Ancaman Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme?

Anggota Polsekta Astanaanyar, Kota Bandung, korban teror bom bunuh diri.

Dari buku H. Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia dan Keterkaitannya dengan Gerakan Radikalisme Transnasional (Tanpa Kota: AS Production Indonesia, 2014)

Oleh: Muhammad Chirzin, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

BUKU Ansyaad Mbai ini dipersembahkan untuk istrinya yang memantik semangat menyusun buku, dan keempat cucu yang menjadi sumber inspirasi terkuat untuk menerbitkannya. Ansyaad Mbai adalah Kepala BNPT pertama pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Buku ini ditulis untuk memberikan penjelasan berimbang tentang terorisme dan upaya penanggulangannya dengan menampilkan fakta-fakta objektif. Goresan tinta H. Ansyad Mbai ini amat sangat penting sebagai sumber utama terkait terorisme di Indonesia sejak 2010 hingga 2013 (Prof. Bilveer Singh, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Nasional Singapura). 

Isi buku: (I) Pendahuluan; (II) Gerakan terorisme dan radikal: pengalaman Indonesia; (III) Latar belakang gerakan radikal di Indonesia dan transnasional; (IV) Strategi menangkal teroris; (V) Program nasional pencegahan terorisme; (VI) Kerja lanjutan; (VII) Penutup.

Buku ini memuat kajian tentang kelompok teroris di Indonesia yang berkelindan satu dengan yang lain. Karena itu sangat membutuhkan indeks nama-nama tokoh, tempat, peristiwa, dan kelompok-kelompok teroris yang dikaji.

Peta konsentrasi jaringan terorisme di Indonesia meliputi Aceh sebagai qaidah amanah: Dulmatin – JI (Jama’ah Islamiyah), Mustofa – JI/JAT (Jama’ah Ansharut Tauhid), Abd. Sonata – Kompak (?), Aman Abd. Rahman – NII (Negara Islam Indonesia), Abu Umar – NII; Kelompok Terorisme Finansial CIMB (Commerce International Merchant Bankers) Medan; MIB (Mujahidin Indonesia Barat) Lampung; NII Tasik/MIB Abu Omar dan Abu Roban; Solo – Badri; POL (?) Dayah Jawa Timur/Rizal; JAT Bali; POK (?) Bima – UBK (?)/Abrori; NII Kalsel; MIT (Mujahidin Indonesia Timur) Daengkoro Poso – Santoso; POK Asmar; POK Walid – Ambon.

Radikalisme agama dan radikalisme sekuler merupakan ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila (Dr. KH Ma’ruf Amin, Republika 27-3-2017).

Negara membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dilengkapi Detasemen Khusus 88 (Densus 88). Gabungan keduanya: Satgas Anti Teror. Strategi penanggulangan terorisme: pencegahan, penindakan, dan kerjasama internasional (Ansyaad Mbai, XIX).

Kemunculan aksi terror berbasis gerakan Islam berkaitan dengan Pan-Islamisme ala Jamaluddin al-Afghani dan hegemoni Barat. Hasan Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin Mesir menginspirasi Osama bin Laden dan Ayman al-Jawahiri membentuk front internasional Al-Qaeda melawan Salibis-Yahudi-Amerika Serikat (Dreyfuss, 2005 – Ansyaad Mbai, 14).

Ide gerakan itu diadopsi Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir dengan mendirikan Jama’ah Islamiyah di Asia Tenggara dan merekrut veteran perang Afghanistan untuk meneruskan perjuangan mendirikan Negara Islam Indonesia berdasarkan syariat Islam (Ansyaad Mbai, 14).

William Joseph Casey, Direktur CIA 1981-1987, menjadikan Islam politik dan gereja Katholik sebagai sekutu untuk meluluh-lantakkan komunisme ateistik Uni Soviet (Ansyaad Mbai, 16).

Tipe terorisme di Indonesia adalah terorisme yang dimotivasi oleh agama dengan tujuan mendirikan Negara Islam di Indonesia. Di antara tokoh popular dari kalangan yang disebut teroris ialah Dulmatin, buronan terorisme nomor wahid di Asia Tenggara dan Santoso, pimpinan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT). 

