Digitalisasi Pemilu Menuju Pesta Rakyat yang Demokratis

Anggota KPU Kepri Priyo Handoko memaparkan perkembangan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan beberapa waktu lau di Tanjungpinang . (Sumber: ANTARA)

Tanjungpinang, FNN - Pemanfaatan teknologi dalam pemilu bukan sebuah halusinasi. Penggunaan teknologi dalam proses pesta demokrasi, yang kemudian dikenal dengan istilah digitalisasi pemilu, merupakan harapan yang dapat diwujudkan.

Pada era digitalisasi, penggunaan teknologi pada masa pemilu merupakan keniscayaan. Karena, digitalisasi pemilu diyakini mampu memberi kemudahan masyarakat untuk menggunakan hak suaranya. Penggunaan perangkat digital dalam pemilu juga menciptakan efisiensi, baik dari aspek anggaran maupun sumber daya manusia.

Energi yang dikeluarkan penyelenggara pemilu sudah tidak terlalu besar dibanding pemilu dengan sistem konvensional.

Penggunaan teknologi dalam pemilu juga mampu menghadirkan pemilu yang transparan dan mencegah terjadi pelanggaran pemilu akibat kelalaian maupun keterbatasan pengawasan. Teknologi akan mempermudah penyelenggaraan tahapan pemilu dan memperkuat pengawasan pemilu, meski jumlah petugas yang terbatas.

Menyadari bahwa pemilu sebagai akar demokrasi untuk melanjutkan estafet kepemimpinan, berbagai negara pun mulai mencobanya. Dari hasil penelitian International Idea tahun 2019 terhadap 106 negara, diperoleh kesimpulan bahwa digitalisasi pemilu merupakan langkah tepat untuk melahirkan pemimpin dari pesta demokrasi yang demokratis, transparan, jujur, dan adil.

India dengan jumlah penduduk mencapai 1,3 miliar orang, misalnya, menggunakan e-voting dalam pemilu berskala nasional maupun lokal. Filipina, yang berada dalam satu kawasan (ASEAN) dengan Indonesia, Brazil, Estonia, Kazakhstan, Norwegia, Nepal, Rusia, Pakistan, Amerika, dan Belgia juga memanfaatkan teknologi pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara pemilu.

Meski demikian, penggunaan teknologi dalam penyelenggaraan tahapan pemilu masih ditemukan kelemahan, seperti masalah keamanan sistem yang dibangun sehingga berimbas pada kepercayaan pemilih. Padahal, kepercayaan masyarakat pemilih merupakan bagian terpenting dalam pemilu. Krisis kepercayaan terhadap pemilu merupakan benih konflik yang potensial membesar.

Tidak semua negara berhasil menggunakan teknologi pemilu. Bahkan dua negara maju, seperti Belanda dan Jerman kembali menyelenggarakan pemilu secara konvensional setelah gagal menggunakan sistem digitalisasi.

Dari keberhasilan dan kegagalan dalam penyelenggaraan tahapan pemilu dengan memanfaatkan teknologi itu seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Perhatian itu sebagai bentuk evaluasi terhadap kelemahan dalam sistem digitalisasi pemilu untuk kemudian ditingkatkan. Mengembalikan sistem digital pemilu menjadi konvensional juga bukan jawaban kebutuhan kepemiluan, melainkan menurunkan derajat harapan masyarakat.

Perkembangan teknologi dari masa ke masa tidak terlepas dari peran dunia pendidikan, terutama kampus. Kampus harus mampu melahirkan dosen dan mahasiswa yang memiliki kualifikasi mengembangkan teknologi untuk berbagai sektor strategis, salah satunya pemilu.

Pemilu di Indonesia
Setahun berjalan era reformasi, Indonesia ternyata sudah berupaya menggunakan teknologi pemilu, meski tidak menyeluruh. Tepatnya tahun 1999, sejarah teknologi kepemiluan dimulai setelah pemerintah menyadari digitalisasi pemilu akan mempermudah KPU dan jajarannya menyelenggarakan tahapan pemilu.

Digitalisasi pemilu juga dinilai mampu melahirkan pemimpin dari proses pemilihan yang berkualitas, transparan, dan profesional.

Dalam catatan sejarah kepemiluan di Indonesia, digitalisasi pemilu tidak dilaksanakan dalam seluruh tahapan, melainkan pada proses pendaftaran partai politik peserta, pengelolaan logistik pemilu, rekapitulasi pemilu, registrasi pemilih, pendaftaran calon, kampanye, dan laporan dana kampanye.

