjanjian upah, pendidikan dan kesejahteraan. Saat ini selain kesejahteraan, rakyat meminta \"green life\", yang menunjang \"Leisure\" mereka. Pada tahun 1990an, di Belanda, misalnya, kaum tak mampu mendapatkan bantuan pemerintah sebesar 1200 Gulden perbulan. Bantuan itu langsung ditransfer setiap bulan ke rekening penerima. Caranya memperoleh bantuan mudah sekali. Penerima cukup mendaftarkan di dinas sosial setempat.  Setiap orang kurang mampu akan ditransfer langsung, saat itu, minimum 1200 Gulden. Jika mempunyai anak akan mendapatkan tunjangan anak, tunjangan pendidikan anak, tunjangan kesehatan dan juga tunjangan untuk pergi berlibur (vacantiegeld). Bantuan tidak ada berupa beras maupun barang lainnya. Tidak ada pertemuan antara pemberi maupun penerima. Semuanya transfer bank. Bantuan ini akan dihentikan pada saat inkom penerima sudah mencapai basis sejahtera, ketika kemudian mereka mendapatkan pekerjaan. Sebab, semua orang harus mendaftar di biro tenaga kerja (uitzendbureau) untuk segera mendapatkan pekerjaan. Selain itu setiap orang harus terdaftar di dinas pajak dan dinas sosial. Karena  setiap pekerja nantinya dianggap sebagai pembayar pajak (tax payer), yang menunjukkan dia sebagai \"stake holder\" dalam bernegara.  Dalam mencari kerja juga tidak perlu mengemis-ngemis atau tidak butuh \"ordal\". Karena sistem \"supply-demand\" tenaga kerja direncanakan secara sistematis oleh negara. Terakhir yang perlu dicatat adalah setiap pekerja mempunyai hak-hak yang sama tinggi dengan pemberi kerja. Penerima bantuan sosial tidak perlu membalas budi kepada pemerintah yang berkuasa. Tugas presiden hanya menjadi penyalur saja, tidak lebih. Hal yang sama dalam urusan bansos seperti di Belanda itu, harusnya sudah terjadi di era Jokowi. Sebagaimana maksud Jokowi dengan \"Revolusi Mental\" nya. Di barat, sejak Welfare State diterapkan secara luas, sebagaimana diinginkan Proklamator Muhammad Hatta, kemiskinan bukan pula dijadikan komoditas politik. Pemerintah hanyalah alat untuk menjalankan fungsi negara, yakni melindungi rakyatnya. Sehingga, pemberian bansos itu, sekali lagi, seperti kata Hadist, \"Jika tangan kanan memberi, pastikan tangan kiri tidak tahu\". Jika mengumbar Bansos sebagai pemberian Jokowi, maka dipastikan itu sebagai penghinaan dan pembohongan terhadap rakyat. Penutup Anies, Ganjar, Ma\'ruf Amin dan lainnya, serta tokoh-tokoh NGO (LSM) mengecam politik gentong babi. Sementara Jokowi dan rezim pendukung 02 semakin semangat mempolitisasi bansos. Padahal Jokowi berjanji Revolusi Mental adalah membebaskan manusia dari perbudakan dan penindasan. Rakyat sudah seharusnya menjadi pemilik sah negeri ini. Jika pemerintah membagi adil hasil pajak dan pengerukan  sumberdaya alam kita, maka pembagian bansos itu adalah keharusan negara. Di era Anies dan Muhaimin ke depan, maka pelayanan bansos akan disempurnakan menjadi BANSOSPLUS, artinya negara hanya menjadi pelayan terbaik bagi rakyat penerima bansos. Istilah bansos juga sebaiknya dirubah namanya menjadi, seperti di Belanda,  tunjangan sosial, tunjangan pendidikan, tunjangan kesehatan, tunjangan liburan dan lainnya, bukan bantuan.  Jika politik Gentong Babi terus berjalan,  Saatnya bagi segenap rakyat melawan. Ambil bansosnya, jangan pilih Prabowo-Gibran! .

