Masih Tetap Cawe-Cawe Politik, Jokowi Addicted to Power
Jakarta, FNN – Tampaknya, upaya-upaya dari Presiden Jokowi untuk terus cawe-cawe dalam politik akhirnya terkonfirmasi dari lingkaran internal sendiri. Adalah mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy yang belakangan membongkar skenario all the President men’s, yaitu upaya mendorong calon presiden (capres) boneka pada Pilpres 2024. Sepertinya Jokowi hanya mau ada dua pasang calon presiden dan semuanya all the President men’s. Ini tentu berkaitan dengan ambisi Jokowi untuk meneruskan legasinya, proyek-proyeknya, mulai dari kereta api cepat, IKN, Esemka, dan sebagainya.
Menanggapi hal tersebut, Rocky Gerung dalam diskusi rutin bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, di kanal You Tube Rocky Gerung Official edisi Jumat (12/5/23) mengatakan bahwa tampaknya Jokowi ketagihan pada nikmatnya berkuasa.
"Kelihatannya Pak Jokowi itu addicted pada power, ketagihan pada kekuasaan, lalu berupaya. Tetapi, orang yang ketagihan itu, kayak ketagihan narkotik, itu kalau dia punya uang tidak ada soal disuplai terus. Tapi, dalam soal seseorang tidak punya kapasitas padahal dia ketagihan, dia akan melakukan hal-hal yang kriminal," papar Rocky.
Rocky juga mengatakan kalau Ibu Mega ketagihan kekuasaan masuk akal, dia punya partai, dia berpikir tentang dinastinya. Demikian juga SBY, lanjut Rocky bahwa dia punya partai. Sedangkan Pak Jokowi tidak punya partai. Jadi kenapa mesti ketagihan?
"Jadi kita lihat dalam sejarah bahwa seseorang yang punya ambisi dia justru harus membangun infrastruktur yang dia kendalikan sendiri. Sekarang Jokowi mengendalikan apa? Mending kita anjurkan pada Pak Jokowi untuk melakukan refleksi, bahwa itu ambisi orang yang ketagihan, bukan ambisi orang yang berpikir tentang bangsa. Dia berpikir tentang dirinya sendiri,” tambah Rocky.
Saat ini, kasak-kusuk itu terus berlangsung, kata Rocky, dan Jokowi akhirnya makin lama makin dangkal, sementara ambisinya makin lama makin dalam. Jadi Jokowi berbeda sekali dengan para founding person kita yang ingin mempunyai kader, lalu dididik dalam sistem berpikir akademis. Kalau kita lihat, misalnya, M. Natsir masih kader dan sampai sekarang masih ada, yaitu Yusril Ihza Mahendra, karena yang diwariskan adalah pikirannya. Demikian juga Sultan Syahrir, masih punya kader, yaitu anak-anak muda yang membentuk semacam solidaritas demokrasi dan berbasis pada pikiran-pikiran Sutan Syahrir. Pengikut Kartosuwiryo juga masih ada.
"Jadi, ada pewarisan, yang kita sebut legacy itu, tumbuh karena ide, bukan karena ambisi Jadi gila betul. Jadi Presiden Jokowi mau berambisi buat apa. Apa pikiran Jokowi pada bangsa ini, itu yang ditunggu,” ujar Rocky.
Rocky menyarankan agar Jokowi membuat seri orasi publik atau seri kuliah publik. Tidak harus Jokowi, bisa juga orang-orang yang dipercaya Jokowi. Lalu Jokowi membuka sesi pertama, diikuti oleh yang lain untuk mengucapkan pikiran. Jika itu dilakukan, baru mungkin orang percaya bahwa cawe-cawe Jokowi itu demi ide.
"Kalau sekarang cawe-cawe-nya demi apa? Ya demi tukar tambah kepentingan yang makin lama orang tahu bahwa berarti Jokowi itu menyimpan banyak ‘kejahatan’.
Dalam filosofi Jawa, kata Rocky, kita bisa pahami orang yang mampu membuat refleksi, pasti sudah tahu bahwa ada yang sudah hilang dalam dirinya. Pulung hilang, sabdo pandhito ratu tidak dia punyai, tapa bratanya sudah tidak direstui alam, tanda-tanda alam muncul sebagai protes terhadap ambisi kekuasaan.
Jadi, sebetulnya ada moral yang masih bisa dipertahankan Pak Jokowi, apa sih jati diri ide kekuasaan dari Jokowi, yang mungkin kita sebutnya itu semacam ide di dalam politik Jawa. Tetapi, politik Jawa itu juga ada dua, ada yang jadi sabdo pandhito ratu, ada yang melakukan sabdo pandhito ratu beneran, ada yang melakukan kebusukan politik. Dan itu di dalam sejarah Ken Arok, Tunggul Ametung, dia berupaya mempertahankan kekuasaan dengan cara-cara yang licik.
“Pelajaran politik bangsa ini adalah kembalikan etika di dalam kehidupan bernegara,” ujar Rocky. (sof)