ALL CATEGORY

Petani Miskin Ini Terusir dari Tanah Kelahiran, Ulah Mafia Tanah Bikin Resah

Samarinda, LIRANEWS.COM |  Korban mafia tanah terus bermunculan. Kali ini menimpa keluarga La Singga (80) bersama 25 anak dan cucunya. Mereka kini tinggal di sebuah gubuk terbuat dari seng dan spanduk bekas berdiri di atas lahan seluas 4x5 m persegi di pinggir jalan. Peristiwa memilukan ini terjadi pada 15 September 2015 antara keluarga miskin La Singga dengan PT Sumber Mas Timber di kawasan Jalan H.M. Ardans (Ring Road III), Kelurahan Air Hitam, Samarinda Ulu, Kalimantan Timur usai Pengadilan Negeri Samarinda melakukan eksekusi  berdasarkan Putusan Nomor 15/Pdt.G/2023/PN.Smr.  Proses eksekusi dilaksanakan di bawah pengamanan ketat aparat kepolisian. Keluarga La Singga melakukan perlawanan seadanya menghadapi kuatnya aparat negara. Keluarga La Singga meyakini bahwa proses pengadilan dilakukan dengan penuh rekayasa, manipulasi, dan kongkalikong antara penasihat hukum yang lama dengan pihak pengadilan dan perusahaan. Keyakinan ini juga dibenarkan oleh penasihat hukum La Singga yang baru, Sunarti, SH, MH alias Xena yang kerap dijuluki pengacara Bolang. \"Memang klien kami awalnya didampingi penasihat hukum, tetapi sepertinya hanya formalitas. Saya menduga fungsinya hanya untuk memuluskan pihak perusahaan memperoleh kemenangan. Ini diperkuat dengan pengakuan keluarga La Singga bahwa selama persidangan hanya dihadiri oleh penasihat hukum yang lama. Pihak keluarga jarang ikut sidang. Aneh, saat eksekusi pengacara lama mengundurkan diri,\" papar Xena, Sabtu, 22 November 2025 di Samarinda. Oleh karena itu Xena meminta DPRD Kota Samarinda untuk duduk bersama para pihak mengurai masalah pengadilan yang prosesnya tidak lazim ini. \"Saya berharap semua pihak duduk bersama difasilitasi DPRD untuk menguji kejujuran mereka,\" tegasnya. Sebelumnya kata Xena, memang DPRD pernah turun tangan, tetapi tidak semua pihak dihadirkan. DPRD malah menyarankan keluarga La Singga ikhlas menerima putusan pengadilan.  Padahal, maksud Xena, DPRD berdiri di tengah menyikapi pengadilan sesat yang sudah diputuskan dengan penuh rekayasa. Hal senada disampaikan oleh Rustani SH partner Xena. Ia mengatakan pola-pola pemaksaan kehendak menjadi pola lazim yang dilakukan oleh para mafia tanah. Putuskan dulu pengadilan, lalu ribut belakangan, yang penting mereka sudah punya putusan pengadilan, meskipun cara dan prosesnya dengan melakukan rekayasa.  Rustani yang sudah puluhan tahun menangani masalah tanah di Kalimantan, paham betul cara kerja mafia tanah. Korbannya selalu rakyat kecil yang minim pengetahuan hukum. \"Mafia tanah ini sulit diberantas. Mereka akan selalu ada, bahkan sampai kiamat kurang dua hari, mereka masih eksis,\" katanya geram. Kata Rustani, jika pemerintah tutup mata terhadap keadaan ini, jangan harap ada keadilan bagi rakyat kecil. Mereka akan selalu dikalahkan oleh pemilik modal dengan dalih putusan pengadilan. \"Jusuf Kalla saja dilibas, apa lagi rakyat miskin,\" tegasnya. Sementara keluarga La Singga yang merasa tertindas hanya bisa mengutuk pemerintah dan siapapun yang mendukung kesewenang-wenangan hukum. Mereka melampiaskan kepasrahan itu dan bersumpah atas nama Tuhan dalam bentuk poster yang di pasang di lokasi tanah mereka.  Keluarga La Singga mengaku telah menempati lahan seluas sekitar 20.000 meter persegi (2 hektare) sejak tahun 1971. Di atas tanah itu berdiri beberapa bangunan tempat tinggal dan usaha keluarga yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Tiba-tiba tanah tersebut diklaim oleh PT Sumber Mas Timber, perusahaan yang bergerak di bidang industri pengolahan kayu. Sengketa kepemilikan pun mencuat dan bergulir hingga meja hijau. Setelah melalui serangkaian persidangan di Pengadilan Negeri Samarinda, Pengadilan Tinggi  hingga kasasi Mahkamah Agung, perkara tersebut dimenangkan oleh PT Sumber Mas Timber. Pihak keluarga La Singga kaget karena pihaknya tidak pernah menjual kepada siapapun. Sementara mereka tahu persis PT Sumber Mas Timber baru masuk wilayah itu tahun 1978 setelah membeli lahan di sebelahnya.  Keluarga La Singga kemudian mendatangi DPRD Kota Samarinda untuk meminta perhatian atas nasib mereka. Mereka berharap lembaga legislatif dapat meninjau kembali proses pengadilan yang penuh kejanggalan.  Namun, DPRD menegaskan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan membatalkan putusan pengadilan. Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, H. Samri Shaputra, S.H.I., menjelaskan bahwa pihaknya hanya dapat memediasi dan memastikan proses hukum berjalan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. “Kami sudah beberapa kali memfasilitasi komunikasi antara keluarga La Singga dan pihak perusahaan. Namun secara hukum, perkara ini sudah final dan harus dilaksanakan. DPRD tidak dapat mengubah atau menunda pelaksanaan putusan yang sudah inkrah,” tutur H. Samri Shaputra. Menanggapi pernyataan anggota DPRD Kota Samarinda, keluarga La Singga melalui kuasa hukumnya berharap wakil rakyat tidak boleh larut dalam skenario mafia tanah. \"Apa yang disampaikan anggota DPRD adalah pernyataan normatif, seharusnya wakil rakyat bisa memahami suasana batin keluarga La Singga yang menjadi korban ketidakadilan,\" tegas Xena. Seharusnya kata Xena mediasi yang dilakukan bukan bicara soal santunan, tetapi menghadirkan seluruh pihak agar terlihat siapa yang curang, culas, dan bohong.  Atas dasar ini, lanjutnya akan terungkap bahwa proses pengadilan penuh rekayasa dan manipulasi. \"Dengan demikian putusan pengadilan tersebut cacat hukum dan bisa dibatalkan. Apalagi pihak keluarga La Singga berani sumpah pocong untuk meyakinkan pemerintah bahwa mereka tidak bersalah,\" pungkasnya. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat bahwa proses pengadilan seringkali menjadi legitimasi pemilik modal untuk menyerobot tanah orang. Pemerintah dan lembaga peradilan seharusnya mampu menjadi penengah yang bijak, agar keadilan tidak hanya berpihak pada kekuatan, tetapi juga pada fakta kebenaran. (sar)

Dugaan Korupsi Kabupaten Bogor: Yunita Mustika Putri yang Gemar Belanja Komputer

BOGOR, FNN | Di lingkungan pemerintahan Kabupaten Bogor, komputer seolah menjadi barang paling penting. Setiap tahun kembali dibeli, spesifikasinya tinggi, dan harganya kerap memancing tanda tanya. Center for Budget Analysis (CBA) menyebut pola itu bukan kebetulan. November 2023, Yunita Mustika Putri dilantik menjadi Sekretaris Dewan DPRD Kabupaten Bogor. Belum lama menduduki posisi itu, menurut CBA, Sekretariat DPRD memborong 45 unit komputer senilai Rp1,1 miliar. Bila dirata-rata, satu unit PC seharga Rp25,7 juta—harga yang dinilai CBA “terlalu mewah” untuk kantor pemerintah daerah. Ketika itu Ketua DPRD dijabat politikus Gerindra, Rudy Susmanto. Keduanya kini kembali disebut karena pola pengadaan yang, menurut CBA, berulang tanpa penjelasan publik yang memadai. Pada 2024, anggaran serupa muncul lagi. Nilai total Rp1,1 miliar lebih, tetapi jumlah unit dan harga satuannya tak dipublikasikan secara transparan. “Itu membuat publik bertanya ada apa dengan pengadaan komputer ini,” kata Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi. Jejak anggaran itu terus menempel mengikuti rotasi jabatan. Pada 2025, Yunita mulai bertugas di BKPSDM. Kepindahan itu belum mengubah kebiasaan: BKPSDM tercatat belanja laptop dan tablet PC sebesar Rp567 juta pada November 2025, lalu menambah Rp232 juta untuk perangkat lain berlayar kecil dengan spesifikasi tinggi. CBA menyebut fenomena ini sebagai pola: pengadaan rutin, nilai besar, tetapi urgensi dan spesifikasi teknis tidak pernah dipaparkan jelas. Dalam pandangan Uchok, “Ada potensi pemborosan. Karena itu harus diperiksa aparat penegak hukum.” Desakan ini mempertemukan kembali nama Yunita dan Rudy dalam sorotan publik. CBA meminta Kejaksaan Agung memanggil keduanya untuk menjelaskan keperluan anggaran perangkat itu dan memastikan harga sesuai nilai pasar. CBA mengingatkan, pengadaan teknologi informasi selalu menjadi titik rawan penyimpangan belanja pemerintah. Sementara aparatur dan pelayanan publik di Bogor masih berhadapan dengan keluhan klasik: sistem lemot hingga peralatan berbasis digital yang tak benar-benar dipakai. Hingga laporan ini diturunkan, Yunita Mustika Putri dan Rudy Susmanto belum memberikan respons terbuka atas permintaan klarifikasi dari CBA. Kejaksaan pun belum mengumumkan sikap. Yang jelas, deretan komputer itu kini bukan hanya alat kerja, melainkan juga deretan angka yang menunggu pembuktian: keperluan atau kemewahan? (DH)  

CBA Desak Penyelidikan Dugaan Gratifikasi dan Belanja Mebel Miliaran di Subang

SUBANG, FNN | Situasi politik di Kabupaten Subang memanas setelah munculnya dugaan aliran gratifikasi dan kejanggalan anggaran belanja mebel yang disebut melibatkan lingkar kekuasaan Bupati Subang, Reynaldi Putra Andita. Dugaan itu mencuat setelah pernyataan Dr. Maxi—mantan pejabat di lingkungan Pemkab Subang—yang mengaku pernah menjadi perantara setoran ratusan juta rupiah dari sejumlah kepala dinas untuk bupati. Pengakuan tersebut kini menjadi perhatian publik dan pemantau anggaran. Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, meminta aparat penegak hukum menindaklanjuti informasi itu. Menurut dia, Dr. Maxi perlu difasilitasi untuk menjadi justice collaborator atau pelapor pelanggaran (whistleblower). “Keterangan Dr. Maxi harus dijadikan pintu masuk membongkar dugaan praktik setoran di Pemkab Subang,” kata Uchok dalam keterangan tertulis, Sabtu, 22 November 2025. Selain dugaan setoran, CBA juga menyoroti belanja mebel yang dilakukan Sekretariat Daerah (Setda) Subang dalam dua tahun terakhir. CBA menilai anggaran tersebut berulang dan tidak transparan. Berdasarkan data yang dipaparkan Uchok, belanja mebel itu antara lain: Tahun 2024– Mebel Rumah Dinas Kepala Daerah: Rp200 juta– Mebel Rumah Dinas Bupati: Rp276,5 juta Tahun 2025– Mebel Rumah Dinas Bupati: Rp387,85 juta– Mebel Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah: Rp477 juta Selain itu, terdapat tiga proyek mebel lain masing-masing senilai Rp45,14 juta, Rp33,69 juta, dan Rp116,39 juta. “Setda Subang tiap tahun memborong mebel. Untuk apa? Publik berhak tahu peruntukannya,” ujar Uchok. Ia menilai pola tersebut berpotensi mengarah pada pemborosan anggaran dan perlu diselidiki Kejaksaan Agung. Nama Bupati Reynaldi Putra Andita sebelumnya juga sempat menjadi sorotan dalam sejumlah isu politik saat masih menjabat sebagai anggota DPRD Jawa Barat. Kini, dengan munculnya dua dugaan baru, perhatian publik semakin tajam mengarah pada kepemimpinannya. CBA menyatakan akan meminta KPK dan Kejagung menindaklanjuti informasi yang berkembang. “Penegak hukum harus bergerak cepat agar publik tidak terus berspekulasi,” kata Uchok. Hingga berita ini disusun, belum ada keterangan resmi dari Bupati Subang ataupun Pemkab Subang terkait dua dugaan tersebut. (DH)

Rajin Borong Laptop Tiap Tahun, CBA Minta Kejagung Telisik Setda Kota Tangerang

JAKARTA, FNN | Sekretariat Daerah (Setda) Kota Tangerang, Banten dalam tiga tahun terakhir, tercatat rutin membeli perangkat komputer dan laptop dengan nilai anggaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Center for Budget Analysis (CBA) menilai pola belanja tersebut janggal dan berpotensi menimbulkan kecurigaan adanya praktik pemborosan hingga dugaan mark up. Misalnya saja, pada Desember 2023, Setda Kota Tangerang menggelontorkan anggaran sebesar Rp132 juta untuk pengadaan tablet android. Kemudian pada tahun berikutnya, tepatnya November 2024, dilakukan dua kali pengadaan laptop/komputer dengan nilai cukup besar. Pertama, belanja Rp112 juta untuk pengadaan laptop atau komputer. Kedua, pengadaan serupa melalui Anggaran Biaya Tambahan (ABT) dengan nilai Rp273,6 juta untuk 16 unit laptop. Direktur Eksekutif CBA, Uchok Sky Khadafi, mengungkapkan belanja tahun 2025 bahkan jauh lebih fantastis dibanding dua tahun sebelumnya. Menurutnya, Setda Kota Tangerang pada tahun ini menghabiskan anggaran hingga Rp560.057.200 hanya untuk kembali memborong laptop. “Setiap tahun beli laptop itu mubazir. Ini justru menimbulkan kecurigaan masyarakat Kota Tangerang terhadap Walikota Drs. H. H. Sachrudin,” tegas Uchok Sky, di Jakarta, Selasa (18/11/2025). Atas indikasi pola belanja berulang dan tidak wajar tersebut, CBA mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan penyelidikan terhadap Setda Kota Tangerang. Uchok meminta agar auditor negara dilibatkan guna menelusuri siapa saja penerima perangkat, memastikan tidak ada mark up, serta mengecek apakah barang yang dibeli benar-benar ada atau hanya fiktif. “Kejagung harus menggandeng auditor negara untuk melihat siapa saja yang mendapat laptop, menelusuri dugaan mark up, dan memastikan laptop yang dibeli benar-benar ada, bukan fiktif,” tutup Uchok Sky.

Pemerintah dan DPR Sudah Tak Bisa  Dipercaya, Rakyat Harus Bergerak Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran

Oleh  Sholihin MS | Pemerhati Sosial dan Politik Suhu politik Indonesia semakin tidak menentu, suram, dan sangat mengkhawatirkan. Prabowo selaku Presiden tidak mampu mengendalikan situasi sama sekali. Pihak kepolisian pun sepertinya lebih suka jadi herder pengawal Jokowi.  Jokowi yang seluruh hidupnya penuh kejahatan dan ingin menghancurkan Indonesia justru terus dibiarkan mengendalikan negara. Seluruh kejahatan Jokowi yang sudah sangat keterlaluan belum bisa tersentuh hukum sama sekali. Berbagai kejahatan Jokowi bukan perkara remeh temeh, tapi termasuk kaliber kelas berat. Mulai dari kejahatan ijazah palsu, korupsi ribuan triliun, pembantaian 6 laskar FPI, pembunuhan 894 petugas KPPS, diduga sebagai aktor pembunuhan para ulama, ustadz dan pejuang kebenaran dan keadilan, kehancuran seluruh tatanan bernegara, rusaknya seluruh aturan hukum dan undang-undang, hancurnya moral seluruh pejabat negara baik yang di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bangkitnya ideologi komunis melalui gerakan komunis gaya baru, dan hukum di Indonesia yang sudah menjadi alat penguasa.  Negara dalam keadaan porak poranda, tapi para elit pejabat negara sibuk dengan urusan bisnis dan mengeruk kekayaan demi keuntungan dan menyelamatkan diri sendiri, tidak ada niat dan tekad untuk menyelamatkan bangsa dan negara.  DPR saat ini hanya berisi gerombolan  pecundang yang tidak punya jiwa juang untuk membeka bangsa dan negara. Mereka sangat takut dengan para bajingan pengkhianat negara yang terus menggarong uang rakyat dan negara, baik dari kelompok Jokowi maupun oligarki taipan. Para penegak hukum saat ini pun tersandera dengan kekuatan Jokowi, mungkin karena sudah terlibat dengan berbagai korupsi atau dikendalikan para taipan. Mereka sudah tidak punya nyali untuk menegakkan hukum secara jujur, adil  dan tidak pandang bulu. Di Pemerintahan pun tidak kurang loyonya. Prabowo tidak bisa bertindak tegas, bisanya cuma omon-omon. Taring (macan) Prabowo sudah hampir rontok semua, sekarang (macannya) bisanya cuma mengaum untuk menakut-nakuti, tapi sudah tidak bisa menggigit apalagi mencengkeram.  Negara tanpa cahaya dan harapan.  Rakyat harus bangkit melawan kedzaliman dan ketidakadilan.  Jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangab manusia idiot, otak kosong yang selalu Palanga plongo, tidak kompeten, jangankan untuk mengelola negara, bicara pun selalu gagap.  Relakah negara kita yang sangat besar ini akan dipimpin manusia idiot tanpa lulus SMA sekalipun?  Rakyat bersatu negara bakal terselamatkan! Bergeraklah!!! Bandung, 25 J. Awwal 1447.

Menanti Muhammadiyah Bersuara soal Privatisasi Air di Jakarta

Oleh: Noor Fajar Asa | Kader Muhammadiyah DALAM Sidang Paripurna 8 September 2025, mayoritas fraksi DPRD DKI Jakarta menyetujui perubahan status PAM Jaya menjadi Perseroda. Keputusan itu membuka ruang lebih besar bagi logika bisnis dalam pengelolaan air, meski sejak awal air ditempatkan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Di tengah posisi strategis Muhammadiyah dalam isu-isu pelayanan publik dan advokasi sosial, organisasinya belum terlihat hadir di ruang perdebatan ini. Hak atas air telah ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Instrumen itu menempatkan negara sebagai penjamin akses air minum yang aman, terjangkau, non-diskriminatif, serta bebas dari gangguan. Hak tersebut juga mencakup partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan air. Pendekatan itu tidak mengenal ruang bagi komodifikasi yang menempatkan air sebagai barang privat. Karena itu, ketika negara mengalihkan sebagian penguasaan air kepada pihak swasta, timbul pertanyaan tentang kesetiaan pada prinsip hak asasi dan mandat konstitusi. Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini selaras dengan gagasan bahwa air adalah barang publik. Privatisasi menempatkan air dalam relasi pasar dan harga, bukan kebutuhan dasar yang harus dijamin. Jakarta memiliki sejarah panjang privatisasi air. Pada 1997, PAM Jaya menandatangani dua kontrak konsesi: Palyja untuk wilayah barat dan Thames PAM Jaya—yang kemudian menjadi Aetra—untuk wilayah timur. Setelah itu, keluarga miskin kota mengalami hambatan besar dalam mengakses air karena tidak memiliki sertifikat hak milik sebagai syarat sambungan. Mereka akhirnya membeli air dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada tarif resmi. Kebijakan yang semula diklaim akan meningkatkan efisiensi berubah menjadi praktik eksklusi sistemik. Dampak privatisasi itu dapat dirasakan bahkan pada lingkungan yang dekat dengan jejaring Muhammadiyah. Warga yang menuju Kampus UHAMKA Pasar Rebo dari arah Kramat Jati akan melewati Gudang Air Pasar Rebo—penampungan air yang mulai beroperasi pada 1922. Bangunan bersejarah itu kini berada dalam pengelolaan Aetra. Lokasi tersebut menjadi pengingat bahwa infrastruktur air di Jakarta dibangun dengan orientasi pelayanan publik sejak era Batavia, sebelum berubah bentuk dalam skema kemitraan yang membuat banyak warga kesulitan mendapatkan air dengan harga wajar. Persetujuan DPRD DKI atas perubahan badan hukum PAM Jaya menjadi Perseroda,  langsung mengarah pada kebijakan. Perseroda membuka kemungkinan ekspansi skema bisnis, dan bagi sebagian kalangan, keputusan itu menunjukkan abainya wakil rakyat terhadap penolakan publik yang telah disuarakan sejak lama. Pada momen ini, absennya suara ormas-ormas Islam—termasuk Muhammadiyah—menjadi tanda tanya. Muhammadiyah memiliki tradisi kuat dalam isu sosial kemasyarakatan. Organisasi ini mengelola sekolah, rumah sakit, dan kampus yang hadir untuk publik tanpa menempatkan pelayanan dasar sebagai komoditas. Karena itu, sikapnya terhadap privatisasi air memiliki bobot moral dan politik yang besar. Diamnya organisasi sebesar Muhammadiyah membuat ruang diskusi publik kehilangan salah satu penopang penting. Privatisasi air bukan isu teknis. Ia bersentuhan dengan hak hidup warga, terutama mereka yang paling rentan. Ketika air semakin tunduk pada logika pasar, risiko eksklusi kembali mengemuka. Jakarta telah mengalami itu sejak 1997, dan sejarah tersebut seharusnya menjadi rambu peringatan. Debat tentang air hari ini adalah debat tentang peran negara dalam memenuhi hak warganya. Muhammadiyah, dengan jejaring dan basis moralnya, memiliki posisi untuk turut mengarahkan diskusi. Publik menunggu apakah organisasi ini akan kembali hadir sebagai penyambung suara kelompok yang terdampak dan sebagai penegas bahwa air adalah hak, bukan komoditas. (*)

