tentang-kuasa
Catatan dari Hotel Karantina Hari Keenam: Tentang Kuasa
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan INI hari ke-6 saya di Hotel Karantina. Delapan hari dari tes PCR di Belanda sebelum keberangkatan. Juga, 6 hari dari tes PCR di Cengkareng dengan hasil negatif. Dan tanpa gejala sama sekali. Tapi peraturan membuat saya harus bertahan 4 hari lagi. Teman saya di CDC Oregon Amerika menjapri tadi pagi bahwa virus baru Omicron tidak sebahaya virus Delta. Alhamdulillah. CDC adalah tempat paling canggih urusan virus dan segala hal yang berbahaya buat manusia, termasuk nuklir. Hari ini saya membaca berita juga Kepala CDC mengatakan hal yang sama. Teman saya itu mengatakan bahwa mereka memiliki genome virus itu. Jadi bukan ngomong asal bunyi (asbun) seperti kebanyakan orang di sini. WHO juga sebenarnya sudah seminggu lalu mengatakan virus ini tak mematikan. Lalu apa kata pemerintah kita soal virus ini? Yang saya baca barusan yaitu pernyataan pemerintah bahwa virus Omicron ini belum terdeteksi masuk ke Indonesia. Namun, belum ada respon untuk kembali memperpendek masa Karantina. Padahal, Indonesia membuat Karantina 10 hari lamanya bagi pelancong mancanegara dengan pertimbangan kekhawatiran varian baru Omicron. Sebab, dengan varian Delta yang sudah beredar di Indonesia sejak medio tahun lalu, Indonesia sudah berhasil menurunkan level PPKM. Saat ini PPKM dipertahankan pada level dua, dengan asumsi penanggulangan pandemi dengan virus yang ada, dapat dikendalikan. Lalu pemerintah takut kemdali menjadi hancur karena ada potensi varian baru yang dibawa masuk pelancong seperti saya. Hari ini saya minta makanan Arab di hotel. Sudah hari ke-5 makanan hotel dengan menu yang sama membuat kebosanan bertambah. Variasi makanan mungkin dapat mengurangi rasa kesal dan bosan. Tapi yang saya takutkan adalah menjadi gemuk dalam 10 hari. Padahal saya mengurangi berat badan 10 kg (dari 90 kg menjadi 80 kg) berhasil ketika di penjara dulu. Bagaimana kalau di hotel ini badan saya naik 10 kg? Saya kembali ingin berdiskusi dengan teman-teman untuk membunuh kebosanan itu. Hari ini kita membahas soal kuasa atau power. Kenapa? Karena masalah ini masalah besar di Indonesia. Pemaknaan kekuasaan di Indonesia belum pernah ditempatkan maupun dilaksanakan secara tepat, khususnya dalam konteks kehidupan bersama dalam sebuah bangsa. Power adalah mengontrol. Pemilik power atau penguasa adalah pengontrol orang yang dikuasainya. Namun, Gramscy mengembangkan teori hegemoni. Hegemoni bisa lebih berbahaya pada mengontrol. Mengontrol bersifat kasat mata, seperti ketua partai politik mengontrol anggota DPR. Hegemoni meliputi dominasi kultural, norma, kuasa, dan ideologi dari penguasa atas orang-orang yang dikuasainya. Hegemoni termasuk melumpuhkan alam sadar masyarakat untuk mengetahui eksistensinya dalam konteks hak-hak asasinya. Dalam relasi masyarakat dan penguasa otoriter, seperti yang didalami Gramscy dahulu di Italia, era Mussolini, penguasa umumnya menjalankan praktek hegemoni kepada rakyat. Praktek hegemoni dilakukan dengan mengkombinasikan rasa takut terhadap rakyat dan merubah persepsi tentang hak-hak manusia. Italia masa itu dikendalikan kekuasaan fasis. Sebenarnya kekuasaan totaliter Komunis juga melakukan hal yang sama. Orang-orang seperti Max Weber dan Thomas Hobbes menyelidiki betapa pentingnya power untuk menjalankan sebuah perencanaan. Weber mendalami isu power yang imparsial seperti birokrasi. Sedangkan Hobbes mendalami perlunya negara mempunyai alat paksa terhadap rakyatnya agar ketertiban umum dapat dilaksanakan. Namun, di sisi lainnya, Karl Marx mengintip relasi orang yang terhubung pada power itu. Menurutnya, relasi itu selalu bersifat eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Lalu, negara diciptakan hanya untuk mensyahkan atau