Ide Bekto Kembalikan Citra Polisi, Okky Madasari: Potong Satu Generasi
Jakarta | FNN-Irjen Pol (Purn) Drs Bekto Suprapto, M.Si menyampaikan ide perbaikan citra polisi di tengah masyarakat. Ia mengilustrasikan tindakan tegas Presiden Georgia Mikheil Saakahvili. Pada tahun 2005 Saakahvili memecat polisi yang korup. Jumlahnya sampai 50 persen dari jumlah polisi negeri itu. Setelah itu Presiden Mikheil menaikkan gaji polisi hingga 1.500 persen agar polisi tidak korupsi.
"Ini dapat menjadi salah satu rujukan bagaimana bertindak tegas atas pelanggaran tersebut," ujarnya dalam Dialog Peradaban bertema "Polisi dan Peradaban" di Jakarta, Rabu 2 Oktober 2024. "Hanya saja untuk Indonesia mungkin 10 persen saja sudah menjadi pelajaran," lanjut Bekto Suprapto.
Selain Bekto Suprapto, dialog ini juga menghadirkan Dr Dipo Alam, Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH MH, Irjen Pol Prof Dr Chrisnanda Dwilaksana, M. Si, Fahmi Wibawa, MBA, Okky Madasari, Ph.D, dan Jaya Suprana.
Okky Madasari menanggapi ide Bekto mengatakan itu sama saja dengan potong satu generasi. "Saya setuju, itu ide bagus," ujar Okky menjawab FNN. Teknisnya adalah dengan melakukan pensiun dini serta memberhentikan polisi-polisi yang kotor. "Selanjutnya dilakukan rekrutmen pada generasi baru yang lebih bersih," ujarnya.
Bekto Suprapto melanjutkan para polisi yang melakukan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas hendaknya ditindak tegas sesuai aturan yang sudah ada secara transparan. "Melibatkan masyarakat, pengawas fungsional, dan pengawas eksternal, baik pelanggaran aturan disiplin, kode etik profesi kepolisian, maupun pelanggaran pidana," lanjutnya.
Cara lainnya adalah berupaya dengan sungguh-sungguh meningkatkan profesionalisme, bekerja secara transparan, mampu memperbaiki sistem rekrutmen dan seleksi, bertindak tegas kepada para pelaku korupsi termasuk kepada anggotanya, bekerja dengan memanfaatkan data dan perkembangan teknologi, melaksanakan dengan sungguh-sungguh merit system dalam pembinaan karier anggota, memperbanyak latihan, memperbaiki sistem magang terutama kepada para penyidik dan penyelidik, menghilangkan sifat hedonisme, dan mau bekerjasama dengan semua pemangku kepentingan untuk menuju polisi professional, mandiri, dan beradab.
Menurut Bekto, masalah korupsi polisi ini sebenarnya sangat bergantung pada ketegasan seorang Presiden dan Kapolri yang sepatutnya berani melindungi anggota polisi yang bertindak profesional, independen, dan mandiri, serta adanya jaminan bebas intervensi oleh pihak manapun.
Cermin yang Retak
Polisi di mata masyarakat ibarat cermin yang retak. Bekto Suprapto mengatakan kasus Ferdi Sambo, Teddy Minahasa, penanganan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, Tragedi Kanjuruhan, banyaknya kasus rekayasa tilang, dan berita-berita tentang kejahatan dilakukan oleh oknum anggota polisi sangat mempengaruhi persepsi masyarakat, bahwa polisi kadang bertindak di atas hukum, ada yang suka memanipulasi perkara, dan sebagainya.
Apalagi dengan dikabulkannya gugatan praperadilan oleh Pengadilan Negeri Bandung bahwa penetapan tersangka dan penyidikan terhadap Pegi Setiawan oleh penyidik Polda Jawa Barat dinyatakan tidak sah -ditambah adanya perintah untuk segera membebaskan tersangka dari tahanan -menambah persepsi masyarakat terhadap polisi semakin buruk.
"Menjaga netralitas Lembaga Polri dalam politik, termasuk dalam hal menjaga jarak dengan kegiatan politik maupun partai politik, mutlak diperlukan untuk merawat kepercayaan masyarakat," ujarnya.
Undang-undang mengatur dengan jelas bahwa anggota polisi harus bersikap netral dalam kehidupan politik.
Lalu, apakah semua polisi seperti dipersepsikan masyarakat tersebut di atas? "Tentu saja tidak," kata Bekto.
Sebenarnya, kata Bekto Suprapto lagi, jauh lebih banyak polisi baik dan penolong dalam pelaksanaan tugasnya, terutama yang bertugas di daerah, seperti polisi Polsek atau Polres di wilayah pedalaman.
"Namun kebaikan polisi tersebut tidak atau kurang terpublikasi dibandingkan dengan pemberitaan tentang polisi kotor, polisi brutal, polisi korup, dan polisi hedonis," katanya.
Kondisi yang demikian ini menjadi tantangan tersendiri bagi Lembaga Polri untuk segera membenahinya.
Menurutnya, perubahan paradigma Polri penting untuk dipikirkan bersama oleh para petinggi Polri, bagaimana mau dan berani mengubah paradigma: Dari polisi yang memiliki kekuasaan dan kewenangan sangat besar, dari kebiasaan mencari kesalahan orang, menjadi polisi sebagai pelayan untuk melindungi dan mengayomi masyarakat.
Lembaga Polri perlu mendesain ulang reformasi kultural yang mandeg, melalui perubahan kurikulum pendidikan dan pelatihan dengan penekanan pada masalah etika profesi dan hak asasi manusia.
Bekerjasama dengan masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelayanan kepada masyarakat, memanfaatkan teknologi dalam pelayanan kepada masyarakat, mencegah dan memberantas dengan keras adanya penjahat berseragam dalam tubuh Polri, dan lebih mengutamakan pendekatan pencegahan kejahatan daripada penegakan hukum.
"Tidak semua masalah hukum harus diselesaikan melalui penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana," katanya.
Polisi memiliki kewenangan diskresi dan dapat menyelesaikan masalah hukum yang bersifat ringan bersama tokoh masyarakat, memanfaatkan kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk memperkuat fungsi, peran, dan tugas polisi sesuai dengan kewenangannya, lembaga polisi sebenarnya dapat menjadi penggerak sebagai agen perubahan.