Kasus Nepotisme Jokowi di Tangan Tipikor Bareskrim Mabes Polri

Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan  PENGADUAN Masyarakat mengenai dugaan tindak pidana Nepotisme Jokowi dan keluarga yang dilaporkan oleh Petisi 100 dan Forum Alumni Perguruan Tinggi Bandung Berijazah Asli (For Asli) ke Bareskrim Mabes Polri pada tanggal 22 Januari 2024, kini telah berada dalam penanganan Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Mabes Polri.  Perwakilan pelapor/pengadu HM Rizal Fadillah, SH (Petisi 100) dan Ir. H. Budi Rijanto (For Asli) bersama dengan Kuasa Hukum Prof. Dr. Eggi Sudjana, SH M.Si, Djudju Purwantoro, SH, MH,  CIL, CLA, M.Irwan Nasution, SH dan Asep Maulana Syahidin, SH sesuai dengan pemberitahuan Bareskrim, pada Senin 29 Januari 2024 telah memenuhi hadir di Bareskrim Mabes Polri.  Delegasi mendapat penjelasan bahwa kasus tersebut kini berada dalam penanganan Dit Tipidkor Bareskrim Mabes Polri yang teregister dengan nomor B/ND-143/1/Res 7.4/2024/Robinops tanggal 23 Januari 2024. Menurut informasi yang didapat, nanti setelah ditetapkan Tim Penyidik, maka pihak pengadu akan diberitahu untuk langkah-langkah  selanjutnya.  Langkah cepat Bareskrim Mabes Polri terhadap Pengaduan Masyarakat (Dumas) atas dugaan terjadinya tindak pidana Nepotisme Jokowi dan keluarga ini menggembirakan dan patut mendapat apresiasi. Harapan bahwa kasus ini akan mendapat penanganan yang serius menjadi terbuka. Nepotisme sendiri dikualifikasi sebagai tindak pidana berat dengan ancaman hukuman maksimal 12 (dua belas) tahun penjara. Tersangka dapat ditahan.  Anwar Usman, mantan Ketua MK diduga akan menjadi awal atau pembuka pemeriksaan. Adik ipar Jokowi ini sangat terkait dengan Putusan \"nepotis\" yang menguntungkan keponakannya Gibran Walikota Surakarta sekaligus putera pasangan Presiden Jokowi dan Ibu Iriana Widodo. Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 sudah menjadi bukti hukum sekaligus bacaan rakyat Indonesia sebagai vonis \"rekayasa\" yang menguntungkan keluarga Istana.  Atas dasar Pasal 17 ayat 6 UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka Anwar Usman dapat dipidana sebagaimana bunyi ayat : \"(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan\". Ayat (5) mengingatkan adanya \"kepentingan langsung atau tidak langsung\" dengan perkara yang diperiksa.  Dari Anwar Usman inilah berlanjut kepada peran-peran dan keterkaitan Jokowi, Iriana dan Gibran. Pasal 55 dan 56 KUHP mengenai penyertaan (deelneming) dapat menjerat ketiganya. Pembuktian dapat didalami dari berbagai sumber dan kesaksian. Informasi publik sangat terbuka.  Investigasi Majalah Tempo Edisi 20-26 Desember 2023 dengan cover Iriana Widodo membonceng Gibran didorong oleh kaki Jokowi dari motor belakang bertema \"Tenang Ibu Sudah Disini\" menggambarkan peran besar Jokowi dan Iriana untuk menggolkan Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023. Jokowi dan Iriana adalah \"Tim Sukses\" Gibran Rakabuming Raka.  Begitu juga investigasi Majalah Tempo Edisi 16-22 Oktober 2023 bertema \"Gerilya Untuk Putusan Mahkamah Konstitusi\" dan Edisi 30 Oktober-5 November 2023 \"Timang-Timang Dinastiku Sayang\" dapat menjadi bahan bagi proses pemeriksaan kasus Nepotisme Jokowi oleh penyidik Tipidkor Mabes Polri.   Peran serius Penyidik Tipidkor Bareskrim Mabes Polri akan menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia dalam upaya untuk mencegah dan menindak perilaku Nepotisme atau politik dinasti yang dilakukan oleh siapapun di negara hukum Republik Indonesia. Asas \"equality before the law\" tentu menjadi pegangan. Sejarah akan membuktikan.  Nepotisme adalah kriminal dan merusak tatanan negara demokrasi yang sudah menjadi kesepakatan bangsa dan rakyat Indonesia. Bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.  Sebagaimana Korupsi dan Kolusi, maka Nepotisme pun harus segera dibasmi atau diberantas. KKN adalah rumpun dari penyakit berbahaya.  Bandung, 30 Januari 2024.