Pada 14 Oktober 2012, Santoso mengeluarkan surat kepada Densus 88, “Kami selaku Mujahidin gugus tugas Indonesia Timur menantang Densus 88 Anti Teror untuk berperang secara terbuka dan jantan! Mari kita berperang secara laki-laki! Jangan kalian cuma berani menembak, menangkapi anggota kami yang tidak bersenjata! Kalau kalian benar-benar kelompok laki-laki, maka hadapi kami! Jangan kalian menang tampang saja tampil di televisi!” (Ansyaad Mbai, 46).

Sejak 2002 Indonesia mengalami lima serangan bom yang signifikan, yaitu bom Bali pertama 2002; bom di Hotel J.W Rarriott 2003; bom Kedutaan Australia 2004; bom Bali kedua 2005; serangan simultan bom di Hotel J.W Marriott dan Ritz-Carlton pada 2009. Mayoritas pelakunya anggot kelompok JI. Ancaman baru terorisme dari kelompok JAT yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Beliau dinyatakan terlibat dalam kasus pelatihan militer di Aceh (Ansyaad Mbai, 7-8).

Beberapa pertanyaan pokok seputar terorisme di Indonesia: (1) apakah sebuah aksi yang terjadi berkaitan dengan aksi terror sebelumnya? (2) apakah kelompok pelaku adalah kelompok yang sama dengan kasus sebelumnya? (3) apakah kelompok itu berkaitan dengan kelompok-kelompok teroris arus utama yang dikenal, seperti JI, JAT, NII? (4) apakah kelompok JI berkaitan dengan JAT/berkaitan dengan NII atau ketiganya berhubungan/berdiri sendiri? (Ansyaad Mbai, 10).

Apakah teroris itu dipelihara oleh Negara, khususnya pemerintah, dengan tujuan mengalihkan perhatian publik dari kelemahan yang terjadi? (Ansyaad Mbai, 11).

Negara tidak mewaswadai bahaya radikalisme sekuler yang juga bertentangan dengan ideologi negera Republik Indonesia, Pancasila. Hingga saat ini aparat Negara tidak ada yang berteriak keras tentang perlunya mewaspadai paham radikalisme sekuler yang merebak di Indonesia, dan tidak dibentuk badan khusus penanggulangan bahaya sekulerisme, dan tidak ada detasemen khusus yang ditugaskan untuk itu (Taufikurrahman Ruki, mantan ketua KPK).

Teori Harvey Cox tentang tiga pilar sekulerisme: (1) dischanment of nature; (2) desacralization of politics; (3) deconsecration of values (Taufikurrahman Ruki, mantan ketua KPK).

Dischanment of nature: kehidupan dunia harus disterilkan dari pengaruh ruhani dan agama. Sekuler liberal membatasi peran agama sebatas persoalan personal. Agama hanya cukup sampai dinding masjid atau gereja. Di luar itu, akal manusialah tuhannya. Sekuler radikal ingin menyingkirkan agama dari kehidupan. Ini beda tipis dari komunisme.    

Desacralization of politics: dunia politik harus dikosongkan dari pengaruh agama dan nilai spiritual. Politik urusan akal manusia semata. Agama dan segala simbolnya dilarang terlibat dalam urusan politik. Agama dan politik adalah wilayah tersendiri yang harus dipisahkan.

Keduanya tidak bisa disatukan. Jokowi mengemukakan gagasan serupa ini pada saat meresmikan Monumen Titik Nol Islam Nusantara di Barus, Sumtera Utara.   

Deconsecration of values: tidak ada kebenaran mutlak. Nilai-nilai bersifat relatif. Doktrin ini menisbikan kebenaran yang ada dalam kitab suci. Bagi mereka kitab suci itu hanya buatan manusia.

Oleh karena itu penganut paham ini suka mengolok-olok kitab suci mereka sendiri, termasuk kitab suci orang lain. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Pak Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Bernegara adalah berpolitik, sebab Negara adalah organisasi politik tertinggi yang dimiliki oleh suatu bangsa. Negara adalah organisasi suatu bangsa untuk memutuskan kebijakan, politik.

Jadi, secara yuridis konstitusional membawa agama dalam perjungan politik sebagai proses bernegara adalah sah.

Yang penting harus tetap dalam koridor Pancasila yang mendasari Indonesia sebagai Negara kebangsaan yang berketuhanan (Moh Mahfud MD, Koran Sindo, SindoNews.com, Sabtu 1 April 2017 – 07:55 WIB).

Mari berpolitik dan bernegara secara saksama dan bertanggung jawab. (*)

386

Related Post