Pernyataan Humor Pejabat Publik Harus Selektif
Makassar, FNN - Pengamat Sosial Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin, Dr Sawedi Muhammad mengatakan, lontaran pernyataan yang bersifat candaan atau humor seorang pejabat publik harus terjadi secara selektif melihat khalayak yang dihadapi.
"Apa yang terjadi di Rampi saat gubernur Sulawesi Selatan menyampaikan pidato resminya di Luwu Timur beberapa waktu lalu, hendaknya menjadi pembelajaran bagi semua pihak," kata dia, di Makassar, Jumat.
Hal itu mencermati desakan Wija To Luwu --khususnya warga Kecamatan Rampi di Kabupaten Luwu Utara-- agar Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, meminta maaf atas pidato resminya pada peringatan Hari Jadi Kabupaten Luwu Timur di Malili pada 12 Mei 2022 lalu.
Sulaiman dianggap telah melukai dan mencederai perasaan Wija To Luwu dan warga Kecamatan Rampi di Kabupaten Luwu Utara atas pernyataan dia yang menyerukan agar warga Rampi keluar sekalian dari Indonesia.
Muhammad mengatakan, seorang pejabat publik seperti gubernur yang mengeluarkan pernyataan dengan suatu konteks ataupun melakukan komunikasi politik, kerap disertai humor, namun kadang tidak pada political correct atau konteks politik yang benar.
Karena itu, lanjut dia, dalam mengeluarkan humor harus melihat khalayak dengan perspektif yang tidak berlaku universal.
Sebagai contoh, pemanggilan seseorang dengan sebutan si gemuk, si ceking, atau si pendek untuk komunitas budaya tertentu itu dianggap sebagai upaya menjalin keakraban, namun pada komunitas budaya yang berbeda, misalnya di Amerika, panggilan-panggilan itu dianggap pelecehan bentuk tubuh alias body shaming atau ejekan terkait fisik seseorang.
Sementara di sisi lain, lanjut Muhammad, pada era global dan digitalisasi ini, kemudahan memviralkan suatu hal yang memungkinkan dapat dipelintir pihak tertentu untuk kepentingan sensasi atau tujuan politik, harus menjadi pertimbangan bagi pejabat publik lebih selektif memberikan pernyataan.
Apalagi di lapangan, banyak faktor yang dapat memicu masyarakat menjadi peka berlebihan, sehingga kasus Rampi ini harus benar-benar menjadi pembelajaran bagi semua pihak. (Sof/ANTARA)