Dalam hal ini, rekapitulasi suara hasil pemilu bukan merupakan alat bukti, melainkan hanya berperan sebagai alat bantu. Padahal teknologi rekapitulasi suara yang kemudian disebut sebagai e-recap dalam Sistem Penghitungan (Situng) dibangun untuk mempermudah proses rekapitulasi suara dari hasil penghitungan konvensional di tempat pemungutan suara (TPS).

Kesalahan dalam input data pemilih di TPS menyebabkan kesalahan rekapitulasi suara atau sebaliknya. Namun KPU RI menyadari Situng memberikan kemudahan bagi jajarannya, mulai di tingkat kelurahan hingga provinsi dalam proses rekapitulasi suara.

Berkaca dari pengalaman dalam proses digitalisasi Pemilu 2019, misalnya, penggunaan teknologi pada tahapan yang penting dan strategis sebaiknya dilaksanakan pada Pemilu 2024. e-voting merupakan salah satu tahapan yang penting sebagai penyeimbang e-recap.

Sistem pemungutan suara secara digital atau elektronik merupakan gagasan strategis  yang menjawab kebutuhan publik saat ini.

Penyelenggara pemilu dan pemerintah harus mampu membangun kepercayaan publik dalam pemilu dengan melahirkan sistem yang mudah, transparan, dan berkualitas. Sistem itu juga sebagai bagian terpenting melahirkan kepercayaan peserta pemilu yang sudah terkuras energinya berkompetisi dalam pemilu.

e-voting mampu mengurangi beban kerja petugas, meningkatkan kualitas pemilihan, dan menghemat anggaran. Namun, hasilnya dipengaruhi pada sistem yang dibangun sehingga memang wajib memperhatikan aspek keamanan dan keandalan sistem digital yang digunakan.

Kemudahan dalam proses pemungutan suara juga menjawab kebutuhan publik pada masa pandemi COVID-19. Protokol kesehatan masih harus dilaksanakan untuk mencegah penularan COVID-19. E-voting mengharuskan pemilih dan petugas tidak berinteraksi. Pemilih juga tidak perlu mencoblos surat suara, melainkan cukup menentukan pilihan melalui sistem atau aplikasi khusus yang telah disiapkan secara digital.

e-voting juga tidak membutuhkan bilik suara, gembok, meja, dan peranti fisik lainnya di TPS. Kemudian penggunaan e-voting juga mengurangi jumlah petugas di TPS, PPS, dan PPK, termasuk petugas keamanan dan pengawas pemilu di lokasi itu.

Dari uraian tersebut dapat diprediksi sekitar 60 persen anggaran negara yang dialokasikan untuk anggota badan ad hock dan lainnya pada pemilu, dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya.

Contohnya, pada Pilkada Kepri 2020, KPU Kepri mendapatkan dana hibah sebesar Rp98 miliar, yang sebagian besar digunakan untuk membayar honor anggota badan ad hock, seperti KPPS, PPS, dan PPK.

Tahun politik

Warsa 2024 menjadi tahun politik yang paling sibuk. Bagaimana tidak, pemungutan suara yang dijadwalkan serentak di 514 kabupaten dan kota pada 14 Februari 2024, itu merupakan sejarah baru bagi Indonesia. Bagaimana tidak, beberapa bulan setelah pemilu atau tepatnya 27 November 2024 Indonesia kembali menyelenggarakan pilkada serentak di 34 provinsi.

Seluruh pihak tentu tidak menginginkan peristiwa suram pada Pemilu 2019 kembali menimpa penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan dan kelurahan. Berdasarkan catatan KPU, kala itu sebanyak 894 petugas meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit saat melaksanakan tugas.

Jalan tengah untuk mengurangi beban kepada penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan dan kelurahan adalah membangun sistem dengan memanfaatkan teknologi. Petugas yang kelelahan dalam menyelenggarakan pemilu secara konvensional sebaiknya menjadi isu yang dibahas saat ini untuk memulai peradaban baru dalam proses kepemiluan yang canggih namun bisa dilakukan  sederhana berkat dukungan teknologi.

Petugas yang kelelahan mengerjakan tugas-tugas kepemiluan akan mempengaruhi kinerjanya, misalnya, keliru menginput perolehan suara salah satu peserta pemilu. Kesalahan penginputan perolehan suara, yang kemudian menyebabkan kesalahan dalam rekapitulasi suara, berpotensi menimbulkan permasalahan lainnya akibat ketidakpercayaan publik.

Karena itu, e-voting dan e-recap merupakan dua tahapan yang perlu diperhatikan, tidak hanya sebatas alat bantu, melainkan sebagai salah satu alat ukur keberhasilan dalam pemilu. (Sof/ANTARA)

273

Related Post