Rocky Gerung: Anatomi dari Istilah Politik Identitas Itu Hanya untuk Menghalangi Politik Islam

Jakarta, FNN - Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh menyampaikan orasi saat mendapat penghargaan sebagai Doktor Honoris Causa dari FISIP Universitas Brawijaya. Surya Paloh, hanya satu dari banyak tokoh politik yang akhir-akhir ini mendapat gelar dari kampus yang tentu saja berimplikasi pada pendangkalan intelektual. Yang lebih menarik, topik yang dibicarakannya berkaitan dengan politik aliran atau politik identitas yang telunjuknya diarahkan pada politik Islam. Padahal, mereka sendiri sesungguhnya sedang mempertontonkan politik identitas. Simak obrolan pengamat politik Rocky Gerung bersama wartawan senior FNN, Hersubeno Arief dalam kanal YouTube Rocky Gerung Officials, Selasa 26 Juli 2022 di Jakarta. Petikannya:

Menyinggung politik identitas,  saya kira nggak ada salahnya kalau kita membuat semacam permenungan dan pencerahan tentang yang disebut politik identitas. Karena kemarin Pak Surya Paloh menyampaikan orasi saat mendapat penghargaan sebagai Doktor Honoris Causa dari FISIP Universitas Brawijaya. Ini mulai banyak para tokoh politik yang mendapat penghargaan Doktor Honoris Causa. Yang menarik adalah topik yang dibicarakan Pak Surya Paloh berkaitan dengan politik aliran. Ini yang selalu menjadi isu yang selama mungkin digunakan secara tidak proporsional untuk menyerang lawan-lawan politik. Dan itu ada kaitanya dengan Islamofobia dan sebagainya. Mari kita dudukkan persoalan ini.

Ini benar ya, sebagai ketua Nasdem dapat promosi Doktor Honoris Causa. Kelihatannya Nasdem lagi panen gelar akademik karena sebelumnya Menteri KLH, Ibu Siti Nurbaya, juga mendapat penghargaan yang sama dari Brawijaya. Kelihatannya ada semacam antisipasi dari Universitas Brawijaya bahwa Nasdem akan menjadi partai yang menentukan arah bangsa. Poros Brawijaya - Nasdem.  Ya, nggak ada soal sebetulnya, walaupun kita anggap bahwa setiap kali universitas kasih gelar pada tokoh-tokoh politik,  itu pasti ada maksud politiknya itu. Ya, apa perlunya itu kalau Pak Surya bukan ketua Partai Nasdem, pasti nggak dapat. Jadi, karena dia ketua partai. Begitu saja, itu sudah politik identitas karena memilih partai Nasdem Brawijaya. Kenapa misalnya bukan PKS. PKS juga banyak yang punya kapasitas yang sama. Tapi bukan itu intinya.

Sejak Ibu Mega, semua orang merasa sudahlah, sebetulnya ada inflasi di dalam sistem akademik kita, yaitu memberi gelar tanpa ada semacam uji komunitas akademis. Saya juga ragu bahwa seluruh unsur Universitas Brawijaya bersepakat untuk memberi gelar kepada Pak Surya Paloh karena beliau adalah ketua partai. Jadi, nanti dianggap pesan siapa? Soal-soal semacam itu yang diawali oleh Ibu Mega yang mendapat gelar Doctor Honoris Causa, bahkan guru besar honoris causa. Hal-hal yang ajaib semacam itu membuat kita merasa bahwa ada pendangkalan intelektual di kampus-kampus kita. Jadi saya mulai dari situ dulu: ada pendangkalan intelektual. Dan pendakalan itu memperlihatkan bahwa kapasitas kampus untuk menghidupkan gagasan demokrasi, gagasan imparsialitas, bahkan gagasan netralitas, itu berhenti.

Bayangkan bagaimana kalau saya gambarkan suatu waktu ada riset dari Universitasa Brawijaya tentang partai-partai politik atau ada survei di situ. Tentu ada rasa kurang enak kalau mengkritik Pak Surya Paloh atau Nasdem karena ada dua tokoh politik dapat gelar dari Brawijaya. Demikian juga Universitas Pertahanan kalau ada riset tentang tokoh-tokoh politik pasti tidak akan mengkritik Ibu Mega karena Ibu Mega dapat dari Unhan gelar guru besarnya. Jadi, saya sebut dulu ini adalah pendangkalan politik. Dan  di semua kampus terjadi, apalagi kampus negeri itu. Karena mungkin ingin dapat proyek atau dapat promosi supaya dianggap sebagai pihak yang layak untuk diperhitungkan oleh negara. Jadi, ini soal yang sensitif.

