hari-kelima

Catatan dari Hotel Karantina Hari Kelima: Tentang Sebuah Kota

Dr. Syahganda Nainggolan HARI ini adalah hari ke-5 saya di Karantina. Seminggu setelah PCR negatif di Belanda. Lima hari setelah dites PCR negatif di Bandara SH. Setiap hari dites temperatur normal. Tapi saya harus menunggu Karantina 5 hari lagi. Baru bisa ketemu keluarga. Istri saya tadi mengatakan, tetangga kamar sebelah, 3 perempuan Eropa (Timur atau Russia), kemarin hanya dengan busana dalam ada di balkon melakukan senam. Hal ini membuat saya jadi terbatas untuk melihat ke luar jendela. Mereka mungkin kelihatannya sudah stress di kamar. Jadi keluar dengan lompat jendela. Kamar sebelah satunya setiap larut malam saya dengar bicara bahasa Arab dengan keras. Mungkin menelepon keluarganya yang selisih waktu kita 4 jam. Hari kedua lalu, istri saya ketika membuka jendela, merasa senang telah melihat kota. Ada celah antara dua tembok dinding apartemen yang memberikan pandangan di kejauhan. Saya mengatakan padanya bahwa di Jakarta tidak ada kota. Hari ini saya ingin bertukar pikiran tentang kota. Alkisah ketika paman istri saya Stef (Stefanus) Vanden Eijnden berjanji untuk membawa kami keliling Amsterdam. Itu tanggal 20/11. Dia adalah seniman jalanan (istilah anak-anak Taman Ismail Marzuki), yang sejak usia 26 tahun mengamen di cafe-cafe Amsterdam. Sekarang umurnya 70 tahun. Keahliannya alat Akordion, berkata-kata dan menyusun plot. Dia pernah cukup lama menyewa Roode Bioskop, Amsterdam, dijadikan sebagai tempat teaternya. Meskipun istri saya bapaknya kerja 20 tahun di KLM yang bermarkas di Amsterdam, tapi mengetahui Amsterdam dari seniman semacam Stef tentu berbeda. Awalnya kami menawarkan Stef ketemuan makan siang, kami yang traktir. Namun, Stef mengajak kami untuk mengelilingi Amsterdam selama 4 jam. Jalan kaki. Saya mulai berpikir tentang kemampuan kaki saya, cuacanya dingin dan apakah selama itu? Alkisah ini akhirnya terjadi. Jam 10 pagi Stef menjemput kami di Amsterdam Central Stasiun. Kami sudah lebih awal datang, menyeberang beberapa menit dengan Ferry Boat, dari Hotel Botel, Hotel terbuat dari kapal. Hotel ini di depan Kantor Greenpeace Belanda. Kami datang jam 9 agar saya bisa tes antigen di sebelah stasiun. Tes antigen syarat bisa masuk Cafe, nantinya. Di Belanda, istilah jam sangat presisi. Kalau kami berjanji jam 10, maka itu harus terjadi. Mulailah kami menyusuri rute pusat Kota Amsterdam. Dari depan stasiun arah jalan ke kanan langsung menyusuri kanal-kanal yang menuju NoorderMarkt. Amsterdam adalah kota yang dibangun ratusan tahun lalu atau bahkan 1000 tahun lalu. Kanal-kanal di dalam kota dibangun untuk mengurai air yang melimpah dari sungai Amstal dan IJ, karena pemukiman mereka 0,5 meter di bawah laut. Nelayan yang akan melaut, terhubung ke laut Utara Amsterdam setelah terusan dibangun melalui sungai IJ ke laut. Pola kota dibangun dalam pola mirip separuh jaring laba-laba, dengan antara bagian dalam ke arah luar dikelilingi air. Cerita lebih detail tentang kanal dan pembangunan kota Amsterdam bisa didalami melalui berbagai sumber yang tersedia di Google. Saya kembali pada fokus tentang kota. Setelah berjalan hampir satu jam berputar-putar, kami tiba di NoorderMarkt. Jarak tempuh tercepat dari stasiun ke NoorderMarkt sebenarnya hanya 15-20 menit, apalagi jalan di Belanda dengan orang Belanda dan saa musim dingin. Satu waktu yang dihabiskan