Skandal Selingkuh Menteri AH, Pejabat Kok Takut “Tetangga”?

 

Refleksi Politik Akhir Tahun 2021

Dengan demikian Presiden Jokowi sesungguhnya memiliki cukup alasan untuk memberhentikan Menteri AH sedekat apapun relasi pribadi antara Presiden dan AH.

Oleh: Yos Nggarang, Aktivis Pergerakan

DI penghujung Tahun 2021 ini kita dikejutkan oleh cerita Rifa Handayani dan suaminya yang melaporkan seorang Menteri di Kabinet Presiden Joko Widodo yang juga seorang Ketua Umum Partai Politik berinisial AH.

Rifa Handayani melaporkan AH ke Mabes Polri karena diduga Rifa mendapat ancaman dibunuh oleh “tetangga” AH, sebagaimana keterangan Rifa dalam video wawancara dengan wartawan senior Hersubeno Arief.

Publik pun bertanya, bagaimana awal mula sampai bisa terjadi ancaman “membunuh” dan hubungan seperti apa antara Rifa dengan AH?

Siapa “tetangga” yang dimaksud AH yang berani mengancam membunuh Rifa? Dan apakah “tetangga” itu hanya sebuah istilah yang digunakan oleh AH? Lalu, kok bisa AH sebagai pejabat publik, Ketua Umum Partai Golkar handpone-nya digunakan oleh “tetangga”, bagaimana kita memaknainya? 

Pertanyaan-pertanyaan di atas–sebagian kita bisa temukan jawaban dalam keterangan wawancara versi Rifa Handayani. Bahwa Rifa pernah menjalani hubungan asmara/perselingkuh dengan seorang Menteri Kabinet Jokowi yang berinisial AH pada 2012 silam.

Soal siapa “tetangga” itu, diduga kuat tak lain adalah istri AH. Kemudian, mengapa hubungan suami-istri ini diistilahkan “tetangga” oleh AH? Sebagai pejabat tinggi mestinya harus lebih gantleman/berani terbuka agar menjadi teladan bagi publik. 

Terkait handphone-nya digunakan “tetangga”? Singkatnya, ini menjelaskan bahwa pejabat publik tersebut tidak punya privacy sama sekali, tentu ini sangat memalukan.

Dengan demikian publik menilai; masa barang seperti handphone saja tidak bisa kendalikan, bagaimana mengurus, mengendalikan partai dan negara?

Kepantasan, Teladan dan Moralitas Pejabat

Skandal asmara/perselingkuhan antara Rifa Handayani dengan AH, Ketua Umum Partai Golkar yang diduga kuat inisial AH itu adalah Airlangga Hartanto.

Dugaan ini karena ada tuntutan dari kader senior Golkar Erwin Rikardo Silalahi meminta sang ketua dia harus mundur, sebagaimana pemberitaan media online Law-Justice (Jumat, 24/12/2021).

Yang kini menjadi ramai dibicarakan publik atas skandal ini adalah soal kepantasan dia sebagai pejabat tinggi, Ketum Partai Golkar yang publik nilai sebagai partai modern, yang mestinya harus memberi keteladanan. Bila tidak memberi keteladanan, maka otoritas moral dia sebagai pejabat publik, pemimpin partai akan hilang. Konsekwensinya seluruh kebijakan ataupun keputusan politik yang dia ambil tidak kredibel, karena legitimasi moral politik sudah hilang.

Dampak pada partai jika pemimpin partai seperti ini terus dipertahankan, suara pemilih perempuan akan hilang, sebab perempuan paling tidak suka dengan laki-laki yang tak bertanggung jawab dan sebagian yang konservatif tidak suka perselingkuhan.

Tentu ini mereduksi citra partai Golkar sebagai partai moderen di negeri ini dan sangat berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan publik dalam pemilu 2024 nanti.

Sebelumnya (medio Febuari 2021), jejak digital pernyataan Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono terkait Wakil Ketua DPRD Sulut yang merupakan kader Golkar selingkuh.

Agung dan para pengurus DPP hendaknya melihat kasus Sulut menjadi sebuah preseden, tidak membedakan apalagi mengabaikan skandal perselingkuhan yang berkaitan dengan AH.

Di sini, lagi-lagi diuji dan harus ditunjukkan bahwa standar Moralitas untuk menjadi standar partai lain yang di “agungkan” oleh sang dewan pakar Agung Laksono berlaku untuk semuanya, tidak hanya untuk  segelintir kader saja.

Contoh kongkrit, bagaimana Standar Moral menjadi pegangan dasar untuk seorang politisi atau pejabat: DPP PDIP memecat kader yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Lembata karena kedapatan selingkuh dengan istri orang (Kompas.com, 27 Desember 2021). 

Peristiwa ini juga memberi pesan ke kita soal bagaimana cara menangani, mengatasi dan mengelola masalah, baik sebagai kepala rumah tangga, pemimpin partai politik dan pejabat tinggi.

Di sini harus bisa menunjukkan bagaimana respons terhadap masalah, mengambil tanggung jawab, gantleman/tidak kamu? Bila tidak, peristiwa tersebut mengingatkan saya pada nasehat Hanah Arendt, bahwa ketiadaan refleksi dan gagasan dalam politik adalah sebuah kejahatan.

Karena partai politik tidak mungkin bisa membawa perubahan signifikan jika tidak mengandalkan keberadaan konstituen dan simpatisannya. Cita-cita sebuah partai politik haruslah bisa menjadi imajinasi kolektif dari konstituen dan simpatisannya, bisa menjadi frame of reference atau bingkai dalam menginterpretasi realitas kebangsaan yang terus mengalir dan berkembang. Hal inilah yang akan membentuk identitas bersama diantara konstituen dan simpatisan partai politik.

Para Founding Fathers Indonesia sangat memahami relasi sosial antara pemimpin dan masyarakatnya, sehingga dengan sangat bijaksana menempatkan hak masyarakat sangat tinggi dalam konstitusi kita yaitu ‘kedaulatan ada di tangan rakyat’.

UUD 1945 Bab I Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 (2) menyatakan, bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dengan ketentuan itu dapat diartikan bahwa pemilik kedaulatan dalam negara Indonesia adalah rakyat. Pelaksanaan kedaulatan ditentukan menurut Undang-Undang Dasar.

Pelaksana Kedaulatan negara Indonesia menurut UUD 1945 adalah rakyat dan semua lembaga negara termasuk Presiden dan partai Politik berfungsi menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat.

Pasal 1 UU No 2 Tahun 2008 tentang partai politik, menyatakan bahwa yang disebut partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Oleh karenanya Ki Hajar Dewantara sangat sempurna dalam membantu pemahaman kita tentang relasi pemimpin dengan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Dengan 3 kalimat syarat makna yaitu Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Salah satu nilai yang diharapkan muncul dari setiap pemimpin politik adalah keteladanan. Sebuah nilai universal yang sangat dirindukan oleh siapapun di dunia ini. Seorang pemimpin adalah panutan. Sebagai panutan, orang lain yang ada di sekitarnya akan manut (bahasa Jawa, yang artinya mengikuti, meniru).

Di sini bisa dilihat betapa besarnya tanggungjawab moral dari seorang pemimpin, karena tindak-tanduknya, tingkah lakunya, cara berfikirnya, bahkan kebiasaannya akan cenderung diikuti orang lain.

Untuk itulah maka saat berada di depan, pemimpin harus memberikan teladan, memberikan contoh. Inilah yang dimaksud Ki Hajar dengan “ing ngarso sun tulodho”, saat di depan seorang pemimpin harus memberi teladan.

Bila para pemimpin memiliki sikap keteladanan, maka tatanan kehidupan di dalam pemerintahan akan lebih baik dan permasalahan yang mungkin timbul dapat ditekan sekecil mungkin. Maka jika pemimpin, tidak lagi memiliki contoh untuk ditiru karena perilaku moral yang tak pantas sudah sepantasnya disingkirkan agar perilakunya tidak menjadi contoh yang menyesatkan masyarakat.

Pada titik ini baik Presiden Jokowi maupun para pengurus partai Golkar harus mengambil sikap tegas sebagai bentuk pertangggung-jawabannya terhadap tatanan sosial dan kemajuan moral publik.

Kembali ke persoalan keteladanan, maka kisah menghebohkan di akhir tahun oleh Rifa Handayani dan suaminya dengan seorang Menteri di Kabinet Presiden Jokowi dan seorang Ketua Umum Partai Politik berinisial AH menarik untuk direfleksikan khususnya oleh Presiden Jokowi maupun oleh para pengurus partai Golkar pada semua tingkatan.

Oleh karena itu sepanjang Ketua Umum partai Golkar (Airlangga Hartarto) tidak melakukan klarifikasi ke public atas isu moral yang menerpa dirinya maka publik berhak melakukan pembenaran sepihak atas informasi yang disampaikan oleh Rifa Handayani.

Dengan demikian Presiden Jokowi sesungguhnya memiliki cukup alasan untuk memberhentikan Menteri AH sedekat apapun relasi pribadi antara Presiden dan AH.

Kepentingan negara dan keselamatan moral generasi muda menjadi hal yang jauh lebih penting diatas segalanya kepentingan lainnya. Karena baik Presiden Jakowi maupun seluruh kader partai Golkar tidak akan bersedia dan sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Hanah Arendt (ilmuwan dan politik Amerika kelahiran Jerman yang dikenal karena hal kritisnya tentang urusan Yahudi dan studinya tentang totalitarianisme) bahwa ketiadaan refleksi dan gagasan dalam politik adalah sebuah kejahatan.

Reflkesi dalam urusan politik sangatlah penting agar kekeliruan tidak menjadi sebuah kesadaran yang terlambat untuk disesali. Peristiwa ini mengajarkan kepada kita tentang sikap kritis, reflektif dan selalu belajar dari sejarah. (*)

1978

Related Post