Kemarin saya di Samarinda diundang oleh Universitas Mulawarman dan itu saya agak kaget sebetulnya karena ini kan Universitas Negeri, Universitas Mulawarman, mengundang saya sebagai orang yang setiap hari kasih kritik pada kekuasaan, akan tetapi di situ rektor merasa oke, nggak soal. Jadi bayangkan ada rektor yang justru berani untuk mengundang oposisi. Padahal, sang rektor setahu saya Universitas Mulawarman lagi ditugaskan untuk mengamdal ibukota negara. Itu amdalnya pasti pro. Jadi begitu keadaan kita. Saya mulai tadi dengan perkataan bahwa pendangkalan intelektual justru terjadi ketika kampus memuji-muji kekuasaan. Entah itu partai atau yang terkait dengan kapasitas seorang ketua umum partai. Itu poin pertama. Poin berikut adalah soal pidato Pak Surya Paloh. Kita ingin tahu sebetulnya  apa posisi Nasdem tentang politik identitas? Mendua sebetulnya itu. Awalnya menganggap bahwa politik identitas itu sesuatu yang agak yang berbahaya karena itu pasti akan dikesankan sebagai upaya untuk menghalangi politik Islam.

Jadi, istilah politik identitas sudah ditargetkan untuk politik Islam. Begitu ada kepentingan politik dengan Anies misalnya yang juga dianggap bermainan dengan politik identitas, agak rusak nanti parameter pengukuran itu. Sebetulnya yang keliru adalah menyebut politik identitas di dalam suasana persaingan keterbelahan rakyat hari ini. Itu bahayanya. Karena gerak bangsa kita dari awal memang tumbuh dari politik identitas. Kan konstituante itu, waktu kita rumuskan dasar negara dan konstitusi, itu adalah persaingan antara pelaku politik identitas.  Kekuatan Islam, kekuatan komunis, kekuatan liberal, kekuatan sosialis, macam-macam itu kekuatan kedaerahan misalnya, semua itu disebut politik identitas. Tapi kata politik identitas hari-hari ini hanya dimaksudkan untuk Islam. Buat lebih netral sebetulnya ada istilah lain di dalam ilmu komparasi politik. Namanya politics of recognition, politik pengakuan. Jadi mengakui bahwa memang sebagian orang hanya lebih bisa kita identifikasi melalui kecenderungan politik yang sifatnya agama. Ya sudah, itu artinya ada politik Islam, biasa saja, bukan distigma sebagai politik identitas. Itu rekognisi kita pada muslim politik yang memang mayoritas. Nasdem juga pakai istilah religius di belakangnya. Juga itu politik identitas.

Jadi, hal-hal yang menyangkut agama, etnis, itu memang dasarnya politik identitas, tapi jangan sebut identitas itu upaya menstigma. Sebetulnya itu  politics of recognition, politik untuk mengakui bahwa bangsa ini memang berawal dari identitas-identitas, secara kultural, secara antropologi, bahkan secara geografis tumbuh  dalam identitas-identitas itu. Itu nggak ada masalah. Yang jadi masalah kalau politik identitas itu dihalangi oleh presidential threshold. Kan selama ini juga ada sinyal kenapa takut untuk menihilkan atau menolkan presidential threshold karena takut nanti Habib Rizieq jadi calon presiden. Karena takut kekuatan-kekuatan lain yang selama ini tokoh-tokohnya belum masuk partai politik justru bisa tumbuh jadi kekuatan politik alternatif. Jadi saya kira itu kalau kita mau bongkar sebetulnya anatomi dari istilah politik identitas itu hanya ingin untuk menghalangi politik Islam. Dan yang lain identitas.

Kalau politisi saya kira wajar saja kalau mereka punya kepentingan bahwa kemarin mereka menolak politik identitas kemudian sekarang mengendorse politik identitas karena ada kepentingan dan orang wajar kalau kemudian curiga dengan Surya Paloh, walaupun banyak juga yang mengapresiasi, katanya bisa jadi angin segar. Karena sebelumnya kalau kita lihat jejak digitalnya Pak Surya Paloh sangat keras bicara soal politik identitas tahun-tahun sebelumnya. Tapi sekarang tiba-tiba berubah semacam itu. Fine. Tapi karena berkaitan sekarang dia mencalonkan Anies Baswedan dan Anies Baswedan pun menurut saya secara tidak adil, kalau kita mau jujur, selalu diberi stigma berkaitan dengan Pilkada 2017. Tapi kepentingan kita nggak ada urusannya dengan mau Anies jadi calon pesiden, mau Surya Paloh mencalonkan Anies. Tapi kita dudukkan secara proporsional sehingga publik tidak salah paham mengenai soal ini.

Itu pentingnya karena sekarang Pak Surya Paloh menyandang gelar doktor itu. Dan harus hati-hati mengucapkan itu karena satu waktu orang akan minta Pak Surya Paloh di forum akademis sebagai doktor untuk mempertanggungjawabkan atau minimal memperlihatkan pengetahuan dia tentang apa yang disebut identity politics. Itu bahayanya, nanti dicopot gelar kehormatannya kalau salah menerangkan. Dia musti mampu menerangkan apa yang disebut gejala politik identitas di negara semacam Kanada, misalnya, yang multikulturalismenya berbasis pada persaingan antara masyarakat Eropa, Inggris, dan Perancis di Kanada. Itu yang ada di pikiran politik di negara-negara Eropa Timur, misalnya. Politik identitasnya kuat sekali. Di Perancis sendiri ada politik identitas, yaitu kepolitikan yang rasis itu. Jadi disebut di dunia ini memang hidup di dalam kecemasan itu.

Pak Surya Paloh sebetulnya harus hindari menyebutkan politik identitas karena beliau kurang paham. Ya, saya tahu dia dikelilingi oleh beberapa intelektual Nadem. Tapi kan keputusan politik akan diambil oleh Pak Surya Paloh. Misalnya satu waktu dianggap Anies Baswedan politik identitas atau nggak? Lalu Pak Surya Paloh bilang enggak, dia bukan itu. Tapi kenapa Anies itu dikondisikan sedemikian rupa sehingga dipojokkan pada dua identitas, bahkan Arab sekaligus muslim.  Jadi, soal-soal ini yang betul-betul tadi, kita bersihkan supaya kita ngerti bahwa Anies Baswedan dia adalah warga negara yang punya kapasitas. Itu nggak boleh dikaitkan dengan etnis apa pun itu.

Kan nanti suatu waktu datang seseorang yang nggak punya kapasitas, tapi karena politik identitas mayoritas maka dipilih jadi presiden. Akibatnya manggut-manggut, plonga-plongo, geleng-geleng, segala macam. Kan bukan itu yang kita inginkan. Pak Jokowi misalnya, dulu kena politik identitas juga sebagai tokoh yang disaring sedemikian rupa oleh satu etnis tertentu yang punya kekuatan modal walaupun sebetulnya Pak Jokowi identitasnya Jawa, tapi kemudian digeser menjadi identitasnya adalah diasuh oleh oligraki. Kan begitu. Jadi, problem kita adalah mendudukkan politik dalam hal yang paling mendasar, yaitu semua orang berhak untuk menjadi pemimpin politik Indonesia. Datang dari latar belakang identitas apa pun dia tetap musti kita recognize.

Tapi kan sebenarnya sah-sah saja ya namanya politik. Pepatah menyebutkan kalau ikan teri berkumpul dengan ikan teri, ikan tongkol dengan tongkol. Tapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara para founding father kita sudah memberikan contoh bagaimana perdebatan di konstituante. Bagaimana kemudian Piagam Jakarta dengan tujuh kalimat yang dihapuskan. Kan sebenarnya itu sudah memberikan contoh.

Ya, itu biasa saja. Ikan teri berkumpul dengan ikan teri, ikan tongkol berkumpul dengan ikan tongkol, tapi jangan sampai ikan teri makan ikan tongkol. Kalau ikan tongkol makan ikan teri itu bisa. Kalau ikan teri makan ikan tongkol, itu yang ditakutkan kan? Jangan sampai kita ulangi menghafal nama-nama ikan doang.

Jadi, dalam kehidupan kita berpolitik memang setiap komunitas itu berhak untuk mengidentifikasikan dirinya dengan asal-usul antropologinya, biasa disebut asal-usul antropolgi adalah ethnicity, agama, tradisi ,segala macam, nggak ada soal. Semua orang punya kesempatan untuk mencari identitasnya yang membuat dia aman sebagai individu dia merasa lega kalau diasuh dalam politik Islam. Ada yang lega kalau diasuh dalam politik Jawa, ada yang lega kalau diasuh oleh politik komunitarian misalnya. Tetapi harus ada kesempatan masyarakat kita untuk lakukan cross identity. Jadi orang Jawa misalnya, dia tahu pemimpin dia sebaiknya Jawa. Tapi pemimpin Jawa ini koruptor, maka dia tentu berpikir ngapain saya pilih pemimpin orang Jawa yang koruptor karena saya ingin Indonesia bersih. Dia pilih misalnya orang Bugis berbeda etnis tapi bersih. Kan itu namanya cross cutting loyalities. Itu yang tidak dimungkinkan di kita. Karena setiap presiden bicara, nggak ada sinyal presiden yangn bicara bahwa diperlukan cross cutting loyalities. Itu sebetulnya yang membuat kita frustrasi bahwa seolah-olah nanti pada akhirnya cuma  ada dua tokoh lagi. Itu juga disebabkan oleh tidak ada cross cutting loyalities. Semua orang cari massa di Pulau Jawa. Pasti karena Pulau Jawa  secara elektoral adalah lumbung suara. Tetapi sekaligus itu membuat kita terpisah dengan kader-kader di luar Jawa yang juga punya potensi. Ini yang saya sebutkan sebaiknya kita mulai ucapkan cross-cutting politics itu lebih penting daripada identity politics. Jangan terlalu tunggal, dengan akibat bloking-bloking terjadi, bukan karena rasionalitas tapi karena alasan-alasan emosionalitas. (ida, sws)

578

Related Post