untuk "sight seeing" ini adalah untuk melihat, merasakan, mencium aroma Kota Amsterdam. Rumah-rumah di pinggir kanal tertata indah dan umumnya berumur ratusan tahun. Indah, baik warnanya maupun sky-line yang membentuk keterhubungan atap-atap rumah mereka. Warna rumah umumnya merah bata. Rumah terdiri dari 4-5 tingkat dengan ukuran lebar yang kecil, sekitar 4 meter. Bagian atas menjorok sedikit ke depan, karena mereka menaikkan barang-barang ke lantai atas melalui tali, sehingga tidak merusak dinding lantai bagian bawah. Tangga-tangga di dalam rumah pastinya kecil, namun mereka sudah terbiasa dengan itu. Rumah-rumah yang berada di kanal ini, dulu, mempunyai pasar untuk mereka berdagang yang namanya NoorderMarkt. Ini adalah kawasan Jordaan. Kawasan penting di kota Amsterdam. Di sebelah NoorderMarkt telah berdiri lebih dahulu NoorderKerk, Sebuah Gereja. Sudahkah saya bicara tentang kota? Ya Kota. Kita bicara kota karena kota itu bukanlah gedung-gedung (saja). Kota adalah tentang pertarungan hidup manusia, tempat berbincang-bincang, tempat berdagang di pasar, tempat tinggal, tempat seni, tempat memuja Tuhan, dan lainnya. Pertarungan hidup di kawasan Jordan ini ditandai dengan berkali-kali kerusuhan di masa lalu, ketika orang-orang miskin dan kaum buruh menuntut hak hidup di Amsterdam. Pertarungan kapitalis pemilik modal dan kaum buruh untuk merebut hak-hak hidup adalah peristiwa setiap pembangunan kota. Film The Magnificent Seven yang dibintangi Danzel Washington dkk, misalnya, memperlihatkan pertarungan antara kaum buruh tambang emas versus kapitalis yang ingin memiliki sebuah kota. Ada permusuhan, ada tumpah darah, ada kematian, ada rumah ibadah dan lain sebagainya dalam pertarungan merebut hak-hak pengelolaan kota. Di NoorderMarkt orang-orang berdagang, barang bekas dan murah. Banyak juga barang dari negara lainnya. Berapa umur pasar ini? Umur pasar ini sudah mencapai 400 tahun. Dibangun dengan tenda-tenda. Stef kemudian mengajak kami mengelilingi pasar. Yang menarik buatnya adalah menemukan ramainya orang berinteraksi, seperti 400 tahun yang lalu. Kemudian membeli keju organik dan yang sangat menarik adalah tenda penjual jamur untuk makanan. Kami membeli berbagai jamur. Pasar itu kini tidak setiap hari buka. Mereka berjualan di atas ruang publik. Selama 400 ratus tahun tempat itu tidak digusur konglomerat properti. Bukan karena konglomerat tidak ingin memiliki ruang itu, tapi rakyat bawah sudah berkali-kali menunjukkan kekuatan mereka menentang dominasi kaum kapitalis di sana. Mereka menjaga kota itu. Setelah puas melihat pasar, kami menuju kafe di pinggir pasar. Sebuah kafe kecil, mungkin namanya kafe Hegeraad. Di Belanda cafe seperti ini disebut Brown Cafe (Bruin Cafe). Karena warna interiornya cokelat gelap. Tapi, Cozy (enak), suasananya. Orang-orang bertumpuk di dalam. Mirip-mirip warung kopi di Indonesia. Tidak ada musik. Semua orang datang memang mau minum (bir) dan berbincang-bincang atau ngerumpi. Stef mengajak kami ke dalamnya. Hasil tes antigen saya belum bisa saya upload, ada masalah di handphone. Namun, dengan gaya "Amsterdamer" kami masuk ke bagian belakang. Duduk dengan kursi dan meja yang juga berdesakan dengan pengunjung lainnya. Jas tebal digantung saja di kursi. Stef menyuruh saya dan istri duduk saja, biar dia langsung memesan ke kasir, agar pelayan tidak datang memeriksa QR Code. Kami menghabiskan kopi dan Stef dengan birnya sambil mengobrol. Pemilik Cafe itu mengenal Stef secara dekat. Pasalnya saat muda, puluhan tahun lalu, Stef berhasil bernyanyi di cafe tersebut. Awalnya, pemilik kafe itu menolak, karena aturannya dilarang musik. Namun, Stef berkali-kali meminta agar pengunjung cafe diberikan hak untuk mendengar dia bernyanyi. Dan berhasil. Itu karena dikenal, yang membuat Stef bisa membawa saya masuk tanpa QR Code. Dan, cafe itu memuat foto Stef masa muda yang menghibur pengunjung. Usia kafe ini hampir sama dengan usia pasar. Di ruang publik depan kafe itu, seniman Amsterdam dulu sering tampil menghibur ratusan maupun ribuan pengunjung. Teater publik. Orang-orang yang datang ke pasar itu, ke kafe dan yang tinggal di rumah-rumah adalah bagian dari sebuah kota. Kota adalah tentang sebuah sejarah yang berkelanjutan. Kota sejatinya adalah pertarungan hidupnya orang-orang miskin melawan dominasi orang kaya. Kota juga adalah sebuah karya seni. Seni, karena kota itu dibangun untuk keindahan warganya. Dan, tentunya tempat menampilkan karya seni. Tentang karya seni ini, Rembrandt adalah pelukis yang sempat besar di daerah Jordaan itu. Saat ini, ratusan tahun kemudian, atas dukungan pemerintah Belanda, dan pecinta Rembrandt, Museum Belanda akan membeli lukisan Rembrandt The Standard Bearer) yang ada di Prancis, senilai USD 198 juta. Selepas dari Kafe Hegeraad, kami melanjutkan lagi jalan kaki. Kembali lagi berputar-putar menyusuri jalanan sempit yang indah. Kami berhenti di De Roode Bioskop. Sebuah teater. Itu terkenal dulunya sebagai pusat propaganda kaum buruh. Kami bertemu penjaganya, perempuan cantik, secara kebetulan. Dia membolehkan kami masuk. Sebuah tempat kosong jika tidak ada pentas. Stef menceritakan dahulu dia sempat menyewa itu. Di masa pergolakan Komunis Eropa abad ke-19, berkali-kali tempat itu diserbu tentara dan polisi Belanda serta preman-preman yang dibiayai kaum pemilik modal. Di sebelah De Roode Bioscoop ada Kafe Spinoza. Kafe ini diambil dari nama Benedict Spinoza, filosop keturunan Yahudi Belanda ini, yang menjadi inspirasi Hegel. Hegel di kemudian hari menginspirasi Karl Marx. Mungkin ini alasan yang menjadikan Kafe Spinoza itu dulu mendukung gerakan kiri di De Roode Bioscoop. Kami makan siang di situ. Setelah makan siang, waktu sudah hampir jam 14. Sudah 4 jam kami bersama Stef, berbicara tentang kota, Amsterdam. Kami melanjutkan perjalanan, tepat berpisah arah dengan Stef jam 14, lalu saya dan istri mengurus lagi QR Code di Stasiun. Selanjutnya kami naik ferry parawisata yang membawa keliling kota melalui sungai-sungai dan kanal. Kembali kepada awal mula cerita ini, ketika saya mengatakan tidak ada kota di Indonesia, khususnya Jakarta, pada istri saya, sebenarnya saya ingin menegaskan bahwa kota-kota di sini dikuasai para kapitalis tanpa perlawanan. Mereka membangun gedung-gedung tinggi tapi tidak memiliki makna kota. Tidak ada sejarah, tidak ada kesenian, tidak ada standar (seni) sky-line, orang-orang penghuni lama dibiarkan tersingkir ke pinggir, Masjid digusur, dimusnahkan, dan lain sebagainya. Bagaimana sebuah peradaban mau dibangun tanpa kita punya sebuah kota? Bagaimana sebuah kota ada jika rakyat ternyata tak memilikinya. Bagaimana sebuah kota itu disebut kota kalau tidak berlanjut sejarah kehidupannya? Demikian dulu. Salam dari Hotel Karantina. Penulis Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)