melegitimasi ekploitasi itu. Beberapa intelektual kemudian semakin mendalami difinisi power ini , bahkan dalam konteks bahasa dan struktur text. Godaan (temptation) terhadap manusia tentang memiliki power sudah menjadi bahasan agama sejak dulu. ditambahkan dengan godaan lainnya, harta dan wanita. Tapi, godaan itu bisa bersifat sekaligus juga. Ketiganya mempunyai dimensi kenikmatan masing masing. Pandangan agama mengaitkan manusia dan iblis dalam teori motivasi. Sedangkan di luar agama, seperti Maslow dan Machiavelli melihatnya dari sisi manusia itu sendiri. Orang-orang beragama mendorong kecintaan pada dunia dikurangi agar nafsu serakah tidak mengendalikan seseorang dalam kekuasaan. Namun sebaliknya, pemikir non agama mendorong agar dilakukan pembagian kekuasaan secara merata, agar tidak ada pemusatan kekuasaan pada seseorang atau kelompok. Dalam masyarakat yang mengklaim beragama, umumnya manipulasi datang dari tokoh-tokoh agama yang melacurkan diri. Ayat-ayat dijadikan alasan untuk memberikan legitimasi pada kekuasaan yang rakus. Sedangkan masyarakat yang berdasarkan "common sense", kesulitan mencari kesamaan moralitas ataupun kebajikan untuk mengatur dan mengatur keberlanjutan agar kekuasaan dapat digunakan secara benar. Bagaimana bangsa kita dalam konteks power? Secara inter-personal ataupun keluarga, bangsa kita mempunyai kultur non demokratis. Penelitian terbaru terkait dengan pendidikan anak dalam keluarga, yang paling demokratis adalah masyarakat Belanda. Mereka terbiasa dengan sifat egaliter dan equal dalam keluarga. Di Indonesia, orang tua dan orang yang paling tua dalam saudara mendapatkan hak sebagai sosok dominan. Dominan ini bisa diperluas artinya menjadi pengatur. Bisa juga diperluas menjadi mengontrol. Umumnya juga bersifat gender, di mana lelaki lebih dominan. Bila karakter non-demokrasi itu berkembang menjadi anti demokrasi, maka yang berkembang adalah karakter otoritarian. Dalam masyarakat Indonesia hal itu terlihat paralel. Masyakarat kita mengalami karakter yang non demokratis. Karakter atau ciri masyarakat seperti ini sejak awal menyulitkan Indonesia bisa berkembang dalam pola keseimbangan kekuatan dalam sistem masyarakat, seperti ala barat. Ketua KPK Firli Bahuri, umpamanya, baru saja mengatakan kejahatan korupsi terbesar akan muncul dengan sistem pilpres PT 20%. Sistem ini ditentang banyak pihak. Tapi kemudian Firli menyebutkan semua ini bisa berubah di tangan Jokowi. Ada juga, ketua Lemhannas, baru baru ini mengatakan "rakyat itu milik presiden". Ini adalah kosakata feodalisme yang acap kali muncul sejak kita merdeka. Sukarno disebutkan sebagai bapak bangsa, Suharto bapak pembangunan dan lainnya. Keseimbangan kekuasaan ala trias politika barat mensyaratkan pembagian kekuasaan dan pembatasan kekuasaan. Pembatasan termasuk mendorong munculnya sirkulasi leadership secara teratur. Sehingga, dengan demikian kekuasaan tidak menjadi alat yang akan disalahgunakan. Jika kita kesulitan memasuki model barat, lalu kita berpikir model religius. Model religius mempunyai sejarah yang panjang juga dalam mengatur kekuasaan untuk digunakan bagi kebaikan dan kebajikan. Misalnya dalam pemerintahan era Rasulullah Nabi Muhammad SAW, dan pemerintahan masa 4 sahabatnya, di dalam Islam, dianggap sebagai model relegius yang sukses. Ukurannya adalah kekuasaan dikelola dengan nafsu dunia yang optimal, ada musyawarah elit kekuasaan, rentang kekuasaan tidak terlalu lama. Namun, masa setelahnya, dalam jaman kekhalifahan, hanya beberapa kekhalifahan yang dianggap masih sesuai dengan model religius Islam. Persoalannya adalah apakah bangsa kita bangsa religius? Atau bangsa munafik? Di sinilah kita selalu mendapatkan diri, berada dalam jalan yang tidak menentu. Tidak mengikuti model manapun? Persoalannya lagi adalah apabila power tidak disepakati