Bakar Semangat Relawan, Putra Pertama Soekarno Minta Menangkan Ganjar: Urus Jokowi Gampang

Jakarta | FNN - Relawan Ganjar-Mahfud diminta untuk total berjuang dalam rangka memenangi Pilpres 2024. Hal ini sangat penting dilakukan agar Ganjar dan Mahfud sebagai pasangan capres-cawapres terpilih nantinya, akan bisa leluasa melaksanakan program jika sudah sah dilantik. Ajakan itu ditegaskan oleh putra pertama Sukarno, Guntur Soekarnoputra yang meminta para relawan Ganjar Pranowo-Mahfud MD bekerja serius di Pilpres 2024 demi meraih kemenangan. \"Kalau Ganjar dan Mahfud sudah jadi presiden dan wakil presiden, presiden punya hak prerogatif, gampang itu. Jokowi mau diapain nanti terserah,\" kata Guntur di hadapan relawan, Senin (29/1/2024). Ia pun kemudian mengomentari pendapat berbagai pihak yang menghendaki pemakzulan Presiden Jokowi. Terkait hal ini, Guntur menyebut masih ada hal yang lebih penting daripada usaha pemakzulan. Tak lain adalah dengan lebih dulu mengantarkan pasangan Ganjar-Mahfud ke kemenangan Pilpres. \"Ada yang minta pemakzulan, ada yang minta ini, minta itu. Sudahlah, kita lupakan saja itu dulu, yang penting sekarang menurut ajaran Bung Karno yang tidak bisa ditunda-tunda menangkan dulu Ganjar Pranowo-Mahfud MD,\" kata dia. Lebih lanjut lagi, Guntur menegaskan Ganjar dan Mahfud bisa melakukan banyak hal jika sudah berhasil memenangkan Pilpres 2024. Guntur pun meminta seluruh relawan untuk terus bekerja memenangkan Ganjar-Mahfud. \"Kalau itu sudah tercapai, kekuasaan dan hak prerogatif ada di Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Baru yang lain mau kita apa-apain itu gampang, termasuk Jokowi itu mau kita apain nantilah,\" Guntur menegaskan.  Keluarga Bung Karno layak kecewa dan marah karena Jokowi sebagai kader PDIP telah berkhianat kepada partainya. Karier politik keluarga Jokowi difasilitasi oleh PDIP, namun di akhir kekuasaannya mereka ramai ramai meninggalkan PDIP dengan bergabung ke partai lain. Bahkan, Kaesang Pangarep anak bungsu Jokowi, disulap menjadi Ketua Umum PSI dalam sekejap mata. Partai ini memiliki platform yang sama dengan PDIP.  \"Siapa yang tidak sakit hati mendapat perlakuan seperti itu,\" kata Muktiyo, kader Banteng di Solo Jawa Tengah (25/01/2024). (abd).

Timang-timang Anakku Gibran, Kampanye Jokowi

Oleh Laksma TNI Pur Ir Fitri Hadi S, M.A.P. | Analis Kebijakan Publik Timang timang anakku sayang, buah hati ayahanda seorang, implementasinya bisa bermacam macam apalagi bila  menyangkut anak Presiden atau “Timang-timang anakku Gibran”, maka ini bisa menggoyangkan seluruh anggota kabinet Jokowi. Mengapa tidak, sejak awal Jokowi sudah mengatakan akan cawe cawe pada Pemilu 2024 ini.  Timang timang anakku Gibran , melanggangkan Gibran sebagai calon wakil presiden dengan mengorbankan pamannya Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman karena melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan. sehingga, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.  Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Walau dianggap naiknya  Gibran menjadi calon wakil presiden sebagai produk KKN, tapi jalan terus, Prabowo dan partai partai koalisinya mengabaikan semua cemooh dan tanggapan negatif atas segala keputusannya. Partai partai besar seperti Gerindra, Golkar, PAN, Partai Demokrat yang menjadi koalisinya seperti tidak punya kader lain Sehinga mengiyakan keinginan Jokowi untuk menjadikan anaknya Gibran sebagai wakil presiden. Sesuai UU Gibran belum cukup umur untuk dicalonkan sebagai wakil presiden. Pertimbangan penunjukan Gibran sebagai cawapres pasangan no 2 bagi Prabowo dimungkinkan oleh pengalaman kekalahan Prabowo pada 2 (dua) kali pemilu sebelumnya yaitu 2014 dan 2019. Pada dua kali kontestasi presiden tersebut selalu diikuti dengan gugatan pemilu curang, terutama pada pemilu tahun 2019 yang banyak menelan korban jiwa manusia. Di sini Publik dan bahkan Prabowo menyakini kekalahannya selama ini adalah akibat kecurangan maka musuh besarnya dalam pemilu adalah kecurangan. Belajar dari pengalaman tersebut Prabowo tentu tidak mau kembali dicurangi, apalagi pemilu 2024 ini ada upaya untuk melanggangkan kekuasaan Jokowi. Dalam bebagai kesempatan Jokowi sering menunjukkan keberpihakannya pada salah satu calon Presiden namun  Jokowi belum secara tegas menunjukan pada siapa Jokowi berpihak. hal inilah kemungkinan  yang tidak disukai oleh Prabowo, bila Jokowi tidak berpihak kepadanya maka kemungkinannya adalah Prabowo akan kembali kalah akibat kecurangan. Keadan ini membuat Prabowo merasa tidak aman,  merasa tidak percaya diri (inferiority), takut, cemas (anxiety) dan lainnya pada pengalaman buruknya dalam mengikuti pemilu presiden. Prabowo dihantui  akan terulang kembali kecurangan pada dirinya, Prabowo kuatir gagal lagi. Di sisi lain hubungan Jokowi dengan PDIP semakin memburuk akibat PDIP tidak menginginkan Presiden 3 periode atau perpanjangan masa jabatan presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Momentum ini dimanfaatkan, Gibran Rakabumi Raka kata kuncinya. Di satu sisi Gibran dapat menjadi boneka Jokowi karena Gibran adalah anaknya, jadilah timang-timang anakku Gibran dan gayungpun bersambut, dengan menggandeng Gibran sebagai calon wakil presiden maka Prabowo tidak akan dicurangi lagi, kalaupun terjadi kecurangan semuanya akan menguntungkan Prabowo karena kecurang tersebut demi memenangankan Gibran. Maka jadilah Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka sebagai pasangan calon no 2. Semua upaya sudah dilakukan, termasuk pelanggaran etika naiknya Gibran sebagai calon wakil presiden mereka acuhkan, maka kemungkinannya kecuranganpun akan mereka jalankan. Menaruh harapan yang begitu besar terhadap Gibran dengan memanfaatkan nama besar bapaknya, akan mampu menaikan elektabilitas pasangan Prabowo Gibran di tengah issue negative yang melekat pada diri Prabowo seperti  penggaran HAM, gagalnya Food Estate bahkan dianggap kejahatan terhadap lingkungan, pengadaan alut sista bekas yang lebih mahal dibanding negara lain. Namun kenyataannya hasil survey tidak menunjukkan naiknya elektabilitas pasangan no 2 tersebut bahkan sangat dimungkinkan akan mengerek turun hasil survei sebelumnya. Hal ini terjadi akibat blunder politik yang dilakukan Gibran saat debat cawapres Ahad 21 Januari yang lalu yang dinilai tidak beretika bahkan mengolok olok lawan debatnya. Target menang 1 (satu) putaranpun mulai goyah. Tidak  bergerak naiknya elektabilitas Prabowo Gibran untuk memperoleh angkat diatas 51% guna menang 1 putaran tampaknya dan dianggap para pengamat membuat Jokowi resah atau panik. Panik karena bagi mereka kemenangan Prabowo Gibran merupakan harga mati dan menyangkut keselamatannya pasca lengser sebagai presiden Jokowi.  Kini keadaannya semakin menegangkan dan membahayakan. Keinginan Jokowi untuk menjadikan anaknya sebagai wapres terindikasi dengan ketidak netralan  dan cawe cawe Jokowi  bahkan diduga Jokowi akan turun gunung ikut berkampanye dalam pemilu kali ini padahal dia bukan incumbent (petahana). Bila hal tersebut benar benar dilakukanya dan ditengah bermunculan laporan pemilu curang maka langkah yang dapat dikatakan langkah membabi buta ini dapat merusak demokrasi yang telah dibangun oleh pendahulu pendahulunya. Keberlangsungan demokrasi di Indonesia kini semakin di ujung tanduk. Reaksi negative masyarakat atas tindakan Jokowi ini bermunculan, Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah mendesak Presiden Jokowi mencabut pernyataannya soal Presiden boleh berpihak dan berkampanye di Pilpres. Pernyataan  ini ditandatangani oleh Ketua MHH Muhammadiyah Trisno Raharjo dan Sekretaris Muhammad Alfian. \"Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa presiden boleh kampanye dan boleh berpihak,\" demikian keterangan tertulis MHH Muhammadiyah. MHH Muhammadiyah berpendapat bahwa presiden merupakan kepala negara yang menjadi pemimpin seluruh rakyat. Sehingga, ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara. Timang timang anakku Gibran adalah cara memenang pemilu 2024, etika telah dilanggar, akankah sadar lalu surut melangkah atau terus berjalan? Bukan cuma hukum, tapi moral atau etika ukuranya dan keselamatan bangsa adalah taruhannya, tapi bila nafsu kekuasaan lebih mewarnai, maka segala cara adalah cara memenangkan kontestasi. Waspadalah, semua itu mungkin. Probolinggo, Januari 2024

Pak Luhut Itu Sangat Rasional, Tapi Kenapa Tidak Dukung Anies?

Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior BELIAU sangat rasional dalam segala hal. Melihat dan mengevaluasi sesuatu selalu rasional. Membuat keputusan berdasarkan pertimbangan rasional. Dan, oleh karena itu, memilih pemimpin negara pun seharusnya rasional juga. Begitulah orang mengenal Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Tetapi, mengapa faktanya untuk urusan pemimpin negara Pak Luhut kelihatannya tidak rasional? Untuk pilpres 2024 ini Pak Menko sudah tahu Anies Baswedan luar-dalam. Tidak ada yang disembunyikan. Integritas, kapabilitas, kapasitas, moralitas, akseptabilitas, semuanya komplit dimiliki Pak Anies. Di masa kampanye ini, dan jauh sebelumnya, Anies menyediakan diri untuk diroasting atau dikuliti oleh berbagai acara televisi maupun panggung komedi. Anies juga memenuhi undangan semua diskusi terbuka yang melibatkan kalangan akademisi maupun orang biasa. Ada acara “Uji Publik” di sejumlah kampus dan “Desak Anies” di tempat-tempat umum. Acara-acara itu tidak hanya dihadiri oleh pendukung Anies. Bahkan yang bukan pendukung capres 01 ini pun ikut mencecar dengan pertanyaan yang sifatnya random dan instan. Tanpa pengaturan. Orangnya tidak diatur, begitu juga pertanyaannya. Semua disampaikan bebas. Tentang apa saja. Alhamdulillah, Anies bisa menjawab ratusan atau mungkin ribuan pertanyaan acak yang diajukan kepadanya. Kita bisa melihat orang-orang yang hadir merasa puas dengan jawaban atau penjelasan Anies. Jawaban-jawaban Anies selalu rasional. Bagaimana membuktikannya? Lihat saja kontinuitas “Desak Anies” itu. Ada saja yang ingin menyelenggarakannya. Laris sekali. Demand melebihi suplai. Masyarakat senang karena mereka bisa membongkar habis pikiran Anies. Warga bisa mengetahui gagasan Capres 01 ini untuk masa depan Indonesia. Bahkan, masyarakat pun bisa mengetahui kepribadian beliau. Semua transparan di depan umum. Dan semuanya rasional. Satu hal, Pak Luhut. Acara-acara ini dinilai mencerdaskan. Sekaligus mengasah rasionalitas. Dalam arti, Anies tidak hanya menjawab pertanyaan tetapi juga mampu memberikan berbagai perspektif baru kepada mereka yang hadir. Intinya, Anies menjadi stimulan untuk belajar rasional. Dia piawai namun tidak menggurui lawan-lawan bicaranya agar menggunakan sikap rasional dalam semua urusan. Anies selalu mengajak siapa saja yang dijumpainya agar rasional dalam setiap langkah. Sekarang kita tanya langsung Pak Menko: mengapa Anda mendukung Prabowo-Gibran? Apakah paslon 02 ini cocok dengan rasionalitas Anda, Pak? Apakah benar-benar rasional ketika Pak Luhut memberikan dukungan atau menjatuhkan pilihan kepada Prabowo-Gibran? Rasional bermakna memperbandingkan pilihan-pilihan yang ada berdasarkan “ratio”. Nah, apakah Pak Luhut jujur bahwa memilih paslon 02 itu sudah rasional? Dan masuk akal? Bahwa Prabowo-Gibran itulah yang terbaik? Sebagai tokoh panutan, Pak Luhut berkewajiban untuk menunjukkan siapa orang yang terbaik untuk dipilih menjadi presiden Indonesia? Siapakah pilihan yang rasional itu? Beberapa hari yang lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan kepada jajarannya tentang bahaya pemimpin yang gampang emosional. Beliau tidak menyebut nama tetapi suasana kontestasi hari ini membuat kita paham siapa yang dimaksudkan Bu Menteri. Lebih nyerempet lagi, Bu Sri mengisyaratkan bahwa pilihan Pak Luhut atas Prabowo-Gibran sama sekali tidak rasional. Apa pun “bench-mark” atau patokannya. Sebaliknya, Bu Menteri secara tersirat menyimpulkan Anies Baswedan adalah pilihan yang rasional. Persoalannya, kalau Pak Luhut memang senantiasa rasional, mengapa tidak mendukung Anies?[]