Soal DI TII, Rahman Sabon Nama Anggap KSP Moeldoko hanya Mendengar Cerita Sejarah Perjuangan RI
Jakarta, FNN - Pernyataan Kepala Staf Presiden RI Jenderal TNI Purn.Moeldoko atas munculnya gerakan DI/TII mendapat tanggapan serius dari pengamat politik Rahman Sabon Nama.
Sabon menegaskan perbedaan pernyataan dan sikap sebagai pejabat publik dalam menghadapi situasi kebangsaan saat ini berpontensi menimbulkan perpecahan/disintegrasi bangsa.
Sepertinya Moeldoko tidak membaca sejarah Indonesia atau tidak belajar sejarah, apalagi bukan sebagai pelaku sejarah dia hanya berpijak pada egosentris kepentingan politik sesaat untuk golongannya sendiri.
Atas pernyataannya itu rakyat semakin mafum atas gelagat yang diperlihatkan rezim terseret dalam upaya pengkaburan sejarah ke dalam gerakan yang berdasarkan ideologi lain di tengah penderitaan rakyat dalam menghadapi kesulitan hidup ,berbagai ketimpangan mahalnya harga kebutuhan pangan pokok khususnya minyak goreng dan lunturnya hukum dan keadilan belum juga diatasi pemerintah.
Pemerintah seakan memberikan kesempatan semakin tumbuh berkembangnya ideologi komunis gaya baru untuk berusaha menjadi pahlawan guna mengatasi kesulitan rakyat dalam mendapatkan kebutuhan pokok lewat berbagai operasi pasar lewat tangan oligarki swasta bukan oleh pemerintah/ Bulog.
Moldoko rupanya lupa ingatan bahwa munculnya pergolakan senjata paska proklamasi kemerdekaan hingga pada pemulihan kedalautan 27 Desember 1949 hingga pemberlakuan UU Dasar Sementara (1950-1955) terjadi perpecahan dan pertikaian bersenjata dengan beberapa daerah bersumber dari pelaksanaan kebijakan Soekarno berasas liberal diktator sentralistis dengan memusatkan kekuasaannya pada diri presiden sebagai pempimpin revolusi. Sehingga menimbulkan ketidakpuasan para tokoh pejuang kemerdekaan di daerah, sehingga terjadi gerakan separatisme/provinsialisme serentak di seluruh Indonesia seperti :
1).DI/TII Karto Soewiryo di Jawa Barat
2).APRA di bawah pimpinan Westerling di Bandung,
3).RMS di Maluku
4).Permesta di Minahasa Sulawes Utara dan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, juga DI/TII Aceh pimpinan
Tengku Abu Daud Breeh ,DI/TII Kalimantan Selatan dan Jawa Tengah
5). Pemberontakan PRRI tidak hanya di Sumatera Barat tetapi meliputi (Sumatera Barat, Sumatera Tengah dan Sumatera Utara) dengan bantuan senjata dari Amerika Serikat.
6).Pemberontakan bersenjata OSM Medan di bawah pimpinan Kolonel Naenggolan.
Moledoko seharusnya tahu kenapa hal itu bisa terjadi? Ini terjadi karena penyimpangan yang dilakukan rezim Bung Karno adanya peningkatan gerakan komunisme semakin kuat terjadi dengan terjadinya pemberontakan bersenjata PKI di Madiun.
Adanya perbedaan sikap dari para tokoh pejuang daerah diredam lewat kebijakan dari Jenderal Ahmad Yani ,beliau menghadap Presiden Soekarno untuk menghentikan pemberontakan bersenjata dengan merekruet para pejuang yg menjadi pemberontak untuk menjadi anggota TNI.
Pemulihan keadaan itu dimanfaatkan PKI setelah gagal dalam pemberontakan bersenjata di Madiun, dengan melakukan konsolidasi untuk membangun kekuatannya kembali berpusat di Komplek Merapi, Merbabu dan tempat lain sehingga eksis pada Pemilu pertama 1955 dan ketika gagal melakukan pemberontakan bersenjata dalam gerakan G30SPKI 1965 untuk mengubah Idologi negara Pancasila menjadi idologi komunis/markxisme.
Di era pemerintahan Jokowi publik mengetahui ada upaya penghilangan jejak dan sejarah G30S PKI 1965 dengan berupaya membalikkan fakta sejarah lewat forum Seminar yang digagas oleh Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan Cs (periode pertama Jokowi) agar pemerintah meminta maaf pada PKI, mirip dengan apa yang disampaikan oleh Moeldoko dengan mendiskreditkan umat Islam lewat gerakan DI/TII .
Oleh karena itu saya ingatkan bahwa upaya mengamputasi gerakan aksi demo mahasiswa saat ini dengan Isu DI/TII justru akan semakin memperburuk citra pemerintahan Jokowi, atas pernyataan kurang cerdas itu , justru menjadi bumerang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa, memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa, yang seharusnya dihindari pemerintah di tengah semakin merosotnya legitimasi dan kepercayaan rakyat pada pemerintahan Jokowi-Maruf Amin saat ini. (sws)