untuk kepentingan bersama, maka power sang penguasa seringkali dibuat untuk menyakiti rakyatnya sendiri serta untuk memperkaya diri. Pada akhirnya konsensus nasional tentang makna kebersamaan (kemerdekaan) kehilangan makna dan tergerus hari demi hari. Saat ini kita mulai disibukkan dengan isu kekuasaan, yakni calon presiden ke depan. Tahun lalu kita disibukkan dengan isu kekuasaan, membentuk UU Omnibus Law yang melawan konstitusi. Tahun 2019 kita disibukkan dengan pelemahan KPK agar kekuasaan bisa leluasa disalahgunakan. Setting sosial kita sudah salah arah karena kekuasaan merupakan barang luxurious (mewah) yang diperebutkan untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri dan kepentingan harta dan atau wanita. Kita tidak terbiasa misalnya melihat seperti Pangeran Charles di Inggris, yang lebih mementingkan cinta (wanita) daripada kekuasaan, atau calon raja Inggris dulu dalam film King Speech, yang memilih cinta daripada kekuasaan. Kita belum terbiasa merenungkan Pangeran Dipanegoro kehilangan kekuasannya, karena memilih jalan hidup pemberontakan. Atau banyak kisah-kisah lainnya. Yang sering menjadi cita-cita di Indonesia adalah bagaimana berkuasa bisa membuat orang bisa cepat kaya dan membangun gurita bisnis. Dalam setting sosial seperti ini, maka analisa Karl Marx tentang kekuasaan sebagai alat pemilik modal serta analisa religius kekuasaan duniawi sebagai alat penguasa untuk mengumbar nafsu durjana perlu dipertimbangkan sebagai model analitik melihat penguasa yang ada. Artinya rakyat menempatkan dirinya dalam hubungan yang diametral dengan kekuasaan tersebut. Dalam frame ini maka rakyat tahu bagaimana melakukan langkah-langkah penguatan kekuatan dan kekuasaan ditangan rakyat dengan cita-cita alternatifnya. Rakyat tidak boleh terperdaya dengan pencitraan -pencitraan lembaga-lembaga survei yang semakin menjamur. Karena substansi yang harus diperjuangkan sama sekali berbeda dengan realitas yang ada. Pada kunjungan saya ke Jos Van den Eijnden, paman istri saya yang baru mundur dari ketua Partai Hijau (Groen Links) Kota Soest, Belanda, beberapa hari lalu, saya melihat konsistensi cita-cita partai tersebut untuk tema lingkungan dan Social Welfare, dalam implementasinya. Sebagai ketua partai pun dia tidak mempunyai agenda (interest) pribadi, selain cita-cita partai. Padahal partai itu mempunyai 4 perwakilan dalam dewan kota. Sebuah kota seperti Soest, di mana berada istana mendiang Ratu Juliana, penguasa Indonesia tempo dahulu, anggarannya cukup besar. Namun, di sana anggaran negara bukan untuk dirampok. Anggaran negara adalah untuk rakyat. Diantara hal-hal positif yang berkembang belakangan ini, rakyat harus terus membangun optimisme bahwa kekuasaan di tangan rakyat bisa direbut. Hal positif pertama adalah keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU Omnibus Law. UU ini adalah sebuah kejahatan. Ini tafsir politik, karena UU ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Positif kedua, adalah gerakan rakyat dan Novel Baswedan yang akan membuktikan KKN elit negara dalam bisnis PCR. Ini adalah pintu untuk memperlihatkan kepentingan rakyat vs. kepentingan anti rakyat. Ketiga, statement ketua KPK, Firli Bahuri, yang menyatakan, yang saya tafsirkan, PT (Presidensial Threshold) nol persen sama dengan anti korupsi. Artinya pendukung PT 20% dalam tafsir itu benar-benar tidak ingin adanya pemberantasan korupsi di Indonesia. Keempat, adanya tuntutan hukuman mati pada kasus korupsi, dalam hal ini pelaku korupsi PT Asabri. Ini adalah kemajuan besar untuk kemenangan rakyat. Untuk rakyat berkuasa nantinya. Perkembangan bagus ini harus dikelola dengan baik. Begitulah sumbangan pemikiran saya sementara ini soal kekuasaan. Salam hangat dari hotel Karantina. Penulis Aktivis KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia)