ALL CATEGORY

Pemerintah dan DPR Sudah Tak Bisa  Dipercaya, Rakyat Harus Bergerak Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran

Oleh  Sholihin MS | Pemerhati Sosial dan Politik Suhu politik Indonesia semakin tidak menentu, suram, dan sangat mengkhawatirkan. Prabowo selaku Presiden tidak mampu mengendalikan situasi sama sekali. Pihak kepolisian pun sepertinya lebih suka jadi herder pengawal Jokowi.  Jokowi yang seluruh hidupnya penuh kejahatan dan ingin menghancurkan Indonesia justru terus dibiarkan mengendalikan negara. Seluruh kejahatan Jokowi yang sudah sangat keterlaluan belum bisa tersentuh hukum sama sekali. Berbagai kejahatan Jokowi bukan perkara remeh temeh, tapi termasuk kaliber kelas berat. Mulai dari kejahatan ijazah palsu, korupsi ribuan triliun, pembantaian 6 laskar FPI, pembunuhan 894 petugas KPPS, diduga sebagai aktor pembunuhan para ulama, ustadz dan pejuang kebenaran dan keadilan, kehancuran seluruh tatanan bernegara, rusaknya seluruh aturan hukum dan undang-undang, hancurnya moral seluruh pejabat negara baik yang di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bangkitnya ideologi komunis melalui gerakan komunis gaya baru, dan hukum di Indonesia yang sudah menjadi alat penguasa.  Negara dalam keadaan porak poranda, tapi para elit pejabat negara sibuk dengan urusan bisnis dan mengeruk kekayaan demi keuntungan dan menyelamatkan diri sendiri, tidak ada niat dan tekad untuk menyelamatkan bangsa dan negara.  DPR saat ini hanya berisi gerombolan  pecundang yang tidak punya jiwa juang untuk membeka bangsa dan negara. Mereka sangat takut dengan para bajingan pengkhianat negara yang terus menggarong uang rakyat dan negara, baik dari kelompok Jokowi maupun oligarki taipan. Para penegak hukum saat ini pun tersandera dengan kekuatan Jokowi, mungkin karena sudah terlibat dengan berbagai korupsi atau dikendalikan para taipan. Mereka sudah tidak punya nyali untuk menegakkan hukum secara jujur, adil  dan tidak pandang bulu. Di Pemerintahan pun tidak kurang loyonya. Prabowo tidak bisa bertindak tegas, bisanya cuma omon-omon. Taring (macan) Prabowo sudah hampir rontok semua, sekarang (macannya) bisanya cuma mengaum untuk menakut-nakuti, tapi sudah tidak bisa menggigit apalagi mencengkeram.  Negara tanpa cahaya dan harapan.  Rakyat harus bangkit melawan kedzaliman dan ketidakadilan.  Jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangab manusia idiot, otak kosong yang selalu Palanga plongo, tidak kompeten, jangankan untuk mengelola negara, bicara pun selalu gagap.  Relakah negara kita yang sangat besar ini akan dipimpin manusia idiot tanpa lulus SMA sekalipun?  Rakyat bersatu negara bakal terselamatkan! Bergeraklah!!! Bandung, 25 J. Awwal 1447.

Menanti Muhammadiyah Bersuara soal Privatisasi Air di Jakarta

Oleh: Noor Fajar Asa | Kader Muhammadiyah DALAM Sidang Paripurna 8 September 2025, mayoritas fraksi DPRD DKI Jakarta menyetujui perubahan status PAM Jaya menjadi Perseroda. Keputusan itu membuka ruang lebih besar bagi logika bisnis dalam pengelolaan air, meski sejak awal air ditempatkan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Di tengah posisi strategis Muhammadiyah dalam isu-isu pelayanan publik dan advokasi sosial, organisasinya belum terlihat hadir di ruang perdebatan ini. Hak atas air telah ditegaskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Instrumen itu menempatkan negara sebagai penjamin akses air minum yang aman, terjangkau, non-diskriminatif, serta bebas dari gangguan. Hak tersebut juga mencakup partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan air. Pendekatan itu tidak mengenal ruang bagi komodifikasi yang menempatkan air sebagai barang privat. Karena itu, ketika negara mengalihkan sebagian penguasaan air kepada pihak swasta, timbul pertanyaan tentang kesetiaan pada prinsip hak asasi dan mandat konstitusi. Konstitusi Indonesia menyatakan bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini selaras dengan gagasan bahwa air adalah barang publik. Privatisasi menempatkan air dalam relasi pasar dan harga, bukan kebutuhan dasar yang harus dijamin. Jakarta memiliki sejarah panjang privatisasi air. Pada 1997, PAM Jaya menandatangani dua kontrak konsesi: Palyja untuk wilayah barat dan Thames PAM Jaya—yang kemudian menjadi Aetra—untuk wilayah timur. Setelah itu, keluarga miskin kota mengalami hambatan besar dalam mengakses air karena tidak memiliki sertifikat hak milik sebagai syarat sambungan. Mereka akhirnya membeli air dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada tarif resmi. Kebijakan yang semula diklaim akan meningkatkan efisiensi berubah menjadi praktik eksklusi sistemik. Dampak privatisasi itu dapat dirasakan bahkan pada lingkungan yang dekat dengan jejaring Muhammadiyah. Warga yang menuju Kampus UHAMKA Pasar Rebo dari arah Kramat Jati akan melewati Gudang Air Pasar Rebo—penampungan air yang mulai beroperasi pada 1922. Bangunan bersejarah itu kini berada dalam pengelolaan Aetra. Lokasi tersebut menjadi pengingat bahwa infrastruktur air di Jakarta dibangun dengan orientasi pelayanan publik sejak era Batavia, sebelum berubah bentuk dalam skema kemitraan yang membuat banyak warga kesulitan mendapatkan air dengan harga wajar. Persetujuan DPRD DKI atas perubahan badan hukum PAM Jaya menjadi Perseroda,  langsung mengarah pada kebijakan. Perseroda membuka kemungkinan ekspansi skema bisnis, dan bagi sebagian kalangan, keputusan itu menunjukkan abainya wakil rakyat terhadap penolakan publik yang telah disuarakan sejak lama. Pada momen ini, absennya suara ormas-ormas Islam—termasuk Muhammadiyah—menjadi tanda tanya. Muhammadiyah memiliki tradisi kuat dalam isu sosial kemasyarakatan. Organisasi ini mengelola sekolah, rumah sakit, dan kampus yang hadir untuk publik tanpa menempatkan pelayanan dasar sebagai komoditas. Karena itu, sikapnya terhadap privatisasi air memiliki bobot moral dan politik yang besar. Diamnya organisasi sebesar Muhammadiyah membuat ruang diskusi publik kehilangan salah satu penopang penting. Privatisasi air bukan isu teknis. Ia bersentuhan dengan hak hidup warga, terutama mereka yang paling rentan. Ketika air semakin tunduk pada logika pasar, risiko eksklusi kembali mengemuka. Jakarta telah mengalami itu sejak 1997, dan sejarah tersebut seharusnya menjadi rambu peringatan. Debat tentang air hari ini adalah debat tentang peran negara dalam memenuhi hak warganya. Muhammadiyah, dengan jejaring dan basis moralnya, memiliki posisi untuk turut mengarahkan diskusi. Publik menunggu apakah organisasi ini akan kembali hadir sebagai penyambung suara kelompok yang terdampak dan sebagai penegas bahwa air adalah hak, bukan komoditas. (*)

Surat Menteri Kebudayaan Memperuncing Konflik Keraton Surakarta

Oleh Joko Sumpeno | Jurnalis Senior KONFLIK internal Keraton Kasunanan Surakarta dalam sepuluh hari terakhir tampaknya mengerucut pada tiga figur. Mereka adalah Pangeran Purboyo, Gusti Hangabehi dengan gelar KGPAA Mangkubumi, dan KGPA Tejowulan. Ketegangan memuncak setelah terbit surat Menteri Kebudayaan Fadlizon bernomor 10596/MK.L/KB.1003/2025 yang ditujukan kepada Pengageng Sasana Wilopo dan Lembaga Dewan Adat Keraton.   Dalam surat tersebut, pemerintah menegaskan bahwa pengelolaan dan kepemimpinan Keraton Surakarta berada di tangan Pakubuwono XIII bersama Maha Menteri KGPA Tejowulan. Untuk urusan suksesi, pemerintah meminta agar musyawarah melibatkan Tejowulan. Surat itu dikirim sebagai respons atas permintaan resmi Lembaga Dewan Adat yang dipimpin GKR Wandansari. Tembusan juga diberikan kepada Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jawa Tengah, dan Wali Kota Surakarta. Posisi Tejowulan sebagai pejabat ad interim merujuk pada SK Mendagri Nomor 430-2933 Tahun 2017, yang menetapkannya sebagai pendamping PB XIII sejak 2017. Setelah PB XIII wafat, ia menjalankan fungsi sementara sampai proses penetapan PB XIV diselesaikan. Berdasarkan alasan itu, Tejowulan tidak hadir dalam dua deklarasi penting pada 5 dan 10 November 2025: penobatan Pangeran Purboyo dan pengukuhan Gusti Hangabehi sebagai KGPAA Mangkubumi. Ia meminta seluruh pihak menahan diri dari tindakan penobatan sepihak. Seruan ini tidak diindahkan. Dua penobatan tetap dilakukan dan memperjelas pembelahan internal. Situasi ini memunculkan dugaan bahwa Tejowulan turut memiliki peluang untuk menjadi PB XIV melalui kedudukannya sebagai pejabat sementara. Penolakan terhadap posisi Tejowulan juga mencuat dari kubu Pangeran Purboyo. Pangeran Benowo, adik PB XIII, mempertanyakan legitimasi Tejowulan. “Lho yang didampingi Tejowulan kan sudah meninggal, lalu dia mendampingi siapa?” begitu pandangannya yang beredar di media sosial. Surat Menteri Kebudayaan turut memantik polemik baru karena menyinggung status Keraton Surakarta sebagai cagar budaya. Sebagian kerabat menolak, sebab status cagar budaya dinilai membuat keraton masuk ke dalam kendali pemerintah. Mereka menilai hal itu berpotensi membatasi ruang gerak internal, bahkan untuk urusan sederhana. Pertanyaan lain muncul: mengapa Keraton Yogyakarta tidak diperlakukan sama? Perdebatan semakin melebar ketika Pangeran Purboyo bergerak cepat. Pada 15 November 2025 ia di-jumeneng-kan sebagai PB XIV tanpa kehadiran KGPAA Mangkubumi maupun Tejowulan. Momentum itu mempertegas garis pembelahan yang sudah terbentuk. Di sisi lain, langkah Tejowulan melalui jalur pejabat ad interim menimbulkan pertanyaan tersendiri. Ada dugaan bahwa proses ini tidak sepenuhnya steril dari dinamika politik pemerintah. Namun persoalan utamanya tetap bertumpu pada kegelisahan internal keraton dalam merespons perkembangan zaman. Konflik berkepanjangan ini justru membawa Keraton Surakarta mendekati fase sandyakala, jauh dari peran idealnya sebagai pusat kebudayaan Jawa. (*)

Menteri Lingkungan Hidup: Jangan Tertipu Iklan, Sumber Air Aqua Bukan dari Pegunungan

JAKARTA, FNN | MENTERI Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq secara terang-terangan mengakui sebagian besar produk air minum dalam kemasan di Indonesia selama ini berasal dari air tanah, bukan dari sumber air pegunungan. Hanif kemudian mengingatkan agar publik tidak mudah tertipu dengan label air pegunungan pada botol kemasan yang banyak beredar. \"Jadi Bapak jangan terpedaya oleh minuman-minuman yang ada di atas meja itu Pak. Belum ada satupun minuman kemasan yang menggunakan air permukaan secara sustainable untuk produknya. Hanya untuk pricingnya, iya,\" kata Hanif dalam acara Mindialogue CNBC Indonesia, dikutip Kamis. (13/11/2025). Dikatakan Hanif, pengambilan air tanah secara berlebihan oleh perusahaan air minum sangat berisiko terhadap ketersediaan sumber daya air dalam jangka panjang. \"Semisal kita perusahaan air minum, tanpa kita memperhatikan konservasi jangka panjang. Suatu ketika, maka suplai air kita akan terbatas. Saya enggak usah sebut namanya. Namanya air minum pegunungan. Tetapi yang digunakan air tanah,\" ujarnya. Sayangnya, air tanah sangat sulit untuk kembali, bahkan bisa dikatakan nyaris tidak dapat pulih. Laju rembesan air tanah hanya sekitar 100 cm per hari, sehingga pemulihannya membutuhkan proses yang cukup lama. \"Konsep konservasi sebagai investasi jangka panjang ini baru sebatas drama. Baru sebatas kemudian semacam mantra yang banyak disampaikan oleh perusahaan, belum kita implementasikan,\" kritik Hanif. Sementara itu, Danone Indonesia sebagai perusahaan produsen Aqua mengklaim sumber air Aqua berasal dari sumber air pegunungan yang terlindungi. \"Air AQUA berasal dari 19 sumber air pegunungan yang tersebar di seluruh Indonesia. Setiap sumber air dipilih melalui proses seleksi ketat yang melibatkan 9 kriteria ilmiah, 5 tahapan evaluasi, Minimal 1 tahun penelitian,\" demikian keterangan Danone, Kamis (23/4/2025).

Dugaan Korupsi Bansos Rp2,85 Triliun: Mengapa Pramono Anung Mempertahankan Arief Nasrudin?

JAKARTA, FNN | Kasus dugaan korupsi bansos Rp2,85 triliun di DKI Jakarta menyisakan tanya. Nama Arief Nasrudin—eks Dirut Pasar Jaya, kini Dirut PAM Jaya—tak tersentuh hukum, tapi tetap dipercaya Gubernur Pramono Anung.   Pintu kaca kantor PT PAM Jaya di kawasan Penjaringan itu tampak tenang. Arief Nasrudin, Direktur Utama perusahaan air minum milik Pemprov DKI, masih berkantor seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda keresahan di balik ruang kerjanya, meski namanya kembali disebut dalam pusaran kasus lama: dugaan korupsi bantuan sosial Covid-19 senilai Rp2,85 triliun. Kasus itu mencuat dari program tanggap darurat pandemi 2020, ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah Gubernur Anies Baswedan menyalurkan bantuan sembako bagi warga terdampak. Dana Rp3,65 triliun digelontorkan, dengan porsi terbesar—Rp2,85 triliun—dikelola oleh Perumda Pasar Jaya, yang kala itu dipimpin Arief. Namun di lapangan, laporan publik dan temuan awal lembaga antikorupsi mengindikasikan adanya maladministrasi serius. Vendor yang tak punya pengalaman logistik tiba-tiba ikut menyalurkan bantuan: perusahaan servis AC, SPBU, bahkan kontraktor bangunan. Dari pengadaan itu, timbul selisih nilai sekitar Rp150 miliar yang hingga kini belum terjelaskan. SP3 Hantu dan Kejanggalan Hukum   Tiga nama utama terseret dalam kasus ini: Arief Nasrudin, Kepala Dinas Sosial DKI Premi Lasari, dan Kepala Bidang Banjamsos Ika Yuli Rahayu. Namun empat tahun berselang, tak satu pun ditetapkan sebagai tersangka. Rumor pun merebak: penyidikan dihentikan, konon dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang misterius. “Rumor SP3 ini hanya pesan untuk Gubernur Pramono Anung agar tidak mencopot Arief Nasrudin,” kata Uchok Sky Khadafi, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA).  Menurut Uchok, sinyal itu ganjil: “Bagaimana mungkin orang yang terindikasi kuat dalam pengelolaan dana bansos sebesar itu masih dipercaya mengelola perusahaan vital seperti PAM Jaya?” Kejaksaan Agung maupun KPK hingga kini tak pernah mengonfirmasi penerbitan SP3. Beberapa sumber di kalangan aktivis antikorupsi menyebut kasus itu “dibiarkan dingin”, tanpa keterangan resmi penghentian. Jejak Lama, Jabatan Baru   Di kalangan birokrasi DKI, Arief dikenal sebagai pejabat yang lihai bertahan. Setelah masa jabatan di Pasar Jaya berakhir, ia kembali dipercaya Gubernur Pramono Anung untuk memimpin PAM Jaya—perusahaan strategis yang mengelola layanan air bersih ibu kota. Langkah ini memicu tanda tanya publik. Keputusan ini seperti bentuk pembiaran moral. Bagaimana mungkin pejabat yang namanya pernah disebut dalam kasus keuangan triliunan rupiah tidak dievaluasi? Konon, Arief memang kerap dianggap bagian dari lingkaran teknokrat Pemprov DKI yang “serba bisa”—mengatur logistik, proyek pasar, hingga layanan air. Namun reputasinya kini dibayangi persoalan yang tak kunjung tuntas. Di Antara Politik dan Hukum   Sumber di Balaikota menyebut, posisi Arief dianggap “aman” karena keberadaannya strategis dalam proyek-proyek air minum yang menjadi kebanggaan gubernur. Tapi bagi aktivis antikorupsi, ini adalah preseden buruk. “Bansos adalah uang rakyat,” tegas Uchok Sky. “Dana sebesar Rp2,85 triliun itu bisa membangun ratusan sekolah dan membantu ribuan keluarga miskin di Jakarta. Mengapa kasus sebesar ini tidak disentuh hukum?” Dalam lanskap hukum Indonesia, kasus bansos memang sensitif. Ia sering bersentuhan dengan kebijakan darurat, celah birokrasi, dan kepentingan politik lokal. “Bila tak diselidiki tuntas,” kata Firdaus, “ia akan menjadi simbol ketidakadilan baru: bahwa korupsi bisa dihapus hanya dengan jabatan.” Empat tahun sudah berlalu sejak rakyat menerima paket-paket bansos itu—sebagian rusak, sebagian tak sampai. Kini, nama-nama di baliknya justru naik pangkat.   Kantor PAM Jaya tetap bersih, keran-keran tetap mengalir, tapi bau ketidakadilan seperti masih menetes pelan di antara pipa-pipa itu. (Dimas Huda)

Viral Dugaan Bupati Kutai Timur Jual APBD Rp600 Miliar ke Haji Herman

JAKARTA, FNN--Di balik kemenangan politik, tersimpan tagihan raksasa. Dugaan barter proyek senilai Rp600 miliar antara Bupati Kutai Timur dan seorang pengusaha tambang menyeret birokrasi ke dalam pusaran korupsi. Dari Balikpapan, aroma “utang Pilkada” kini menyesaki udara Sangatta—meninggalkan jejak gelap dalam tubuh APBD 2025. Sore itu, awal Oktober 2025, sebuah kafe di sudut Jalan Jenderal Sudirman, Balikpapan, menjadi saksi pertemuan empat orang yang kelak disebut sebagai “titik awal” kisruh anggaran Kutai Timur. Tak ada tanda-tanda mencolok—hanya secangkir kopi, obrolan datar, dan tawa sesekali. Namun di balik meja kayu itu, sedang dibicarakan hal besar: dugaan barter kekuasaan dan uang dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kutai Timur 2025.  Di sana hadir Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman, Kabid Bappeda Marhadyn, staf kepercayaan bupati Anggara, dan pengusaha tambang asal Balikpapan Haji Herman. Menurut laman fnn.asia yang sempat viral, topik yang mereka bahas adalah “utang politik” yang harus dibayar setelah Pilkada 2024. “Haji Herman minta proyek besar dari APBD 2025. Katanya, untuk menutup dana yang sudah keluar waktu pilkada,” ujar sumber itu. Bayangan Balas Jasa  Nama Haji Herman memang tak asing di lingkaran tim pemenangan Ardiansyah–Mahyunadi (ARMY). Dalam laporan FNN.asia berjudul “Bupati bersama Marhadyn jual 600 miliar APBD Kutim ke Haji Herman”, disebutkan nilai kesepakatan politik itu mencapai Rp600 miliar—angka yang menggetarkan. Sejak saat itu, posisi Marhadyn melonjak. Pejabat struktural yang sebelumnya jarang terdengar, tiba-tiba memegang kendali penuh atas perencanaan anggaran Kutim. Ia disebut menentukan struktur APBD, mengatur proyek prioritas, bahkan terlibat langsung dalam pembahasan tender. “Sekarang semua lewat dia,” kata seorang pejabat Bappeda yang meminta namanya disamarkan. “Plt Kepala Bappeda Noviari Noor seperti kehilangan kewenangan.” Jaringan Proyek yang Tersusun Rapi  Beberapa kontraktor lokal di Sangatta mulai curiga. Sejak Maret hingga September 2025, hampir tak ada tender besar yang berjalan. “Tapi perusahaan tertentu yang dekat dengan Haji Herman malah bisa langsung kerja,” kata seorang pengusaha konstruksi. Sumber lain di lingkungan Bappeda menyebut, daftar kegiatan dalam APBD Perubahan 2025 diatur agar proyek-proyek tertentu tetap masuk. Pertemuan tertutup antara Marhadyn dan Noviari Noor disebut terjadi berulang kali sepanjang September. “Kadang rapat malam, staf lain disuruh pulang,” ujar seorang ASN yang ikut membantu administrasi. Isu makin panas ketika muncul kabar bahwa Rp60 miliar uang tunai berpindah tangan setelah pertemuan Balikpapan. Belum ada bukti kuat, tapi cerita itu berulang di kalangan pegawai dan politisi lokal.  “Kalau benar APBD dipakai untuk bayar utang pilkada, itu bukan lagi pelanggaran etik—itu korupsi politik,” kata Burhanuddin AR, aktivis antikorupsi. Bayang-Bayang Anggara dan Sekda Nama Anggara tak kalah menarik. Ia dikenal sebagai “penyambung lidah” bupati—orang yang kerap menjadi perantara jika Bupati Ardiansyah membutuhkan dana cepat, termasuk dari dinas-dinas. “Sudah jadi rahasia umum di Kutim,” kata seorang ASN senior. “Ada beberapa pegawai siap bersaksi tentang peran Anggara.”  Kekacauan tata kelola ini juga menyeret bayangan Sekretaris Daerah Kutai Timur, Rizali Hadi. Beberapa pejabat menuding Sekda memiliki “jagoan kontraktor” yang kerap membawa nama besar sang pejabat untuk mengamankan proyek. “Kalau Iwan sudah masuk, urusannya susah. Biasanya bawa nama Sekda dan ancam mutasi,” ujar seorang pejabat di dinas teknis. Upaya media untuk mengonfirmasi Bupati Ardiansyah, Marhadyn, maupun Plt Kepala Bappeda Noviari Noor sampai kini tidak membuahkan hasil. Pesan singkat dan panggilan telepon yang dikirim tidak direspons. Sementara itu, desakan publik agar KPK dan Kejaksaan Agung turun tangan semakin menguat. Warga Sangatta menyuarakan keprihatinan atas tata kelola keuangan daerah yang dianggap makin tak transparan. “Kami ingin APBD kembali ke rakyat, bukan ke kantong tim sukses,” kata Burhanuddin.  Kini, di tengah kabut politik yang menutupi Kutai Timur, publik hanya bisa berharap pada langkah tegas aparat penegak hukum. Sebab bagi warga yang lelah dengan drama “utang Pilkada” dan proyek siluman, satu hal sudah jelas: kepercayaan publik adalah korban paling awal dari transaksi politik yang gelap ini. (DH)  

Kehadiran Komut PLN di MoU Futura Energi Dipertanyakan

JAKARTA, FNN - Manajemen PT Futura Energi Global, Tbk. (FUTR) dinilai sukses mendongkrak harga saham. Emiten yang kini fokus pada pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di sektor Ketenagalistrikan itu tercatat membukukan  laba yang signifikan, naik 444%. Dengan nilai Rp3,7 miliar hingga kuartal III 2025. Langkah FUTR melakukan MoU atau perjanjian kersajama dengan   Zhejiang Energy PV-Tech Co., Ltd  dan berencana membangun PLTS dengan kapasitas 130 MegaWatt (MW) di Bali dinilai Pengamat Kelistrikan Okky Setiawan Kamarga menunjukkan keseriusan emiten itu. Sayangnya, lanjut Okky, acara kerjasama dua pihak itu dihadiri Komisaris Utama (Komut) PLN Burhanuddin Abdullah. “Kehadiran bapak Burhanuddin Abdullah di acara tersebut tentu  dipertanyakan. Dalam kapasitas apa, karena PLN tak ada kaitannya dengan kerjasama dua perusahaan swasta itu,” katanya. Okky menghawatirkan akan timbul kecurigaan investor maupun masyarakat. Terlebih, kehadiran Komisaris Utama PLN di acara mitra bisnis yang sedang terlibat dalam proyek besar berpotensi  memunculkan persepsi konflik kepentingan. \"Otoritas seperti BEI, KPK, Kejaksaan memiliki kewenangan untuk meminta penjelasan memeriksa Komut PLN sehingga tidak menimbulkan persepsi kurang baik,” tegasnya. Hal itu dinilainya penting untuk menepis kecurigaan investor maupun masyarakat seolah kehadiran Komut PLN tersebut bertujuan untuk memberikan perlakuan istimewa kepada Futura Energi Global di luar prosedur bisnis yang wajar. Atau kecurigaan  Komut PLN memiliki kepentingan pribadi dalam FUTR yang tidak diungkapkan. Karena jika ada kerjasama bisnis, lanjut Okky, lazimnya Direksi yang hadir, bukan komisaris. Karenanya, klarifikasi diperlukan agar ekosistem pasar modal terjaga dan investor terlindungi. “Jangan sampai ada kecurigaan sedang menggoreng saham saja,” urainya. Okky menilai, FUTR memiliki potensi besar terus bertumbuh di masa depan didukung komitmen pemerintah Presiden Prabowo Subianto menggenjot EBT. Meskipun, lanjut dia, proyek panas bumi FUTR di Gunung Slamet dan PLTS di Bali masih dalam tahap rencana.  Sebelumnya, Direktur Utama FUTR Tonny Agus Mulyantono menjelaskan bahwa Ardhantara sebagai pengendali baru berencana mengembangkan bisnis perseroan di sektor energi, khususnya EBT. Hal itu sejalan dengan arah kebijakan energi nasional.  “PT Aurora Dhana Nusantara (Ardhantara) sebagai pengendali baru Perseroan berencana akan lebih mengembangkan bisnis Perseroan dalam bidang energi, khususnya EBT,” ujar Tonny dalam keterbukaan informasi kepada BEI Selasa (7/10/2025). Sementara itu, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) memastikan telah membentuk Tim Kerja, sebagai upaya untuk menangani saham-saham yang mengalami pergerakan tidak wajar alias saham gorengan di pasar saham Indonesia sebagai respons terhadap pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa beberapa waktu lalu. Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, menegaskan bahwa perlindungan terhadap investor tetap menjadi fokus utama. “Perlindungan investor menjadi prioritas kami,”tegasnya dalam RUPSLB BEI (29/10). Sebelumnya, Menkeu Purbaya  meminta seluruh pemangku kepentingan pasar modal untuk memperbaiki perilaku transaksi, terutama praktik “menggoreng” saham. “Direktur bursa sering minta insentif, tapi saya bilang, insentif baru akan diberikan kalau perilaku investor sudah dibenahi. Kalau praktik goreng-gorengan sudah terkendali dan investor kecil terlindungi, baru insentif akan kami pertimbangkan,” ujar Purbaya saat menghadiri kegiatan di Menara BEI beberapa waktu lalu.

Korupsi di Era Kini: Demokrasi yang Disandera Oligarki

Reformasi menjanjikan keterbukaan dan akuntabilitas, tapi dua dekade setelahnya, korupsi justru menjelma lebih cair dan sistemik. Dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga BUMN, praktik rasuah kini menjalar dalam tubuh demokrasi. Ketika uang menjadi bahasa kekuasaan, moral bangsa perlahan digadaikan. Oleh: Miftah H. Yusufpati | Pemimpin Umum FNN KETIKA Mahfud MD menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan sempat berujar bahwa korupsi di era sekarang “lebih meluas dan masif dibandingkan masa Orde Baru”.  Sejatinya, lewat pernyataan itu, Mahfud sedang menyingkap paradoks besar demokrasi Indonesia. Reformasi 1998 yang menjanjikan keterbukaan, akuntabilitas, dan supremasi hukum, justru melahirkan bentuk baru korupsi yang lebih kompleks: bukan lagi sentralistik, melainkan terdistribusi dalam jaringan kekuasaan yang cair—menyebar dari pusat hingga daerah, dari legislatif hingga lembaga korporasi pelat merah.  Pada masa Orde Baru, seperti dicatat Robert Cribb dalam The Indonesian Killings (2001) dan Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia (1988), korupsi terkonsentrasi di lingkar kekuasaan militer-birokrasi yang terkoordinasi. Korupsi adalah “kebijakan negara yang tak tertulis,” diatur dan dikontrol oleh elite pusat untuk menjaga stabilitas politik. Namun, setelah reformasi, ketika sistem politik menjadi lebih demokratis dan desentralisasi diberlakukan melalui UU No. 22/1999, peluang korupsi justru berlipat.   Sebagaimana diungkapkan Edward Aspinall dan Greg Fealy dalam Local Power and Politics in Indonesia: Decentralisation and Democratisation (2003), desentralisasi memperbanyak “titik bocor” baru. Korupsi tak lagi milik pejabat pusat, tapi juga kepala daerah, anggota DPRD, dan elite lokal yang kini memegang kendali anggaran. Akibatnya, seperti dikatakan Mahfud, korupsi “bisa dilakukan bahkan sebelum anggaran disahkan.”   Klasemen Liga Korupsi Indonesia: Sebuah Potret Ironi   Hingga 2025, Indonesia seakan memiliki “liga” sendiri—Klasemen Liga Korupsi Indonesia. Di puncaknya, kasus Pertamina dengan dugaan kerugian Rp968,5 triliun, disusul PT Timah Rp300 triliun, dan BLBI Rp138 triliun. Jika dijumlahkan, seluruh kasus besar ini menembus Rp1.588 triliun—angka yang nyaris tak terbayangkan.   Menurut Transparency International (Corruption Perception Index 2024), skor Indonesia turun menjadi 34/100, peringkat 115 dunia, menandakan memburuknya persepsi publik terhadap integritas birokrasi. Angka ini selaras dengan data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat lebih dari 700 kasus korupsi sepanjang 2023 dengan kerugian negara mencapai Rp120 triliun.   Namun kini, korupsi bukan lagi sekadar pencurian uang negara, melainkan sistem yang menopang patronase politik. Seperti dijelaskan Vedi R. Hadiz dalam Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia (2010), oligarki ekonomi dan politik yang dulu bersembunyi di balik kekuasaan Soeharto kini bertransformasi melalui partai politik dan bisnis negara. Mereka menggunakan mekanisme demokrasi—pemilu, tender, APBN—sebagai instrumen untuk menyalurkan rente kekuasaan.   Demokrasi Tanpa Etika: Korupsi sebagai Kultur   Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968) pernah mengingatkan bahwa korupsi sering tumbuh subur dalam masa transisi politik. Ketika lembaga demokrasi belum mapan, tetapi akses kekuasaan terbuka, korupsi menjadi pelumas sistem. Inilah yang terjadi di Indonesia.   Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris (2015) menyebut fenomena ini sebagai “korupsi elektoral”: praktik uang politik, jual-beli proyek, dan politik balas jasa yang dilembagakan. Partai membutuhkan biaya besar untuk memenangkan pemilu, pejabat membayar “mahar politik” untuk mencalonkan diri, dan kompensasinya dibayar melalui proyek negara. Maka, korupsi bukan lagi penyimpangan, tetapi bagian dari “rantai ekosistem kekuasaan.”   Jika dikonversi, Rp1.588 triliun cukup untuk membiayai seluruh pendidikan dasar hingga perguruan tinggi bagi 52 juta anak Indonesia selama satu dekade, seperti dihitung dalam World Bank Education Report (2022). Atau, bisa memberi layanan kesehatan BPJS gratis bagi seluruh warga selama 11 tahun. Namun uang itu lenyap dalam pusaran kerakusan.   Sebagaimana dikatakan Mahfud MD, “Dulu uangnya tersedia baru dikorupsi. Sekarang, uangnya belum ada, sudah dikorupsi.” Pernyataan ini menggambarkan transformasi moral bangsa yang kian tergerus: dari korupsi yang bersifat administratif menjadi korupsi yang bersifat imajiner—mencuri bahkan dari anggaran yang belum lahir.   Menuju Etika Publik Baru   Upaya pemberantasan korupsi tidak cukup dengan regulasi. Seperti dikemukakan oleh Robert Klitgaard dalam Controlling Corruption (1988), korupsi adalah hasil dari “monopoli kekuasaan + diskresi tanpa akuntabilitas – transparansi.” Karena itu, solusinya harus struktural dan kultural sekaligus.   Pertama, sistem politik perlu direformasi agar pembiayaan partai lebih transparan. Kedua, penguatan *whistleblower protection* harus diprioritaskan agar pelapor kasus korupsi tidak dibungkam. Ketiga, reformasi birokrasi digital perlu dijalankan secara menyeluruh untuk meminimalkan kontak langsung antara pejabat dan pengusaha.   Namun lebih dari itu, bangsa ini membutuhkan moral recovery—pemulihan etika publik yang berpijak pada kesadaran bahwa setiap rupiah dari pajak rakyat adalah darah kehidupan bangsa. Dalam kerangka itulah, gagasan Corruption as a Human Rights Violation (UNCAC, 2019) menjadi relevan: korupsi bukan sekadar kejahatan keuangan, melainkan pelanggaran terhadap hak-hak sosial rakyat miskin yang dirampas masa depannya.   Indonesia hari ini bukanlah negara miskin, tetapi negara yang “dimiskinkan.” Demokrasi yang semestinya menjadi pagar moral kini berubah menjadi panggung transaksi. Bila uang rakyat terus dijadikan bahan bakar kekuasaan, bukan pembangunan, maka pernyataan Mahfud MD hanyalah epitaf: bahwa reformasi telah gagal menyehatkan moral bangsa.   Korupsi bukan lagi soal siapa yang mencuri, tetapi soal siapa yang diam. Dan selama diam dianggap aman, maka 1,6 kuadriliun rupiah berikutnya hanyalah soal waktu. (*) 

Ratusan Warga Geruduk DPRD Kutim, Desak Evaluasi APBD dan Copot TAPD

SANGATTA, FNN  — Ratusan warga dari berbagai elemen masyarakat Kutai Timur menggelar aksi damai di depan Gedung DPRD Kutim, Selasa (28/10/2025). Mereka menuntut perombakan total tata kelola pemerintahan daerah dan transparansi penggunaan anggaran tahun 2025–2026. Dalam orasinya, massa menilai sejumlah program dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun tanpa melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan diduga sarat usulan fiktif. “Banyak program prioritas rakyat tidak diakomodasi, sementara proyek lain justru menumpuk di wilayah tertentu tanpa permintaan masyarakat,” bunyi pernyataan sikap massa yang diterima redaksi. Massa juga mendesak Bupati Kutai Timur, Drs. H. Ardiansyah Sulaiman, M.Si, mencopot dan mengganti jajaran Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)—termasuk Sekda, BPKAD, Bappeda, Bapenda, LPBJ, serta kepala dinas yang dianggap gagal merancang program “pro rakyat.” Isu pengelolaan Corporate Social Responsibility (CSR) turut disorot. Mereka menilai penyaluran dana CSR perusahaan tambang dan perkebunan tidak merata dan belum menyentuh masyarakat desa maupun pesisir. Selain itu, massa menuntut: Keterbukaan data pembangunan hingga level kecamatan dan desa. Penolakan utang daerah untuk proyek yang dinilai tidak realistis. Pengetatan penerimaan tenaga kerja lokal. Penutupan tempat hiburan malam dan prostitusi ilegal, serta penerbitan Perda Anti Miras. Penataan ulang tata ruang wilayah yang bersinggungan dengan HGU dan kawasan hutan. Mereka juga mendesak aparat penegak hukum memeriksa TAPD dan kepala dinas yang diduga memonopoli anggaran. “Kami akan turun dengan massa lima kali lipat dan memboikot seluruh program 2026 bila tuntutan ini diabaikan,” tegas Koordinator Aksi, Arsil Dyago Tandi Tasik. Pemkab Kutim Janji Evaluasi Menanggapi aksi tersebut, Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman menyatakan akan mengevaluasi TAPD dan instansi terkait. Ia mengakui masih ada kekurangan dalam perencanaan dan pelaksanaan program daerah. “Tidak ada pekerjaan manusia yang sempurna. Itu nanti akan kami evaluasi bersama berdasarkan bukti-bukti yang ada,” ujar Ardiansyah seperti dikutip dari laman resmi Pemkab Kutim, pro.kutaitimurkab.go.id. Ardiansyah juga berjanji membuka ruang dialog dengan perwakilan masyarakat untuk memperbaiki sistem perencanaan pembangunan dan pengelolaan anggaran. Namun, ia meminta warga memberi waktu agar evaluasi berjalan sesuai prosedur. Isu Transparansi di Daerah Kaya Sumber Daya Kutai Timur merupakan salah satu daerah penghasil batu bara dan sawit terbesar di Kalimantan Timur. Namun, distribusi pembangunan dinilai belum merata. Sejumlah kecamatan pesisir dan pedalaman masih tertinggal fasilitas dasar, sementara proyek besar menumpuk di pusat kota. Aksi ini dinilai menjadi simbol meningkatnya kesadaran publik terhadap pengelolaan anggaran daerah. Masyarakat kini makin berani mengawasi APBD, karena mereka tahu uang itu milik publik, bukan elit. Aksi yang berlangsung tertib itu berakhir menjelang sore dengan janji lanjutan dialog antara perwakilan masyarakat, DPRD, dan Pemkab Kutim. Namun, di lapangan, publik menunggu: apakah janji evaluasi itu akan benar-benar dijalankan, atau sekadar menjadi retorika politik jelang tahun anggaran baru. (DH)

ETH Kaltim: Hibah Pemkab Kutim ke Kepolisian dan Kejaksaan Berpotensi Langgar Hukum

SAMARINDA, FNN - Kebijakan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang menggelontorkan dana hibah untuk Aparat Penegak Hukum (APH) di wilayah Kalimantan Timur menuai sorotan tajam. Lembaga Pemantau Elang Tiga Hambalang Kalimantan Timur (ETH Kaltim) menilai kebijakan itu berpotensi melanggar hukum dan mengganggu independensi penegakan hukum di daerah. Dalam nota kajian resmi yang diterima redaksi, ETH Kaltim menilai pemberian hibah kepada instansi vertikal seperti Kepolisian dan Kejaksaan tidak bisa dilakukan sembarangan. Secara konstitusional, lembaga-lembaga tersebut berada di bawah pemerintah pusat, sehingga anggaran pembangunan maupun operasionalnya harus bersumber dari APBN, bukan APBD. “Kedudukan Kejaksaan dan Kepolisian merupakan instansi vertikal pemerintah pusat. Anggaran pembangunan dan operasional mereka tidak boleh dibiayai dari APBD,” tegas ETH Kaltim dalam hasil kajian hukumnya sebagaimana dikutip dari Sidikpolisinews, Sabtu, 25 Oktober 2025. ETH Kaltim mengutip Pasal 300 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang memperbolehkan bantuan keuangan kepada instansi vertikal hanya jika mendukung urusan pemerintahan daerah dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Namun, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 menegaskan bahwa hibah semacam itu tidak boleh bersifat rutin, tidak boleh digunakan untuk operasional, dan harus berbasis perjanjian kerja sama (MoU) yang jelas manfaat publiknya. ETH Kaltim menemukan indikasi bahwa sebagian hibah berpotensi menyimpang dari ketentuan tersebut, terutama jika digunakan untuk pembangunan fisik gedung, markas, atau fasilitas utama APH. Kegiatan semacam itu, menurut lembaga ini, merupakan urusan pusat yang wajib dibiayai oleh APBN, bukan oleh pemerintah daerah. “Jika digunakan untuk pembangunan fasilitas instansi vertikal, maka kebijakan hibah tersebut bisa masuk kategori pelanggaran terhadap Undang-Undang Keuangan Negara,” tulis ETH Kaltim. Lebih jauh, ETH Kaltim mengingatkan bahwa praktik hibah kepada APH juga dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sebab, aparat penerima hibah adalah pihak yang memiliki kewenangan menindak kasus hukum di wilayah yang sama. “Pemberian dana hibah kepada APH tanpa dasar hukum yang kuat dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap netralitas dan independensi penegakan hukum,” tegas lembaga itu. ETH Kaltim merekomendasikan agar setiap hibah kepada instansi vertikal hanya dilakukan jika memenuhi tiga syarat utama: Pertama, ada MoU resmi dan manfaat publiknya terukur. Kedua, tidak digunakan untuk pembangunan fisik atau kegiatan rutin. Ketiga, disetujui DPRD dan tercantum secara sah dalam dokumen APBD. Lembaga itu memperingatkan, jika syarat tersebut diabaikan, kebijakan hibah dapat menjadi objek pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan penegakan hukum oleh aparat berwenang. ETH Kaltim juga berencana melakukan verifikasi lapangan untuk memastikan penggunaan dana hibah tersebut tidak keluar dari koridor hukum. “Kami akan memantau dan memverifikasi langsung agar publik tahu ke mana dana hibah itu sebenarnya mengalir,” tutup pernyataan ETH Kaltim. (DH)