Surat Menteri Kebudayaan Memperuncing Konflik Keraton Surakarta

Oleh Joko Sumpeno | Jurnalis Senior KONFLIK internal Keraton Kasunanan Surakarta dalam sepuluh hari terakhir tampaknya mengerucut pada tiga figur. Mereka adalah Pangeran Purboyo, Gusti Hangabehi dengan gelar KGPAA Mangkubumi, dan KGPA Tejowulan. Ketegangan memuncak setelah terbit surat Menteri Kebudayaan Fadlizon bernomor 10596/MK.L/KB.1003/2025 yang ditujukan kepada Pengageng Sasana Wilopo dan Lembaga Dewan Adat Keraton.   Dalam surat tersebut, pemerintah menegaskan bahwa pengelolaan dan kepemimpinan Keraton Surakarta berada di tangan Pakubuwono XIII bersama Maha Menteri KGPA Tejowulan. Untuk urusan suksesi, pemerintah meminta agar musyawarah melibatkan Tejowulan. Surat itu dikirim sebagai respons atas permintaan resmi Lembaga Dewan Adat yang dipimpin GKR Wandansari. Tembusan juga diberikan kepada Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jawa Tengah, dan Wali Kota Surakarta. Posisi Tejowulan sebagai pejabat ad interim merujuk pada SK Mendagri Nomor 430-2933 Tahun 2017, yang menetapkannya sebagai pendamping PB XIII sejak 2017. Setelah PB XIII wafat, ia menjalankan fungsi sementara sampai proses penetapan PB XIV diselesaikan. Berdasarkan alasan itu, Tejowulan tidak hadir dalam dua deklarasi penting pada 5 dan 10 November 2025: penobatan Pangeran Purboyo dan pengukuhan Gusti Hangabehi sebagai KGPAA Mangkubumi. Ia meminta seluruh pihak menahan diri dari tindakan penobatan sepihak. Seruan ini tidak diindahkan. Dua penobatan tetap dilakukan dan memperjelas pembelahan internal. Situasi ini memunculkan dugaan bahwa Tejowulan turut memiliki peluang untuk menjadi PB XIV melalui kedudukannya sebagai pejabat sementara. Penolakan terhadap posisi Tejowulan juga mencuat dari kubu Pangeran Purboyo. Pangeran Benowo, adik PB XIII, mempertanyakan legitimasi Tejowulan. “Lho yang didampingi Tejowulan kan sudah meninggal, lalu dia mendampingi siapa?” begitu pandangannya yang beredar di media sosial. Surat Menteri Kebudayaan turut memantik polemik baru karena menyinggung status Keraton Surakarta sebagai cagar budaya. Sebagian kerabat menolak, sebab status cagar budaya dinilai membuat keraton masuk ke dalam kendali pemerintah. Mereka menilai hal itu berpotensi membatasi ruang gerak internal, bahkan untuk urusan sederhana. Pertanyaan lain muncul: mengapa Keraton Yogyakarta tidak diperlakukan sama? Perdebatan semakin melebar ketika Pangeran Purboyo bergerak cepat. Pada 15 November 2025 ia di-jumeneng-kan sebagai PB XIV tanpa kehadiran KGPAA Mangkubumi maupun Tejowulan. Momentum itu mempertegas garis pembelahan yang sudah terbentuk. Di sisi lain, langkah Tejowulan melalui jalur pejabat ad interim menimbulkan pertanyaan tersendiri. Ada dugaan bahwa proses ini tidak sepenuhnya steril dari dinamika politik pemerintah. Namun persoalan utamanya tetap bertumpu pada kegelisahan internal keraton dalam merespons perkembangan zaman. Konflik berkepanjangan ini justru membawa Keraton Surakarta mendekati fase sandyakala, jauh dari peran idealnya sebagai pusat kebudayaan Jawa. (*)

Menteri Lingkungan Hidup: Jangan Tertipu Iklan, Sumber Air Aqua Bukan dari Pegunungan

JAKARTA, FNN | MENTERI Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq secara terang-terangan mengakui sebagian besar produk air minum dalam kemasan di Indonesia selama ini berasal dari air tanah, bukan dari sumber air pegunungan. Hanif kemudian mengingatkan agar publik tidak mudah tertipu dengan label air pegunungan pada botol kemasan yang banyak beredar. \"Jadi Bapak jangan terpedaya oleh minuman-minuman yang ada di atas meja itu Pak. Belum ada satupun minuman kemasan yang menggunakan air permukaan secara sustainable untuk produknya. Hanya untuk pricingnya, iya,\" kata Hanif dalam acara Mindialogue CNBC Indonesia, dikutip Kamis. (13/11/2025). Dikatakan Hanif, pengambilan air tanah secara berlebihan oleh perusahaan air minum sangat berisiko terhadap ketersediaan sumber daya air dalam jangka panjang. \"Semisal kita perusahaan air minum, tanpa kita memperhatikan konservasi jangka panjang. Suatu ketika, maka suplai air kita akan terbatas. Saya enggak usah sebut namanya. Namanya air minum pegunungan. Tetapi yang digunakan air tanah,\" ujarnya. Sayangnya, air tanah sangat sulit untuk kembali, bahkan bisa dikatakan nyaris tidak dapat pulih. Laju rembesan air tanah hanya sekitar 100 cm per hari, sehingga pemulihannya membutuhkan proses yang cukup lama. \"Konsep konservasi sebagai investasi jangka panjang ini baru sebatas drama. Baru sebatas kemudian semacam mantra yang banyak disampaikan oleh perusahaan, belum kita implementasikan,\" kritik Hanif. Sementara itu, Danone Indonesia sebagai perusahaan produsen Aqua mengklaim sumber air Aqua berasal dari sumber air pegunungan yang terlindungi. \"Air AQUA berasal dari 19 sumber air pegunungan yang tersebar di seluruh Indonesia. Setiap sumber air dipilih melalui proses seleksi ketat yang melibatkan 9 kriteria ilmiah, 5 tahapan evaluasi, Minimal 1 tahun penelitian,\" demikian keterangan Danone, Kamis (23/4/2025).

Dugaan Korupsi Bansos Rp2,85 Triliun: Mengapa Pramono Anung Mempertahankan Arief Nasrudin?

JAKARTA, FNN | Kasus dugaan korupsi bansos Rp2,85 triliun di DKI Jakarta menyisakan tanya. Nama Arief Nasrudin—eks Dirut Pasar Jaya, kini Dirut PAM Jaya—tak tersentuh hukum, tapi tetap dipercaya Gubernur Pramono Anung.   Pintu kaca kantor PT PAM Jaya di kawasan Penjaringan itu tampak tenang. Arief Nasrudin, Direktur Utama perusahaan air minum milik Pemprov DKI, masih berkantor seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda keresahan di balik ruang kerjanya, meski namanya kembali disebut dalam pusaran kasus lama: dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19 senilai Rp2,85 triliun. Kasus itu mencuat dari program tanggap darurat pandemi 2020, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah Gubernur Anies Baswedan menyalurkan bantuan sembako bagi warga terdampak. Dana Rp3,65 triliun digelontorkan, dengan porsi terbesar—Rp2,85 triliun—dikelola oleh Perumda Pasar Jaya, yang kala itu dipimpin Arief. Namun di lapangan, laporan publik dan temuan awal lembaga antikorupsi mengindikasikan adanya maladministrasi serius. Vendor yang tak punya pengalaman logistik tiba-tiba ikut menyalurkan bantuan: perusahaan servis AC, SPBU, bahkan kontraktor bangunan. Dari pengadaan itu, timbul selisih nilai sekitar Rp150 miliar yang hingga kini belum terjelaskan. SP3 Hantu dan Kejanggalan Hukum   Tiga nama utama terseret dalam kasus ini: Arief Nasrudin, Kepala Dinas Sosial DKI Premi Lasari, dan Kepala Bidang Banjamsos Ika Yuli Rahayu. Namun empat tahun berselang, tak satu pun ditetapkan sebagai tersangka. Rumor pun merebak: penyidikan dihentikan, konon dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang misterius. “Rumor SP3 ini hanya pesan untuk Gubernur Pramono Anung agar tidak mencopot Arief Nasrudin,” kata Uchok Sky Khadafi, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA).  Menurut Uchok, sinyal itu ganjil: “Bagaimana mungkin orang yang terindikasi kuat dalam pengelolaan dana bansos sebesar itu masih dipercaya mengelola perusahaan vital seperti PAM Jaya?” Kejaksaan Agung maupun KPK hingga kini tak pernah mengonfirmasi penerbitan SP3. Beberapa sumber di kalangan aktivis antikorupsi menyebut kasus itu “dibiarkan dingin”, tanpa keterangan resmi penghentian. Jejak Lama, Jabatan Baru   Di kalangan birokrasi DKI, Arief dikenal sebagai pejabat yang lihai bertahan. Setelah masa jabatan di Pasar Jaya berakhir, ia kembali dipercaya Gubernur Pramono Anung untuk memimpin PAM Jaya—perusahaan strategis yang mengelola layanan air bersih ibu kota. Langkah ini memicu tanda tanya publik. Keputusan ini seperti bentuk pembiaran moral. Bagaimana mungkin pejabat yang namanya pernah disebut dalam kasus keuangan triliunan rupiah tidak dievaluasi? Konon, Arief memang kerap dianggap bagian dari lingkaran teknokrat Pemprov DKI yang “serba bisa”—mengatur logistik, proyek pasar, hingga layanan air. Namun reputasinya kini dibayangi persoalan yang tak kunjung tuntas. Di Antara Politik dan Hukum   Sumber di Balaikota menyebut, posisi Arief dianggap “aman” karena keberadaannya strategis dalam proyek-proyek air minum yang menjadi kebanggaan gubernur. Tapi bagi aktivis antikorupsi, ini adalah preseden buruk. “Bansos adalah uang rakyat,” tegas Uchok Sky. “Dana sebesar Rp2,85 triliun itu bisa membangun ratusan sekolah dan membantu ribuan keluarga miskin di Jakarta. Mengapa kasus sebesar ini tidak disentuh hukum?” Dalam lanskap hukum Indonesia, kasus bansos memang sensitif. Ia sering bersentuhan dengan kebijakan darurat, celah birokrasi, dan kepentingan politik lokal. “Bila tak diselidiki tuntas,” kata Firdaus, “ia akan menjadi simbol ketidakadilan baru: bahwa korupsi bisa dihapus hanya dengan jabatan.” Empat tahun sudah berlalu sejak rakyat menerima paket-paket bansos itu—sebagian rusak, sebagian tak sampai. Kini, nama-nama di baliknya justru naik pangkat.   Kantor PAM Jaya tetap bersih, keran-keran tetap mengalir, tapi bau ketidakadilan seperti masih menetes pelan di antara pipa-pipa itu. (Dimas Huda)

Viral Dugaan Bupati Kutai Timur Jual APBD Rp600 Miliar ke Haji Herman

JAKARTA, FNN--Di balik kemenangan politik, tersimpan tagihan raksasa. Dugaan barter proyek senilai Rp600 miliar antara Bupati Kutai Timur dan seorang pengusaha tambang menyeret birokrasi ke dalam pusaran korupsi. Dari Balikpapan, aroma “utang Pilkada” kini menyesaki udara Sangatta—meninggalkan jejak gelap dalam tubuh APBD 2025. Sore itu, awal Oktober 2025, sebuah kafe di sudut Jalan Jenderal Sudirman, Balikpapan, menjadi saksi pertemuan empat orang yang kelak disebut sebagai “titik awal” kisruh anggaran Kutai Timur. Tak ada tanda-tanda mencolok—hanya secangkir kopi, obrolan datar, dan tawa sesekali. Namun di balik meja kayu itu, sedang dibicarakan hal besar: dugaan barter kekuasaan dan uang dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutai Timur 2025.  Di sana hadir Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman, Kabid Bappeda Marhadyn, staf kepercayaan bupati Anggara, dan pengusaha tambang asal Balikpapan Haji Herman. Menurut laman fnn.asia yang sempat viral, topik yang mereka bahas adalah “utang politik” yang harus dibayar setelah Pilkada 2024. “Haji Herman minta proyek besar dari APBD 2025. Katanya, untuk menutup dana yang sudah keluar waktu pilkada,” ujar sumber itu. Bayangan Balas Jasa  Nama Haji Herman memang tak asing di lingkaran tim pemenangan Ardiansyah–Mahyunadi (ARMY). Dalam laporan FNN.asia berjudul “Bupati bersama Marhadyn jual 600 miliar APBD Kutim ke Haji Herman”, disebutkan nilai kesepakatan politik itu mencapai Rp600 miliar—angka yang menggetarkan. Sejak saat itu, posisi Marhadyn melonjak. Pejabat struktural yang sebelumnya jarang terdengar, tiba-tiba memegang kendali penuh atas perencanaan anggaran Kutim. Ia disebut menentukan struktur APBD, mengatur proyek prioritas, bahkan terlibat langsung dalam pembahasan tender. “Sekarang semua lewat dia,” kata seorang pejabat Bappeda yang meminta namanya disamarkan. “Plt Kepala Bappeda Noviari Noor seperti kehilangan kewenangan.” Jaringan Proyek yang Tersusun Rapi  Beberapa kontraktor lokal di Sangatta mulai curiga. Sejak Maret hingga September 2025, hampir tak ada tender besar yang berjalan. “Tapi perusahaan tertentu yang dekat dengan Haji Herman malah bisa langsung kerja,” kata seorang pengusaha konstruksi. Sumber lain di lingkungan Bappeda menyebut, daftar kegiatan dalam APBD Perubahan 2025 diatur agar proyek-proyek tertentu tetap masuk. Pertemuan tertutup antara Marhadyn dan Noviari Noor disebut terjadi berulang kali sepanjang September. “Kadang rapat malam, staf lain disuruh pulang,” ujar seorang ASN yang ikut membantu administrasi. Isu makin panas ketika muncul kabar bahwa Rp60 miliar uang tunai berpindah tangan setelah pertemuan Balikpapan. Belum ada bukti kuat, tapi cerita itu berulang di kalangan pegawai dan politisi lokal.  “Kalau benar APBD dipakai untuk bayar utang pilkada, itu bukan lagi pelanggaran etik—itu korupsi politik,” kata Burhanuddin AR, aktivis antikorupsi. Bayang-Bayang Anggara dan Sekda Nama Anggara tak kalah menarik. Ia dikenal sebagai “penyambung lidah” bupati—orang yang kerap menjadi perantara jika Bupati Ardiansyah membutuhkan dana cepat, termasuk dari dinas-dinas. “Sudah jadi rahasia umum di Kutim,” kata seorang ASN senior. “Ada beberapa pegawai siap bersaksi tentang peran Anggara.”  Kekacauan tata kelola ini juga menyeret bayangan Sekretaris Daerah Kutai Timur, Rizali Hadi. Beberapa pejabat menuding Sekda memiliki “jagoan kontraktor” yang kerap membawa nama besar sang pejabat untuk mengamankan proyek. “Kalau Iwan sudah masuk, urusannya susah. Biasanya bawa nama Sekda dan ancam mutasi,” ujar seorang pejabat di dinas teknis. Upaya media untuk mengonfirmasi Bupati Ardiansyah, Marhadyn, maupun Plt Kepala Bappeda Noviari Noor sampai kini tidak membuahkan hasil. Pesan singkat dan panggilan telepon yang dikirim tidak direspons. Sementara itu, desakan publik agar KPK dan Kejaksaan Agung turun tangan semakin menguat. Warga Sangatta menyuarakan keprihatinan atas tata kelola keuangan daerah yang dianggap makin tak transparan. “Kami ingin APBD kembali ke rakyat, bukan ke kantong tim sukses,” kata Burhanuddin.  Kini, di tengah kabut politik yang menutupi Kutai Timur, publik hanya bisa berharap pada langkah tegas aparat penegak hukum. Sebab bagi warga yang lelah dengan drama “utang Pilkada” dan proyek siluman, satu hal sudah jelas: kepercayaan publik adalah korban paling awal dari transaksi politik yang gelap ini. (DH)